Julian terkejut melihat Hans sudah berdiri di depan pintu apartemen pagi-pagi sekali. Pemuda itu terlihat memakai long coat berwarna merah hati."Wow! Kau on time sekali!" serunya, menggeser tubuhnya memberi akses untuk Hans masuk.Pemuda itu tersenyum. "Saya sangat bersemangat," ujarnya, "lagipula Tuan Max terlihat pemarah. Saya tidak ingin mengecewakan pelanggan," tambahnya.Julian tertawa mendengar penilaian pemuda itu tentang Max. Dia mengenal laki-laki itu--Julian menjadi orang kepercayaannya selama sepuluh tahun--seperti dia mengenal dirinya sendiri. Mereka melebihi saudara, bahkan dia saksi kehancuran Max ketika wanita yang dicintainya dikatakan memiliki hubungan darah dengannya. Sebuah fakta yang belakangan diketahui adalah sebuah kebohongan keji yang disengaja dibuat seseorang. Sebenarnya Max bukan laki-laki pemarah dan dingin. Dia sangat baik dan mudah sekali tersenyum. Hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh. Tapi, kebohongan keji itu telah merubahnya menjadi laki-laki di
Mentari terbit di langit Wina, merefleksikan cahaya terang bersemu merah jambu di guguran daun yang menutup jalan raya. Angin musim gugur berembus kencang walau tak sedingin angin musim dingin. Tangkai dan dedaunan kering berguguran bebas ke jalan raya, menumpuk hingga menciptakan warna simetris di jalanan.Tiga orang lelaki terlihat berjalan beriringan ke sebelah barat, melewati katedral dan bangunan Saint Peter. Toko aksesoris berjajar rapi di sekitar komplek itu, menawarkan aksesoris unik--dari hiasan dinding, kap lampu, manik-manik sampai ukiran 3D dengan bentuk dan goresan yang menawan. Kebanyakan toko di komplek tersebut diberi penerangan lampu dengan beberapa tempat duduk yang disediakan untuk pengunjung. Banyak turis asing yang memilih beristirahat sambil melihat-lihat aksesoris itu.Istana Hofburg mulai terlihat di depan mata. Mata Max nyalang memperhatikan sekitar, matanya tajam seperti elang yang sedang mengintai mangsanya. Pun Julian, meski terlihat santai, dia tak kalah w
Indonesia, Bandung.Rumah minimalis bercat putih itu terlihat sangat asri. Pagar setinggi orang dewasa dan bercat hitam menjadi pilar pertama pelindung rumah itu. Sepasang tiang berbentuk bulat setinggi tiga meter berada di depan menupang atap canopy yang berbentuk setengah lingkaran. Di badan tiang itu dipasang lampu yang memancarkan cahaya kuning berbentuk bulat. Di bawahnya terlihat pintu kembar bercat cokelat tua yang tertutup rapat. Pencahayaan yang kurang di teras rumah itu tidak mengurangi tampilannya yang terlihat berkelas. Empat lampu taman yang ujungnya dipasang bola lampu berbentuk bulat dan memancarkan cahaya putih, berdiri sejajar menerangi pekarangan yang ditanami banyak bunga hias. Hamparan rumput hijau terawat di bawahnya memperlihatkan kesan jika sang Empu rumah sangat telaten.Dari dalam rumah sesekali terdengar tawa renyah seorang wanita, di timpali suara bocah lelaki yang terdengar riang. Di sana keluarga kecil Mitha dan Vano tinggal. Dua tahun yang lalu, Zivano He
Pesta ulang tahun Keysa sangat meriah. Taman belakang rumah Haris dan Elena disulap menjadi istana dadakan. Sebuah tenda besar berwarna biru terpasang di sana. Setiap tiangnya dililit kain putih dan ditempel balon warna-warni. Di bagian atas tenda itu digantungkan lampu kristal dan untaian kain lembut yang dijalin menyerupai balon raksasa. Di bawahnya, kursi-kursi ditata rapi, enam secara berjajar dan sisanya disusun berbaris ke belakang. Di bagian depan yang dibuat seperti panggung kecil, diletakkan kue tart berhias karakter dua orang putri di film Frozen. Latar belakang panggung pun adalah Princess Anna dan Princess Elsa, tak lupa karakter cristhof dan Olaf. Bola-bola karet aneka warna dibiarkan terserak di lantai yang ditutupi karpet berwarna biru laut. Di kiri- kanan di letakkan meja sepanjang tiga meter yang menyajikan aneka makanan, cemilan dan juga minuman yang menggugah selera. Benar-benar pesta ulang tahun yang sangat mewah untuk ukuran balita.Kedatangan Mitha dan keluarga d
