"Apa yang kau lakukan, Max! Lepaskan aku!" Mitha berseru ketika tiba-tiba merasakan sepasang tangan kokoh memeluk pinggangnya dari belakang.
Max semakin mengeratkan pelukannya. Membenamkan kepala di ceruk leher Mitha. "Sebentar saja, biarkan seperti ini, Princess ...."pintanya lirih."Max ...." erang Mitha saat merasakan pria itu mengendus lehernya. Sesaat kewarasan wanita itu lenyap. Rasa yang terkubur tiga tahun lalu perlahan muncul ke permukaan. Munafik jika dia tidak menyukai sentuhan Max. Meski puluhan purnama berlalu, tetapi tubuhnya masih mengingat rasa itu. Rasa hangat dan menenangkan.Hanya Max yang bisa menenangkan gundahnya. Memberi kekuatan saat dia rapuh, dan mengulurkan tangan ketika dia terpuruk."Kembalilah padaku, Mit. Ayo kita tinggalkan tempat ini. Tinggalkan suamimu yang brengsek itu," bisik Max.Mendengarnya refleks Mitha menyentak tangan Max kasar dan bergerak menjauh. "Keluar, Max!" perintah Mitha ketus.Bukannya menjauh, Max semakin mendekati Mitha yang tersudut di dinding ruang kerjanya. "Tidak! Aku bisa merasakan kau menikmati sentuhanku. Kita punya rasa yang sama, Mit!" tegasnya.Mitha melipat tangannya di dada, "Hah! Kau terlalu percaya diri, Max! Di antara kita tidak pernah ada kisah romantis. Mungkin kita pernah dekat, tapi hanya sebatas sahabat. Jangan berlebihan!" sarkasnya.Ekspresi Mitha terlihat datar. Namun, sebenarnya wanita itu mati-matian menekan perasaannya. Sekuat apapun dia menyangkal, desiran itu masih ada. Max menatap Mitha sendu. Seakan semua kepedihannya bermuara di sana. Pria itu merutuki dirinya sendiri. Seandainya tiga tahun yang lalu berani menolak permintaan Papanya. Memiliki keberanian memperjuangkan Mitha, tentu saja saat ini dia adalah pria yang paling bahagia.Max pikir dengan menyerahkan Mitha ke tangan Vano dan janji Papanya akan membuat wanita yang dicintainya itu bahagia. Lelaki itu mengalah. Menjauh dari hidup Mitha, meski dia tahu perasaan wanita itu padanya. Dia memilih membunuh rasa di hati Mitha, melarikan diri, dan bersembunyi dari luka patah hati. Bertahun lamanya Max menata hati, mencoba menggerus bayang Mitha, tetapi rasa itu semakin kuat.Puncaknya ketika orang kepercayaan Max memberi kabar tentang sepak terjang Vano. Ada amarah yang tak dapat dibendung. Pengorbanan yang sia-sia. Keputusannya justru menjerumuskan Mitha ke dalam penderitaan. Sebab itulah Max memutuskan kembali, merebut cintanya walau harus berperang dengan Vano atau Hermawan."Dengarkan aku sekali saja, Mit. Aku memang pengecut. Seorang pecundang. Aku tidak pernah berani jujur tentang perasaanku, tapi hanya kamu satu-satunya wanita di hatiku. Aku bisa melihat binar itu di matamu sampai sekarang. Aku tau ini terlarang. Aku hanya ingin kamu bahagia, ingin kamu berhenti berpura-pura kuat. Jadilah Mithaku yang dulu. Sekarang akan kulawan siapa saja yang menentang kita, bahkan dunia sekalipun."Max mendekati Mitha yang masih mematung. Mengikis jarak yang membentang antara mereka. Tangan Max menangkup wajah cantik yang basah oleh air mata. Bulir-bulir itu luruh begitu saja. Max mengusap lembut pipi Mitha dengan ibu jarinya."Ikutlah denganku. Tinggalkan neraka ini!" pinta Max menatap Mitha lembut."It's too late, Max!" erang Mitha lirih, pertahanannya mulai rapuh."Nope, tidak ada kata terlambat, Dear!" ujar Max meyakinkan."Tapi Aku istri Vano, kakak ip--""Peduli setan dengan semua itu. Kutunggu keputusanmu lusa atau aku akan memaksamu," potong Max dengan nada mengancam.