Pesta ulang tahun Keysa sangat meriah. Taman belakang rumah Haris dan Elena disulap menjadi istana dadakan. Sebuah tenda besar berwarna biru terpasang di sana. Setiap tiangnya dililit kain putih dan ditempel balon warna-warni. Di bagian atas tenda itu digantungkan lampu kristal dan untaian kain lembut yang dijalin menyerupai balon raksasa. Di bawahnya, kursi-kursi ditata rapi, enam secara berjajar dan sisanya disusun berbaris ke belakang. Di bagian depan yang dibuat seperti panggung kecil, diletakkan kue tart berhias karakter dua orang putri di film Frozen. Latar belakang panggung pun adalah Princess Anna dan Princess Elsa, tak lupa karakter cristhof dan Olaf. Bola-bola karet aneka warna dibiarkan terserak di lantai yang ditutupi karpet berwarna biru laut. Di kiri- kanan di letakkan meja sepanjang tiga meter yang menyajikan aneka makanan, cemilan dan juga minuman yang menggugah selera. Benar-benar pesta ulang tahun yang sangat mewah untuk ukuran balita.Kedatangan Mitha dan keluarga d
Mesin EKG seperti musik pengantar tidur untuk sosok yang kini terbaring beku di atas brankar rumah sakit. Berbagai alat medis terpasang di tubuhnya, wajahnya pun ditutupi masker untuk menyalurkan oksigen ke dalam paru-parunya. Mobil yang dikemudikan Vano menabrak pembatas jalan tol, berguling beberapa kali hingga tercebur ke dalam sungai yang arusnya sangat deras. Dia dinyatakan koma karena luka parah di kepala.Kenyataan itu membuat Mitha didera rasa bersalah. Andai malam itu dia mendengarkan penjelasan Vano dan tidak larut dalam kemarahannya, tentu semua baik-baik saja. Andai dia lebih sabar dan percaya pada hati kecilnya, tentu saat ini suaminya itu masih sehat dan bugar. Dua minggu yang lalu setelah dia meninggalkan laki-laki itu dengan amarah yang masih menguasai dada, Mitha mendengar ponsel Vano berdering, entah dengan siapa laki-laki itu bicara, dia tak peduli dan tak ingin tahu. Tidak lama terdengar suara mobilnya menjauh. Sesal segera mendekap tubuhnya, sebesar apa pun kemar
Mendung menggayuti langit Ibukota, meski matahari begitu pongah memancarkan sinarnya, tak mampu menembus mega-mega kelabu yang menaungi areal pemakaman keluarga Hermawan yang berada di tanah pribadi. Isak tangis terdengar ketika jenazah diturunkan ke liang lahat. Jeritan Evelin terasa menusuk perih gendang telinga dan memilukan hati yang mendengar. Beberapa orang terlihat sigap menahan tubuh janda dari Hermawan itu. Terus meronta dan menangis membuat tubuhnya perlahan melemah, lalu terduduk tak berdaya.Mitha mematung melihat adegan itu dari balik kacamata hitamnya. Kemarin malam, setelah mendapat kabar jika laki-laki pilar utama klan Hermawan itu meninggal karna kecelakan, dia segera memacu mobilnya menuju rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari tempat Vano dirawat. Malam itu juga jenazah almarhum langsung dibawa ke Jakarta. Mitha tak mengerti mengapa masalah datang beruntun setelah kecelakaan yang menimpa Vano. Apalagi siangnya beliau masih terlihat bugar dan cerah. Tapi, siapa ya
Mitha membuka mata dan mendapati kelam membungkus dirinya. Perlahan bangkit mencoba meraba dalam gelap. Tertatih langkahnya menapaki lantai yang terasa dingin. Dia tak tahu arah, kakinya tak memiliki tujuan. Dia terjatuh, tak lama tersenyum ketika melihat titik terang di ujung lorong. Dia bangkit, terus berlari meski tak tahu lari dari apa. Dia hanya takut pada gelap yang terus mendekatinya dari belakang.Mitha terengah, napasnya memburu karna pasokan oksigen yang semakin menipis. Namun, rasa takut membuat kaki bergerak lebih cepat. Dia berhasil menggapai gagang pintu. Mendorong papan kayu itu perlahan. Air matanya menetes begitu saja. Di balik pintu dia melihat dua orang tercintanya berdiri bergandengan tangan. Vano dan Bima, mereka tersenyum, wajah kedua begitu cerah. Tak pernah dia merasa selega itu, mengayunkan kaki hendak mendekati keduanya. Tapi, sepasang tangan besar menahannya. Dia menoleh dan mendapati sosok yang menghilang delapan tahun kini memdekapnya"Jangan pergi. Stay
