Mitha baru saja memasukkan potongan roti yang dioles selai nuttella ke mulutnya ketika Anita-asisten pribadinya-masuk bersama dengan Haris, orang kepercayaannya. Mereka seperti sepasang tangan dan kaki untuk wanita itu. Apa yang dia pikirkan mereka bisa menebak. Bagi Anita dan Haris, Mitha seperti buku terbuka, begitu jelas terbaca.
Begitu pun bagi Mitha. kedua orang itu penguat sekaligus orang-orang paling dia percaya selain dirinya sendiri. Keduanya selalu berada di barisan terdepan dan menjadi tameng untuknya. Mereka asisten, sahabat, juga keluarganya.
"Pagi, Buk," sapa Anita ramah.
Mitha menyunggingkan senyum. "Anita, berapa kali kubilang. Panggil namaku saja bila tidak ada orang lain. Kau membuatku semakin tua saja! Ayo, temani aku sarapan," pintanya
Anita terkekeh, "Maaf, udah kebiasaan, jadi susah diubah," jawabnya. Anita duduk di samping kiri Mitha. Menuangkan teh ke dalam cangkir yang ada di atas meja.
"Apa, kau akan kenyang hanya dengan melihat kami sarapan?" tanya Mitha pada Haris yang masih berdiri di ujung meja makan.
"Maaf, tapi saya tidak lapar, Buk ...,” tolak Haris sopan.
Mitha memutar bola matanya. "Setidaknya kau bisa minum secangkir kopi," tawarnya sambil menuangkan kopi ke dalam cangkir kecil berwarna putih.
Haris tertegun. Sikap Mitha yang hangat selalu sukses membuat hatinya membuncah senang. Namun, dia cukup tahu diri untuk tidak menyimpan perasaan untuk atasannya tersebut. Masih segar di ingatannya tiga tahun yang lalu. Bagaimana Mitha menyelamatkan dirinya dari amuk massa ketika kedapatan mencopet tas seorang wanita pengunjung pasar tradisional.
Pukulan dan hantaman bertubi-tubi bersarang ke tubuh kurusnya. Tidak ada yang bertanya alasan seorang Haris mencuri. Hanya Mitha, dengan keberanian menghalau massa dan menyelesaikan masalah dengan damai. Ingatan itu begitu kuat tertanam di benak dan tak akan pernah dilupakan.
"Katakan padaku, kenapa kau mencuri?" tanya Mitha, netranya menatap tajam pada Haris.
"Saya butuh uang untuk biaya operasi adik saya," lirih Haris dengan kepala menunduk.
Sorot Mitha perlahan meredup, "Memangnya adikmu sakit apa?" lagi, dia bertanya ingin tahu.
"Dia ... kelainan jantung. Jadi dokter merencanakan memasang ring di jantungnya dan biayanya sangat besar," keluh Haris dengan suara parau.
Hati Mitha terenyuh. Senyum tipis terukir di bibir merahnya.
"Ok! Kita ke rumah sakit. Jika kau jujur, maka semua biaya operasi adikmu akan kubiayai."
Haris mendongak, netranya buram karena air mata. Tidak pernah menyangka adik tercintanya mendapatkan kehidupannya kembali. Sejak saat itu dia bersumpah mengabdikan hidup untuk bidadari penolongnya.
"Haris, Ris!" panggil Mitha. "Bengong aja!"
Haris tergagap. "Eh, iya Buk ...." jawabnya gugup. Suara Mitha mengembalikan kesadarannya yang berlarian ke dimensi waktu.
Mitha tersenyum. Senyum yang mampu membuat mata yang memandangnya menjadi sejuk. Bibir tipis kemerahan dan cekungan kecil di kedua pipinya saat tersenyum, menambah pesona wanita tersebut.
Entah mata Zivano buta atau memang sudah kebiasaan berselingkuh, hingga tidak melihat kecantikan yang dimiliki oleh bosnya ini. Jika saja Mitha memberi perintah satu kali saja untuk menghabisi Zivano Hermawan, maka dengan senang hati Haris akan melakukannya.
