"Hai, Princes!"
.
.
Mitha tersenyum kikuk. Kedua tangannya mencengkeram sendok untuk menetralisir gugup yang melanda, sementara jantungnya berlarian dengan tidak tahu malu. Mengentak keras seluruh urat nadi, menjalarkan rasa yang sulit dijabarkan dengan kata.
Max duduk di sebelah Hermawan, tepat di depan Mitha. Netranya menatap wanita itu lembut. Sarat kerinduan di sana, rindu yang kini terlarang untuknya.
"Kamu semakin cantik, Mit," ujar Max menatap penuh kekaguman.
Mitha berdehem, tak urung rona terlihat jelas di pipi chubby-nya, "Terima kasih." jawabnya singkat.
Trang!
Terdengar suara benda diletakkan kasar di sebelahnya. Wanita itu menoleh. Terlihat Vano meraih cangkir kopi dengan sebelah tangan laki-laki itu terkepal di paha. Sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja. Wajahnya terlihat merah padam dengan sorot mata lelaki itu berkilat cemburu.
'Tidak mungkin ...!" desis Mitha. Mungkin dunia akan kiamat jika seorang Zivano Hermawan cemburu padanya.
"Akhirnya, Kamu ingat pulang. Kupikir terlalu lama di luar negeri membuatmu ingin mati di sana!" tanya Vano sinis.
Max tersenyum, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dengan kedua tangan bersedekap di dada.
"Tidak mungkin, keluargaku di sini, separuh hatiku juga ada di sini. Jadi, aku pasti kembali," jawab Max, netranya kembali menatap Mitha, "apa kabar, Mit?" tanyanya.
"Baik." Mitha menjawab acuh, meski tak dipungkiri ada getar dalam suaranya.
Vano menatap Mitha dan Max bergantian. "Yang kau lihat itu Istriku! Jadi, tolong jaga matamu!" dengkus Vano terdengar tajam.
Mitha tersedak, menatap Vano dengan dahi berkerut. ''Sejak kapan dia mengakuiku istri? Dasar laki-laki brengsek!' umpatnya dalam hati.
"Emm, permisi ... aku ke toilet dulu," ucap Mitha. Dia merasa perlu menenangkan jantung yang semakin tak keruan denyutnya.
Begitu Mitha hilang dari pandangan, Vano berujar. "Jangan pernah mencoba, Max!" ancamnya dengan sorot mengintimidasi.
Max tersenyum miring. Dia menegakkan punggungnya kembali. "Apa?!" tanyanya polos, tetapi jelas itu kepura-puraan.
"Kau!" Vano mengetatkan rahangnya, kedua tangan dikepalkan di atas meja.
"Sudah, hentikan! Kalian bukan anak kecil lagi berebut mainan yang sama!" Hermawan menengahi, terlihat kedua putranya itu saling melemparkan tatapan seakan ingin menghabisi satu sama lain.
"Max, Vano benar. Mitha kakak iparmu. Jadi, hormati dia! Dan kau, Vano! Berhentilah bermain dengan sampah!" seru Hermawan membungkam kedua putranya.
*
Mitha memandang pantulan wajahnya di dalam cermin. Meraba pipinya yang masih memerah saat mengingat tatapan Max padanya. Dia menekan dadanya yang berdebar. 'Ada apa denganku? Kenapa jantungku seperti ini? Max, dia, ah, tidak. Stop it, Mit! Kau harus tetap waras.' gumamnya.
Wanita itu menutup mata dan menggelengkan kepala cepat, menarik napas dan mengembuskan perlahan. 'Ok, calm down. You can do it.' lagi, dia bermonolog.
Setelah merasa tenang, Mitha keluar dari dalam toilet, tetapi tubuhnya menabrak dinding kokoh di depannya. Dinding yang menguarkan aroma maskulin, dinding yang pernah memberi ketenangan dulu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Max menatap Mitha. Lengan kokoh lelaki itu menahan tubuhnya yang limbung.
Mata Mitha mengerjap beberapa kali, hingga kemudian kesadarannya kembali. Cepat dia melepaskan diri dari rengkuhan Max. "Maaf, Aku tidak apa-apa. Permisi," ucapnya segera berlalu.
