Share

Masa Lalu

Penulis: Maheera
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-14 08:17:09

Vano duduk sambil mengetuk-ngetukan jari ke meja kerja yang terbuat dari kayu jati. Sebelah tangannya berada di lengan kursi menopang dagu. Wajahnya terlihat gusar. Hatinya gundah mengingat yang dia lihat tadi siang di kantor Mitha. Setelah wanita itu membongkar kecurangan Surya Group, Vano menyusulnya ke kantor.

Lelaki itu ingin memperbaiki hubungannya dengan sang istri. Mungkin sudah saatnya membuka hati dan melupakan masa lalu. Vano juga tidak ingin tersiksa dengan perasaannya. Dia ingin lebih jujur dan memberi ruang untuk rasa yang mulai tumbuh. Namun, baru saja sampai di pintu ruang kerja Mitha, Vano melihat Max sedang memeluk wanitanya.

Amarah dan cemburu membaur jadi satu di dada Vano. Saudara tirinya itu benar-benar keras kepala. Ingin rasanya mematahkan tangan yang telah lancang memeluk Mitha, tetapi ditahannya rasa itu. Leaki itu tak ingin terlihat konyol di mata Mitha. Apa yang akan di pikirkan oleh wanita itu jika tiba-tiba saja dia memukul Max tanpa alasan? Tidak mungkin mengatakan bahwa dia cemburu.

Vano meraup wajahnya kasar, bangkit dari kursi berjalan menuju jendela yang ada di samping meja kerjanya. Lelaki tersebut memasukan kedua tangan ke dalam saku celananya. Netranya memandang jauh ke depan, sementara ingatan Vano mundur jauh kebelakang.

Saat dia mengenal Evelin, sekitar empat tahun yang lalu. Vano bertemu dengan wanita itu ketika keluarga Hermawan melakukan kunjungan rutin ke panti asuhan di mana papanya menjadi donatur. Lelaki itu menemukan sebuah buku saku berwarna merah seukuran dua telapak tangan orang dewasa. Dia penasaran dengan isinya, kemudian membaca goresan di buku tersebut.

Vano tertarik melihat tulisan tangan yang sangat rapi. Kekagumannya semakin membuncah saat membaca lembar demi lembar tulisan di buku itu. Kata-kata begitu sederhana. Namun, mengandung ribuan makna. Tentang perjuangan, filosofi hidup, impian, dan cita-cita. Mungkin terdengar gila. Vano jatuh cinta pada pemilik buku tersebut bahkan sebelum dia melihatnya. Dari semua goresan penanya, dia yakin pemiliknya seorang yang cantik, sederhana dan baik. Benaknya kembali memaksa mengingat memori yang telah usang.

"Maaf, apa Anda tersesat?" tanya seorang gadis mengejutkan vano.

Lelaki itu menoleh. "Ah, tidak kebetulan aku sedang berkeliling."

Gadis itu terdiam. Dia menatap buku di tangan Vano dengan dahi berkerut. Dia kenal siapa pemilik buku tersebut. "Itu ...." tanyanya ragu sambil menunjuk ke arah tangan Vano.

Menyadari tatapan gadis tersebut Vano bertanya. "Apa kau mengenal pemilik buku ini?" Dia mengacungkan buku di tangannya ke hadapan si gadis.

"Memangnya kenapa?" gadis itu balik bertanya.

"Tidak, hanya aku ingin bertemu pemiliknya."

"Lantas, setelah bertemu apa yang ingin Anda lakukan?" desak gadis itu, lagi.

Vano tersenyum begitu menawan, membuat wanita rela mendatanginya walau dengan merangkak. "Entah, tapi Aku rasa dia cantik," tebaknya.

Gadis itu mengulas senyum tipis. Saat itulah kisahnya, Mitha, dan Evelin dimulai. "Aku pemilik buku itu. Namaku Evelin!"

Sejak saat itu, Vano dan Evelin tidak terpisahkan atau lebih tepatnya gadis tersebut tidak mau terpisah dari lelaki itu walau sebentar. Gadis yang posesif dan dominan selalu ingin mengatur hidup sang lelaki. Meski keberatan dengan sikap Evelin, Vano mencoba memaklumi. Gadis itu akan sangat murka jika Vano datang ke panti tanpa memberitahu terlebih dahulu, apalagi jika lelaki itu bertemu dengan Mitha.

