Mitha meletakkan dua jenis benda di atas meja, menggesernya ke depan Sam."Aku berharap kecurigaanku salah, tapi instingku kuat tentang ini. Selama ini aku bertahan karna mengikuti kata hati."Sam meraih benda pertama, berisi beberapa helai rambut. Tertulis empat nama di sana, Hermawan, Mitha, Max, dan Haris, kemudian benda kedua terlihat seperti kalung dengan kain hitam di tengahnya, terukir dengan benang emas nama 'Prameswari Paramitha'. Sam membuka kain tersebut. Terdapat benda pipih keperakan yang di dalamnya foto sepasang pria dan wanita serta seorang anak lelaki sedang tersenyum. "Aku ingin kau mencocokkan semua sampel juga selidiki orang yang ada di foto itu!" pinta Mitha. "Aku butuh 10 hari," ujar Sam, tangannya memasukkan semua benda tadi ke dalam saku jasnya."Tidak bisakah lebih cepat?" Mitha mencoba bernegosiasi. Mengingat dia hanya punya waktu 12 hari lagi dari perjanjiannya dengan Evelin. "Aku tidak bisa gegabah! Apalagi ini menyangkut masa depan seseorang." Sam menja
Setahun yang lalu ...Haris gugup luar biasa. Dari tangannya sibuk mengusap dahi yang berkeringat. Bukan karena udara panas, melainkan hari ini dia akan melihat Presiden Komisaris Hermawan Group. Lelaki yang bisa disebut legenda dalam dunia bisnis. Lelaki itu dikabarkan mampu membangun jaringan bisnis, hingga ke luar negeri. Beberapa perusahaan multi internasional menjadi rekanannya. Lelaki dingin yang memiliki banyak ide cemerlang di otaknya. Dua tahun lebih, Haris bekerja pada Mitha. Wanita yang menyelamatkan hidup adik kesayangannya. Dia memiliki hati selembut kapas sekaligus sekuat karang. Dia hangat, tetapi bisa berubah sedingin antartika bila tersakiti. Dari awal Haris telah mengikrarkan janji untuk Mitha, menyerahkan hidup dan mati untuk wanita yang telah mencuri hatinya. Pesona seorang Prameswari Paramitha tak mampu ditolaknya. Wanita yang tidak hanya cantik paras, tetapi juga pribadinya, wanita yang ditolak suaminya sendiri. Haris cukup tahu diri menyimpan rapat perasaannya
Enam tahun kemudian ....'Aduh!' Lelaki berkaos putih dengan jeans berwarna hitam gegas mendekati seorang bocah lelaki yang terjatuh dari papan skateboard-nya."Kamu nggak apa-apa?" tanyanya. Netra lelaki itu menatap bocah berhidung bangir dengan mata bulat jernih. Sungguh menggemaskan. "Iya, nggak apa-apa kok, Om." Bocah itu tersenyum dengan lesung pipit tercetak jelas di pipinya. Vano terpana. Senyum itu mengingatkan pada seseorang yang dulu pernah amat sangat dicintainya. Sayang sekali lelaki itu terlambat menyadari dan dia terlalu takut menemuinya setelah begitu banyak luka yang diberi. Dia merasa tak pantas.Enam tahun berlalu. Selama ini dia menyepi ke kota Bandung. Perlahan menata hidupnya kembali. Mengobati patah hati karena kehilangan cinta. Dia membuka gerai ice cream. Pelan, tetapi pasti usahanya berkembang menjadi lima gerai yang tersebar di seluruh penjuru kota Bandung.Bukan tak ada wanita yang mendekatinya, tetapi hati lelaki itu sudah terpaut pada Mitha hingga wanita
Dua tahun kemudian ....USA, New YorkMax merapatkan mantelnya. Dengan langkah lebar dia menyeberangi 7th Avenue yang padat. Selama dua tahun tinggal di New York, ini pertama kalinya dia mengunjungi bagian lain Manhattan. Selama ini hidupnya hanya berkutat seputar bekerja dan apartemen. Sebagai kota Metropolitan, New York memiliki kepadatan yang luar biasa. Selain menjadi salah satu pusat fashion dunia, kota ini juga merupakan pusat perdagangan, keuangan, seni, dan budaya. Penduduknya pun beragam dan datang dari berbagai bangsa dunia. Jika di Indonesia, New York tak ubahnya Jakarta, hanya saja tak ada istana negara di kota ini karena pusat pemerintahan ada di Washington D.C. Langkah Max membawanya ke arah Bryant Park. Area terbuka publik yang berada di antara 5th dan 6th Avenue. Kedatangan Max disambut oleh air mancur yang berjatuhan indah ke dalam kolam yang berbentuk lingkaran. Bila malam, air mancur itu akan berwarna-warni. Berada di tengah-tengah gedung-gedung pencakar langit,