*Mitha memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Ultimatum Max membuatnya gila. 'Ya, Tuhan! Tak cukup Vano saja yang membuatku gila. Sekarang, Max!' gumam frustasi."Anda tidak apa-apa?" tanya Haris khawatir melihat raut wajah Mitha terlihat kacau.Mitha mendongak. "Yah, sedikit pusing. Terlalu banyak masalah." Hening sesaat. "Haris, temani aku ke klub, sepertinya aku butuh hiburan," pinta Mitha ringan.Haris mengernyitkan dahinya. "Anda ingin minum?" Dia mencoba meyakinkan permintaan Mitha."Sudahlah, ayo!" ajak Mitha bangkit dan berjalan meninggalkan Haris yang masih keheranan.*Hentakan musik keras berdentum menggedor telinga. Semakin malam, semakin bertambah keliaran di dalam sebuah klub malam. Berpuluh-puluh pasang manusia larut dalam kesenangannya masing-masing. Sosok Mitha terlihat di antara ratusan orang tersebut. Dia sibuk mengoceh sedari tadi, wanita itu hampir mabuk. Enam gelas Vodka ludes masuk ke kerongkongannya. Haris tak kuasa menahan keinginan Mitha. Wanita itu benar-benar butuh pelepasan saat ini.Mitha bukan tipe wanita yang suka mabuk. Minuman keras hanya disentuhnya jika ada jamuan makan atau pesta coktail, itu pun hanya wine dan hanya setengah gelas. Namun, malam ini Mitha benar-benar kehilangan kendali atas dirinya. Tak ada Mitha yang arogan, dingin, dan kejam. Di depannya saat ini adalah wanita yang rapuh, sangat rapuh."Haris, kau tau? Aku sudah muak dengan Hermawan bersaudara itu. Mereka pikir aku ini apa?! Bisa di tarik ulur begitu saja. Aku lelah ...."Haris hanya diam. Cukup baginya mendengarkan saja keluhan wanita yang dikaguminya ini. Melihat Mitha tertekan, membuat hatinya sakit. Namun, apa daya dia hanya sebatas bawahan bagi Mitha."Haris, apa kau pernah jatuh cinta?" tiba-tiba pertanyaan meluncur dari bibir Mitha.Haris bergeming, netranya menatap Mitha dengan tatapan lembut. "Pernah," jawabnya"Oh, ya? Siapa wanita beruntung itu? Kapan-kapan perkenalkan padaku, ok!" ucap Mitha. Telunjuk dan ibu jarinya disatukan membentuk huruf 'O' di udara.Haris tertawa memperlihatkan barisan giginya yang rapi dan putih."Kau tampan juga kalau tertawa. Kalau aku single mungkin akan jatuh hati padamu. Kau itu idaman banyak wanita," cerocos Mitha. Sepertinya alkohol mulai merusak akal sehatnya.Haris tertegun. Meski hanya celutukan ketika mabuk, tak urung membuat dadanya mengembang bahagia. Melihat keadaan Mitha yang benar-benar kacau, membuat Haris harus memaksa wanita itu pulang, walau mendapat penolakan darinya.Haris memapah tubuh Mitha menuju mobilnya, tetapi sebuah gerakan dari Mitha membuat tubuh Haris kaku. Wanita itu tiba-tiba memeluk tubuh berototnya erat. Membenamkan kepala di dada bidangnya. Perlahan tangannnya bergerak memeluk tubuh Mitha. Dia tahu wanita itu butuh dukungan, ketenangan, dan Haris rela memberikannya.Tiba-tiba sebuah tarikan merenggut tubuh Mitha dari pelukannya. Wanita itu meronta. Haris terkejut dan geram mendapati pelakunya."Beraninya kau sentuh istriku!" Sebuah bogem mentah mendarat di rahang Haris, mulutnya mengeluarkan percikan darah.Haris tak melawan, hanya saja