Gadis yang dengan menatapnya saja mampu membuat hati Vano berdesir. Dialah alasan lelaki itu sering berkunjung ke panti. Hal yang tidak pernah dilakukannya dulu, kecuali saat melakukan kunjungan rutin. Namun, Vano sadar dia sudah memiliki Evelin yang sangat dikaguminya. Hingga dia mau tidak mau harus membunuh bibit rasa yang tumbuh tanpa dia sadari, entah sejak kapan.

Suara sekretaris Vano melalui interkom membuyarkan lamunannya.

"Pak, Pak Max ingin bertemu dengan Anda?"

Dahi Vano berkerut, 'mau apa dia' geramnya.

Lelaki itu meraih interkom. "Suruh dia masuk!" titahnya.

Tak lama, pintu besar berwarna coklat terbuka. Terlihat sosok tegap melangkah masuk. Mengenakan kemeja berwarna biru laut dengan bagian lengan digulung hingga ke siku. Vano mendengkus, 'lagaknya seperti orang paling keren saja' cibirnya.

"Apa kabar, Kak!" tanya Max duduk begitu saja di sofa yang ada di ruang kerja Vano.

Pria itu mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Terdapat lemari yang menempel di dinding, beberapa buku dari berbagai judul tersusun rapi. Di sebelah lemari itu terdapat meja dan kursi besar yang terbuat dari kayu jati berwarna coklat tua. Di atas meja terlihat banyak kertas berserakan.

Max menggelengkan kepala. Memandang Vano dengan tatapan meremehkan."Pantas! Papa memberi posisi komisaris utama kepada Mitha, kalau tidak, aku jamin dalam tempo satu bulan perusahaan ini akan bangkrut," sindirnya

Wajah Vano memerah. Tangan yang berada di saku celana dia kepal erat-erat, mencoba meredam emosi di dada. "Apa maksudmu!?" desisnya pelan.

Max tertawa sinis. Menyandarkan punggungnya ke sofa, sementara kaki kanannya di tupangkan di atas kaki kiri. Tangannya ditautkan di atas lutut. "Maksudku kau tidak becus, Kak!" ujar Max dengan pandangan melecehkan.

Wajah Vano mengeras. Dengan sekali sentak dia merenggut kerah kemeja Max, hingga lelaki itu berdiri.

"Lancang! Kalau saja kau bukan adikku, sudah kuhajar mulut busukmu itu! Vano memaki dengan sorot menajam.

Max terkekeh, dia melepaskan paksa cengkeraman tangan Vano di bajunya. "Nyatanya aku memang bukan adikmu! Kita hanya dua orang yang beruntung karna diangkat anak oleh Papa," terang Max dengan nada sinis. Pria bermanik hitam itu kembali duduk. Netranya seolah ingin menguliti Vano. "Papa lebih menyayangimu ketimbang aku setiap saat harus mengalah demi kepentinganmu. Bahkan saat Papa meminta sumber napasku, aku pun memberikan tanpa bertanya."

"Apa maksudmu!?" tanya Vano tak mengerti.

Max memalingkan wajahnya. Seketika mulutnya bungkam. Sorot mata pria itu berubah sendu, sedetik kemudian kembali menatap Vano, "Suatu saat kau akan tau!" Dia menjawab ketus. Max bangkit mendekati Vano. "Dan kali ini aku tak akan mengalah padamu!" ancamnya, kemudian berjalan meninggalkan Vano yang masih bergeming.

"Apa ini tentang, Mitha?!" tanya Vano menginterupsi langkah Max.

Pria itu terpaku. Hening ... Max menganjur napas pelan sekadar menenangkan hatinya, kemudian kembali melangkah meninggalkan Vano.

'Ya, pasti Mitha' gumam Vano. Entah mengapa ada rasa nyeri di sudut hati . Tanpa sadar lelakiku itu meraba dadanya yang berdetak kencang setiap mengingat Mitha.