Mesin EKG seperti musik pengantar tidur untuk sosok yang kini terbaring beku di atas brankar rumah sakit. Berbagai alat medis terpasang di tubuhnya, wajahnya pun ditutupi masker untuk menyalurkan oksigen ke dalam paru-parunya. Mobil yang dikemudikan Vano menabrak pembatas jalan tol, berguling beberapa kali hingga tercebur ke dalam sungai yang arusnya sangat deras. Dia dinyatakan koma karena luka parah di kepala.Kenyataan itu membuat Mitha didera rasa bersalah. Andai malam itu dia mendengarkan penjelasan Vano dan tidak larut dalam kemarahannya, tentu semua baik-baik saja. Andai dia lebih sabar dan percaya pada hati kecilnya, tentu saat ini suaminya itu masih sehat dan bugar. Dua minggu yang lalu setelah dia meninggalkan laki-laki itu dengan amarah yang masih menguasai dada, Mitha mendengar ponsel Vano berdering, entah dengan siapa laki-laki itu bicara, dia tak peduli dan tak ingin tahu. Tidak lama terdengar suara mobilnya menjauh. Sesal segera mendekap tubuhnya, sebesar apa pun kemar
Mendung menggayuti langit Ibukota, meski matahari begitu pongah memancarkan sinarnya, tak mampu menembus mega-mega kelabu yang menaungi areal pemakaman keluarga Hermawan yang berada di tanah pribadi. Isak tangis terdengar ketika jenazah diturunkan ke liang lahat. Jeritan Evelin terasa menusuk perih gendang telinga dan memilukan hati yang mendengar. Beberapa orang terlihat sigap menahan tubuh janda dari Hermawan itu. Terus meronta dan menangis membuat tubuhnya perlahan melemah, lalu terduduk tak berdaya.Mitha mematung melihat adegan itu dari balik kacamata hitamnya. Kemarin malam, setelah mendapat kabar jika laki-laki pilar utama klan Hermawan itu meninggal karna kecelakan, dia segera memacu mobilnya menuju rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari tempat Vano dirawat. Malam itu juga jenazah almarhum langsung dibawa ke Jakarta. Mitha tak mengerti mengapa masalah datang beruntun setelah kecelakaan yang menimpa Vano. Apalagi siangnya beliau masih terlihat bugar dan cerah. Tapi, siapa ya
Mitha membuka mata dan mendapati kelam membungkus dirinya. Perlahan bangkit mencoba meraba dalam gelap. Tertatih langkahnya menapaki lantai yang terasa dingin. Dia tak tahu arah, kakinya tak memiliki tujuan. Dia terjatuh, tak lama tersenyum ketika melihat titik terang di ujung lorong. Dia bangkit, terus berlari meski tak tahu lari dari apa. Dia hanya takut pada gelap yang terus mendekatinya dari belakang.Mitha terengah, napasnya memburu karna pasokan oksigen yang semakin menipis. Namun, rasa takut membuat kaki bergerak lebih cepat. Dia berhasil menggapai gagang pintu. Mendorong papan kayu itu perlahan. Air matanya menetes begitu saja. Di balik pintu dia melihat dua orang tercintanya berdiri bergandengan tangan. Vano dan Bima, mereka tersenyum, wajah kedua begitu cerah. Tak pernah dia merasa selega itu, mengayunkan kaki hendak mendekati keduanya. Tapi, sepasang tangan besar menahannya. Dia menoleh dan mendapati sosok yang menghilang delapan tahun kini memdekapnya"Jangan pergi. Stay
"Princess, I am sorry. Aku ..." "Don't ..." Mitha menepis tangan Max yang mencoba meraih lengannya. Dia surut ke belakang, menghadap ke jendela apartemen yang mengarah langsung ke pantai. Dia memeluk tubuhnya sendiri, seolah melindungi dirinya dari sesuatu yang hendak membuatnya terluka. Tapi dia tidak tahu siapa dan kenapa."Kapan dia bangun?" tanya Mitha setelah cukup lama mereka diam."Lima hari yang lalu," jawab Max. Dia ikut berdiri di samping Mitha, menatap ke luar jendela. "Haris menceritakan semuanya. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di rumah sakit setelah mobilku tanpa sengaja menabrakmu. Jadi aku mengutus orang-orangku untuk menjaga Vano dan Bima." Mitha menoleh, menatap Max lekat. "Kenapa Vano bisa kabur dari rumah sakit. Logikanya, untuk seorang yang baru bangun dari koma tidak mungkin dia bisa pergi begitu saja tanpa ada yang membantu,"Max menunduk, melipat bibirnya ke dalam, kedua tangannya terkepal kuat di dalam saku celana. Hal itu tak luput dari pengamatan Mitha,