netranya menajam menantang Vano. "Itu tidak seperti yang Anda duga, Pak!" jelasnya di antara bisingnya suara hentakan musik."Jo, pegang Mitha!" perintah Vano pada pria disebelahnyaVano merangsek mendekat, mencengkeram kerah baju Haris, "Jangan kau pikir mataku buta! Kau tertarik pada Mitha, bukan? Aku bisa melihat dari matamu!" tuding Vano geram. Sebuah pukulan kembali di sarangkan ke perut lelaki itu."Jangan pernah melewati batasanmu atau kau akan menyesal. Kau hanya kacung bagi Mitha," imbuh Vano, lagi.Vano menarik tubuh Mitha dari pegangan Jo. Kemudian memapah wanitanya keluar dari tempat itu. Vano mendudukannya di kursi penumpang menyusul dia yang duduk di sebelah Mitha."Apartement, Jo!" titah Vano begitu pria itu duduk di belakang kemudi.Sepanjang perjalanan yang digumamkan Mitha hanya nama, Max, Max, Max ... membuat hati Vano dipenuhi amarah. 'Apa hubunganmu dengan Max' gumam Vano sambil menatap Mitha yang tertidur. Di rengkuhnya tubuh sang istri, lalu disandarkan ke dadanya. Perlahan amarahnya surut hanya dengan mendekap tubuh wanitanya.*Mitha merasakan sentuhan lembut di permukaan kulitnya. Antara sadar dan tidak dia melihat siluet tubuh Vano berjalan menjauh. Wanita tersebut membuka kelopak matanya perlahan. Netranya menangkap pemandangan asing. Ruangan berwarna biru muda dengan keharuman 'musk' yang menggoda."Kau sudah bangun?"Mitha terkesiap melihat sosok dengan tubuh menjulang memasuki kamar dengan membawa sebuah nampan."Aku, kau ... apa yang terjadi?" tanya Mitha bingung.Vano meletakkan nampan yang berisi dua gelas coklat panas dan beberapa potong brownies di atas side desk di sebelah ranjang.Lelaki itu duduk di tepi ranjang, menahan lengan Mitha ketika wanita itu hendak beringsut menjauh."Apa aku membuatmu alergi?" tanya Vano."A-apa!?" Mitha balik bertanya bingung.Vano mengelus lengan Mitha lembut, membuat tubuh wanita itu meremang."Kau hampir saja mempermalukan dirimu sendiri. Apa kau mau besok ada di headline semua surat kabar, 'seorang komisaris utama, terlibat affair dengan bawahannya' sindir Vano.Mitha mengernyit. "Aku tidak mengerti ...."Vano mendecih. "Kau mabuk berat dan hampir saja bercinta dengan kacungmu itu."Mata Mitha membola,."Haris!? Ya, Tuhan!" Mitha menangkup wajahnya dengan kedua tangannya. Untuk pertama kali dia merasa konyol.Vano menarik tangan Mitha yang menutupi wajahnya. Lelaki itu tersenyum melihat rona merah di wajah istrinya itu. Entah mengapa terlihat menggemaskan. Perlahan di susuri garis wajah Mitha. "Kurasa, aku ... jatuh cinta!" bisik Vano lirih."Apa ....""Let's make a baby!"Mitha masih bergelung malas di dalam selimutnya. Udara dingin masuk dari balkon kamar yang terbuka, membuat wanita itu memilih melanjutkan tidurnya kembali. Dia seakan buta dengan sekitar, hingga tidak menyadari langkah Vano memasuki kamar. Belaian lembut di kepala membuat Mitha menggeliatkan tubuhnya malas. Alih-alih merasa terganggu, dia malah tersenyum semakin larut dalam mimpinya."Jika kau tidak juga bangun, mungkin aku akan bergabung denganmu di dalam selimut itu lagi," bisik Vano di telinganya.Netra Mitha seketika terbuka, menatap Vano dengan raut wajah bingung. "Kau? Apa yang kau lakukan di sini!" pekiknya. Mitha beringsut duduk di kepala ranjang, sambil menarik selimutnya hingga sebatas leher. Tentu saja reaksinya seperti itu. Saat ini dia hanya memakai kamisol dan celana super pendek. Meski mereka cukup intim seminggu terakhir, tetap saja ada kecanggungan terasa.Vano tertawa melihat reaksi istrinya itu, terlihat semakin menggemaskan dan menantang. Dia tidak pernah menyangk