Bab terkait

  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Kembalilah Padaku

    "Apa yang kau lakukan, Max! Lepaskan aku!" Mitha berseru ketika tiba-tiba merasakan sepasang tangan kokoh memeluk pinggangnya dari belakang.Max semakin mengeratkan pelukannya. Membenamkan kepala di ceruk leher Mitha. "Sebentar saja, biarkan seperti ini, Princess ...."pintanya lirih."Max ...." erang Mitha saat merasakan pria itu mengendus lehernya. Sesaat kewarasan wanita itu lenyap. Rasa yang terkubur tiga tahun lalu perlahan muncul ke permukaan. Munafik jika dia tidak menyukai sentuhan Max. Meski puluhan purnama berlalu, tetapi tubuhnya masih mengingat rasa itu. Rasa hangat dan menenangkan.Hanya Max yang bisa menenangkan gundahnya. Memberi kekuatan saat dia rapuh, dan mengulurkan tangan ketika dia terpuruk."Kembalilah padaku, Mit. Ayo kita tinggalkan tempat ini. Tinggalkan suamimu yang brengsek itu," bisik Max.Mendengarnya refleks Mitha menyentak tangan Max kasar dan bergerak menjauh. "Keluar, Max!" perintah Mitha ketus.Bukannya menjauh, Max semakin mendekati Mitha yang tersudu

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-14
  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Bahagia?

    Mitha masih bergelung malas di dalam selimutnya. Udara dingin masuk dari balkon kamar yang terbuka, membuat wanita itu memilih melanjutkan tidurnya kembali. Dia seakan buta dengan sekitar, hingga tidak menyadari langkah Vano memasuki kamar. Belaian lembut di kepala membuat Mitha menggeliatkan tubuhnya malas. Alih-alih merasa terganggu, dia malah tersenyum semakin larut dalam mimpinya."Jika kau tidak juga bangun, mungkin aku akan bergabung denganmu di dalam selimut itu lagi," bisik Vano di telinganya.Netra Mitha seketika terbuka, menatap Vano dengan raut wajah bingung. "Kau? Apa yang kau lakukan di sini!" pekiknya. Mitha beringsut duduk di kepala ranjang, sambil menarik selimutnya hingga sebatas leher. Tentu saja reaksinya seperti itu. Saat ini dia hanya memakai kamisol dan celana super pendek. Meski mereka cukup intim seminggu terakhir, tetap saja ada kecanggungan terasa.Vano tertawa melihat reaksi istrinya itu, terlihat semakin menggemaskan dan menantang. Dia tidak pernah menyangk

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-16
  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Evelin

    [I miss you][Do you remember me]Puluhan notifikasi sejenis setiap hari masuk ke ponselnya. Akan tetapi, Vano memilih mengabaikan. Lelaki itu lebih fokus kepada pekerjaan dan hubungannya dengan Mitha .Sikap Vano semakin hari semakin posesif terhadap wanita itu. Dia selalu uring-uringan jika ada lelaki yang mendekatinya. Kalau sudah begitu dia akan merajuk hingga berhari-hari. Dia senang jika Mitha susah payah membujuknya. Seperti sebuah kesenangan baginya melihat sang istri kelimpungan, semakin terlihat menggemaskan.[Aku sangat merindukanmu. Bisa kita bertemu di cafe fovorit kita siang ini. Evelin]Netra Vano membola membaca pesan yang baru masuk keponselnya. Nama yang ingin dikuburnya bersama dengan masa lalu, kenapa setelah tiga tahun hadir kembali?Seketika wajah Vano gusar, hatinya digayuti awan hitam. Antara percaya dan tidak. Dia melirik benda yang melingkar di pergelangan tangannya, 'sudah jam makan siang' gumamnya. Vano gundah, siang ini dia sudah berjanji makan siang denga

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-16
  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Rapuh

