Setahun yang lalu ...Haris gugup luar biasa. Dari tangannya sibuk mengusap dahi yang berkeringat. Bukan karena udara panas, melainkan hari ini dia akan melihat Presiden Komisaris Hermawan Group. Lelaki yang bisa disebut legenda dalam dunia bisnis. Lelaki itu dikabarkan mampu membangun jaringan bisnis, hingga ke luar negeri. Beberapa perusahaan multi internasional menjadi rekanannya. Lelaki dingin yang memiliki banyak ide cemerlang di otaknya. Dua tahun lebih, Haris bekerja pada Mitha. Wanita yang menyelamatkan hidup adik kesayangannya. Dia memiliki hati selembut kapas sekaligus sekuat karang. Dia hangat, tetapi bisa berubah sedingin antartika bila tersakiti. Dari awal Haris telah mengikrarkan janji untuk Mitha, menyerahkan hidup dan mati untuk wanita yang telah mencuri hatinya. Pesona seorang Prameswari Paramitha tak mampu ditolaknya. Wanita yang tidak hanya cantik paras, tetapi juga pribadinya, wanita yang ditolak suaminya sendiri. Haris cukup tahu diri menyimpan rapat perasaannya
Enam tahun kemudian ....'Aduh!' Lelaki berkaos putih dengan jeans berwarna hitam gegas mendekati seorang bocah lelaki yang terjatuh dari papan skateboard-nya."Kamu nggak apa-apa?" tanyanya. Netra lelaki itu menatap bocah berhidung bangir dengan mata bulat jernih. Sungguh menggemaskan. "Iya, nggak apa-apa kok, Om." Bocah itu tersenyum dengan lesung pipit tercetak jelas di pipinya. Vano terpana. Senyum itu mengingatkan pada seseorang yang dulu pernah amat sangat dicintainya. Sayang sekali lelaki itu terlambat menyadari dan dia terlalu takut menemuinya setelah begitu banyak luka yang diberi. Dia merasa tak pantas.Enam tahun berlalu. Selama ini dia menyepi ke kota Bandung. Perlahan menata hidupnya kembali. Mengobati patah hati karena kehilangan cinta. Dia membuka gerai ice cream. Pelan, tetapi pasti usahanya berkembang menjadi lima gerai yang tersebar di seluruh penjuru kota Bandung.Bukan tak ada wanita yang mendekatinya, tetapi hati lelaki itu sudah terpaut pada Mitha hingga wanita
Dua tahun kemudian ....USA, New YorkMax merapatkan mantelnya. Dengan langkah lebar dia menyeberangi 7th Avenue yang padat. Selama dua tahun tinggal di New York, ini pertama kalinya dia mengunjungi bagian lain Manhattan. Selama ini hidupnya hanya berkutat seputar bekerja dan apartemen. Sebagai kota Metropolitan, New York memiliki kepadatan yang luar biasa. Selain menjadi salah satu pusat fashion dunia, kota ini juga merupakan pusat perdagangan, keuangan, seni, dan budaya. Penduduknya pun beragam dan datang dari berbagai bangsa dunia. Jika di Indonesia, New York tak ubahnya Jakarta, hanya saja tak ada istana negara di kota ini karena pusat pemerintahan ada di Washington D.C. Langkah Max membawanya ke arah Bryant Park. Area terbuka publik yang berada di antara 5th dan 6th Avenue. Kedatangan Max disambut oleh air mancur yang berjatuhan indah ke dalam kolam yang berbentuk lingkaran. Bila malam, air mancur itu akan berwarna-warni. Berada di tengah-tengah gedung-gedung pencakar langit,