[I miss you][Do you remember me]Puluhan notifikasi sejenis setiap hari masuk ke ponselnya. Akan tetapi, Vano memilih mengabaikan. Lelaki itu lebih fokus kepada pekerjaan dan hubungannya dengan Mitha .Sikap Vano semakin hari semakin posesif terhadap wanita itu. Dia selalu uring-uringan jika ada lelaki yang mendekatinya. Kalau sudah begitu dia akan merajuk hingga berhari-hari. Dia senang jika Mitha susah payah membujuknya. Seperti sebuah kesenangan baginya melihat sang istri kelimpungan, semakin terlihat menggemaskan.[Aku sangat merindukanmu. Bisa kita bertemu di cafe fovorit kita siang ini. Evelin]Netra Vano membola membaca pesan yang baru masuk keponselnya. Nama yang ingin dikuburnya bersama dengan masa lalu, kenapa setelah tiga tahun hadir kembali?Seketika wajah Vano gusar, hatinya digayuti awan hitam. Antara percaya dan tidak. Dia melirik benda yang melingkar di pergelangan tangannya, 'sudah jam makan siang' gumamnya. Vano gundah, siang ini dia sudah berjanji makan siang denga
Denting sendok yang beradu dengan piring menemani sarapan dua orang yang masih membisu sejak tadi malam. Vano terlihat sibuk dengan ponselnya. Lelaki itu sesekali tersenyum, kemudian jemarinya menari mengetik pesan yang ditujukan untuk seseorang. Mitha menggenggam erat kedua sendok di tangannya. Mencoba sekuat mungkin meredam gejolak emosi yang sedari tadi menyelubunginya. Wanita itu tidak buta atau pun bodoh. Tanpa melihat dia tahu siapa yang saat ini sedang berbalas pesan dengan lelakinya. Namun, dia mencoba menahan diri. Harga dirinya masih sangat tinggi jika harus dipertaruhkan dengan meratap atau menangis di hadapan Vano."Mas!" Akhirnya Mitha mengalah memutus kebungkaman yang sedari tadi mengikat mereka.Vano hanya diam, tanpa ada reaksi menoleh atau apapun. "Mas!" ulang Mitha. Vano mengangkat wajahnya, menjawab dengan malas. "Ada apa?""Nanti siang kita makan bareng, ya? Aku pengen ayam bakar madu," ajak Mitha."Sorry, Mit, aku nggak bisa. Ada janji sama klien. Mungkin sampa
Vano menatap kursi di sampingnya. Hampir dua minggu tempat itu kosong. Selama itu pula Mitha selalu menghindarinya. Tidak ada lagi tawa renyah wanita itu, tidak ada lagi obrolan hangat menemani sarapan, atau makan malam mereka.Entah mengapa ada yang hilang di hati lelaki itu. Tanpa pernah disadarinya, Mitha begitu berpengaruh dalam hidupnya. Selama bertahun-tahun hidup bersama, Vano hanya punya satu tujuan, menghancurkan wanita yang telah menghancurkan hatinya. Siapa sangka justru pada akhirnya dia jatuh dalam pesona seorang Prameswari Paramitha. Namun, saat Evelin kembali. Rasa bimbang kembali menggayuti hatinya. Dia tidak tahu apakah masih mencintai wanita dari masa lalunya itu. Cantiknya, tubuhnya, masih seperti dulu, Bersama Evelin, Vano terhanyut. Dua minggu lalu mereka habiskan waktu bersama. Tertawa, bercerita bahkan menghabiskan malam romantis berdua. Namun, Vano tidak pernah mampu menyentuh Evelin, meski gadis itu selalu memancing gairahnya. Bayangan Mitha selalu hadir sei