"Anita, apa hasil penyelidikan sudah selesai?" tanya Mitha sambil memainkan ponselnya untuk memeriksa email.
"Setengah jalan. Kamu benar Mit, memang ada kebocoran dana di mega proyek yang di tangani Pak Vano. Selain itu ada beberapa kejanggalan dalam kontrak kerja sama dengan Surya grup," jelas Anita lugas.
Sudut bibir Mitha terangkat, "Apa sudah diketahui ke mana aliran dana itu bocor?"
"Belum, tim masih menyelidiki. Apa mungkin Pak Vano yang melakukannya," tanya Anita. Netranya menatap Mitha yang masih sibuk dengan ponselnya.
Mitha diam sejenak, kemudian balik menatap Anita.
"Aku, tidak yakin. Vano terlalu lurus untuk urusan bisnis," sergahnya, "kecuali untuk urusan selangkangan, dia ahlinya."
Anita tersedak! Walau bergumam, tak urung kata-kata tadi tertangkap juga oleh indera pendengarannya dan Haris. Lelaki bermata sendu itu menatap Mitha dalam. Haris tahu Mitha sangat terluka dengan perangai suaminya. Namun, wanita itu mampu mengendalikan diri dengan baik. Tidak ada yang tahu di balik sifat dingin dan kejamnya, dia sosok yang rapuh dan hangat, hanya Haris yang tahu karena wanita itu sering menangis di depannya.
"Apa jadwalku hari ini," tanya Mitha pada Anita.
Wanita berkaca mata minus dan berhidung bangir itu berdeham sebelum mengutak-atik gadgetnya.
"Pagi ini ada meeting dengan Mr. Killian dari Java Company. Beliau ingin memastikan kesediaan perusahaan kita ikut dalam proyek tolnya. Nanti siang ada pertemuan dengan Presiden Komisaris Tuan Hermawan beserta putranya, di Hyatt hotel, " terang Anita.
Mitha mengernyitkan dahinya, lalu bergumam. 'Untuk apa beliau memanggilku'.
"Ada lagi?" tanyanya.
Anita menggeleng. "Sepertinya hari ini tidak terlalu sibuk."
Mitha mengedikkan bahu acuh. "Apa kau sudah mendapatkan pengganti sekretaris untuk Vano?"
"Sudah, hari ini dia mulai bekerja, " jawab Anita sambil memperlihatkan sebuah CV. kepada Mitha.
Mitha memeriksa CV. tersebut sambil menyesap kopinya. Sudut bibirnya terangkat, 'cantik' Dia bergumam.
Ini sekretaris kelima dalam tahun ini. Apa gadis ini juga akan kehilangan akal sehatnya jika berhadapan dengan seorang Vano Hermawan? Mitha mengembuskan napas pelan, lalu menyerahkan kembali CV. tersebut kepada Anita.
"Sudah saatnya, ayo!" Mitha beranjak ke luar dengan kedua asistennya mengekor di belakang. Di depan rumah bergaya modern minimalis tersebut telah siap sebuah mobil mewah keluaran Jerman yang siap mengantar menantu Hermawan itu ke mana saja. Sigap Pak Supri membuka pintu belakang untuk Mitha dan Anita, sementara Haris duduk mendampingi sang sopir membelah kepadatan jalan raya.
*
Mitha berdiri menatap jalanan yang padat merayap. Dari jendela kantornya jelas terlihat orang-orang yang berjibaku dengan hidupnya. Berjuang mengais rezeki demi sesuap nasi, kadang harus berkonfrontasi agar tetap bertahan.
Dia pernah berada di titik itu, berjuang demi lembaran rupiah. Keluarga Hermawan memang membiayai seluruh pendidikannya. Akan tetapi, Mitha bukan gadis yang suka berpangku tangan. Di pagi hari wanita itu sibuk menjadi loper koran, setelah pulang kuliah pun dia bekerja sebagai cleaning service di perusahaan milik keluarga Hermawan.