"Aku, mencintaimu, Mitha!"
Langkah wanita itu seketika terpaku di lantai. Rasanya telinganya baik-baik saja. Max ... Mitha mengepalkan kedua tangan yang tergantung di sisi tubuhnya. Menutup perlahan kelopak mata, mencoba menenangkan gejolak di dada.
Terdengar langkah kaki mendekat. "Maaf, harusnya ini kuucapkan bertahun-tahun yang lalu, tapi aku terlalu takut menen--"
Mitha berbalik. "Cukup, Max!" selanya cepat. "Aku istri Vano dan akan selalu begitu. Jadi, lupakan perasaan gilamu itu ...," ujarnya terdengar parau.
"Tapi aku tau dia tidak mencintaimu. Dia menyiksamu! Kau tidak bahagia," lirih Max menatap Mitha sendu.
Mitha menelan salivanya. Kata-kata Max tepat sasaran. Namun, dia bukan gadis labil lagi yang mudah terpancing dengan kata-kata lelaki itu. "Jangan pernah mengurusi hidupku, Max! Aku--"
Belum sempat Mitha menyelesaikan kata-katanya, Max maju merengkuh tubuh wanita itu ke dalam pelukan dan memagut bibir tipis kemerahannya. Mitha yang tidak siap dengan serangan tiba-tiba dari lelaki itu mencoba melepaskan diri. Namun, Max semakin menekan tengkuk Mitha, memperdalam pagutannya. Beberapa detik kemudian Max melepaskan dominasinya. Menatap Mitha yang terengah-engah. Tubuh wanita itu bergetar, sementara wajahnya merah padam.
Plak!
Mitha menampar pipi lelaki bermanik sekelam malam itu sekuat tenaga. Netranya menyorot penuh amarah. "Jangan pernah menyentuhku lagi!" desisnya dengan sorot menajam.
Max hanya tersenyum melihat kemarahan Mitha. Netranya berlari mengejar langkah wanita yang mulai menjauh, sementara dari kejauhan sepasang mata menatap penuh amarah dengan wajah mengeras.
Selama makan siang, Mitha mencoba tetap tenang, seolah tak terjadi apa pun. Meski dia jengah dengan tatapan lekat Max dan sikap Vano yang berubah posesif. Rasanya dia ada di antara dua predator yang siap saling menghancurkan. Sementara Hermawan tidak peduli. Dia memilih menikmati makan siangnya, meski tahu aura ketiga orang di depannya begitu panas.
*
Mitha baru saja ke luar dari kamar mandi memakai kimono berwarna putih. Rambut panjangnya digelung ke atas ditutupi handuk kecil berwarna senada. Dia kaget melihat Vano yang entah sejak kapan duduk di atas ranjang menatapnya tajam.
"Ada apa?" tanyanya acuh tak acuh. Berjalan menuju lemari pakaian.
"Ada hubungan apa kau dengan Max!" tanya Vano.
Mitha mendengkus, "Bukan urusanmu!"
"Tentu ini urusanku. Kau istriku!" jawab Vano suaranya mulai meninggi.
Mitha berbalik, sudut bibirnya terangkat. "Sejak kapan kau peduli dengan statusku? Apa sekarang kau menyerah? Apa kau jatuh cinta padaku?!" Dia balik bertanya dengan sengit.
Vano bangkit. Berderap ke arah wanita itu. Tangannya mendorong tubuh mungil Mitha ke lemari dan mencengkeramnya. "Jangan mengujiku, Mit! Jangan pernah bermain di belakangku!" ancamnya dengan suara rendah.
"Apa pedulimu? Kau bebas bermain dengan para jalangmu. Kenapa aku tidak?!" debat Mitha sengit.
"Karna kau milikku!" balas Vano posesif.
Mitha tertawa, hingga air mata terbit di sudut netranya.
"Milikmu?! Aku bukan barang, hingga bisa kau jadikan milikmu!" Mitha mencoba menggeser tubuh Vano yang menghalangi jalannya, tetapi lelaki itu bergeming.