Mitha baru saja memasukan potongan roti bakar terakhir ke mulutnya, ketika Max berjalan memasuki ruang makan dengan membawa buket bunga mawar berwarna merah."For you ...." ucap Max sambil memberikan buket tersebut kepada Mitha. "Thank's, Max. Ada angin apa pagi-pagi udah nyatronin rumah aku?" tanya Mitha acuh.Max duduk di samping Mitha mengambil beberapa tangkup roti kemudian mengolesnya dengan mentega."Aku kelaparan. Kebetulan lewat di depan rumahmu. Jadi, kuputuskan mampir," jawab Max, lalu memasukkan roti tadi ke mulut.Sudut bibir Mitha berkedut menahan senyum."Oh, jadi kamu mau makan gratis?"Max tersedak, cepat meneguk air putih yang diangsurkan Mitha. "Hei! Aku membelikanmu bunga, Princess!" seru Max, setelah potongan roti tadi lolos ke perutnya. Tawa Mitha meledak. Sebaris gigi putihnya terlihat rapi berjejer. Mata beningnya tinggal segaris dan lesung pipitnya jelas terlihat. Max terpana, memperhatikan setiap inci wajah Mitha. Wanita di depannya ini cantik luar biasa, buk
Vano merasakan belaian lembut menyentuh wajahnya. Sedikit melenguh ketika belaian itu mengenai sudut bibirnya. Perlahan dia membuka kelopak mata. Sekilas menangkap siluet wajah Mitha. Dia tersenyum mengira dirinya sedang bermimpi.'Bahkan dalam mimpi pun kau hadir. Jangan bangunkan aku,' pinta Vano lirih. Laki-laki itu merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Dia sedikit berjengit akibat sensasi ngilu yang ditimbulkan."Jika kau tidak berhenti bergerak, aku akan mengikat kedua tanganmu," Vano tersentak, suara itu begitu nyata. "Mitha?" serunya seraya menegakkan tubuh."Ssst! Tak bisakah kau berhenti bergerak!" ucap Mitha gemas.Vano bergeming, dibiarkan jemari lentik wanita itu mengompres wajahnya yang lebam. Dia menatap intens wajah istrinya itu. Terlihat gurat lelah di sana, lingkar matanya pun menghitam. Dia paham Mitha tidak tidur dengan nyenyak.Vano tidak mengira Mitha memperhatikan wajahnya karena setelah dia membawa Evelin, wanita itu terlihat acuh padanya. Perlahan
Hermawan menatap Mitha dengan sorot mata meneduh. Menantunya itu terlihat sangat tertekan, tetapi dia mampu menutupinya dengan sangat baik. Salah satu kelebihan Mitha. sebesar apa pun masalah atau tekanan yang diterimanya, dia akan selalu berusaha menyelesaikan sendiri tanpa melibatkan orang lain. Itulah sebabnya dia menjadikan Mitha sebagai menantu serta mempercayakan setengah asset dari keluarga Hermawan untuknya, juga memberikan 35% saham Hermawan Company, menjadikan posisi wanita itu sama kuat dengannya sebagai pemilik. "Aku mendengar semuanya dari Max. Apa yang terjadi, Nak? Kenapa membiarkan pengganggu masuk ke rumahmu?" tanya Hermawan lembut."Aku juga tidak tahu, Pa. Perempuan itu bilang dia dan Vano punya anak. Sebagai bukti tanggung jawab dia meminta suamiku untuk menikahinya" jawab Mitha lugas.Hermawan menghela napas. "Si bodoh itu, selalu saja membuat masalah, lalu apa Vano menyetujuinya," tanya Hermawan lagi.Mitha mengangguk. Sesaat netranya menerawang memikirkan lelak
