Mitha berdiri bersedekap menghadap jendela yang dipasang kaca bening. Dari sana dia bisa melihat jalanan yang sesak oleh kendaraan. Masih sangat pagi, tapi kemacetan sudah mengular hingga puluhan kilo meter. Macet dan kesemberawutan sudah lumrah dilihat di jalanan Ibukota. Bahkan sudah menjadi khas kota Jakarta. Bosan melihat hal yang sama setiap hari, dia mengangkat kepala, mengamati langit biru yang bersih tanpa awan. Sejenak pikirannya lebih ringan setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Mitha mendengkus kesal. Entah apa yang ada dalam pikiran Max. Lelaki itu benar-benar sudah gila, meminta mereka berciuman untuk membuktikan jika dia tidak punya rasa lagi, adalah hal paling konyol dan gila. Mitha mengabaikan permintaan Max, lantas memilih pergi ke kamar. Tapi, laki-laki itu keras kepala, mendesak hingga Mitha harus memberi tamparan agar otak si lelaki kembali waras.Setelah memberi peringatan keras kepada Max, Mitha mengurung diri di dalam kamar selama dua hari. Dia enggan mela
Haris memarkir mobil di pekarangan yang tidak terlalu luas. Mengumpulkan beberapa kantong belanjaan, lalu keluar setelah memastikan pintu mobil terkunci dengan menekan remote mobil. Dia melangkah masuk ke dalam rumah bergaya minimalis bercat abu-abu.Meletakkan kantong yang dia bawa di atas meja ruang tamu. Mata lelaki itu celingukkan mencari sosok pemilik rumah. Derai tawa terdengar di bagian belakang, memandu langkahnya ke sana. Senyum terbit di wajah Haris saat melihat sosok yang selalu menyita pikirannya dua tahun terakhir. Gadis cantik dengan rambut panjang yang kini sedang dikepang oleh Buk Darsih--asisten rumah tangga-- yang sengaja dia pekerjakan untuk membantu, sekaligus menemani gadis kesayangannya. Ringan kaki lelaki itu melangkah mendekati kedua orang yang sedang duduk di dalam gazebo."Ngomongin apa, sih, sampai ngga sadar ada Mas di sini?" tanya Haris.Gadis itu menoleh, terkejut dengan kehadiran lelaki itu di sampingnya, lalu tersenyum malu. "Maaf, Mas, keasyikan becan
Lepaskan aku! Apa kau sudah gila?!""Ya, aku sudah gila, bahkan gila.adalah nama tengahku" Sosok itu terus meyeret tubuh Evelin di kegelapan malam, meski wanita itu terus meronta, setelah tadi dia harus menyekap wanita besar mulut itu di ruang bawah tanah rumahnya. Bahkan untuk mengelabui orang-orang, dia memerintahkan sopir membawa Hilux putih miliknya ke cucian mobil. Sang sopir sempat heran. Mengapa dia memerintahkan mencuci mobil sedangkan hujan turun begitu deras. Sebuah perintah yang tidak masuk akal dan akan menimbulkan kecurigaan orang lain. Tapi dia tak perduli. Dia harus cepat menciptakan alibi agar Mitha tak mencari Evelin. Akan dia pastikan Mitha akan mati sebelum menyadari semuanya. Begitu sampai di sebuah bangunan tua. Dia berhenti. Bermaksud mengambil kunci dari saku jaketnya, tapi pergerakan Evelin yang tiba-tiba bangun dan menyerangnya membuatnya murka. Keduanya bergumul di atas rumput. Evelin yang kalah tenaga dan postur terjebak di bawah tubuhnya. Tidak ingin meng
"Maafin aku Mas ..." isak seorang wanita sambil memeluk kaki suaminya erat. Airmatanya tak berhenti mengalir membasahi pipi tirusnya.Dada sang suami turun naik dengan napas memburu. Matanya menyorot tajam pada istrinya. Terlihat kemarahan yang membuat bergidik di sinar matanya,. Seolah dia ingin menguliti perempuan yang dinikahinya setahun yang lalu."Kenapa kamu tidak bilang kalau aku sudah menikah?!" geramnya menusuk tepat ke jantung perempuan itu."Maaf, Mas. Aku jatuh cinta sejak menemukanmu hanyut di sungai. Cintaku sangat besar hingga tak perduli dengan statusmu," isaknya menunduk dalam."Setidaknya ceritakan kebenaran padaku. Aku punya anak dan istriku sedang mengandung!" raungnya garang. Dia menarik kakinya kasar hingga perempuan itu terjerembab di lantai tanah."Mas, mas ... jangan tinggalkan aku. Aku sangat mencintaimu," jerit perempuan itu sambil merangkak mengejar suaminya yang berdiri di ambang pintu kamar. Dia memeluk kaki lelaki itu kembali.Namun, lelaki itu menyepa
Flash back on.Hermawan terus berusaha melakukan panggilan ke nomor putranya--Haris. Dia menjepit ponsel di telinga dengan menaikkan sebelah bahunya sambil terus berusaha fokus mengemudikan mobil. Dia sangat gusar atau lebih tepatnya murka. Dokumen yang datang seminggu yang lalu menyulut kemarahannya. Entah siapa pengirimannya dan apa motif si pengirim tidak penting, tapi mendapati dirinya ditipu mentah-mentah membuat dadanya menggelegak, dan satu-satunya orang yang dia pikir bertanggung jawab adalah Haris karena dia otak kejadian delapan tahun yang lalu. Jika tujuannya hanya mempermalukan dan membuka topengnya, mengapa harus memalsukan hasil tes DNA Mitha dan Max. Dia sama sekali tidak mengerti. Dia terus mencoba lagi, tapi nihil. Putus asa, Hermawan mencoba menghubungi ponsel Elena. Di dering ke empat terdengar suara wanita itu menjawab di seberang sana."Hallo, Pa. Ada apa?""Mana Haris?""Mas Haris belum pulang. Dia bilang mau hang out dengan teman-temannya. "Hang out?! Kemana?"