Julian terkejut melihat Hans sudah berdiri di depan pintu apartemen pagi-pagi sekali. Pemuda itu terlihat memakai long coat berwarna merah hati."Wow! Kau on time sekali!" serunya, menggeser tubuhnya memberi akses untuk Hans masuk.Pemuda itu tersenyum. "Saya sangat bersemangat," ujarnya, "lagipula Tuan Max terlihat pemarah. Saya tidak ingin mengecewakan pelanggan," tambahnya.Julian tertawa mendengar penilaian pemuda itu tentang Max. Dia mengenal laki-laki itu--Julian menjadi orang kepercayaannya selama sepuluh tahun--seperti dia mengenal dirinya sendiri. Mereka melebihi saudara, bahkan dia saksi kehancuran Max ketika wanita yang dicintainya dikatakan memiliki hubungan darah dengannya. Sebuah fakta yang belakangan diketahui adalah sebuah kebohongan keji yang disengaja dibuat seseorang. Sebenarnya Max bukan laki-laki pemarah dan dingin. Dia sangat baik dan mudah sekali tersenyum. Hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh. Tapi, kebohongan keji itu telah merubahnya menjadi laki-laki di
Mentari terbit di langit Wina, merefleksikan cahaya terang bersemu merah jambu di guguran daun yang menutup jalan raya. Angin musim gugur berembus kencang walau tak sedingin angin musim dingin. Tangkai dan dedaunan kering berguguran bebas ke jalan raya, menumpuk hingga menciptakan warna simetris di jalanan.Tiga orang lelaki terlihat berjalan beriringan ke sebelah barat, melewati katedral dan bangunan Saint Peter. Toko aksesoris berjajar rapi di sekitar komplek itu, menawarkan aksesoris unik--dari hiasan dinding, kap lampu, manik-manik sampai ukiran 3D dengan bentuk dan goresan yang menawan. Kebanyakan toko di komplek tersebut diberi penerangan lampu dengan beberapa tempat duduk yang disediakan untuk pengunjung. Banyak turis asing yang memilih beristirahat sambil melihat-lihat aksesoris itu.Istana Hofburg mulai terlihat di depan mata. Mata Max nyalang memperhatikan sekitar, matanya tajam seperti elang yang sedang mengintai mangsanya. Pun Julian, meski terlihat santai, dia tak kalah w
Indonesia, Bandung.Rumah minimalis bercat putih itu terlihat sangat asri. Pagar setinggi orang dewasa dan bercat hitam menjadi pilar pertama pelindung rumah itu. Sepasang tiang berbentuk bulat setinggi tiga meter berada di depan menupang atap canopy yang berbentuk setengah lingkaran. Di badan tiang itu dipasang lampu yang memancarkan cahaya kuning berbentuk bulat. Di bawahnya terlihat pintu kembar bercat cokelat tua yang tertutup rapat. Pencahayaan yang kurang di teras rumah itu tidak mengurangi tampilannya yang terlihat berkelas. Empat lampu taman yang ujungnya dipasang bola lampu berbentuk bulat dan memancarkan cahaya putih, berdiri sejajar menerangi pekarangan yang ditanami banyak bunga hias. Hamparan rumput hijau terawat di bawahnya memperlihatkan kesan jika sang Empu rumah sangat telaten.Dari dalam rumah sesekali terdengar tawa renyah seorang wanita, di timpali suara bocah lelaki yang terdengar riang. Di sana keluarga kecil Mitha dan Vano tinggal. Dua tahun yang lalu, Zivano He
Pesta ulang tahun Keysa sangat meriah. Taman belakang rumah Haris dan Elena disulap menjadi istana dadakan. Sebuah tenda besar berwarna biru terpasang di sana. Setiap tiangnya dililit kain putih dan ditempel balon warna-warni. Di bagian atas tenda itu digantungkan lampu kristal dan untaian kain lembut yang dijalin menyerupai balon raksasa. Di bawahnya, kursi-kursi ditata rapi, enam secara berjajar dan sisanya disusun berbaris ke belakang. Di bagian depan yang dibuat seperti panggung kecil, diletakkan kue tart berhias karakter dua orang putri di film Frozen. Latar belakang panggung pun adalah Princess Anna dan Princess Elsa, tak lupa karakter cristhof dan Olaf. Bola-bola karet aneka warna dibiarkan terserak di lantai yang ditutupi karpet berwarna biru laut. Di kiri- kanan di letakkan meja sepanjang tiga meter yang menyajikan aneka makanan, cemilan dan juga minuman yang menggugah selera. Benar-benar pesta ulang tahun yang sangat mewah untuk ukuran balita.Kedatangan Mitha dan keluarga d