"Aku hamil!" kata Evelin, suaranya terdengar parau."Lalu?!" Laki-laki itu bertanya dengan nada dingin, tanpa mengalihkan mata dari lembaran kertas di depannya. Evelin mendekat dengan langkah cepat. "Ini anakmu!" Dia menaikkan nada suaranya. Lelaki itu mendengkus. "Kau pikir, aku percaya? Aku tidak bodoh, kau tidak hanya tidur denganku, dengannya juga, 'kan?!" Evelin terkesiap, wajahnya memerah karena malu. Seperti seorang pencuri yang tertangkap basah."Ini anakmu! Dia selalu menggunakan pengaman. Aku berani bersumpah demi apa pun," lirih Evelin dengan wajah memelas."Menjijikkan! Aku tidak butuh sumpahmu." Lelaki itu mulai murka."Baiklah, jika kau tidak mau bertanggung jawab akan kuceritakan semuanya kepada mereka! Atau kuminta saja dia menikahiku. Aku yakin dia tidak menolak!" ancam Evelin.Lelaki itu mendekat, mencengkeram leher wanita itu dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya yang bebas menunjuk wajah Evelin yang pucat."Jangan coba-coba! Atau aku akan menghancurka
"Princess, I am sorry. Aku ...""Don't ..." Mitha menepis tangan Max yang mencoba meraih lengannya. Dia surut ke belakang, menghadap ke jendela apartemen yang mengarah langsung ke pantai. Dia memeluk tubuhnya sendiri, seolah melindungi dirinya dari sesuatu yang hendak membuatnya terluka. Tapi dia tidak tahu siapa dan kenapa."Kapan dia bangun?" tanya Mitha setelah cukup lama mereka diam."Lima hari yang lalu," jawab Max. Dia ikut berdiri di samping Mitha, menatap ke luar jendela."Haris menceritakan semuanya. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di rumah sakit setelah mobilku tanpa sengaja menabrakmu. Jadi aku mengutus orang-orangku untuk menjaga Vano dan Bima."Mitha menoleh, menatap Max lekat."Kenapa Vano bisa kabur dari rumah sakit. Logikanya, untuk seorang yang baru bangun dari koma tidak mungkin dia bisa pergi begitu saja tanpa ada yang membantu,"Max menunduk, melipat bibirnya ke dalam, kedua tangannya terkepal kuat di dalam saku celana. Hal itu tak luput dari pengamatan Mitha, ins
Mitha membuka mata dan mendapati kelam membungkus dirinya. Perlahan bangkit mencoba meraba dalam gelap. Tertatih langkahnya menapaki lantai yang terasa dingin. Dia tak tahu arah, kakinya tak memiliki tujuan.Dia terjatuh, tak lama tersenyum ketika melihat titik terang di ujung lorong. Dia bangkit, terus berlari meski tak tahu lari dari apa. Dia hanya takut pada gelap yang terus mendekatinya dari belakang.Mitha terengah, napasnya memburu karna pasokan oksigen yang semakin menipis. Namun, rasa takut membuat kaki bergerak lebih cepat. Dia berhasil menggapai gagang pintu. Mendorong papan kayu itu perlahan. Air matanya menetes begitu saja. Di balik pintu dia melihat dua orang tercintanya berdiri bergandengan tangan. Vano dan Bima, mereka tersenyum, wajah kedua begitu cerah. Tak pernah dia merasa selega itu, mengayunkan kaki hendak mendekati keduanya. Tapi, sepasang tangan besar menahannya. Dia menoleh dan mendapati sosok yang menghilang delapan tahun kini memdekapnya"Jangan pergi. Stay w
