"Maafin aku Mas ..." isak seorang wanita sambil memeluk kaki suaminya erat. Airmatanya tak berhenti mengalir membasahi pipi tirusnya.Dada sang suami turun naik dengan napas memburu. Matanya menyorot tajam pada istrinya. Terlihat kemarahan yang membuat bergidik di sinar matanya,. Seolah dia ingin menguliti perempuan yang dinikahinya setahun yang lalu."Kenapa kamu tidak bilang kalau aku sudah menikah?!" geramnya menusuk tepat ke jantung perempuan itu."Maaf, Mas. Aku jatuh cinta sejak menemukanmu hanyut di sungai. Cintaku sangat besar hingga tak perduli dengan statusmu," isaknya menunduk dalam."Setidaknya ceritakan kebenaran padaku. Aku punya anak dan istriku sedang mengandung!" raungnya garang. Dia menarik kakinya kasar hingga perempuan itu terjerembab di lantai tanah."Mas, mas ... jangan tinggalkan aku. Aku sangat mencintaimu," jerit perempuan itu sambil merangkak mengejar suaminya yang berdiri di ambang pintu kamar. Dia memeluk kaki lelaki itu kembali.Namun, lelaki itu menyepa
Flash back on.Hermawan terus berusaha melakukan panggilan ke nomor putranya--Haris. Dia menjepit ponsel di telinga dengan menaikkan sebelah bahunya sambil terus berusaha fokus mengemudikan mobil. Dia sangat gusar atau lebih tepatnya murka. Dokumen yang datang seminggu yang lalu menyulut kemarahannya. Entah siapa pengirimannya dan apa motif si pengirim tidak penting, tapi mendapati dirinya ditipu mentah-mentah membuat dadanya menggelegak, dan satu-satunya orang yang dia pikir bertanggung jawab adalah Haris karena dia otak kejadian delapan tahun yang lalu. Jika tujuannya hanya mempermalukan dan membuka topengnya, mengapa harus memalsukan hasil tes DNA Mitha dan Max. Dia sama sekali tidak mengerti. Dia terus mencoba lagi, tapi nihil. Putus asa, Hermawan mencoba menghubungi ponsel Elena. Di dering ke empat terdengar suara wanita itu menjawab di seberang sana."Hallo, Pa. Ada apa?""Mana Haris?""Mas Haris belum pulang. Dia bilang mau hang out dengan teman-temannya. "Hang out?! Kemana?"
Flash back onMitha jengah dengan pemandangan di depannya. Kemesraan yang diumbar Elena berlebihan. Dia seolah ingin menunjukkan bahwa Haris begitu mencintainya. Mitha merasa aneh dengan sikap Elena yang cepat sekali berubah. Ada yang salah dengan wanita itu, tapi tidak tahu apa. Tak ingin berlama-lama melihat adegan itu, dia meminta ijin menemui Keysa yang berada di kamarnya. Bukan cemburu yang dirasakannya, tapi sikap canggung Haris meladeni kemanjaan istrinya. Entah karena apa.Mitha menaiki tangga melingkar menuju lantai dua. Dia merasakan seseorang memperhatikannya intens dan ketika berbalik matanya beradu dengan manik gelap milik Haris. Cepat Mitha berpaling, tak ingin niatnya datang mengunjungi Elena gagal. Langkahnya berhenti di depan pintu bercat cokelat tua. Dia melihat ke kiri dan kanan memastikan situasi aman. Perlahan mendorong pintu kayu itu, lalu masuk ke dalam kamar yang didominasi warna putih. Langkahnya tegas menuju meja rias, matanya liar mencari sesuatu yang bisa m
Angin malam berembus dari selatan. Membelai daun akasia, menggoyang bunga bugenville yang sedang semarak, menukik naik menepis gorden putih yang menggantung di jendela kamar Mitha yang terbuka. Gorden putih itu meliuk indah seolah menari bersama angin yang kemudian menyapu wajah Mitha yang terlihat lelahWanita itu berdiri dalam gelap. Menengadah menatap purnama di penghujung tahun. Cahayanya begitu terang, menimpa wajah yang seputih susu. Mitha memeluk tubuhnya erat. Melawan dingin yang menusuk tulang. Sekilas matanya melirik kertas- kertas yang berserakan di atas ranjang. Semalaman dia mencoba mencari benang merah penghubung dirinya dan sosok yang melakukan serangkaian teror pada keluarganya. Tapi semua blur. Fakta jelas menunjukkan mereka bersaudara. Berasal dari benih yang sama, lalu mengapa lelaki yang harusnya dia panggil papa tak pernah muncul. Padahal dia selamat dari percobaan pembunuhan itu.Mitha memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Besok, dia harus siap untuk besok. S