Vano menggeram. Cengkeramannya semakin kuat di bahu Mitha, hingga wanita itu meringis. "Apa aku harus menyentuhmu? Seperti yang dilakukan Max tadi siang?!"
Mitha terkesiap. Matanya terbelalak mendengar pernyataan Vano. Entah sejak kapan lelaki itu sudah menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Dia mencoba bangkit, tetapi Vano dengan cepat menekan bahunya ke ranjang.
"A-apa yang kau lakukan?" tanya Mitha mulai gentar melihat kilat gairah mulai berkobar di mata Vano.
Lelaki itu tersenyum samar. "Meminta hakku sebagai suami yang harusnya tiga tahun lalu kuambil," bisiknya seduktif.
Mitha meremang, tubuhnya gemetar. "Tidak! Kau membenciku. Kau tidak akan menyentuhku." Dia mencoba mempengaruhi pikiran sang suami. Rasa takut menghantam jantungnya dengan cepat.
Vano menulikan indera pendengarannya. Lelaki itu mengendus aroma tubuh wanitanya . Entah sejak kapan dia menyukai aroma Mitha. Meski selalu menampik dan mengalihkan pada wanita bayaran. Namun, setiap melihat wanita itu terlalu dekat dengan laki-laki lain membuatnya meradang.
Sekali sentak lelaki itu melucuti jubah mandi Mitha. Netranya berkabut melihat moleknya tubuh sang istri. Wanita itu mencoba berontak sekuat tenaga, tetapi tenaga Vano jauh lebih kuat. Dia hanya menangis menahan desakan Vano di dalam tubuhnya.
Sakit!
Harga diri Mitha seakan tercabik. Dia merasa tak ubahnya jalang di luaran sana. Disetubuhi tanpa cinta. Bukan seperti ini yang dia impikan. Andai lelaki itu meminta dengan baik, pasti dia akan memberikan. Akan tetapi, Vano lebih memilih merenggutnya seperti binatang liar. Merusak, menyiksa, dan memorak-porandakan tubuhnya tanpa ampun.
*
Vano terbangun dari tidurnya, beberapa kali mengerjap karena cahaya yang masuk terasa menusuk mata. Netranya melirik wanita yang tertidur di sampingnya. Tangannya bergerak perlahan menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah Mitha. Iras cantik itu terlihat kuyu, tampak sisa air mata di sudut netranya. Untuk pertama kali mereka tidur satu kamar dan satu ranjang. Hal yang tidak pernah dipikirkan olehnya. Tanpa sadar lelaki itu tersenyum. Entah sejak kapan wanita itu mempengaruhi hidupnya.
Awalnya Vano tidak pernah memedulikan Mitha. Rasa sakit hati ditinggalkan Evelin begitu membekas, dia patah hati! Namun, seiring waktu, dia merasa ada yang terbakar di dadanya setiap kali melihat wanita tersebut dekat dengan lelaki lain. Dia benci perasaan itu. Vano mengalihkan hasratnya kepada perempuan lain, agar Mitha membencinya kemudian pergi.
Namun, wanita itu keras kepala dan memilih bertahan dalam neraka yang dia buat. Akan tetapi, saat dia memergoki Max mencium wanitanya, amarah lelaki itu tersulut. Entah karena apa, 'cemburukah aku?' pikirnya.
Vano mengusap pipi Mitha yang sedikit lebam sangat lembut. Takut sentuhannya mengganggu tidur wanita itu. Setelah puas menjelajahi wajah sang istri dengan mata, dia beranjak pergi. Sungguh, lelaki itu belum siap berhadapan dengan Mitha setelah kejadian semalam.
*
Mitha menuruni anak tangga perlahan. Rasa sakit di bagian bawah tubuhnya masih terasa. Pandangan wanita itu terlihat kosong. Haris yang menunggu di bawah tangga heran melihat ekspresi bosnya itu. Dia bergerak cepat saat tubuh Mitha terlihat limbung.
"Anda tidak apa-apa?" tanyanya.
Mitha berjalan menuju meja makan dipapah Haris.
"Yah, Aku baik-baik aja."