Mungkin kegigihannyalah yang membuat Tuan Hermawan tertarik dan menjodohkannya dengan Vano. Sebuah keputusan yang sulit baginya. Di satu sisi kelangsungan panti asuhan tempat dia dibesarkan, di sisi lain hatinya telah tertambat kuat pada seseorang yang tak kunjung berucap cinta, meski isyarat mata mengatakannya.
"Apa yang Anda pikirkan?" tiba-tiba saja Haris telah berdiri di samping Mitha.
Hening ....
Haris menatap Mitha intens. Menikmati lentik bulu mata yang melambai saat pelupuk mata si wanita menutup, hidung mancung, dan bibir tipis merekah. Paras Mitha setara dengan kecantikan dewi-dewi Yunani yang sering diilustrasikan di patung-patung batu.
Mitha menatap Haris. Sinar matanya terlihat lelah. Kedua tangan bersedekap di dada. Dia menghela napas, kemudian diembuskan perlahan.
"Haris, kapan terakhir kali kamu merasa bahagia?" tanya Mitha tanpa menatap si lelaki. Pandangannya kembali ke luar jendela.
"Terakhir kali saya merasakan menjadi orang yang paling menyedihkan di dunia, saat saya bertemu Anda. Setelahnya, saya selalu merasa bahagia."
Mitha tersenyum, Haris suka itu. Detak jantungnya berdentum keras, mungkin dia akan terkena serangan jantung mendadak jika terus-menerus melihat senyum itu.
Tanpa sadar lelaki itu ikut tersenyum. Sebelah tangannya berada di dalam saku celana dan satu lagi memegang map berwarna merah.
"Apa itu?" tanya Mitha melirik map yang dibawa Haris.
"Ini ...." Haris terlihat ragu.
Tak sabar Mitha merampas map di tangan lelaki itu. Wajahnya berubah kaku ketika melihat isi map merah tersebut.
"Sejak kapan?!" tangan Mitha tanpa sadar meremas tepi map yang dia pegang.
"Hampir dua bulan. Namanya Laura, putri dari Surya Aditama pemilik Surya grup."
Wajah Mitha tetap terlihat datar. Foto Vano dan gadis itu terlihat intim.
Pengkhianatan lagi! Begitu mudah laki-laki itu beralih dari satu wanita ke wanita lain. Perlahan netranya memburam terhalang kabut tipis. Sakit yang berulang, entah sampai kapan dia sanggup bertahan.
Melihat gestur tubuh Mitha, membuat hati Haris berdenyut nyeri. Andai diizinkan, ingin membawa wanita tersebut ke dalam pelukan, menenangkan, dan mengatakan semua akan baik-baik saja.
"Apa ini ada hubungannya dengan penyelidikan kita?" tanya Mitha setelah hening mengambil tempat sesaat.
Haris mengangguk. "Sepertinya Surya Group melakukan kecurangan. Mereka tahu kebiasaan Pak Vano, jadi mengumpankan putrinya sendiri," jelasnya lugas.
Mitha tersenyum miring. "Luar biasa, mengorbankan putri sendiri demi sebuah tender."
"Haris, besok kumpulkan semua bukti, akan kita tunjukan dengan siapa mereka berurusan!" titahnya.
"Segera!" Haris tersenyum, lelaki ini suka bila Mitha mulai menunjukkan taringnya, terlihat memesona.
Suara interkom menyela pembicaraan mereka. "Permisi, sudah saatnya. Anda di tunggu Tuan Hermawan, Buk." Anita berujar mengingatkan Mitha pada pertemuan hari ini.
Mitha melirik pergelangan tangannya. "Kita berangkat, Haris."
*
Mitha berjalan tergesa masuk ke dalam restoran tempat diadakan makan siang dengan pemilik Hermawan Company, sekaligus papa mertuanya. Wanita itu mengedarkan pandangan mencari keberadaan pria yang dimaksud. Netranya menangkap sosok tersebut di sebuah ruangan bersekat di sudut restoran.
"Maaf, Pa, aku telat," ucap Mitha sambil menunduk.
Tuan Hermawan tersenyum, "sudahlah, yang penting kalian datang," jawab lelaki yang masih terlihat tampan di usia kepala enam. "Duduklah," imbuhnya.