    Denting sendok yang beradu dengan piring menemani sarapan dua orang yang masih membisu sejak tadi malam. Vano terlihat sibuk dengan ponselnya. Lelaki itu sesekali tersenyum, kemudian jemarinya menari mengetik pesan yang ditujukan untuk seseorang. Mitha menggenggam erat kedua sendok di tangannya. Mencoba sekuat mungkin meredam gejolak emosi yang sedari tadi menyelubunginya. Wanita itu tidak buta atau pun bodoh. Tanpa melihat dia tahu siapa yang saat ini sedang berbalas pesan dengan lelakinya. Namun, dia mencoba menahan diri. Harga dirinya masih sangat tinggi jika harus dipertaruhkan dengan meratap atau menangis di hadapan Vano."Mas!" Akhirnya Mitha mengalah memutus kebungkaman yang sedari tadi mengikat mereka.Vano hanya diam, tanpa ada reaksi menoleh atau apapun. "Mas!" ulang Mitha. Vano mengangkat wajahnya, menjawab dengan malas. "Ada apa?""Nanti siang kita makan bareng, ya? Aku pengen ayam bakar madu," ajak Mitha."Sorry, Mit, aku nggak bisa. Ada janji sama klien. Mungkin sampa

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-17
  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Patah

    Vano menatap kursi di sampingnya. Hampir dua minggu tempat itu kosong. Selama itu pula Mitha selalu menghindarinya. Tidak ada lagi tawa renyah wanita itu, tidak ada lagi obrolan hangat menemani sarapan, atau makan malam mereka.Entah mengapa ada yang hilang di hati lelaki itu. Tanpa pernah disadarinya, Mitha begitu berpengaruh dalam hidupnya. Selama bertahun-tahun hidup bersama, Vano hanya punya satu tujuan, menghancurkan wanita yang telah menghancurkan hatinya. Siapa sangka justru pada akhirnya dia jatuh dalam pesona seorang Prameswari Paramitha. Namun, saat Evelin kembali. Rasa bimbang kembali menggayuti hatinya. Dia tidak tahu apakah masih mencintai wanita dari masa lalunya itu. Cantiknya, tubuhnya, masih seperti dulu, Bersama Evelin, Vano terhanyut. Dua minggu lalu mereka habiskan waktu bersama. Tertawa, bercerita bahkan menghabiskan malam romantis berdua. Namun, Vano tidak pernah mampu menyentuh Evelin, meski gadis itu selalu memancing gairahnya. Bayangan Mitha selalu hadir sei

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-17
  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Konfrontasi

    Mitha baru saja memasukan potongan roti bakar terakhir ke mulutnya, ketika Max berjalan memasuki ruang makan dengan membawa buket bunga mawar berwarna merah."For you ...." ucap Max sambil memberikan buket tersebut kepada Mitha. "Thank's, Max. Ada angin apa pagi-pagi udah nyatronin rumah aku?" tanya Mitha acuh.Max duduk di samping Mitha mengambil beberapa tangkup roti kemudian mengolesnya dengan mentega."Aku kelaparan. Kebetulan lewat di depan rumahmu. Jadi, kuputuskan mampir," jawab Max, lalu memasukkan roti tadi ke mulut.Sudut bibir Mitha berkedut menahan senyum."Oh, jadi kamu mau makan gratis?"Max tersedak, cepat meneguk air putih yang diangsurkan Mitha. "Hei! Aku membelikanmu bunga, Princess!" seru Max, setelah potongan roti tadi lolos ke perutnya. Tawa Mitha meledak. Sebaris gigi putihnya terlihat rapi berjejer. Mata beningnya tinggal segaris dan lesung pipitnya jelas terlihat. Max terpana, memperhatikan setiap inci wajah Mitha. Wanita di depannya ini cantik luar biasa, buk

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-19
  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Pengakuan

    Vano merasakan belaian lembut menyentuh wajahnya. Sedikit melenguh ketika belaian itu mengenai sudut bibirnya. Perlahan dia membuka kelopak mata. Sekilas menangkap siluet wajah Mitha. Dia tersenyum mengira dirinya sedang bermimpi.'Bahkan dalam mimpi pun kau hadir. Jangan bangunkan aku,' pinta Vano lirih. Laki-laki itu merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Dia sedikit berjengit akibat sensasi ngilu yang ditimbulkan."Jika kau tidak berhenti bergerak, aku akan mengikat kedua tanganmu," Vano tersentak, suara itu begitu nyata. "Mitha?" serunya seraya menegakkan tubuh."Ssst! Tak bisakah kau berhenti bergerak!" ucap Mitha gemas.Vano bergeming, dibiarkan jemari lentik wanita itu mengompres wajahnya yang lebam. Dia menatap intens wajah istrinya itu. Terlihat gurat lelah di sana, lingkar matanya pun menghitam. Dia paham Mitha tidak tidur dengan nyenyak.Vano tidak mengira Mitha memperhatikan wajahnya karena setelah dia membawa Evelin, wanita itu terlihat acuh padanya. Perlahan

