Mobil bergerak perlahan memasuki gedung perkantoran milik Hermawan Grup. Gedung megah itu berdiri di pusat kota tempat dimana kehidupan tidak pernah mati. Kota itu selalu berdenyut dua puluh empat jam. Sejak matahari terbit hingga terbit lagi. Roda kehidupan selalu berputar dengan cepat, menggilas siapa saja yang bergerak lamban tanpa ampun.Seorang security tergopoh membuka pintu begitu mobil hitam keluaran Jerman itu berhenti di pintu masuk gedung. Sepasang kaki jenjang mengenakan stiletto berwarna merah darah terlihat dari pintu mobil yang terbuka. Tak lama pemilik kaki jenjang itu keluar. Mengenakan setelan blazer hitam dan rok selutut berwarna senada. Kaca mata hitam tersemat di tulang hidungnya yang tinggi. Rambut dibiarkan tergerai menutupi tengkuknya."Welcome home, Mit ..." bisik laki-laki yang berdiri di sampingnya. Mereka menatap pintu masuk gedung yang tidak pernah dijajaki selama delapan tahun."Rasanya aneh, Max," ucap Mitha pelan. "Entah aku bisa melakukan ini atau tida
Mitha mengamati ruangan yang dilapisi kaca tebal di sekelilingnya. Warna putih dan abu-abu mendominasi cat dinding. Sofa berwarna hitam diletakkan di bagian kiri ruangan. Bila duduk di sana terlihat air mancur yang terletak di taman kota, satu-satunya ruang publik yang ada di tengah-tengah bangunan gedung bertingkat. Di belakangnya diletakkan sepasang kursi dan meja yang terbuat dari kayu jati. Di sana biasanya Almarhum Hermawan berkutat dengan semua pekerjaannya. Dari sana juga lahir ide-ide cemerlang untuk terus membesarkan perusahaan. Mitha menyentuh pinggiran meja itu. Merasakan sisa-sisa kenangan yang tertinggal. Perlahan matanya mengabut mengingat betapa dekatnya mereka dulu. Hermawan bukan ayah kandungnya, tapi kedekatan mereka melebihi itu. Panas di bola matanya mendesak cairan bening itu keluar. Rindu menerobos ke dalam sanubarinya. Benar sekali ungkapan seseorang akan terasa sangat berarti jika dia tidak lagi berada di sisi. Air mata itu tidak hanya kerinduan untuk Hermawan
bening itu masih saja merembes keluar meski dia menutup kelopak matanya. Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Bandung, bibirnya tak berhenti merapal doa untuk keselamatan putranya. Hanya Bima yang dia punya setelah Vano menghilang. Jika dia harus kehilangan putranya, Mitha tidak tahu lagi bagaimana bertahan. Bima penguatnya sekarang. Dia penyemangatnya untuk terus membongkar misteri yang menyelubungi hidupnya. "Mit, kita harus bicara," pinta Max dengan mimik serius. "Berdua ..." imbuhnya.Mitha membuka matanya dan mendapati sorot cemas di mata lelaki itu. Dia mengerti sesuatu sedang terjadi, ada yang salah. Ketakutan seketika memeluk jiwanya. Tanpa sadar pelukannya mengetat."Mommy, aku sesak ..." lirih Bima di dadanya.Mitha terkesiap, tak sadar jika sedang memeluk putranya. "Maaf, ya, Sayang. Mommy ngga sengaja." Mitha merangkum wajah Bima. "kamu sama Eyang Ratih, ya, Mommy mau ngomong sebentar sama Om Max."Mitha menyerahkan Bima pada Buk Ratih yang juga terpukul. Wanita paruh ba