Mitha duduk di samping Vano yang sibuk dengan ponselnya. Seperti tidak peduli dengan kehadiran wanita itu. Mitha pun mencoba untuk bersikap sama, meski sebenarnya ingin sekali mencerca lelaki berstatus suaminya ini dengan berbagai pertanyaan. Namun, dia cukup terlatih menahan egonya, apalagi di hadapan papa mertuanya.
"Semua urusan kantor beres, 'kan, Mit?" tanya Hermawan sambil menyeruput kopi latte favoritnya.
"Iya, Pa, semua beres."
"Apa, sih, yang tidak bisa di kerjakan oleh menantu kesayangan Papa ini?" sela Vano sarkas.
serempak Hermawan dan Mitha melihat ke arah Vano.
"Apa?!" tanya Vano risi
Hermawan tertawa. "Kau tidak pernah berubah, Nak! Childish!" Hermawan menoleh pada Mitha. "Apa kamu sudah hamil, Mit?" tanyanya.
Sontak Mitha tersedak, menyemburkan minumannya ke arah Vano.
"Shit! apa-apaan sih?" maki Vano, tangannya mengibas-ngibas di jas yang terkena semburan kopi Mitha.
Hermawan terkekeh melihat interaksi anak dan menantunya itu. Dia tahu persis hubungan keduanya tidak baik. Namun, lelaki berkarisma itu menutup mata. Selama Mitha sanggup mengatasi Vano, dia hanya akan menjadi penonton.
"Maaf, Aku terlambat."
Mitha terpaku, tangannya yang sedang menggenggam sendok gemetar. Suara itu ... tiga tahun lalu selalu membuat hatinya berdesir. Aroma parfum yang selalu mengirimkan gelayar indah ke hatinya. Mitha mencoba mengusir bayangan yang tiba-tiba menyergapnya, tidak mungkin ....
"Hai, Princess."
refleks Mitha mengangkat kepalanya. Dia ... debaran jantungnya berdentum liar. Netranya terpaku pada sosok yang mengisi hatinya di masa lalu, senyum lelaki itu masih sehangat dulu. Dia cinta pertamanya. Cinta yang tak terucap, meski mata mengisyaratkan. Dia ... Maxwell Hermawan.
"Hai, Princes!"..Mitha tersenyum kikuk. Kedua tangannya mencengkeram sendok untuk menetralisir gugup yang melanda, sementara jantungnya berlarian dengan tidak tahu malu. Mengentak keras seluruh urat nadi, menjalarkan rasa yang sulit dijabarkan dengan kata.Max duduk di sebelah Hermawan, tepat di depan Mitha. Netranya menatap wanita itu lembut. Sarat kerinduan di sana, rindu yang kini terlarang untuknya."Kamu semakin cantik, Mit," ujar Max menatap penuh kekaguman.Mitha berdehem, tak urung rona terlihat jelas di pipi chubby-nya, "Terima kasih." jawabnya singkat.Trang!Terdengar suara benda diletakkan kasar di sebelahnya. Wanita itu menoleh. Terlihat Vano meraih cangkir kopi dengan sebelah tangan laki-laki itu terkepal di paha. Sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja. Wajahnya terlihat merah padam dengan sorot mata lelaki itu berkilat cemburu.'Tidak mungkin ...!" desis Mitha. Mungkin dunia akan kiamat jika seorang Zivano Hermawan cemburu padanya."Akhirnya, Kamu in
Vano duduk sambil mengetuk-ngetukan jari ke meja kerja yang terbuat dari kayu jati. Sebelah tangannya berada di lengan kursi menopang dagu. Wajahnya terlihat gusar. Hatinya gundah mengingat yang dia lihat tadi siang di kantor Mitha. Setelah wanita itu membongkar kecurangan Surya Group, Vano menyusulnya ke kantor. Lelaki itu ingin memperbaiki hubungannya dengan sang istri. Mungkin sudah saatnya membuka hati dan melupakan masa lalu. Vano juga tidak ingin tersiksa dengan perasaannya. Dia ingin lebih jujur dan memberi ruang untuk rasa yang mulai tumbuh. Namun, baru saja sampai di pintu ruang kerja Mitha, Vano melihat Max sedang memeluk wanitanya.Amarah dan cemburu membaur jadi satu di dada Vano. Saudara tirinya itu benar-benar keras kepala. Ingin rasanya mematahkan tangan yang telah lancang memeluk Mitha, tetapi ditahannya rasa itu. Leaki itu tak ingin terlihat konyol di mata Mitha. Apa yang akan di pikirkan oleh wanita itu jika tiba-tiba saja dia memukul Max tanpa alasan? Tidak mungkin
