Mitha membuka mata dan mendapati kelam membungkus dirinya. Perlahan bangkit mencoba meraba dalam gelap. Tertatih langkahnya menapaki lantai yang terasa dingin. Dia tak tahu arah, kakinya tak memiliki tujuan. Dia terjatuh, tak lama tersenyum ketika melihat titik terang di ujung lorong. Dia bangkit, terus berlari meski tak tahu lari dari apa. Dia hanya takut pada gelap yang terus mendekatinya dari belakang.Mitha terengah, napasnya memburu karna pasokan oksigen yang semakin menipis. Namun, rasa takut membuat kaki bergerak lebih cepat. Dia berhasil menggapai gagang pintu. Mendorong papan kayu itu perlahan. Air matanya menetes begitu saja. Di balik pintu dia melihat dua orang tercintanya berdiri bergandengan tangan. Vano dan Bima, mereka tersenyum, wajah kedua begitu cerah. Tak pernah dia merasa selega itu, mengayunkan kaki hendak mendekati keduanya. Tapi, sepasang tangan besar menahannya. Dia menoleh dan mendapati sosok yang menghilang delapan tahun kini memdekapnya"Jangan pergi. Stay
"Princess, I am sorry. Aku ..." "Don't ..." Mitha menepis tangan Max yang mencoba meraih lengannya. Dia surut ke belakang, menghadap ke jendela apartemen yang mengarah langsung ke pantai. Dia memeluk tubuhnya sendiri, seolah melindungi dirinya dari sesuatu yang hendak membuatnya terluka. Tapi dia tidak tahu siapa dan kenapa."Kapan dia bangun?" tanya Mitha setelah cukup lama mereka diam."Lima hari yang lalu," jawab Max. Dia ikut berdiri di samping Mitha, menatap ke luar jendela. "Haris menceritakan semuanya. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di rumah sakit setelah mobilku tanpa sengaja menabrakmu. Jadi aku mengutus orang-orangku untuk menjaga Vano dan Bima." Mitha menoleh, menatap Max lekat. "Kenapa Vano bisa kabur dari rumah sakit. Logikanya, untuk seorang yang baru bangun dari koma tidak mungkin dia bisa pergi begitu saja tanpa ada yang membantu,"Max menunduk, melipat bibirnya ke dalam, kedua tangannya terkepal kuat di dalam saku celana. Hal itu tak luput dari pengamatan Mitha,
Mobil bergerak perlahan memasuki gedung perkantoran milik Hermawan Grup. Gedung megah itu berdiri di pusat kota tempat dimana kehidupan tidak pernah mati. Kota itu selalu berdenyut dua puluh empat jam. Sejak matahari terbit hingga terbit lagi. Roda kehidupan selalu berputar dengan cepat, menggilas siapa saja yang bergerak lamban tanpa ampun.Seorang security tergopoh membuka pintu begitu mobil hitam keluaran Jerman itu berhenti di pintu masuk gedung. Sepasang kaki jenjang mengenakan stiletto berwarna merah darah terlihat dari pintu mobil yang terbuka. Tak lama pemilik kaki jenjang itu keluar. Mengenakan setelan blazer hitam dan rok selutut berwarna senada. Kaca mata hitam tersemat di tulang hidungnya yang tinggi. Rambut dibiarkan tergerai menutupi tengkuknya."Welcome home, Mit ..." bisik laki-laki yang berdiri di sampingnya. Mereka menatap pintu masuk gedung yang tidak pernah dijajaki selama delapan tahun."Rasanya aneh, Max," ucap Mitha pelan. "Entah aku bisa melakukan ini atau tida
Mitha mengamati ruangan yang dilapisi kaca tebal di sekelilingnya. Warna putih dan abu-abu mendominasi cat dinding. Sofa berwarna hitam diletakkan di bagian kiri ruangan. Bila duduk di sana terlihat air mancur yang terletak di taman kota, satu-satunya ruang publik yang ada di tengah-tengah bangunan gedung bertingkat. Di belakangnya diletakkan sepasang kursi dan meja yang terbuat dari kayu jati. Di sana biasanya Almarhum Hermawan berkutat dengan semua pekerjaannya. Dari sana juga lahir ide-ide cemerlang untuk terus membesarkan perusahaan. Mitha menyentuh pinggiran meja itu. Merasakan sisa-sisa kenangan yang tertinggal. Perlahan matanya mengabut mengingat betapa dekatnya mereka dulu. Hermawan bukan ayah kandungnya, tapi kedekatan mereka melebihi itu. Panas di bola matanya mendesak cairan bening itu keluar. Rindu menerobos ke dalam sanubarinya. Benar sekali ungkapan seseorang akan terasa sangat berarti jika dia tidak lagi berada di sisi. Air mata itu tidak hanya kerinduan untuk Hermawan