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-19
  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Curiga dan Insting

    Hermawan menatap Mitha dengan sorot mata meneduh. Menantunya itu terlihat sangat tertekan, tetapi dia mampu menutupinya dengan sangat baik. Salah satu kelebihan Mitha. sebesar apa pun masalah atau tekanan yang diterimanya, dia akan selalu berusaha menyelesaikan sendiri tanpa melibatkan orang lain. Itulah sebabnya dia menjadikan Mitha sebagai menantu serta mempercayakan setengah asset dari keluarga Hermawan untuknya, juga memberikan 35% saham Hermawan Company, menjadikan posisi wanita itu sama kuat dengannya sebagai pemilik. "Aku mendengar semuanya dari Max. Apa yang terjadi, Nak? Kenapa membiarkan pengganggu masuk ke rumahmu?" tanya Hermawan lembut."Aku juga tidak tahu, Pa. Perempuan itu bilang dia dan Vano punya anak. Sebagai bukti tanggung jawab dia meminta suamiku untuk menikahinya" jawab Mitha lugas.Hermawan menghela napas. "Si bodoh itu, selalu saja membuat masalah, lalu apa Vano menyetujuinya," tanya Hermawan lagi.Mitha mengangguk. Sesaat netranya menerawang memikirkan lelak

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-20

Bab terbaru

  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Tentang Rasa

    "Princess, I am sorry. Aku ...""Don't ..." Mitha menepis tangan Max yang mencoba meraih lengannya. Dia surut ke belakang, menghadap ke jendela apartemen yang mengarah langsung ke pantai. Dia memeluk tubuhnya sendiri, seolah melindungi dirinya dari sesuatu yang hendak membuatnya terluka. Tapi dia tidak tahu siapa dan kenapa."Kapan dia bangun?" tanya Mitha setelah cukup lama mereka diam."Lima hari yang lalu," jawab Max. Dia ikut berdiri di samping Mitha, menatap ke luar jendela."Haris menceritakan semuanya. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di rumah sakit setelah mobilku tanpa sengaja menabrakmu. Jadi aku mengutus orang-orangku untuk menjaga Vano dan Bima."Mitha menoleh, menatap Max lekat."Kenapa Vano bisa kabur dari rumah sakit. Logikanya, untuk seorang yang baru bangun dari koma tidak mungkin dia bisa pergi begitu saja tanpa ada yang membantu,"Max menunduk, melipat bibirnya ke dalam, kedua tangannya terkepal kuat di dalam saku celana. Hal itu tak luput dari pengamatan Mitha, ins

  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Dia Kembali

    Mitha membuka mata dan mendapati kelam membungkus dirinya. Perlahan bangkit mencoba meraba dalam gelap. Tertatih langkahnya menapaki lantai yang terasa dingin. Dia tak tahu arah, kakinya tak memiliki tujuan.Dia terjatuh, tak lama tersenyum ketika melihat titik terang di ujung lorong. Dia bangkit, terus berlari meski tak tahu lari dari apa. Dia hanya takut pada gelap yang terus mendekatinya dari belakang.Mitha terengah, napasnya memburu karna pasokan oksigen yang semakin menipis. Namun, rasa takut membuat kaki bergerak lebih cepat. Dia berhasil menggapai gagang pintu. Mendorong papan kayu itu perlahan. Air matanya menetes begitu saja. Di balik pintu dia melihat dua orang tercintanya berdiri bergandengan tangan. Vano dan Bima, mereka tersenyum, wajah kedua begitu cerah. Tak pernah dia merasa selega itu, mengayunkan kaki hendak mendekati keduanya. Tapi, sepasang tangan besar menahannya. Dia menoleh dan mendapati sosok yang menghilang delapan tahun kini memdekapnya"Jangan pergi. Stay w