"Apa yang kau lakukan, Max! Lepaskan aku!" Mitha berseru ketika tiba-tiba merasakan sepasang tangan kokoh memeluk pinggangnya dari belakang.Max semakin mengeratkan pelukannya. Membenamkan kepala di ceruk leher Mitha. "Sebentar saja, biarkan seperti ini, Princess ...."pintanya lirih."Max ...." erang Mitha saat merasakan pria itu mengendus lehernya. Sesaat kewarasan wanita itu lenyap. Rasa yang terkubur tiga tahun lalu perlahan muncul ke permukaan. Munafik jika dia tidak menyukai sentuhan Max. Meski puluhan purnama berlalu, tetapi tubuhnya masih mengingat rasa itu. Rasa hangat dan menenangkan.Hanya Max yang bisa menenangkan gundahnya. Memberi kekuatan saat dia rapuh, dan mengulurkan tangan ketika dia terpuruk."Kembalilah padaku, Mit. Ayo kita tinggalkan tempat ini. Tinggalkan suamimu yang brengsek itu," bisik Max.Mendengarnya refleks Mitha menyentak tangan Max kasar dan bergerak menjauh. "Keluar, Max!" perintah Mitha ketus.Bukannya menjauh, Max semakin mendekati Mitha yang tersudu
Mitha masih bergelung malas di dalam selimutnya. Udara dingin masuk dari balkon kamar yang terbuka, membuat wanita itu memilih melanjutkan tidurnya kembali. Dia seakan buta dengan sekitar, hingga tidak menyadari langkah Vano memasuki kamar. Belaian lembut di kepala membuat Mitha menggeliatkan tubuhnya malas. Alih-alih merasa terganggu, dia malah tersenyum semakin larut dalam mimpinya."Jika kau tidak juga bangun, mungkin aku akan bergabung denganmu di dalam selimut itu lagi," bisik Vano di telinganya.Netra Mitha seketika terbuka, menatap Vano dengan raut wajah bingung. "Kau? Apa yang kau lakukan di sini!" pekiknya. Mitha beringsut duduk di kepala ranjang, sambil menarik selimutnya hingga sebatas leher. Tentu saja reaksinya seperti itu. Saat ini dia hanya memakai kamisol dan celana super pendek. Meski mereka cukup intim seminggu terakhir, tetap saja ada kecanggungan terasa.Vano tertawa melihat reaksi istrinya itu, terlihat semakin menggemaskan dan menantang. Dia tidak pernah menyangk
[I miss you][Do you remember me]Puluhan notifikasi sejenis setiap hari masuk ke ponselnya. Akan tetapi, Vano memilih mengabaikan. Lelaki itu lebih fokus kepada pekerjaan dan hubungannya dengan Mitha .Sikap Vano semakin hari semakin posesif terhadap wanita itu. Dia selalu uring-uringan jika ada lelaki yang mendekatinya. Kalau sudah begitu dia akan merajuk hingga berhari-hari. Dia senang jika Mitha susah payah membujuknya. Seperti sebuah kesenangan baginya melihat sang istri kelimpungan, semakin terlihat menggemaskan.[Aku sangat merindukanmu. Bisa kita bertemu di cafe fovorit kita siang ini. Evelin]Netra Vano membola membaca pesan yang baru masuk keponselnya. Nama yang ingin dikuburnya bersama dengan masa lalu, kenapa setelah tiga tahun hadir kembali?Seketika wajah Vano gusar, hatinya digayuti awan hitam. Antara percaya dan tidak. Dia melirik benda yang melingkar di pergelangan tangannya, 'sudah jam makan siang' gumamnya. Vano gundah, siang ini dia sudah berjanji makan siang denga