Aarghhh!Elena berteriak sekuat yang dia bisa. Melepaskan semua beban yang menghimpit hatinya selama ini. Lagi dia berteriak, tapi suaranya tertelan ombak yang pecah di batu karang. Dia terduduk lemah di atas pasir. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuh. Sorot matanya terlihat kejam dan mengerikan. Seolah semua amarah berkumpul di sana dan siap untuk diledakkan.Wajahnya basah oleh airmata, tapi justru lengking tawa yang terdengar dari bibirnya. "Mitha, kau benar-benar jalang. Tak cukup satu laki-laki saja bagimu. Sekarang kau pun menggoda suamiku. Aku tidak sabar menghabisi nyawamu besok." desis Elena, tersenyum sinis.*Mitha mengikat rambutnya tinggi. Mengenakan T- shirt putih, dipadu jeans berwarna telur asin sebagai bawahan. Sepatu olahraga berwarna biru langit menjadi piilihan untuk membungkus kaki jenjangnya. Dia menghela napas sejenak. Menatap pantulan diri di dalam cermin. "Kenapa aku terlambat menyadari siapa dirimu Elena. Harusnya kita saling mendukung, saling menguatkan
Mobil yang dikemudikan Elena berbelok ke jalan kecil yang hanya bisa dilalui satu mobil. Di kiri kanan berdiri menjulang pepohonan berdaun rimbun. Semakin jauh suasana semakin sepi. Beberapa kali Mitha menggeser duduknya karena mobil berguncang menggilas bebatuan yang terserak di tengah jalan. Lima belas menit kemudian, mobil berbelok ke jalan bertanah. Terlihat banyak lubang yang dipenuhi air bekas hujan beberapa hari yang lalu. Sepanjang perjalanan keduanya hanya diam. Mitha beberapa kali mengatur napasnya. Berada satu mobil dengan Elena menguras seluruh daya dalam tubuhnya. Beberapa kali melirik Elena, tetap saja wanita itu tak mengubah ekspresinya. Datar dan dingin. Membuat Mitha mengingatkan dirinya untuk terus waspada. Ivanka berkata jika kejiwaan Elena tidak stabil. Dia mudah sekali menjadi beringas jika ada yang mengusik pikirannya. Mitha menahan tubuhnya yang hampir membenturdashboard mobil dengan tangan ketika Elena berhenti mendadak di tengah jalan. "Ada apa?" tanya Mit
"Ampun, Ayah ... sakit." Anak perempuan itu mengangkat tangannya guna melindungi tubuh kurus yang terus dipukuli sang ayah dengan membabi buta.Namun, lelaki yang sedang dikuasai alkohol itu seakan tuli telinga dan buta hatinya. Tangisan anak perempuannya seolah melecut semangatnya terus mencambuk tubuh itu dengan sabuk yang terbuat dari kulit. Dia baru berhenti ketika tubuh itu diam tak bergerak. Membuang sabuknya. Menatap penuh kebencian pada anaknya sendiri, kemudian pergi begitu saja tanpa perduli sedikit pun pada tubuh yang sedang meringkuk tidak berdaya di lantai.Anak perempuan itu bernama Elena. Dia hanya menatap kepergian sang ayah dengan tatapan nanar penuh airmata. Sejak ibunya meninggal dunia, Elena terus mendapat perlakuan kasar dari lelaki yang harusnya melindungi dan menjaganya. Tapi semua tidak mungkin, karena dia membenci dirinya. Bagi lelaki itu, Elena adalah sebuah beban dan kutukan. Dia menumpahkan kesalahan yang dilakukan sang ibu pada Elena yang notebene putri
"Elena ...?" Vano mengerjap beberapa kali melihat Elena masuk ke kamar inapnya. Wanita itu memakai hoodie yang menutup kepala hingga wajahnya tidak terlihat jelas."Kau sudah sadar?" tanya Elena setengah berbisik.Vano mengangguk. Dia bersikap waspada. Satu bulan sebelum kecelakaan, Evelin mengatakan jika dia curiga Elena sedang merencanakan sesuatu. Dia tidak tahu apa, tapi beberapa kali memergoki wanita itu masuk ke dalam ruang kerja Hermawan. Belum sempat mereka bicara banyak, Mitha lebih dulu memergoki keduanya. Bahkan Vano ingat. Malam sebelum kecelakaan, Elena menelponnya. Wanita itu ingin membicarakan sesuatu dengannya. Bermaksud membuktikan kecurigaan Evelin, Vano mengiyakan. Tapi di tengah perjalanan dia merasakan ada yang tidak beres. Vano panik ketika rem mobilnya tidak berfungsi. Terpaksa lelaki itu menabrakkan mobil ke pembatas jalan untuk menghindari korban jiwa di jalan raya."Sebenarnya, aku lebih berharap kau mati saat kecelakaan itu. Tapi tak apa. Kau lebih bergun