Evelin meringkuk di sudut ranjang. Sepasang tangannya memeluk kedua kaki yang ditekuk ke dada. Seluruh tubuhnya penuh lebam, matanya sembab, dan di sudut bibirnya terlihat darah yang mengering.Pintu kamar kamar terbuka perlahan, seorang laki-laki masuk sambil mengancingkan kemeja putihnya. "Kau sudah bangun?" tanya laki-laki itu, melihat Evelin yang menatapnya nanar dengan tubuh gemetar. "K-kenapa Bapak tega! Apa salah saya?" tanyanya sambil terisak. "Salahmu adalah terlalu cantik dan matrealistis!" jawab laki-laki itu santai."Maksud, Bapak ...?" Dia mendekati Evelin. "Kau sangat cantik. Aku suka wanita cantik! Apalagi kalau dia suka uang, mudah bagiku mendapatkannya." Lelaki itu tersenyum miring.Evelin menciut, air matanya mengalir deras. Dia sama sekali tidak menyangka sosok yang sangat dikagumi dan dihormati ternyata iblis berwajah malaikat.Evelin meremas selimut yang menutupi tubuh polosnya. Rasa sakit menjalari seluruh tubuh, tetapi hatinya jauh lebih sakit. Harga dirinya
"Tidak pernah ada affair, Nak! Hubungan kami ada karena saling membutuhkan. Aku butuh pelepasan dan Evelin yang begitu mencintai kemewahan." Hermawan menjeda. "Keserakahan membuat dia menjebakmu dalam hubungan romantis. Saat dia mengaku hamil aku menyingkirkannya karna tak ingin reputasiku buruk. Tapi, aku bertanggung jawab dengan hidupnya," terangnya. Vano terduduk lunglai di kursinya. Sekelebat potongan masa lalu muncul satu per satu di benaknya. "Apa kau pernah mencintaiku, Evelin?" tanya Vano lirih, netranya menatap wanita itu sendu.Evelin membuang wajahnya ke arah jendela. Matanya menatap daun akasia yang bergoyang ditiup angin sepoi. Vano menggelengkan kepalanya dan tersenyum samar, menertawakan kebodohannya selama bertahun-tahun. Kebungkaman Evelin menjawab tanyanya, hanya kecewa menusuk kalbunya tak ada rasa perih di dada karena sudah lama hatinya dimiliki seseorang. Seseorang yang kini untuk memandangnya saja sudah tak sudi."Karna kalian sudah mengetahuinya jadi tidak a
Mitha meletakkan dua jenis benda di atas meja, menggesernya ke depan Sam."Aku berharap kecurigaanku salah, tapi instingku kuat tentang ini. Selama ini aku bertahan karna mengikuti kata hati."Sam meraih benda pertama, berisi beberapa helai rambut. Tertulis empat nama di sana, Hermawan, Mitha, Max, dan Haris, kemudian benda kedua terlihat seperti kalung dengan kain hitam di tengahnya, terukir dengan benang emas nama 'Prameswari Paramitha'. Sam membuka kain tersebut. Terdapat benda pipih keperakan yang di dalamnya foto sepasang pria dan wanita serta seorang anak lelaki sedang tersenyum. "Aku ingin kau mencocokkan semua sampel juga selidiki orang yang ada di foto itu!" pinta Mitha. "Aku butuh 10 hari," ujar Sam, tangannya memasukkan semua benda tadi ke dalam saku jasnya."Tidak bisakah lebih cepat?" Mitha mencoba bernegosiasi. Mengingat dia hanya punya waktu 12 hari lagi dari perjanjiannya dengan Evelin. "Aku tidak bisa gegabah! Apalagi ini menyangkut masa depan seseorang." Sam menja
Setahun yang lalu ...Haris gugup luar biasa. Dari tangannya sibuk mengusap dahi yang berkeringat. Bukan karena udara panas, melainkan hari ini dia akan melihat Presiden Komisaris Hermawan Group. Lelaki yang bisa disebut legenda dalam dunia bisnis. Lelaki itu dikabarkan mampu membangun jaringan bisnis, hingga ke luar negeri. Beberapa perusahaan multi internasional menjadi rekanannya. Lelaki dingin yang memiliki banyak ide cemerlang di otaknya. Dua tahun lebih, Haris bekerja pada Mitha. Wanita yang menyelamatkan hidup adik kesayangannya. Dia memiliki hati selembut kapas sekaligus sekuat karang. Dia hangat, tetapi bisa berubah sedingin antartika bila tersakiti. Dari awal Haris telah mengikrarkan janji untuk Mitha, menyerahkan hidup dan mati untuk wanita yang telah mencuri hatinya. Pesona seorang Prameswari Paramitha tak mampu ditolaknya. Wanita yang tidak hanya cantik paras, tetapi juga pribadinya, wanita yang ditolak suaminya sendiri. Haris cukup tahu diri menyimpan rapat perasaannya