"Anda yakin? Tadi saya bertemu Pak Vano. Apa beliau menginap di sini?" tanya Haris mencoba menyelidik.
Mitha balas menatap Haris tajam, membuat lelaki itu menunduk. "Maaf, saya tidak bermaksud lancang. Saya mencemaskan Anda," jelasnya seakan tahu arti tatapan Mitha.
"Apa bukti yang kuminta sudah kau dapat?" Mitha tak memedulikan penjelasan Haris.
"Sudah. Semua ada di sini," jawab Haris, sambil menyerahkan sebuah map kepada Mitha. Wanita itu memeriksa sekilas, kemudian tersenyum.
"Baiklah, ayo kita bongkar kebusukan mereka," ajak Mitha. Netranya mengilat. Dia bangkit dan berjalan keluar.
*
Vano menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Sebelah tangannya menopang kepalanya yang berdenyut. Tidak dipedulikan Laura dan ayahnya yang sedari tadi sibuk mengajaknya bicara. Semua ditanggapi Vano sekadarnya.
Pikiran lelaki itu tertuju kepada Mitha. Sejak menghabiskan malam dengan wanita itu, hatinya dilanda rindu. Rindu aroma wanita itu, bahkan dia mengajak istrinya mendaki kenikmatan dunia berkali-kali. Tanpa sadar Vano mengulas senyum. Masih terbayang rona merah di wajah Mitha saat berhasil dia puaskan, meski wanita itu tidak mau menatapnya. Cantik sekali membuatnya semakin ingin menyentuh lagi dan lagi.
"Wow! Ada pertemuan keluarga ternyata." Suara Mitha yang masuk secara tiba-tiba ke dalam ruangan VIP yang ada di dalam restoran, membuyarkan lamunan Vano.
Lelaki itu mendongak. Baru saja memikirkan, tiba-tiba saja wanita itu hadir di sini. Netranya terpancang melihat sosok Mitha berbalut gaun tanpa lengan selutut berwarna merah darah. Kaki jenjangnya pun terlihat indah ditopang stiletto setinggi 10 cm.
'Sexy,' gumam Vano tanpa sadar.
"Nona Paramitha," sapa seorang pria paruh baya sambil mengulurkan tangannya.
Mitha menatap datar pada pria itu, lalu mendekat perlahan. "Pak Surya, sepertinya Anda ingin menjodohkan Vano dengan putrimu?" Dia menatap gadis yang duduk di sebelah Vano.
"Oh, t-tidak mungkin ... Pak Vano, 'kan suami Anda," jawab Surya gugup.
Mitha bersedekap. "Benar! Itu maksudku. Kecuali kau ingin menjadikannya gundik suamiku." Dia menekankan kata suami, menatap Laura yang terlihat gelisah.
Bagaimana tidak, semua tahu reputasi Mitha dalam menyingkirkan wanita lain yang berani menantangnya. Menantangnya berarti kalah atau mati.
"Dan hanya wanita murahan yang mau menjadi gundik atau ... ada sesuatu yang kalian rencanakan!" tambahnya sinis.
Mitha duduk di depan Vano. Menatap tepat di manik lelaki itu. Meski hatinya bergetar karena slide kejadian semalam terus mengusik tempurung kepala, tetapi dia mampu mengendalikan emosinya dengan sangat baik.
Mitha melemparkan sebuah map berwarna coklat ke atas meja. "Kau, dibodohi, Sayang! Mereka mengubah surat kontrak ketika kau mabuk dan bodohnya kau tidak ingat apa-apa," jelasnya lugas. Sengaja Mitha memanggil sayang untuk mengejek Vano.
Vano tersentak! Cepat diraihnya map tersebut. Matanya terbelalak membaca lembaran kertas yang ada di dalam map. "Ini ... Laura, kau yang melakukannya?!" hardik Vano dengan wajah merah padam menahan amarah.
"Tunggu, Vano. Itu kontrak yang sebenarnya. Coba Anda lihat tanggal yang tertera di sana. Surat ini asli." Surya mencoba berkelit.