Max mengedarkan pandangan ke seluruh bangunan yang berdiri di atas tanah berukuran 20x20 m2 itu. Bangunan-bangunan permanen bercat putih yang telah memudar itu, terlihat tidak terawat. Lumut melekat hampir di semua dinding. Beberapa ruangan juga terlihat keropos, belum lagi pintu dan kusen jendela digerogoti rayap. Benar-benar tidak terurus sama sekali.Bila dibandingkan saat Max masih tinggal di sana, pasti tidak ada yang mengira jika dulu bangunan yang terlihat angker itu gedung elit dan megah. Di sana berdiri panti asuhan yang menampung puluhan anak-anak terlantar dan tidak diinginkan keluarganya. Max tidak ingat kapan persisnya berada di sana dan kenapa. Satu-satunya kenangan yang tertinggal adalah, dia terbangun di pagi hari dan tidak melihat kedua orang tuanya. Dia menangis berhari-hari, tidak mau menyentuh makanan. Seorang wanita dengan sabar membujuknya hingga kemudian dia melupakan kesedihannya dan mulai berbaur dengan anak-anak yang ada di sana."Marcel! Kaukah itu?" Max me
Mitha menyantap sarapannya dalam diam dan kepala tertunduk. Rasa malu masih menyelubungi hatinya. Andai saja ponselnya tidak kembali berdering, tentu saat ini dia akan menyesali diri sejadi-jadinya. Dia tidak mengerti mengapa begitu mudah kehilangan kendali bila bersama Max. Apa karena perasaan dulu kembali bersemi atau hanya Max satu-satunya orang yang bisa dipercaya saat ini. Bersamanya, Mitha merasa terlindungi dan tidak sendirian. "Aku sudah putuskan tinggal di sini selama misteri ini belum terpecahkan," ujar Max tiba-tiba membuat Mitha tersedak."What! Big no ... tidak boleh," tolak Mitha tegas. Dia tidak segila itu membiarkan laki-laki yang mengusik ketenangan hatinya tinggal di rumahnya. "Satu atap. Dengan Max! Kill me first, " keluh hatinya.Dahi Max berkerut. "Why? Kau lebih aman bersamaku," tanyanya tak mengerti."Justru denganmu aku merasa tidak aman!" seru Mitha tanpa sadar. Detik kemudian dia terkesiap menyadari reaksinya yang berlebihan. "Tidak aman? Maksudmu, aku me
Mitha sampai di rumah menjelang tengah malam. Dahinya berkerut mendapati seluruh ruangan di lantai satu gelap gulita, hanya cahaya dari selasar lantai dua yang menerangi, itu pun tidak terlalu terang. Terlalu lelah, dia memilih abai dengan keadaan tak biasa itu, tapi suara Max menghentikan langkahnya di anak tangga keempat."Dari mana? Seharian aku mencarimu, telponku juga tidak kau angkat," tegurnya dingin. Mitha berbalik, memicingkan mata agar bisa melihat dengan jelas lelaki yang sedang duduk bersedekap di atas sofa di ruang tamu. Merogoh ponsel dari tas, melihat puluhan panggilan tak terjawab, serta pesan dari Max."Sorry, semalam sebelum tidur aku silent ponsel. Lupa mengubah pengaturannya kembali," jawab Mitha enteng, lalu berbalik bermaksud naik ke lantai dua menuju kamar."Kau pergi begitu saja setelah membuatku menunggu semalaman?" dengkus Max, nada suaranya terdengar kesal.Mitha memijit pelipis yang tiba-tiba berdenyut nyeri. Pikirannya masih berada di bangunan tua di bela
Mitha berdiri bersedekap menghadap jendela yang dipasang kaca bening. Dari sana dia bisa melihat jalanan yang sesak oleh kendaraan. Masih sangat pagi, tapi kemacetan sudah mengular hingga puluhan kilo meter. Macet dan kesemberawutan sudah lumrah dilihat di jalanan Ibukota. Bahkan sudah menjadi khas kota Jakarta. Bosan melihat hal yang sama setiap hari, dia mengangkat kepala, mengamati langit biru yang bersih tanpa awan. Sejenak pikirannya lebih ringan setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Mitha mendengkus kesal. Entah apa yang ada dalam pikiran Max. Lelaki itu benar-benar sudah gila, meminta mereka berciuman untuk membuktikan jika dia tidak punya rasa lagi, adalah hal paling konyol dan gila. Mitha mengabaikan permintaan Max, lantas memilih pergi ke kamar. Tapi, laki-laki itu keras kepala, mendesak hingga Mitha harus memberi tamparan agar otak si lelaki kembali waras.Setelah memberi peringatan keras kepada Max, Mitha mengurung diri di dalam kamar selama dua hari. Dia enggan mela