bening itu masih saja merembes keluar meski dia menutup kelopak matanya. Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Bandung, bibirnya tak berhenti merapal doa untuk keselamatan putranya. Hanya Bima yang dia punya setelah Vano menghilang. Jika dia harus kehilangan putranya, Mitha tidak tahu lagi bagaimana bertahan. Bima penguatnya sekarang. Dia penyemangatnya untuk terus membongkar misteri yang menyelubungi hidupnya. "Mit, kita harus bicara," pinta Max dengan mimik serius. "Berdua ..." imbuhnya.Mitha membuka matanya dan mendapati sorot cemas di mata lelaki itu. Dia mengerti sesuatu sedang terjadi, ada yang salah. Ketakutan seketika memeluk jiwanya. Tanpa sadar pelukannya mengetat."Mommy, aku sesak ..." lirih Bima di dadanya.Mitha terkesiap, tak sadar jika sedang memeluk putranya. "Maaf, ya, Sayang. Mommy ngga sengaja." Mitha merangkum wajah Bima. "kamu sama Eyang Ratih, ya, Mommy mau ngomong sebentar sama Om Max."Mitha menyerahkan Bima pada Buk Ratih yang juga terpukul. Wanita paruh ba
Max mengedarkan pandangan ke seluruh bangunan yang berdiri di atas tanah berukuran 20x20 m2 itu. Bangunan-bangunan permanen bercat putih yang telah memudar itu, terlihat tidak terawat. Lumut melekat hampir di semua dinding. Beberapa ruangan juga terlihat keropos, belum lagi pintu dan kusen jendela digerogoti rayap. Benar-benar tidak terurus sama sekali.Bila dibandingkan saat Max masih tinggal di sana, pasti tidak ada yang mengira jika dulu bangunan yang terlihat angker itu gedung elit dan megah. Di sana berdiri panti asuhan yang menampung puluhan anak-anak terlantar dan tidak diinginkan keluarganya. Max tidak ingat kapan persisnya berada di sana dan kenapa. Satu-satunya kenangan yang tertinggal adalah, dia terbangun di pagi hari dan tidak melihat kedua orang tuanya. Dia menangis berhari-hari, tidak mau menyentuh makanan. Seorang wanita dengan sabar membujuknya hingga kemudian dia melupakan kesedihannya dan mulai berbaur dengan anak-anak yang ada di sana."Marcel! Kaukah itu?" Max me
Mitha menyantap sarapannya dalam diam dan kepala tertunduk. Rasa malu masih menyelubungi hatinya. Andai saja ponselnya tidak kembali berdering, tentu saat ini dia akan menyesali diri sejadi-jadinya. Dia tidak mengerti mengapa begitu mudah kehilangan kendali bila bersama Max. Apa karena perasaan dulu kembali bersemi atau hanya Max satu-satunya orang yang bisa dipercaya saat ini. Bersamanya, Mitha merasa terlindungi dan tidak sendirian. "Aku sudah putuskan tinggal di sini selama misteri ini belum terpecahkan," ujar Max tiba-tiba membuat Mitha tersedak."What! Big no ... tidak boleh," tolak Mitha tegas. Dia tidak segila itu membiarkan laki-laki yang mengusik ketenangan hatinya tinggal di rumahnya. "Satu atap. Dengan Max! Kill me first, " keluh hatinya.Dahi Max berkerut. "Why? Kau lebih aman bersamaku," tanyanya tak mengerti."Justru denganmu aku merasa tidak aman!" seru Mitha tanpa sadar. Detik kemudian dia terkesiap menyadari reaksinya yang berlebihan. "Tidak aman? Maksudmu, aku me
Mitha sampai di rumah menjelang tengah malam. Dahinya berkerut mendapati seluruh ruangan di lantai satu gelap gulita, hanya cahaya dari selasar lantai dua yang menerangi, itu pun tidak terlalu terang. Terlalu lelah, dia memilih abai dengan keadaan tak biasa itu, tapi suara Max menghentikan langkahnya di anak tangga keempat."Dari mana? Seharian aku mencarimu, telponku juga tidak kau angkat," tegurnya dingin. Mitha berbalik, memicingkan mata agar bisa melihat dengan jelas lelaki yang sedang duduk bersedekap di atas sofa di ruang tamu. Merogoh ponsel dari tas, melihat puluhan panggilan tak terjawab, serta pesan dari Max."Sorry, semalam sebelum tidur aku silent ponsel. Lupa mengubah pengaturannya kembali," jawab Mitha enteng, lalu berbalik bermaksud naik ke lantai dua menuju kamar."Kau pergi begitu saja setelah membuatku menunggu semalaman?" dengkus Max, nada suaranya terdengar kesal.Mitha memijit pelipis yang tiba-tiba berdenyut nyeri. Pikirannya masih berada di bangunan tua di bela