Denting sendok yang beradu dengan piring menemani sarapan dua orang yang masih membisu sejak tadi malam. Vano terlihat sibuk dengan ponselnya. Lelaki itu sesekali tersenyum, kemudian jemarinya menari mengetik pesan yang ditujukan untuk seseorang. Mitha menggenggam erat kedua sendok di tangannya. Mencoba sekuat mungkin meredam gejolak emosi yang sedari tadi menyelubunginya. Wanita itu tidak buta atau pun bodoh. Tanpa melihat dia tahu siapa yang saat ini sedang berbalas pesan dengan lelakinya. Namun, dia mencoba menahan diri. Harga dirinya masih sangat tinggi jika harus dipertaruhkan dengan meratap atau menangis di hadapan Vano."Mas!" Akhirnya Mitha mengalah memutus kebungkaman yang sedari tadi mengikat mereka.Vano hanya diam, tanpa ada reaksi menoleh atau apapun. "Mas!" ulang Mitha. Vano mengangkat wajahnya, menjawab dengan malas. "Ada apa?""Nanti siang kita makan bareng, ya? Aku pengen ayam bakar madu," ajak Mitha."Sorry, Mit, aku nggak bisa. Ada janji sama klien. Mungkin sampa
Vano menatap kursi di sampingnya. Hampir dua minggu tempat itu kosong. Selama itu pula Mitha selalu menghindarinya. Tidak ada lagi tawa renyah wanita itu, tidak ada lagi obrolan hangat menemani sarapan, atau makan malam mereka.Entah mengapa ada yang hilang di hati lelaki itu. Tanpa pernah disadarinya, Mitha begitu berpengaruh dalam hidupnya. Selama bertahun-tahun hidup bersama, Vano hanya punya satu tujuan, menghancurkan wanita yang telah menghancurkan hatinya. Siapa sangka justru pada akhirnya dia jatuh dalam pesona seorang Prameswari Paramitha. Namun, saat Evelin kembali. Rasa bimbang kembali menggayuti hatinya. Dia tidak tahu apakah masih mencintai wanita dari masa lalunya itu. Cantiknya, tubuhnya, masih seperti dulu, Bersama Evelin, Vano terhanyut. Dua minggu lalu mereka habiskan waktu bersama. Tertawa, bercerita bahkan menghabiskan malam romantis berdua. Namun, Vano tidak pernah mampu menyentuh Evelin, meski gadis itu selalu memancing gairahnya. Bayangan Mitha selalu hadir sei
Mitha baru saja memasukan potongan roti bakar terakhir ke mulutnya, ketika Max berjalan memasuki ruang makan dengan membawa buket bunga mawar berwarna merah."For you ...." ucap Max sambil memberikan buket tersebut kepada Mitha. "Thank's, Max. Ada angin apa pagi-pagi udah nyatronin rumah aku?" tanya Mitha acuh.Max duduk di samping Mitha mengambil beberapa tangkup roti kemudian mengolesnya dengan mentega."Aku kelaparan. Kebetulan lewat di depan rumahmu. Jadi, kuputuskan mampir," jawab Max, lalu memasukkan roti tadi ke mulut.Sudut bibir Mitha berkedut menahan senyum."Oh, jadi kamu mau makan gratis?"Max tersedak, cepat meneguk air putih yang diangsurkan Mitha. "Hei! Aku membelikanmu bunga, Princess!" seru Max, setelah potongan roti tadi lolos ke perutnya. Tawa Mitha meledak. Sebaris gigi putihnya terlihat rapi berjejer. Mata beningnya tinggal segaris dan lesung pipitnya jelas terlihat. Max terpana, memperhatikan setiap inci wajah Mitha. Wanita di depannya ini cantik luar biasa, buk