Dahi Vano mengerut. Rahangnya mengeras. "Aku tidak mungkin seceroboh ini. 70℅ keuntungan untuk Surya grup? Imposible," desisnya menggeleng tak percaya.
Surya tersenyum penuh kemenangan, melirik putrinya yang ikut tersenyum simpul. Melihat itu, Mitha tertawa sinis. Muak melihat drama picisan di depannya.
"Pak Surya! Mungkin Anda bisa membodohi Vano, tetapi tak bisa menipu saya!" ucapnya dengan sorot menajam. Seolah dengan tatapannya itu bisa membunuh rivalnya itu.
Surya bergeming, sedikit gentar. Wanita di depannya ini memiliki aura menakutkan. Dia mampu membuat ciut lawannya.
"Saya tidak berani, surat itu asli," bantahnya.
BRAK!
Mitha memukul meja dengan tangan. Netranya berkilat tajam. "Aku sudah memperingatkanmu, Surya!" ancamnya geram. Kali ini tidak ada lagi sapaan hormat pada lelaki itu.
"Haris!" panggil Mitha.
Haris maju. Dia mengambil sebuah flashdisk dari dalam saku jasnya, lalu menghubungkan ke dalam laptop milik Vano. Tidak berapa lama terlihatlah adegan di mana Vano mabuk dan Laura memaksa lelaki itu menandatangani sebuah kertas kosong. Juga terlihat di waktu yang berbeda, Laura menukar surat kontrak tersebut saat Vano lengah. Wajah Surya dan putrinya berubah pias. Seperti seorang terdakwa menunduk malu.
"Kalian ...!" geram Vano sambil mengepalkan tangan.
Mitha bangkit. Dia tersenyum penuh kemenangan. "Aku akan menuntutmu atas kasus penipuan. Satu lagi, lima puluh dua persen saham publik perusahaanmu milikku. Jadi, siapkan dirimu menjadi gembel!" terang Mitha angkuh, membuat Surya lemas. Tidak menyangka permainannya justru berbalik pada dirinya sendiri.
Mitha menatap Vano sekilas. Netra mereka bertemu. Lelaki itu menatapnya dengan sorot ... kagum? Wanita tersebut menepis pemikiran itu. Dia berbalik. Melangkah anggun meninggalkan rivalnya yang kalah telak. Haris mengekor sambil tersenyum. Senyum yang tak urung tertangkap netra Vano. Lelaki itu mengiringi langkah Mitha dengan hati terbakar.
Vano duduk sambil mengetuk-ngetukan jari ke meja kerja yang terbuat dari kayu jati. Sebelah tangannya berada di lengan kursi menopang dagu. Wajahnya terlihat gusar. Hatinya gundah mengingat yang dia lihat tadi siang di kantor Mitha. Setelah wanita itu membongkar kecurangan Surya Group, Vano menyusulnya ke kantor. Lelaki itu ingin memperbaiki hubungannya dengan sang istri. Mungkin sudah saatnya membuka hati dan melupakan masa lalu. Vano juga tidak ingin tersiksa dengan perasaannya. Dia ingin lebih jujur dan memberi ruang untuk rasa yang mulai tumbuh. Namun, baru saja sampai di pintu ruang kerja Mitha, Vano melihat Max sedang memeluk wanitanya.Amarah dan cemburu membaur jadi satu di dada Vano. Saudara tirinya itu benar-benar keras kepala. Ingin rasanya mematahkan tangan yang telah lancang memeluk Mitha, tetapi ditahannya rasa itu. Leaki itu tak ingin terlihat konyol di mata Mitha. Apa yang akan di pikirkan oleh wanita itu jika tiba-tiba saja dia memukul Max tanpa alasan? Tidak mungkin