Julian terkejut melihat Hans sudah berdiri di depan pintu apartemen pagi-pagi sekali. Pemuda itu terlihat memakai long coat berwarna merah hati."Wow! Kau on time sekali!" serunya, menggeser tubuhnya memberi akses untuk Hans masuk.Pemuda itu tersenyum. "Saya sangat bersemangat," ujarnya, "lagipula Tuan Max terlihat pemarah. Saya tidak ingin mengecewakan pelanggan," tambahnya.Julian tertawa mendengar penilaian pemuda itu tentang Max. Dia mengenal laki-laki itu--Julian menjadi orang kepercayaannya selama sepuluh tahun--seperti dia mengenal dirinya sendiri. Mereka melebihi saudara, bahkan dia saksi kehancuran Max ketika wanita yang dicintainya dikatakan memiliki hubungan darah dengannya. Sebuah fakta yang belakangan diketahui adalah sebuah kebohongan keji yang disengaja dibuat seseorang. Sebenarnya Max bukan laki-laki pemarah dan dingin. Dia sangat baik dan mudah sekali tersenyum. Hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh. Tapi, kebohongan keji itu telah merubahnya menjadi laki-laki di
Mentari terbit di langit Wina, merefleksikan cahaya terang bersemu merah jambu di guguran daun yang menutup jalan raya. Angin musim gugur berembus kencang walau tak sedingin angin musim dingin. Tangkai dan dedaunan kering berguguran bebas ke jalan raya, menumpuk hingga menciptakan warna simetris di jalanan.Tiga orang lelaki terlihat berjalan beriringan ke sebelah barat, melewati katedral dan bangunan Saint Peter. Toko aksesoris berjajar rapi di sekitar komplek itu, menawarkan aksesoris unik--dari hiasan dinding, kap lampu, manik-manik sampai ukiran 3D dengan bentuk dan goresan yang menawan. Kebanyakan toko di komplek tersebut diberi penerangan lampu dengan beberapa tempat duduk yang disediakan untuk pengunjung. Banyak turis asing yang memilih beristirahat sambil melihat-lihat aksesoris itu.Istana Hofburg mulai terlihat di depan mata. Mata Max nyalang memperhatikan sekitar, matanya tajam seperti elang yang sedang mengintai mangsanya. Pun Julian, meski terlihat santai, dia tak kalah w
Indonesia, Bandung.Rumah minimalis bercat putih itu terlihat sangat asri. Pagar setinggi orang dewasa dan bercat hitam menjadi pilar pertama pelindung rumah itu. Sepasang tiang berbentuk bulat setinggi tiga meter berada di depan menupang atap canopy yang berbentuk setengah lingkaran. Di badan tiang itu dipasang lampu yang memancarkan cahaya kuning berbentuk bulat. Di bawahnya terlihat pintu kembar bercat cokelat tua yang tertutup rapat. Pencahayaan yang kurang di teras rumah itu tidak mengurangi tampilannya yang terlihat berkelas. Empat lampu taman yang ujungnya dipasang bola lampu berbentuk bulat dan memancarkan cahaya putih, berdiri sejajar menerangi pekarangan yang ditanami banyak bunga hias. Hamparan rumput hijau terawat di bawahnya memperlihatkan kesan jika sang Empu rumah sangat telaten.Dari dalam rumah sesekali terdengar tawa renyah seorang wanita, di timpali suara bocah lelaki yang terdengar riang. Di sana keluarga kecil Mitha dan Vano tinggal. Dua tahun yang lalu, Zivano He
Pesta ulang tahun Keysa sangat meriah. Taman belakang rumah Haris dan Elena disulap menjadi istana dadakan. Sebuah tenda besar berwarna biru terpasang di sana. Setiap tiangnya dililit kain putih dan ditempel balon warna-warni. Di bagian atas tenda itu digantungkan lampu kristal dan untaian kain lembut yang dijalin menyerupai balon raksasa. Di bawahnya, kursi-kursi ditata rapi, enam secara berjajar dan sisanya disusun berbaris ke belakang. Di bagian depan yang dibuat seperti panggung kecil, diletakkan kue tart berhias karakter dua orang putri di film Frozen. Latar belakang panggung pun adalah Princess Anna dan Princess Elsa, tak lupa karakter cristhof dan Olaf. Bola-bola karet aneka warna dibiarkan terserak di lantai yang ditutupi karpet berwarna biru laut. Di kiri- kanan di letakkan meja sepanjang tiga meter yang menyajikan aneka makanan, cemilan dan juga minuman yang menggugah selera. Benar-benar pesta ulang tahun yang sangat mewah untuk ukuran balita.Kedatangan Mitha dan keluarga d