Haris memarkir mobil di pekarangan yang tidak terlalu luas. Mengumpulkan beberapa kantong belanjaan, lalu keluar setelah memastikan pintu mobil terkunci dengan menekan remote mobil. Dia melangkah masuk ke dalam rumah bergaya minimalis bercat abu-abu.Meletakkan kantong yang dia bawa di atas meja ruang tamu. Mata lelaki itu celingukkan mencari sosok pemilik rumah. Derai tawa terdengar di bagian belakang, memandu langkahnya ke sana. Senyum terbit di wajah Haris saat melihat sosok yang selalu menyita pikirannya dua tahun terakhir. Gadis cantik dengan rambut panjang yang kini sedang dikepang oleh Buk Darsih--asisten rumah tangga-- yang sengaja dia pekerjakan untuk membantu, sekaligus menemani gadis kesayangannya. Ringan kaki lelaki itu melangkah mendekati kedua orang yang sedang duduk di dalam gazebo."Ngomongin apa, sih, sampai ngga sadar ada Mas di sini?" tanya Haris.Gadis itu menoleh, terkejut dengan kehadiran lelaki itu di sampingnya, lalu tersenyum malu. "Maaf, Mas, keasyikan becan
"Princess, I am sorry. Aku ...""Don't ..." Mitha menepis tangan Max yang mencoba meraih lengannya. Dia surut ke belakang, menghadap ke jendela apartemen yang mengarah langsung ke pantai. Dia memeluk tubuhnya sendiri, seolah melindungi dirinya dari sesuatu yang hendak membuatnya terluka. Tapi dia tidak tahu siapa dan kenapa."Kapan dia bangun?" tanya Mitha setelah cukup lama mereka diam."Lima hari yang lalu," jawab Max. Dia ikut berdiri di samping Mitha, menatap ke luar jendela."Haris menceritakan semuanya. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di rumah sakit setelah mobilku tanpa sengaja menabrakmu. Jadi aku mengutus orang-orangku untuk menjaga Vano dan Bima."Mitha menoleh, menatap Max lekat."Kenapa Vano bisa kabur dari rumah sakit. Logikanya, untuk seorang yang baru bangun dari koma tidak mungkin dia bisa pergi begitu saja tanpa ada yang membantu,"Max menunduk, melipat bibirnya ke dalam, kedua tangannya terkepal kuat di dalam saku celana. Hal itu tak luput dari pengamatan Mitha, ins
Mitha membuka mata dan mendapati kelam membungkus dirinya. Perlahan bangkit mencoba meraba dalam gelap. Tertatih langkahnya menapaki lantai yang terasa dingin. Dia tak tahu arah, kakinya tak memiliki tujuan.Dia terjatuh, tak lama tersenyum ketika melihat titik terang di ujung lorong. Dia bangkit, terus berlari meski tak tahu lari dari apa. Dia hanya takut pada gelap yang terus mendekatinya dari belakang.Mitha terengah, napasnya memburu karna pasokan oksigen yang semakin menipis. Namun, rasa takut membuat kaki bergerak lebih cepat. Dia berhasil menggapai gagang pintu. Mendorong papan kayu itu perlahan. Air matanya menetes begitu saja. Di balik pintu dia melihat dua orang tercintanya berdiri bergandengan tangan. Vano dan Bima, mereka tersenyum, wajah kedua begitu cerah. Tak pernah dia merasa selega itu, mengayunkan kaki hendak mendekati keduanya. Tapi, sepasang tangan besar menahannya. Dia menoleh dan mendapati sosok yang menghilang delapan tahun kini memdekapnya"Jangan pergi. Stay w