"Apa yang kau lakukan, Max! Lepaskan aku!" Mitha berseru ketika tiba-tiba merasakan sepasang tangan kokoh memeluk pinggangnya dari belakang.Max semakin mengeratkan pelukannya. Membenamkan kepala di ceruk leher Mitha. "Sebentar saja, biarkan seperti ini, Princess ...."pintanya lirih."Max ...." erang Mitha saat merasakan pria itu mengendus lehernya. Sesaat kewarasan wanita itu lenyap. Rasa yang terkubur tiga tahun lalu perlahan muncul ke permukaan. Munafik jika dia tidak menyukai sentuhan Max. Meski puluhan purnama berlalu, tetapi tubuhnya masih mengingat rasa itu. Rasa hangat dan menenangkan.Hanya Max yang bisa menenangkan gundahnya. Memberi kekuatan saat dia rapuh, dan mengulurkan tangan ketika dia terpuruk."Kembalilah padaku, Mit. Ayo kita tinggalkan tempat ini. Tinggalkan suamimu yang brengsek itu," bisik Max.Mendengarnya refleks Mitha menyentak tangan Max kasar dan bergerak menjauh. "Keluar, Max!" perintah Mitha ketus.Bukannya menjauh, Max semakin mendekati Mitha yang tersudu
Mitha masih bergelung malas di dalam selimutnya. Udara dingin masuk dari balkon kamar yang terbuka, membuat wanita itu memilih melanjutkan tidurnya kembali. Dia seakan buta dengan sekitar, hingga tidak menyadari langkah Vano memasuki kamar. Belaian lembut di kepala membuat Mitha menggeliatkan tubuhnya malas. Alih-alih merasa terganggu, dia malah tersenyum semakin larut dalam mimpinya."Jika kau tidak juga bangun, mungkin aku akan bergabung denganmu di dalam selimut itu lagi," bisik Vano di telinganya.Netra Mitha seketika terbuka, menatap Vano dengan raut wajah bingung. "Kau? Apa yang kau lakukan di sini!" pekiknya. Mitha beringsut duduk di kepala ranjang, sambil menarik selimutnya hingga sebatas leher. Tentu saja reaksinya seperti itu. Saat ini dia hanya memakai kamisol dan celana super pendek. Meski mereka cukup intim seminggu terakhir, tetap saja ada kecanggungan terasa.Vano tertawa melihat reaksi istrinya itu, terlihat semakin menggemaskan dan menantang. Dia tidak pernah menyangk
[I miss you][Do you remember me]Puluhan notifikasi sejenis setiap hari masuk ke ponselnya. Akan tetapi, Vano memilih mengabaikan. Lelaki itu lebih fokus kepada pekerjaan dan hubungannya dengan Mitha .Sikap Vano semakin hari semakin posesif terhadap wanita itu. Dia selalu uring-uringan jika ada lelaki yang mendekatinya. Kalau sudah begitu dia akan merajuk hingga berhari-hari. Dia senang jika Mitha susah payah membujuknya. Seperti sebuah kesenangan baginya melihat sang istri kelimpungan, semakin terlihat menggemaskan.[Aku sangat merindukanmu. Bisa kita bertemu di cafe fovorit kita siang ini. Evelin]Netra Vano membola membaca pesan yang baru masuk keponselnya. Nama yang ingin dikuburnya bersama dengan masa lalu, kenapa setelah tiga tahun hadir kembali?Seketika wajah Vano gusar, hatinya digayuti awan hitam. Antara percaya dan tidak. Dia melirik benda yang melingkar di pergelangan tangannya, 'sudah jam makan siang' gumamnya. Vano gundah, siang ini dia sudah berjanji makan siang denga
Denting sendok yang beradu dengan piring menemani sarapan dua orang yang masih membisu sejak tadi malam. Vano terlihat sibuk dengan ponselnya. Lelaki itu sesekali tersenyum, kemudian jemarinya menari mengetik pesan yang ditujukan untuk seseorang. Mitha menggenggam erat kedua sendok di tangannya. Mencoba sekuat mungkin meredam gejolak emosi yang sedari tadi menyelubunginya. Wanita itu tidak buta atau pun bodoh. Tanpa melihat dia tahu siapa yang saat ini sedang berbalas pesan dengan lelakinya. Namun, dia mencoba menahan diri. Harga dirinya masih sangat tinggi jika harus dipertaruhkan dengan meratap atau menangis di hadapan Vano."Mas!" Akhirnya Mitha mengalah memutus kebungkaman yang sedari tadi mengikat mereka.Vano hanya diam, tanpa ada reaksi menoleh atau apapun. "Mas!" ulang Mitha. Vano mengangkat wajahnya, menjawab dengan malas. "Ada apa?""Nanti siang kita makan bareng, ya? Aku pengen ayam bakar madu," ajak Mitha."Sorry, Mit, aku nggak bisa. Ada janji sama klien. Mungkin sampa
