Mendung menggayuti langit Ibukota, meski matahari begitu pongah memancarkan sinarnya, tak mampu menembus mega-mega kelabu yang menaungi areal pemakaman keluarga Hermawan yang berada di tanah pribadi. Isak tangis terdengar ketika jenazah diturunkan ke liang lahat. Jeritan Evelin terasa menusuk perih gendang telinga dan memilukan hati yang mendengar. Beberapa orang terlihat sigap menahan tubuh janda dari Hermawan itu. Terus meronta dan menangis membuat tubuhnya perlahan melemah, lalu terduduk tak berdaya.Mitha mematung melihat adegan itu dari balik kacamata hitamnya. Kemarin malam, setelah mendapat kabar jika laki-laki pilar utama klan Hermawan itu meninggal karna kecelakan, dia segera memacu mobilnya menuju rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari tempat Vano dirawat. Malam itu juga jenazah almarhum langsung dibawa ke Jakarta. Mitha tak mengerti mengapa masalah datang beruntun setelah kecelakaan yang menimpa Vano. Apalagi siangnya beliau masih terlihat bugar dan cerah. Tapi, siapa ya
Mitha membuka mata dan mendapati kelam membungkus dirinya. Perlahan bangkit mencoba meraba dalam gelap. Tertatih langkahnya menapaki lantai yang terasa dingin. Dia tak tahu arah, kakinya tak memiliki tujuan.Dia terjatuh, tak lama tersenyum ketika melihat titik terang di ujung lorong. Dia bangkit, terus berlari meski tak tahu lari dari apa. Dia hanya takut pada gelap yang terus mendekatinya dari belakang.Mitha terengah, napasnya memburu karna pasokan oksigen yang semakin menipis. Namun, rasa takut membuat kaki bergerak lebih cepat. Dia berhasil menggapai gagang pintu. Mendorong papan kayu itu perlahan. Air matanya menetes begitu saja. Di balik pintu dia melihat dua orang tercintanya berdiri bergandengan tangan. Vano dan Bima, mereka tersenyum, wajah kedua begitu cerah. Tak pernah dia merasa selega itu, mengayunkan kaki hendak mendekati keduanya. Tapi, sepasang tangan besar menahannya. Dia menoleh dan mendapati sosok yang menghilang delapan tahun kini memdekapnya"Jangan pergi. Stay w
"Princess, I am sorry. Aku ...""Don't ..." Mitha menepis tangan Max yang mencoba meraih lengannya. Dia surut ke belakang, menghadap ke jendela apartemen yang mengarah langsung ke pantai. Dia memeluk tubuhnya sendiri, seolah melindungi dirinya dari sesuatu yang hendak membuatnya terluka. Tapi dia tidak tahu siapa dan kenapa."Kapan dia bangun?" tanya Mitha setelah cukup lama mereka diam."Lima hari yang lalu," jawab Max. Dia ikut berdiri di samping Mitha, menatap ke luar jendela."Haris menceritakan semuanya. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di rumah sakit setelah mobilku tanpa sengaja menabrakmu. Jadi aku mengutus orang-orangku untuk menjaga Vano dan Bima."Mitha menoleh, menatap Max lekat."Kenapa Vano bisa kabur dari rumah sakit. Logikanya, untuk seorang yang baru bangun dari koma tidak mungkin dia bisa pergi begitu saja tanpa ada yang membantu,"Max menunduk, melipat bibirnya ke dalam, kedua tangannya terkepal kuat di dalam saku celana. Hal itu tak luput dari pengamatan Mitha, ins
Wanita itu terlahir kembali ke dunia tanpa tahu siapa kedua orang tuanya. Menurut Buk Asih, pengurus panti asuhan tempat dia dibesarkan, dia ditemukan di dalam kardus dengan tali pusar masih melekat di tubuhnya. Saat itu dini hari. Lengking tangisnya membangunkan semua penghuni panti. Kehadirannya bukanlah hal yang istimewa karena hampir setiap minggu ada bayi yang dibuang di sana. Tidak ada pengenal ditubuhnya, hanya sebuah kalung dari benang yang dijalin dan memiliki bandul dari kain hitam di tengah. Sungguh bukan peninggalan berharga, tetapi Buk Asih tetap tersimpan. Dia berkata, mungkin saja suatu hari benda itu berguna Hidup wanita itu memang tidak sempurna, tapi dia bahagia. Keluarga Hermawan bersedia membiayai pendidikannya hingga selesai. Namun, dengan konsekuensi yang berat di kemudian hari. Menikahi putra sulung keluarga itu dan melahirkan pewaris baru. Tentu bukan hal yang sulit jika keduanya memang saling cinta. Akan tetapi hidup, tidak seindah dongeng penghantar tidur.