Mesin EKG seperti musik pengantar tidur untuk sosok yang kini terbaring beku di atas brankar rumah sakit. Berbagai alat medis terpasang di tubuhnya, wajahnya pun ditutupi masker untuk menyalurkan oksigen ke dalam paru-parunya. Mobil yang dikemudikan Vano menabrak pembatas jalan tol, berguling beberapa kali hingga tercebur ke dalam sungai yang arusnya sangat deras. Dia dinyatakan koma karena luka parah di kepala.Kenyataan itu membuat Mitha didera rasa bersalah. Andai malam itu dia mendengarkan penjelasan Vano dan tidak larut dalam kemarahannya, tentu semua baik-baik saja. Andai dia lebih sabar dan percaya pada hati kecilnya, tentu saat ini suaminya itu masih sehat dan bugar. Dua minggu yang lalu setelah dia meninggalkan laki-laki itu dengan amarah yang masih menguasai dada, Mitha mendengar ponsel Vano berdering, entah dengan siapa laki-laki itu bicara, dia tak peduli dan tak ingin tahu. Tidak lama terdengar suara mobilnya menjauh. Sesal segera mendekap tubuhnya, sebesar apa pun kemar
"Princess, I am sorry. Aku ...""Don't ..." Mitha menepis tangan Max yang mencoba meraih lengannya. Dia surut ke belakang, menghadap ke jendela apartemen yang mengarah langsung ke pantai. Dia memeluk tubuhnya sendiri, seolah melindungi dirinya dari sesuatu yang hendak membuatnya terluka. Tapi dia tidak tahu siapa dan kenapa."Kapan dia bangun?" tanya Mitha setelah cukup lama mereka diam."Lima hari yang lalu," jawab Max. Dia ikut berdiri di samping Mitha, menatap ke luar jendela."Haris menceritakan semuanya. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di rumah sakit setelah mobilku tanpa sengaja menabrakmu. Jadi aku mengutus orang-orangku untuk menjaga Vano dan Bima."Mitha menoleh, menatap Max lekat."Kenapa Vano bisa kabur dari rumah sakit. Logikanya, untuk seorang yang baru bangun dari koma tidak mungkin dia bisa pergi begitu saja tanpa ada yang membantu,"Max menunduk, melipat bibirnya ke dalam, kedua tangannya terkepal kuat di dalam saku celana. Hal itu tak luput dari pengamatan Mitha, ins
Mitha membuka mata dan mendapati kelam membungkus dirinya. Perlahan bangkit mencoba meraba dalam gelap. Tertatih langkahnya menapaki lantai yang terasa dingin. Dia tak tahu arah, kakinya tak memiliki tujuan.Dia terjatuh, tak lama tersenyum ketika melihat titik terang di ujung lorong. Dia bangkit, terus berlari meski tak tahu lari dari apa. Dia hanya takut pada gelap yang terus mendekatinya dari belakang.Mitha terengah, napasnya memburu karna pasokan oksigen yang semakin menipis. Namun, rasa takut membuat kaki bergerak lebih cepat. Dia berhasil menggapai gagang pintu. Mendorong papan kayu itu perlahan. Air matanya menetes begitu saja. Di balik pintu dia melihat dua orang tercintanya berdiri bergandengan tangan. Vano dan Bima, mereka tersenyum, wajah kedua begitu cerah. Tak pernah dia merasa selega itu, mengayunkan kaki hendak mendekati keduanya. Tapi, sepasang tangan besar menahannya. Dia menoleh dan mendapati sosok yang menghilang delapan tahun kini memdekapnya"Jangan pergi. Stay w