Mendung menggayuti langit Ibukota, meski matahari begitu pongah memancarkan sinarnya, tak mampu menembus mega-mega kelabu yang menaungi areal pemakaman keluarga Hermawan yang berada di tanah pribadi. Isak tangis terdengar ketika jenazah diturunkan ke liang lahat. Jeritan Evelin terasa menusuk perih gendang telinga dan memilukan hati yang mendengar. Beberapa orang terlihat sigap menahan tubuh janda dari Hermawan itu. Terus meronta dan menangis membuat tubuhnya perlahan melemah, lalu terduduk tak berdaya.Mitha mematung melihat adegan itu dari balik kacamata hitamnya. Kemarin malam, setelah mendapat kabar jika laki-laki pilar utama klan Hermawan itu meninggal karna kecelakan, dia segera memacu mobilnya menuju rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari tempat Vano dirawat. Malam itu juga jenazah almarhum langsung dibawa ke Jakarta. Mitha tak mengerti mengapa masalah datang beruntun setelah kecelakaan yang menimpa Vano. Apalagi siangnya beliau masih terlihat bugar dan cerah. Tapi, siapa ya
Mesin EKG seperti musik pengantar tidur untuk sosok yang kini terbaring beku di atas brankar rumah sakit. Berbagai alat medis terpasang di tubuhnya, wajahnya pun ditutupi masker untuk menyalurkan oksigen ke dalam paru-parunya. Mobil yang dikemudikan Vano menabrak pembatas jalan tol, berguling beberapa kali hingga tercebur ke dalam sungai yang arusnya sangat deras. Dia dinyatakan koma karena luka parah di kepala.Kenyataan itu membuat Mitha didera rasa bersalah. Andai malam itu dia mendengarkan penjelasan Vano dan tidak larut dalam kemarahannya, tentu semua baik-baik saja. Andai dia lebih sabar dan percaya pada hati kecilnya, tentu saat ini suaminya itu masih sehat dan bugar.Dua minggu yang lalu setelah dia meninggalkan laki-laki itu dengan amarah yang masih menguasai dada, Mitha mendengar ponsel Vano berdering, entah dengan siapa laki-laki itu bicara, dia tak peduli dan tak ingin tahu. Tidak lama terdengar suara mobilnya menjauh. Sesal segera mendekap tubuhnya, sebesar apa pun kemara
Julian terkejut melihat Hans sudah berdiri di depan pintu apartemen pagi-pagi sekali. Pemuda itu terlihat memakai long coat berwarna merah hati. "Wow! Kau on time sekali!" serunya, menggeser tubuhnya memberi akses untuk Hans masuk. Pemuda itu tersenyum. "Saya sangat bersemangat," ujarnya, "lagipula Tuan Max terlihat pemarah. Saya tidak ingin mengecewakan pelanggan," tambahnya. Julian tertawa mendengar penilaian pemuda itu tentang Max. Dia mengenal laki-laki itu--Julian menjadi orang kepercayaannya selama sepuluh tahun--seperti dia mengenal dirinya sendiri. Mereka melebihi saudara, bahkan dia saksi kehancuran Max ketika wanita yang dicintainya dikatakan memiliki hubungan darah dengannya. Sebuah fakta yang belakangan diketahui adalah sebuah kebohongan keji yang disengaja dibuat seseorang. Sebenarnya Max bukan laki-laki pemarah dan dingin. Dia sangat baik dan mudah sekali tersenyum. Hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh. Tapi, kebohongan keji itu telah merubahnya menjadi laki-laki
Dua tahun kemudian .... USA, New York Max merapatkan mantelnya. Menyeberangi 7th Avenue yang padat. Selama dua tahun tinggal di New York, ini pertama kalinya dia ke bagian lain Manhattan. Hidupnya hanya seputar bekerja dan apartemen. Sebagai kota Metropolitan, New York memiliki kepadatan yang luar biasa. Selain menjadi pusat fashion, kota ini juga merupakan pusat perdagangan, keuangan, seni, dan budaya. Penduduknya pun beragam dan datang dari berbagai bangsa dunia. Jika di Indonesia, New York tak ubahnya Jakarta. Hanya saja tak ada istana negara di kota ini karena pusat pemerintahan ada di Washington D.C. Kaki Max membawanya ke arah Bryant Park. Area terbuka publik yang berada di antara 5th dan 6th Avenue. Max disambut oleh air mancur yang meliuk indah. Di tengah-tengah gedung-gedung pencakar langit, area terbuka itu terlihat sangat menyejukkan. Tidak heran banyak orang menghabiskan waktu di sana, meski hanya untuk sekadar mengobrol atau membaca buku. Max mengedarkan pandangan ke