Mendung menggayuti langit Ibukota, meski matahari begitu pongah memancarkan sinarnya, tak mampu menembus mega-mega kelabu yang menaungi areal pemakaman keluarga Hermawan yang berada di tanah pribadi. Isak tangis terdengar ketika jenazah diturunkan ke liang lahat. Jeritan Evelin terasa menusuk perih gendang telinga dan memilukan hati yang mendengar. Beberapa orang terlihat sigap menahan tubuh janda dari Hermawan itu. Terus meronta dan menangis membuat tubuhnya perlahan melemah, lalu terduduk tak berdaya.Mitha mematung melihat adegan itu dari balik kacamata hitamnya. Kemarin malam, setelah mendapat kabar jika laki-laki pilar utama klan Hermawan itu meninggal karna kecelakan, dia segera memacu mobilnya menuju rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari tempat Vano dirawat. Malam itu juga jenazah almarhum langsung dibawa ke Jakarta. Mitha tak mengerti mengapa masalah datang beruntun setelah kecelakaan yang menimpa Vano. Apalagi siangnya beliau masih terlihat bugar dan cerah. Tapi, siapa ya
Mesin EKG seperti musik pengantar tidur untuk sosok yang kini terbaring beku di atas brankar rumah sakit. Berbagai alat medis terpasang di tubuhnya, wajahnya pun ditutupi masker untuk menyalurkan oksigen ke dalam paru-parunya. Mobil yang dikemudikan Vano menabrak pembatas jalan tol, berguling beberapa kali hingga tercebur ke dalam sungai yang arusnya sangat deras. Dia dinyatakan koma karena luka parah di kepala.Kenyataan itu membuat Mitha didera rasa bersalah. Andai malam itu dia mendengarkan penjelasan Vano dan tidak larut dalam kemarahannya, tentu semua baik-baik saja. Andai dia lebih sabar dan percaya pada hati kecilnya, tentu saat ini suaminya itu masih sehat dan bugar.Dua minggu yang lalu setelah dia meninggalkan laki-laki itu dengan amarah yang masih menguasai dada, Mitha mendengar ponsel Vano berdering, entah dengan siapa laki-laki itu bicara, dia tak peduli dan tak ingin tahu. Tidak lama terdengar suara mobilnya menjauh. Sesal segera mendekap tubuhnya, sebesar apa pun kemara
Julian terkejut melihat Hans sudah berdiri di depan pintu apartemen pagi-pagi sekali. Pemuda itu terlihat memakai long coat berwarna merah hati. "Wow! Kau on time sekali!" serunya, menggeser tubuhnya memberi akses untuk Hans masuk. Pemuda itu tersenyum. "Saya sangat bersemangat," ujarnya, "lagipula Tuan Max terlihat pemarah. Saya tidak ingin mengecewakan pelanggan," tambahnya. Julian tertawa mendengar penilaian pemuda itu tentang Max. Dia mengenal laki-laki itu--Julian menjadi orang kepercayaannya selama sepuluh tahun--seperti dia mengenal dirinya sendiri. Mereka melebihi saudara, bahkan dia saksi kehancuran Max ketika wanita yang dicintainya dikatakan memiliki hubungan darah dengannya. Sebuah fakta yang belakangan diketahui adalah sebuah kebohongan keji yang disengaja dibuat seseorang. Sebenarnya Max bukan laki-laki pemarah dan dingin. Dia sangat baik dan mudah sekali tersenyum. Hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh. Tapi, kebohongan keji itu telah merubahnya menjadi laki-laki
Dua tahun kemudian .... USA, New York Max merapatkan mantelnya. Menyeberangi 7th Avenue yang padat. Selama dua tahun tinggal di New York, ini pertama kalinya dia ke bagian lain Manhattan. Hidupnya hanya seputar bekerja dan apartemen. Sebagai kota Metropolitan, New York memiliki kepadatan yang luar biasa. Selain menjadi pusat fashion, kota ini juga merupakan pusat perdagangan, keuangan, seni, dan budaya. Penduduknya pun beragam dan datang dari berbagai bangsa dunia. Jika di Indonesia, New York tak ubahnya Jakarta. Hanya saja tak ada istana negara di kota ini karena pusat pemerintahan ada di Washington D.C. Kaki Max membawanya ke arah Bryant Park. Area terbuka publik yang berada di antara 5th dan 6th Avenue. Max disambut oleh air mancur yang meliuk indah. Di tengah-tengah gedung-gedung pencakar langit, area terbuka itu terlihat sangat menyejukkan. Tidak heran banyak orang menghabiskan waktu di sana, meski hanya untuk sekadar mengobrol atau membaca buku. Max mengedarkan pandangan ke