Jangan pernah menilai seseorang dari luar saja. Terkadang apa yang dilihat mata tidak sesuai dengan kenyataan. Prameswari Paramitha. Wanita yang hidup bergelimang harta, disegani pegawai, ditakuti pesaing bisnis, bahkan hidupnya penuh sanjung juga puja. Mereka bilang hidupnya sempurna! Namun, tidak ada yang bisa mengira sedalam apa dia menyimpan semua lukanya.Dia seorang upik abu yang beruntung menjadi seorang ratu. Seperti ulat menjijikkan yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu cantik. Mereka tidak pernah tahu apa yang telah dikorbankannya hingga sampai di titik itu. Air mata, gelimang luka, bahkan cinta pertamanya. Andai mesin waktu itu ada, pasti dia orang pertama yang rela menukar dengan seluruh harta, bahkan jiwanya.Hutang budi yang ditanamkan keluarga Hermawan membuatnya tidak sanggup menolak keinginan sang pilar utama untuk dinikahkan dengan putra sulung keluarga tersebut. Lelaki berpostur tegap, berkulit putih, bergaris rahang tegas, dan memiliki sorot sedingin kutub. Zivano
Mitha baru saja memasukkan potongan roti yang dioles selai nuttella ke mulutnya ketika Anita-asisten pribadinya-masuk bersama dengan Haris, orang kepercayaannya. Mereka seperti sepasang tangan dan kaki untuk wanita itu. Apa yang dia pikirkan mereka bisa menebak. Bagi Anita dan Haris, Mitha seperti buku terbuka, begitu jelas terbaca.Begitu pun bagi Mitha. kedua orang itu penguat sekaligus orang-orang paling dia percaya selain dirinya sendiri. Keduanya selalu berada di barisan terdepan dan menjadi tameng untuknya. Mereka asisten, sahabat, juga keluarganya."Pagi, Buk," sapa Anita ramah.Mitha menyunggingkan senyum. "Anita, berapa kali kubilang. Panggil namaku saja bila tidak ada orang lain. Kau membuatku semakin tua saja! Ayo, temani aku sarapan," pintanyaAnita terkekeh, "Maaf, udah kebiasaan, jadi susah diubah," jawabnya. Anita duduk di samping kiri Mitha. Menuangkan teh ke dalam cangkir yang ada di atas meja."Apa, kau akan kenyang hanya dengan melihat kami sarapan?" tanya Mitha pad
"Hai, Princes!"..Mitha tersenyum kikuk. Kedua tangannya mencengkeram sendok untuk menetralisir gugup yang melanda, sementara jantungnya berlarian dengan tidak tahu malu. Mengentak keras seluruh urat nadi, menjalarkan rasa yang sulit dijabarkan dengan kata.Max duduk di sebelah Hermawan, tepat di depan Mitha. Netranya menatap wanita itu lembut. Sarat kerinduan di sana, rindu yang kini terlarang untuknya."Kamu semakin cantik, Mit," ujar Max menatap penuh kekaguman.Mitha berdehem, tak urung rona terlihat jelas di pipi chubby-nya, "Terima kasih." jawabnya singkat.Trang!Terdengar suara benda diletakkan kasar di sebelahnya. Wanita itu menoleh. Terlihat Vano meraih cangkir kopi dengan sebelah tangan laki-laki itu terkepal di paha. Sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja. Wajahnya terlihat merah padam dengan sorot mata lelaki itu berkilat cemburu.'Tidak mungkin ...!" desis Mitha. Mungkin dunia akan kiamat jika seorang Zivano Hermawan cemburu padanya."Akhirnya, Kamu in
Vano duduk sambil mengetuk-ngetukan jari ke meja kerja yang terbuat dari kayu jati. Sebelah tangannya berada di lengan kursi menopang dagu. Wajahnya terlihat gusar. Hatinya gundah mengingat yang dia lihat tadi siang di kantor Mitha. Setelah wanita itu membongkar kecurangan Surya Group, Vano menyusulnya ke kantor. Lelaki itu ingin memperbaiki hubungannya dengan sang istri. Mungkin sudah saatnya membuka hati dan melupakan masa lalu. Vano juga tidak ingin tersiksa dengan perasaannya. Dia ingin lebih jujur dan memberi ruang untuk rasa yang mulai tumbuh. Namun, baru saja sampai di pintu ruang kerja Mitha, Vano melihat Max sedang memeluk wanitanya.Amarah dan cemburu membaur jadi satu di dada Vano. Saudara tirinya itu benar-benar keras kepala. Ingin rasanya mematahkan tangan yang telah lancang memeluk Mitha, tetapi ditahannya rasa itu. Leaki itu tak ingin terlihat konyol di mata Mitha. Apa yang akan di pikirkan oleh wanita itu jika tiba-tiba saja dia memukul Max tanpa alasan? Tidak mungkin