Mendung menggayuti langit Ibukota, meski matahari begitu pongah memancarkan sinarnya, tak mampu menembus mega-mega kelabu yang menaungi areal pemakaman keluarga Hermawan yang berada di tanah pribadi. Isak tangis terdengar ketika jenazah diturunkan ke liang lahat. Jeritan Evelin terasa menusuk perih gendang telinga dan memilukan hati yang mendengar. Beberapa orang terlihat sigap menahan tubuh janda dari Hermawan itu. Terus meronta dan menangis membuat tubuhnya perlahan melemah, lalu terduduk tak berdaya.Mitha mematung melihat adegan itu dari balik kacamata hitamnya. Kemarin malam, setelah mendapat kabar jika laki-laki pilar utama klan Hermawan itu meninggal karna kecelakan, dia segera memacu mobilnya menuju rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari tempat Vano dirawat. Malam itu juga jenazah almarhum langsung dibawa ke Jakarta. Mitha tak mengerti mengapa masalah datang beruntun setelah kecelakaan yang menimpa Vano. Apalagi siangnya beliau masih terlihat bugar dan cerah. Tapi, siapa ya
Mesin EKG seperti musik pengantar tidur untuk sosok yang kini terbaring beku di atas brankar rumah sakit. Berbagai alat medis terpasang di tubuhnya, wajahnya pun ditutupi masker untuk menyalurkan oksigen ke dalam paru-parunya. Mobil yang dikemudikan Vano menabrak pembatas jalan tol, berguling beberapa kali hingga tercebur ke dalam sungai yang arusnya sangat deras. Dia dinyatakan koma karena luka parah di kepala.Kenyataan itu membuat Mitha didera rasa bersalah. Andai malam itu dia mendengarkan penjelasan Vano dan tidak larut dalam kemarahannya, tentu semua baik-baik saja. Andai dia lebih sabar dan percaya pada hati kecilnya, tentu saat ini suaminya itu masih sehat dan bugar.Dua minggu yang lalu setelah dia meninggalkan laki-laki itu dengan amarah yang masih menguasai dada, Mitha mendengar ponsel Vano berdering, entah dengan siapa laki-laki itu bicara, dia tak peduli dan tak ingin tahu. Tidak lama terdengar suara mobilnya menjauh. Sesal segera mendekap tubuhnya, sebesar apa pun kemara
Julian terkejut melihat Hans sudah berdiri di depan pintu apartemen pagi-pagi sekali. Pemuda itu terlihat memakai long coat berwarna merah hati. "Wow! Kau on time sekali!" serunya, menggeser tubuhnya memberi akses untuk Hans masuk. Pemuda itu tersenyum. "Saya sangat bersemangat," ujarnya, "lagipula Tuan Max terlihat pemarah. Saya tidak ingin mengecewakan pelanggan," tambahnya. Julian tertawa mendengar penilaian pemuda itu tentang Max. Dia mengenal laki-laki itu--Julian menjadi orang kepercayaannya selama sepuluh tahun--seperti dia mengenal dirinya sendiri. Mereka melebihi saudara, bahkan dia saksi kehancuran Max ketika wanita yang dicintainya dikatakan memiliki hubungan darah dengannya. Sebuah fakta yang belakangan diketahui adalah sebuah kebohongan keji yang disengaja dibuat seseorang. Sebenarnya Max bukan laki-laki pemarah dan dingin. Dia sangat baik dan mudah sekali tersenyum. Hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh. Tapi, kebohongan keji itu telah merubahnya menjadi laki-laki
Dua tahun kemudian .... USA, New York Max merapatkan mantelnya. Menyeberangi 7th Avenue yang padat. Selama dua tahun tinggal di New York, ini pertama kalinya dia ke bagian lain Manhattan. Hidupnya hanya seputar bekerja dan apartemen. Sebagai kota Metropolitan, New York memiliki kepadatan yang luar biasa. Selain menjadi pusat fashion, kota ini juga merupakan pusat perdagangan, keuangan, seni, dan budaya. Penduduknya pun beragam dan datang dari berbagai bangsa dunia. Jika di Indonesia, New York tak ubahnya Jakarta. Hanya saja tak ada istana negara di kota ini karena pusat pemerintahan ada di Washington D.C. Kaki Max membawanya ke arah Bryant Park. Area terbuka publik yang berada di antara 5th dan 6th Avenue. Max disambut oleh air mancur yang meliuk indah. Di tengah-tengah gedung-gedung pencakar langit, area terbuka itu terlihat sangat menyejukkan. Tidak heran banyak orang menghabiskan waktu di sana, meski hanya untuk sekadar mengobrol atau membaca buku. Max mengedarkan pandangan ke