  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Berduka

    Mendung menggayuti langit Ibukota, meski matahari begitu pongah memancarkan sinarnya, tak mampu menembus mega-mega kelabu yang menaungi areal pemakaman keluarga Hermawan yang berada di tanah pribadi. Isak tangis terdengar ketika jenazah diturunkan ke liang lahat. Jeritan Evelin terasa menusuk perih gendang telinga dan memilukan hati yang mendengar. Beberapa orang terlihat sigap menahan tubuh janda dari Hermawan itu. Terus meronta dan menangis membuat tubuhnya perlahan melemah, lalu terduduk tak berdaya.Mitha mematung melihat adegan itu dari balik kacamata hitamnya. Kemarin malam, setelah mendapat kabar jika laki-laki pilar utama klan Hermawan itu meninggal karna kecelakan, dia segera memacu mobilnya menuju rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari tempat Vano dirawat. Malam itu juga jenazah almarhum langsung dibawa ke Jakarta. Mitha tak mengerti mengapa masalah datang beruntun setelah kecelakaan yang menimpa Vano. Apalagi siangnya beliau masih terlihat bugar dan cerah. Tapi, siapa ya

  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Beku

    Mesin EKG seperti musik pengantar tidur untuk sosok yang kini terbaring beku di atas brankar rumah sakit. Berbagai alat medis terpasang di tubuhnya, wajahnya pun ditutupi masker untuk menyalurkan oksigen ke dalam paru-parunya. Mobil yang dikemudikan Vano menabrak pembatas jalan tol, berguling beberapa kali hingga tercebur ke dalam sungai yang arusnya sangat deras. Dia dinyatakan koma karena luka parah di kepala.Kenyataan itu membuat Mitha didera rasa bersalah. Andai malam itu dia mendengarkan penjelasan Vano dan tidak larut dalam kemarahannya, tentu semua baik-baik saja. Andai dia lebih sabar dan percaya pada hati kecilnya, tentu saat ini suaminya itu masih sehat dan bugar.Dua minggu yang lalu setelah dia meninggalkan laki-laki itu dengan amarah yang masih menguasai dada, Mitha mendengar ponsel Vano berdering, entah dengan siapa laki-laki itu bicara, dia tak peduli dan tak ingin tahu. Tidak lama terdengar suara mobilnya menjauh. Sesal segera mendekap tubuhnya, sebesar apa pun kemara

  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Nyaris

    Julian terkejut melihat Hans sudah berdiri di depan pintu apartemen pagi-pagi sekali. Pemuda itu terlihat memakai long coat berwarna merah hati. "Wow! Kau on time sekali!" serunya, menggeser tubuhnya memberi akses untuk Hans masuk. Pemuda itu tersenyum. "Saya sangat bersemangat," ujarnya, "lagipula Tuan Max terlihat pemarah. Saya tidak ingin mengecewakan pelanggan," tambahnya. Julian tertawa mendengar penilaian pemuda itu tentang Max. Dia mengenal laki-laki itu--Julian menjadi orang kepercayaannya selama sepuluh tahun--seperti dia mengenal dirinya sendiri. Mereka melebihi saudara, bahkan dia saksi kehancuran Max ketika wanita yang dicintainya dikatakan memiliki hubungan darah dengannya. Sebuah fakta yang belakangan diketahui adalah sebuah kebohongan keji yang disengaja dibuat seseorang. Sebenarnya Max bukan laki-laki pemarah dan dingin. Dia sangat baik dan mudah sekali tersenyum. Hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh. Tapi, kebohongan keji itu telah merubahnya menjadi laki-laki

  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Mencari Jejak ( Season 2)

    Dua tahun kemudian .... USA, New York Max merapatkan mantelnya. Menyeberangi 7th Avenue yang padat. Selama dua tahun tinggal di New York, ini pertama kalinya dia ke bagian lain Manhattan. Hidupnya hanya seputar bekerja dan apartemen. Sebagai kota Metropolitan, New York memiliki kepadatan yang luar biasa. Selain menjadi pusat fashion, kota ini juga merupakan pusat perdagangan, keuangan, seni, dan budaya. Penduduknya pun beragam dan datang dari berbagai bangsa dunia. Jika di Indonesia, New York tak ubahnya Jakarta. Hanya saja tak ada istana negara di kota ini karena pusat pemerintahan ada di Washington D.C. Kaki Max membawanya ke arah Bryant Park. Area terbuka publik yang berada di antara 5th dan 6th Avenue. Max disambut oleh air mancur yang meliuk indah. Di tengah-tengah gedung-gedung pencakar langit, area terbuka itu terlihat sangat menyejukkan. Tidak heran banyak orang menghabiskan waktu di sana, meski hanya untuk sekadar mengobrol atau membaca buku. Max mengedarkan pandangan ke