Flash back onMitha jengah dengan pemandangan di depannya. Kemesraan yang diumbar Elena berlebihan. Dia seolah ingin menunjukkan bahwa Haris begitu mencintainya. Mitha merasa aneh dengan sikap Elena yang cepat sekali berubah. Ada yang salah dengan wanita itu, tapi tidak tahu apa. Tak ingin berlama-lama melihat adegan itu, dia meminta ijin menemui Keysa yang berada di kamarnya. Bukan cemburu yang dirasakannya, tapi sikap canggung Haris meladeni kemanjaan istrinya. Entah karena apa.Mitha menaiki tangga melingkar menuju lantai dua. Dia merasakan seseorang memperhatikannya intens dan ketika berbalik matanya beradu dengan manik gelap milik Haris. Cepat Mitha berpaling, tak ingin niatnya datang mengunjungi Elena gagal. Langkahnya berhenti di depan pintu bercat cokelat tua. Dia melihat ke kiri dan kanan memastikan situasi aman. Perlahan mendorong pintu kayu itu, lalu masuk ke dalam kamar yang didominasi warna putih. Langkahnya tegas menuju meja rias, matanya liar mencari sesuatu yang bisa m
Angin malam berembus dari selatan. Membelai daun akasia, menggoyang bunga bugenville yang sedang semarak, menukik naik menepis gorden putih yang menggantung di jendela kamar Mitha yang terbuka. Gorden putih itu meliuk indah seolah menari bersama angin yang kemudian menyapu wajah Mitha yang terlihat lelahWanita itu berdiri dalam gelap. Menengadah menatap purnama di penghujung tahun. Cahayanya begitu terang, menimpa wajah yang seputih susu. Mitha memeluk tubuhnya erat. Melawan dingin yang menusuk tulang. Sekilas matanya melirik kertas- kertas yang berserakan di atas ranjang. Semalaman dia mencoba mencari benang merah penghubung dirinya dan sosok yang melakukan serangkaian teror pada keluarganya. Tapi semua blur. Fakta jelas menunjukkan mereka bersaudara. Berasal dari benih yang sama, lalu mengapa lelaki yang harusnya dia panggil papa tak pernah muncul. Padahal dia selamat dari percobaan pembunuhan itu.Mitha memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Besok, dia harus siap untuk besok. S
Aarghhh!Elena berteriak sekuat yang dia bisa. Melepaskan semua beban yang menghimpit hatinya selama ini. Lagi dia berteriak, tapi suaranya tertelan ombak yang pecah di batu karang. Dia terduduk lemah di atas pasir. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuh. Sorot matanya terlihat kejam dan mengerikan. Seolah semua amarah berkumpul di sana dan siap untuk diledakkan.Wajahnya basah oleh airmata, tapi justru lengking tawa yang terdengar dari bibirnya. "Mitha, kau benar-benar jalang. Tak cukup satu laki-laki saja bagimu. Sekarang kau pun menggoda suamiku. Aku tidak sabar menghabisi nyawamu besok." desis Elena, tersenyum sinis.*Mitha mengikat rambutnya tinggi. Mengenakan T- shirt putih, dipadu jeans berwarna telur asin sebagai bawahan. Sepatu olahraga berwarna biru langit menjadi piilihan untuk membungkus kaki jenjangnya. Dia menghela napas sejenak. Menatap pantulan diri di dalam cermin. "Kenapa aku terlambat menyadari siapa dirimu Elena. Harusnya kita saling mendukung, saling menguatkan