Enam tahun kemudian ....'Aduh!' Lelaki berkaos putih dengan jeans berwarna hitam gegas mendekati seorang bocah lelaki yang terjatuh dari papan skateboard-nya."Kamu nggak apa-apa?" tanyanya. Netra lelaki itu menatap bocah berhidung bangir dengan mata bulat jernih. Sungguh menggemaskan. "Iya, nggak apa-apa kok, Om." Bocah itu tersenyum dengan lesung pipit tercetak jelas di pipinya. Vano terpana. Senyum itu mengingatkan pada seseorang yang dulu pernah amat sangat dicintainya. Sayang sekali lelaki itu terlambat menyadari dan dia terlalu takut menemuinya setelah begitu banyak luka yang diberi. Dia merasa tak pantas.Enam tahun berlalu. Selama ini dia menyepi ke kota Bandung. Perlahan menata hidupnya kembali. Mengobati patah hati karena kehilangan cinta. Dia membuka gerai ice cream. Pelan, tetapi pasti usahanya berkembang menjadi lima gerai yang tersebar di seluruh penjuru kota Bandung.Bukan tak ada wanita yang mendekatinya, tetapi hati lelaki itu sudah terpaut pada Mitha hingga wanita
Dua tahun kemudian ....USA, New YorkMax merapatkan mantelnya. Dengan langkah lebar dia menyeberangi 7th Avenue yang padat. Selama dua tahun tinggal di New York, ini pertama kalinya dia mengunjungi bagian lain Manhattan. Selama ini hidupnya hanya berkutat seputar bekerja dan apartemen. Sebagai kota Metropolitan, New York memiliki kepadatan yang luar biasa. Selain menjadi salah satu pusat fashion dunia, kota ini juga merupakan pusat perdagangan, keuangan, seni, dan budaya. Penduduknya pun beragam dan datang dari berbagai bangsa dunia. Jika di Indonesia, New York tak ubahnya Jakarta, hanya saja tak ada istana negara di kota ini karena pusat pemerintahan ada di Washington D.C. Langkah Max membawanya ke arah Bryant Park. Area terbuka publik yang berada di antara 5th dan 6th Avenue. Kedatangan Max disambut oleh air mancur yang berjatuhan indah ke dalam kolam yang berbentuk lingkaran. Bila malam, air mancur itu akan berwarna-warni. Berada di tengah-tengah gedung-gedung pencakar langit,
Julian terkejut melihat Hans sudah berdiri di depan pintu apartemen pagi-pagi sekali. Pemuda itu terlihat memakai long coat berwarna merah hati."Wow! Kau on time sekali!" serunya, menggeser tubuhnya memberi akses untuk Hans masuk.Pemuda itu tersenyum. "Saya sangat bersemangat," ujarnya, "lagipula Tuan Max terlihat pemarah. Saya tidak ingin mengecewakan pelanggan," tambahnya.Julian tertawa mendengar penilaian pemuda itu tentang Max. Dia mengenal laki-laki itu--Julian menjadi orang kepercayaannya selama sepuluh tahun--seperti dia mengenal dirinya sendiri. Mereka melebihi saudara, bahkan dia saksi kehancuran Max ketika wanita yang dicintainya dikatakan memiliki hubungan darah dengannya. Sebuah fakta yang belakangan diketahui adalah sebuah kebohongan keji yang disengaja dibuat seseorang. Sebenarnya Max bukan laki-laki pemarah dan dingin. Dia sangat baik dan mudah sekali tersenyum. Hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh. Tapi, kebohongan keji itu telah merubahnya menjadi laki-laki di
Mentari terbit di langit Wina, merefleksikan cahaya terang bersemu merah jambu di guguran daun yang menutup jalan raya. Angin musim gugur berembus kencang walau tak sedingin angin musim dingin. Tangkai dan dedaunan kering berguguran bebas ke jalan raya, menumpuk hingga menciptakan warna simetris di jalanan.Tiga orang lelaki terlihat berjalan beriringan ke sebelah barat, melewati katedral dan bangunan Saint Peter. Toko aksesoris berjajar rapi di sekitar komplek itu, menawarkan aksesoris unik--dari hiasan dinding, kap lampu, manik-manik sampai ukiran 3D dengan bentuk dan goresan yang menawan. Kebanyakan toko di komplek tersebut diberi penerangan lampu dengan beberapa tempat duduk yang disediakan untuk pengunjung. Banyak turis asing yang memilih beristirahat sambil melihat-lihat aksesoris itu.Istana Hofburg mulai terlihat di depan mata. Mata Max nyalang memperhatikan sekitar, matanya tajam seperti elang yang sedang mengintai mangsanya. Pun Julian, meski terlihat santai, dia tak kalah w