"Bagaimana keadaannya?" Mitha menatap Elena yang duduk di bawah pohon jambu yang ada di taman belakang rumah sakit jiwa di Jakarta.Hampir setiap pekan dia mengunjungi Elena di sana. Sebelum itu dia dan Vano menyempatkan diri mampir ke rumah Priambudi. Ayah kandung Mitha itu memilih tinggal bersama Haris. Dia ingin menebus keselahan karena telah mengabaikan Elena dulu."Sudah lebih baik," jawab Haris mengikuti arah pandangan Mitha.Elena dinyatakan bersalah atas rencana pembunuhan terhadap Vano, teror kepada Mitha, pemalsuan dokumen, dan yang paling memberatkan, dia otak pembunuhan terhadap Hermawan dan Evelin. Tapi polisi tidak bisa menuntutnya karena hasil pemeriksaan psikolog kepolisian, Elena positif mengidap kelainan jiwa. Dengan kata lain, dia melakukan semua kejahatan diluar kendalinya. Hakim memerintahkan wanita itu dirawat di rumah sakit jiwa dengan pengawasan ketat."Mit, aku minta maaf atas nama Elena," ucap Haris pelan. Haris tidak mengira Elena tega membunuh ayah kandun
Max bersedekap menatap kesal ke arah makhluk cantik di depannya. Bagaimana tidak, awalnya Ivanka setuju menghabiskan waktu sepanjang weekend menikmati segarnya udara di perkebun teh miliknya. Max sudah mengerahkan tenaga dan waktu dua bulan penuh hanya untuk membujuk Ivanka.Namun, di tengah perjalanan gadis itu meminta Max mengarahkan mobil ke kantor polisi terlebih dahulu, setelah mendapat laporan dari anak buahnya jika buronan pengedar narkotika jaringan internasional tertangkap di bandara Soekarno-Hatta. Max tidak bisa membantah karena dia berjanji hanya sebentar.Sepertinya Ivanka terlalu gembira berhasil mendapatkan buruannya hingga mengabaikan keberadaannya. Sejak siang hingga sore menjelang, dia asyik di dalam ruang interogasi. Max berusaha bersabar, meski dadanya menggelegak. Kesal dan marah memenuhi rongga dadanya melihat Ivanka keluar dari ruangan yang tertutup kaca hitam dengan wajah cerah. Bukannya menghampirinya, gadis itu malah menyapa dan asyik berbincang dengan rekan
"Maafkan Ayah, Nak. Harusnya saat itu Ayah mendatangi Hermawan, tapi Ayah begitu takut. Mana mungkin polisi percaya pada cerita Ayah, sementara tidak punya apa-apa lagi."Priambudi menatap Mitha dengan sorot penyesalan. Mata tua itu juga berpendar penuh kerinduan. Untuk pertama kalinya dia bisa melihat putri yang dirindukan selama tiga puluh tiga tahun. Selama ini, dia hanya bisa melihat Mitha dari kejauhan. Hanya mampu menahan amarah jika ada yang menyakiti putrinya. Dia tidak mampu melindungi keluarganya. Hal itu yang membuat dirinya frustrasi. Mabuk dan mengabaikan keluarganya yang lain, yang dibentuk di atas kebohongan. Dia merasa gagal sebagai seorang laki-laki dan sebagai suami."Harusnya Ayah menemuiku. Mengungkap jati diri Ayah. Bukan terus bersembunyi," lirih Mitha membuat Priambudi terdiam."Ayah ingin, tapi Elena ...""Dia mengancam Ayah?" tanya Mitha serak.Priambudi mengangguk. "Ayah hanya bisa melihatmu dari jauh. Elena bilang, dia akan membunuhmu jika sampai Ayah terl