"Bagaimana keadaannya?" Mitha menatap Elena yang duduk di bawah pohon jambu yang ada di taman belakang rumah sakit jiwa di Jakarta.Hampir setiap pekan dia mengunjungi Elena di sana. Sebelum itu dia dan Vano menyempatkan diri mampir ke rumah Priambudi. Ayah kandung Mitha itu memilih tinggal bersama Haris. Dia ingin menebus keselahan karena telah mengabaikan Elena dulu."Sudah lebih baik," jawab Haris mengikuti arah pandangan Mitha.Elena dinyatakan bersalah atas rencana pembunuhan terhadap Vano, teror kepada Mitha, pemalsuan dokumen, dan yang paling memberatkan, dia otak pembunuhan terhadap Hermawan dan Evelin. Tapi polisi tidak bisa menuntutnya karena hasil pemeriksaan psikolog kepolisian, Elena positif mengidap kelainan jiwa. Dengan kata lain, dia melakukan semua kejahatan diluar kendalinya. Hakim memerintahkan wanita itu dirawat di rumah sakit jiwa dengan pengawasan ketat."Mit, aku minta maaf atas nama Elena," ucap Haris pelan. Haris tidak mengira Elena tega membunuh ayah kandun
Max bersedekap menatap kesal ke arah makhluk cantik di depannya. Bagaimana tidak, awalnya Ivanka setuju menghabiskan waktu sepanjang weekend menikmati segarnya udara di perkebun teh miliknya. Max sudah mengerahkan tenaga dan waktu dua bulan penuh hanya untuk membujuk Ivanka.Namun, di tengah perjalanan gadis itu meminta Max mengarahkan mobil ke kantor polisi terlebih dahulu, setelah mendapat laporan dari anak buahnya jika buronan pengedar narkotika jaringan internasional tertangkap di bandara Soekarno-Hatta. Max tidak bisa membantah karena dia berjanji hanya sebentar.Sepertinya Ivanka terlalu gembira berhasil mendapatkan buruannya hingga mengabaikan keberadaannya. Sejak siang hingga sore menjelang, dia asyik di dalam ruang interogasi. Max berusaha bersabar, meski dadanya menggelegak. Kesal dan marah memenuhi rongga dadanya melihat Ivanka keluar dari ruangan yang tertutup kaca hitam dengan wajah cerah. Bukannya menghampirinya, gadis itu malah menyapa dan asyik berbincang dengan rekan
"Maafkan Ayah, Nak. Harusnya saat itu Ayah mendatangi Hermawan, tapi Ayah begitu takut. Mana mungkin polisi percaya pada cerita Ayah, sementara tidak punya apa-apa lagi."Priambudi menatap Mitha dengan sorot penyesalan. Mata tua itu juga berpendar penuh kerinduan. Untuk pertama kalinya dia bisa melihat putri yang dirindukan selama tiga puluh tiga tahun. Selama ini, dia hanya bisa melihat Mitha dari kejauhan. Hanya mampu menahan amarah jika ada yang menyakiti putrinya. Dia tidak mampu melindungi keluarganya. Hal itu yang membuat dirinya frustrasi. Mabuk dan mengabaikan keluarganya yang lain, yang dibentuk di atas kebohongan. Dia merasa gagal sebagai seorang laki-laki dan sebagai suami."Harusnya Ayah menemuiku. Mengungkap jati diri Ayah. Bukan terus bersembunyi," lirih Mitha membuat Priambudi terdiam."Ayah ingin, tapi Elena ...""Dia mengancam Ayah?" tanya Mitha serak.Priambudi mengangguk. "Ayah hanya bisa melihatmu dari jauh. Elena bilang, dia akan membunuhmu jika sampai Ayah terl