Vano menatap kursi di sampingnya. Hampir dua minggu tempat itu kosong. Selama itu pula Mitha selalu menghindarinya. Tidak ada lagi tawa renyah wanita itu, tidak ada lagi obrolan hangat menemani sarapan, atau makan malam mereka.Entah mengapa ada yang hilang di hati lelaki itu. Tanpa pernah disadarinya, Mitha begitu berpengaruh dalam hidupnya. Selama bertahun-tahun hidup bersama, Vano hanya punya satu tujuan, menghancurkan wanita yang telah menghancurkan hatinya. Siapa sangka justru pada akhirnya dia jatuh dalam pesona seorang Prameswari Paramitha. Namun, saat Evelin kembali. Rasa bimbang kembali menggayuti hatinya. Dia tidak tahu apakah masih mencintai wanita dari masa lalunya itu. Cantiknya, tubuhnya, masih seperti dulu, Bersama Evelin, Vano terhanyut. Dua minggu lalu mereka habiskan waktu bersama. Tertawa, bercerita bahkan menghabiskan malam romantis berdua. Namun, Vano tidak pernah mampu menyentuh Evelin, meski gadis itu selalu memancing gairahnya. Bayangan Mitha selalu hadir sei
Mitha baru saja memasukan potongan roti bakar terakhir ke mulutnya, ketika Max berjalan memasuki ruang makan dengan membawa buket bunga mawar berwarna merah."For you ...." ucap Max sambil memberikan buket tersebut kepada Mitha. "Thank's, Max. Ada angin apa pagi-pagi udah nyatronin rumah aku?" tanya Mitha acuh.Max duduk di samping Mitha mengambil beberapa tangkup roti kemudian mengolesnya dengan mentega."Aku kelaparan. Kebetulan lewat di depan rumahmu. Jadi, kuputuskan mampir," jawab Max, lalu memasukkan roti tadi ke mulut.Sudut bibir Mitha berkedut menahan senyum."Oh, jadi kamu mau makan gratis?"Max tersedak, cepat meneguk air putih yang diangsurkan Mitha. "Hei! Aku membelikanmu bunga, Princess!" seru Max, setelah potongan roti tadi lolos ke perutnya. Tawa Mitha meledak. Sebaris gigi putihnya terlihat rapi berjejer. Mata beningnya tinggal segaris dan lesung pipitnya jelas terlihat. Max terpana, memperhatikan setiap inci wajah Mitha. Wanita di depannya ini cantik luar biasa, buk
Vano merasakan belaian lembut menyentuh wajahnya. Sedikit melenguh ketika belaian itu mengenai sudut bibirnya. Perlahan dia membuka kelopak mata. Sekilas menangkap siluet wajah Mitha. Dia tersenyum mengira dirinya sedang bermimpi.'Bahkan dalam mimpi pun kau hadir. Jangan bangunkan aku,' pinta Vano lirih. Laki-laki itu merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Dia sedikit berjengit akibat sensasi ngilu yang ditimbulkan."Jika kau tidak berhenti bergerak, aku akan mengikat kedua tanganmu," Vano tersentak, suara itu begitu nyata. "Mitha?" serunya seraya menegakkan tubuh."Ssst! Tak bisakah kau berhenti bergerak!" ucap Mitha gemas.Vano bergeming, dibiarkan jemari lentik wanita itu mengompres wajahnya yang lebam. Dia menatap intens wajah istrinya itu. Terlihat gurat lelah di sana, lingkar matanya pun menghitam. Dia paham Mitha tidak tidur dengan nyenyak.Vano tidak mengira Mitha memperhatikan wajahnya karena setelah dia membawa Evelin, wanita itu terlihat acuh padanya. Perlahan