"Princess, I am sorry. Aku ..." "Don't ..." Mitha menepis tangan Max yang mencoba meraih lengannya. Dia surut ke belakang, menghadap ke jendela apartemen yang mengarah langsung ke pantai. Dia memeluk tubuhnya sendiri, seolah melindungi dirinya dari sesuatu yang hendak membuatnya terluka. Tapi dia tidak tahu siapa dan kenapa."Kapan dia bangun?" tanya Mitha setelah cukup lama mereka diam."Lima hari yang lalu," jawab Max. Dia ikut berdiri di samping Mitha, menatap ke luar jendela. "Haris menceritakan semuanya. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di rumah sakit setelah mobilku tanpa sengaja menabrakmu. Jadi aku mengutus orang-orangku untuk menjaga Vano dan Bima." Mitha menoleh, menatap Max lekat. "Kenapa Vano bisa kabur dari rumah sakit. Logikanya, untuk seorang yang baru bangun dari koma tidak mungkin dia bisa pergi begitu saja tanpa ada yang membantu,"Max menunduk, melipat bibirnya ke dalam, kedua tangannya terkepal kuat di dalam saku celana. Hal itu tak luput dari pengamatan Mitha,
Mobil bergerak perlahan memasuki gedung perkantoran milik Hermawan Grup. Gedung megah itu berdiri di pusat kota tempat dimana kehidupan tidak pernah mati. Kota itu selalu berdenyut dua puluh empat jam. Sejak matahari terbit hingga terbit lagi. Roda kehidupan selalu berputar dengan cepat, menggilas siapa saja yang bergerak lamban tanpa ampun.Seorang security tergopoh membuka pintu begitu mobil hitam keluaran Jerman itu berhenti di pintu masuk gedung. Sepasang kaki jenjang mengenakan stiletto berwarna merah darah terlihat dari pintu mobil yang terbuka. Tak lama pemilik kaki jenjang itu keluar. Mengenakan setelan blazer hitam dan rok selutut berwarna senada. Kaca mata hitam tersemat di tulang hidungnya yang tinggi. Rambut dibiarkan tergerai menutupi tengkuknya."Welcome home, Mit ..." bisik laki-laki yang berdiri di sampingnya. Mereka menatap pintu masuk gedung yang tidak pernah dijajaki selama delapan tahun."Rasanya aneh, Max," ucap Mitha pelan. "Entah aku bisa melakukan ini atau tida
Mitha mengamati ruangan yang dilapisi kaca tebal di sekelilingnya. Warna putih dan abu-abu mendominasi cat dinding. Sofa berwarna hitam diletakkan di bagian kiri ruangan. Bila duduk di sana terlihat air mancur yang terletak di taman kota, satu-satunya ruang publik yang ada di tengah-tengah bangunan gedung bertingkat. Di belakangnya diletakkan sepasang kursi dan meja yang terbuat dari kayu jati. Di sana biasanya Almarhum Hermawan berkutat dengan semua pekerjaannya. Dari sana juga lahir ide-ide cemerlang untuk terus membesarkan perusahaan. Mitha menyentuh pinggiran meja itu. Merasakan sisa-sisa kenangan yang tertinggal. Perlahan matanya mengabut mengingat betapa dekatnya mereka dulu. Hermawan bukan ayah kandungnya, tapi kedekatan mereka melebihi itu. Panas di bola matanya mendesak cairan bening itu keluar. Rindu menerobos ke dalam sanubarinya. Benar sekali ungkapan seseorang akan terasa sangat berarti jika dia tidak lagi berada di sisi. Air mata itu tidak hanya kerinduan untuk Hermawan
bening itu masih saja merembes keluar meski dia menutup kelopak matanya. Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Bandung, bibirnya tak berhenti merapal doa untuk keselamatan putranya. Hanya Bima yang dia punya setelah Vano menghilang. Jika dia harus kehilangan putranya, Mitha tidak tahu lagi bagaimana bertahan. Bima penguatnya sekarang. Dia penyemangatnya untuk terus membongkar misteri yang menyelubungi hidupnya. "Mit, kita harus bicara," pinta Max dengan mimik serius. "Berdua ..." imbuhnya.Mitha membuka matanya dan mendapati sorot cemas di mata lelaki itu. Dia mengerti sesuatu sedang terjadi, ada yang salah. Ketakutan seketika memeluk jiwanya. Tanpa sadar pelukannya mengetat."Mommy, aku sesak ..." lirih Bima di dadanya.Mitha terkesiap, tak sadar jika sedang memeluk putranya. "Maaf, ya, Sayang. Mommy ngga sengaja." Mitha merangkum wajah Bima. "kamu sama Eyang Ratih, ya, Mommy mau ngomong sebentar sama Om Max."Mitha menyerahkan Bima pada Buk Ratih yang juga terpukul. Wanita paruh ba