  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Ekstra Part (Haris-Elena)

    "Bagaimana keadaannya?" Mitha menatap Elena yang duduk di bawah pohon jambu yang ada di taman belakang rumah sakit jiwa di Jakarta.Hampir setiap pekan dia mengunjungi Elena di sana. Sebelum itu dia dan Vano menyempatkan diri mampir ke rumah Priambudi. Ayah kandung Mitha itu memilih tinggal bersama Haris. Dia ingin menebus keselahan karena telah mengabaikan Elena dulu."Sudah lebih baik," jawab Haris mengikuti arah pandangan Mitha.Elena dinyatakan bersalah atas rencana pembunuhan terhadap Vano, teror kepada Mitha, pemalsuan dokumen, dan yang paling memberatkan, dia otak pembunuhan terhadap Hermawan dan Evelin. Tapi polisi tidak bisa menuntutnya karena hasil pemeriksaan psikolog kepolisian, Elena positif mengidap kelainan jiwa. Dengan kata lain, dia melakukan semua kejahatan diluar kendalinya. Hakim memerintahkan wanita itu dirawat di rumah sakit jiwa dengan pengawasan ketat."Mit, aku minta maaf atas nama Elena," ucap Haris pelan. Haris tidak mengira Elena tega membunuh ayah kandun

  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Ekstra Part (Max-Ivanka)

    Max bersedekap menatap kesal ke arah makhluk cantik di depannya. Bagaimana tidak, awalnya Ivanka setuju menghabiskan waktu sepanjang weekend menikmati segarnya udara di perkebun teh miliknya. Max sudah mengerahkan tenaga dan waktu dua bulan penuh hanya untuk membujuk Ivanka.Namun, di tengah perjalanan gadis itu meminta Max mengarahkan mobil ke kantor polisi terlebih dahulu, setelah mendapat laporan dari anak buahnya jika buronan pengedar narkotika jaringan internasional tertangkap di bandara Soekarno-Hatta. Max tidak bisa membantah karena dia berjanji hanya sebentar.Sepertinya Ivanka terlalu gembira berhasil mendapatkan buruannya hingga mengabaikan keberadaannya. Sejak siang hingga sore menjelang, dia asyik di dalam ruang interogasi. Max berusaha bersabar, meski dadanya menggelegak. Kesal dan marah memenuhi rongga dadanya melihat Ivanka keluar dari ruangan yang tertutup kaca hitam dengan wajah cerah. Bukannya menghampirinya, gadis itu malah menyapa dan asyik berbincang dengan rekan

  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Epilog

    "Maafkan Ayah, Nak. Harusnya saat itu Ayah mendatangi Hermawan, tapi Ayah begitu takut. Mana mungkin polisi percaya pada cerita Ayah, sementara tidak punya apa-apa lagi."Priambudi menatap Mitha dengan sorot penyesalan. Mata tua itu juga berpendar penuh kerinduan. Untuk pertama kalinya dia bisa melihat putri yang dirindukan selama tiga puluh tiga tahun. Selama ini, dia hanya bisa melihat Mitha dari kejauhan. Hanya mampu menahan amarah jika ada yang menyakiti putrinya. Dia tidak mampu melindungi keluarganya. Hal itu yang membuat dirinya frustrasi. Mabuk dan mengabaikan keluarganya yang lain, yang dibentuk di atas kebohongan. Dia merasa gagal sebagai seorang laki-laki dan sebagai suami."Harusnya Ayah menemuiku. Mengungkap jati diri Ayah. Bukan terus bersembunyi," lirih Mitha membuat Priambudi terdiam."Ayah ingin, tapi Elena ...""Dia mengancam Ayah?" tanya Mitha serak.Priambudi mengangguk. "Ayah hanya bisa melihatmu dari jauh. Elena bilang, dia akan membunuhmu jika sampai Ayah terl

DMCA.com Protection Status