"Bagaimana keadaannya?" Mitha menatap Elena yang duduk di bawah pohon jambu yang ada di taman belakang rumah sakit jiwa di Jakarta.Hampir setiap pekan dia mengunjungi Elena di sana. Sebelum itu dia dan Vano menyempatkan diri mampir ke rumah Priambudi. Ayah kandung Mitha itu memilih tinggal bersama Haris. Dia ingin menebus keselahan karena telah mengabaikan Elena dulu."Sudah lebih baik," jawab Haris mengikuti arah pandangan Mitha.Elena dinyatakan bersalah atas rencana pembunuhan terhadap Vano, teror kepada Mitha, pemalsuan dokumen, dan yang paling memberatkan, dia otak pembunuhan terhadap Hermawan dan Evelin. Tapi polisi tidak bisa menuntutnya karena hasil pemeriksaan psikolog kepolisian, Elena positif mengidap kelainan jiwa. Dengan kata lain, dia melakukan semua kejahatan diluar kendalinya. Hakim memerintahkan wanita itu dirawat di rumah sakit jiwa dengan pengawasan ketat."Mit, aku minta maaf atas nama Elena," ucap Haris pelan. Haris tidak mengira Elena tega membunuh ayah kandun
Max bersedekap menatap kesal ke arah makhluk cantik di depannya. Bagaimana tidak, awalnya Ivanka setuju menghabiskan waktu sepanjang weekend menikmati segarnya udara di perkebun teh miliknya. Max sudah mengerahkan tenaga dan waktu dua bulan penuh hanya untuk membujuk Ivanka.Namun, di tengah perjalanan gadis itu meminta Max mengarahkan mobil ke kantor polisi terlebih dahulu, setelah mendapat laporan dari anak buahnya jika buronan pengedar narkotika jaringan internasional tertangkap di bandara Soekarno-Hatta. Max tidak bisa membantah karena dia berjanji hanya sebentar.Sepertinya Ivanka terlalu gembira berhasil mendapatkan buruannya hingga mengabaikan keberadaannya. Sejak siang hingga sore menjelang, dia asyik di dalam ruang interogasi. Max berusaha bersabar, meski dadanya menggelegak. Kesal dan marah memenuhi rongga dadanya melihat Ivanka keluar dari ruangan yang tertutup kaca hitam dengan wajah cerah. Bukannya menghampirinya, gadis itu malah menyapa dan asyik berbincang dengan rekan
"Maafkan Ayah, Nak. Harusnya saat itu Ayah mendatangi Hermawan, tapi Ayah begitu takut. Mana mungkin polisi percaya pada cerita Ayah, sementara tidak punya apa-apa lagi."Priambudi menatap Mitha dengan sorot penyesalan. Mata tua itu juga berpendar penuh kerinduan. Untuk pertama kalinya dia bisa melihat putri yang dirindukan selama tiga puluh tiga tahun. Selama ini, dia hanya bisa melihat Mitha dari kejauhan. Hanya mampu menahan amarah jika ada yang menyakiti putrinya. Dia tidak mampu melindungi keluarganya. Hal itu yang membuat dirinya frustrasi. Mabuk dan mengabaikan keluarganya yang lain, yang dibentuk di atas kebohongan. Dia merasa gagal sebagai seorang laki-laki dan sebagai suami."Harusnya Ayah menemuiku. Mengungkap jati diri Ayah. Bukan terus bersembunyi," lirih Mitha membuat Priambudi terdiam."Ayah ingin, tapi Elena ...""Dia mengancam Ayah?" tanya Mitha serak.Priambudi mengangguk. "Ayah hanya bisa melihatmu dari jauh. Elena bilang, dia akan membunuhmu jika sampai Ayah terl