Mitha baru saja memasukan potongan roti bakar terakhir ke mulutnya, ketika Max berjalan memasuki ruang makan dengan membawa buket bunga mawar berwarna merah."For you ...." ucap Max sambil memberikan buket tersebut kepada Mitha. "Thank's, Max. Ada angin apa pagi-pagi udah nyatronin rumah aku?" tanya Mitha acuh.Max duduk di samping Mitha mengambil beberapa tangkup roti kemudian mengolesnya dengan mentega."Aku kelaparan. Kebetulan lewat di depan rumahmu. Jadi, kuputuskan mampir," jawab Max, lalu memasukkan roti tadi ke mulut.Sudut bibir Mitha berkedut menahan senyum."Oh, jadi kamu mau makan gratis?"Max tersedak, cepat meneguk air putih yang diangsurkan Mitha. "Hei! Aku membelikanmu bunga, Princess!" seru Max, setelah potongan roti tadi lolos ke perutnya. Tawa Mitha meledak. Sebaris gigi putihnya terlihat rapi berjejer. Mata beningnya tinggal segaris dan lesung pipitnya jelas terlihat. Max terpana, memperhatikan setiap inci wajah Mitha. Wanita di depannya ini cantik luar biasa, buk
Vano merasakan belaian lembut menyentuh wajahnya. Sedikit melenguh ketika belaian itu mengenai sudut bibirnya. Perlahan dia membuka kelopak mata. Sekilas menangkap siluet wajah Mitha. Dia tersenyum mengira dirinya sedang bermimpi.'Bahkan dalam mimpi pun kau hadir. Jangan bangunkan aku,' pinta Vano lirih. Laki-laki itu merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Dia sedikit berjengit akibat sensasi ngilu yang ditimbulkan."Jika kau tidak berhenti bergerak, aku akan mengikat kedua tanganmu," Vano tersentak, suara itu begitu nyata. "Mitha?" serunya seraya menegakkan tubuh."Ssst! Tak bisakah kau berhenti bergerak!" ucap Mitha gemas.Vano bergeming, dibiarkan jemari lentik wanita itu mengompres wajahnya yang lebam. Dia menatap intens wajah istrinya itu. Terlihat gurat lelah di sana, lingkar matanya pun menghitam. Dia paham Mitha tidak tidur dengan nyenyak.Vano tidak mengira Mitha memperhatikan wajahnya karena setelah dia membawa Evelin, wanita itu terlihat acuh padanya. Perlahan
Hermawan menatap Mitha dengan sorot mata meneduh. Menantunya itu terlihat sangat tertekan, tetapi dia mampu menutupinya dengan sangat baik. Salah satu kelebihan Mitha. sebesar apa pun masalah atau tekanan yang diterimanya, dia akan selalu berusaha menyelesaikan sendiri tanpa melibatkan orang lain. Itulah sebabnya dia menjadikan Mitha sebagai menantu serta mempercayakan setengah asset dari keluarga Hermawan untuknya, juga memberikan 35% saham Hermawan Company, menjadikan posisi wanita itu sama kuat dengannya sebagai pemilik. "Aku mendengar semuanya dari Max. Apa yang terjadi, Nak? Kenapa membiarkan pengganggu masuk ke rumahmu?" tanya Hermawan lembut."Aku juga tidak tahu, Pa. Perempuan itu bilang dia dan Vano punya anak. Sebagai bukti tanggung jawab dia meminta suamiku untuk menikahinya" jawab Mitha lugas.Hermawan menghela napas. "Si bodoh itu, selalu saja membuat masalah, lalu apa Vano menyetujuinya," tanya Hermawan lagi.Mitha mengangguk. Sesaat netranya menerawang memikirkan lelak
"Aku hamil!" kata Evelin, suaranya terdengar parau."Lalu?!" Laki-laki itu bertanya dengan nada dingin, tanpa mengalihkan mata dari lembaran kertas di depannya. Evelin mendekat dengan langkah cepat. "Ini anakmu!" Dia menaikkan nada suaranya. Lelaki itu mendengkus. "Kau pikir, aku percaya? Aku tidak bodoh, kau tidak hanya tidur denganku, dengannya juga, 'kan?!" Evelin terkesiap, wajahnya memerah karena malu. Seperti seorang pencuri yang tertangkap basah."Ini anakmu! Dia selalu menggunakan pengaman. Aku berani bersumpah demi apa pun," lirih Evelin dengan wajah memelas."Menjijikkan! Aku tidak butuh sumpahmu." Lelaki itu mulai murka."Baiklah, jika kau tidak mau bertanggung jawab akan kuceritakan semuanya kepada mereka! Atau kuminta saja dia menikahiku. Aku yakin dia tidak menolak!" ancam Evelin.Lelaki itu mendekat, mencengkeram leher wanita itu dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya yang bebas menunjuk wajah Evelin yang pucat."Jangan coba-coba! Atau aku akan menghancurka
Evelin meringkuk di sudut ranjang. Sepasang tangannya memeluk kedua kaki yang ditekuk ke dada. Seluruh tubuhnya penuh lebam, matanya sembab, dan di sudut bibirnya terlihat darah yang mengering.Pintu kamar kamar terbuka perlahan, seorang laki-laki masuk sambil mengancingkan kemeja putihnya. "Kau sudah bangun?" tanya laki-laki itu, melihat Evelin yang menatapnya nanar dengan tubuh gemetar. "K-kenapa Bapak tega! Apa salah saya?" tanyanya sambil terisak. "Salahmu adalah terlalu cantik dan matrealistis!" jawab laki-laki itu santai."Maksud, Bapak ...?" Dia mendekati Evelin. "Kau sangat cantik. Aku suka wanita cantik! Apalagi kalau dia suka uang, mudah bagiku mendapatkannya." Lelaki itu tersenyum miring.Evelin menciut, air matanya mengalir deras. Dia sama sekali tidak menyangka sosok yang sangat dikagumi dan dihormati ternyata iblis berwajah malaikat.Evelin meremas selimut yang menutupi tubuh polosnya. Rasa sakit menjalari seluruh tubuh, tetapi hatinya jauh lebih sakit. Harga dirinya
"Tidak pernah ada affair, Nak! Hubungan kami ada karena saling membutuhkan. Aku butuh pelepasan dan Evelin yang begitu mencintai kemewahan." Hermawan menjeda. "Keserakahan membuat dia menjebakmu dalam hubungan romantis. Saat dia mengaku hamil aku menyingkirkannya karna tak ingin reputasiku buruk. Tapi, aku bertanggung jawab dengan hidupnya," terangnya. Vano terduduk lunglai di kursinya. Sekelebat potongan masa lalu muncul satu per satu di benaknya. "Apa kau pernah mencintaiku, Evelin?" tanya Vano lirih, netranya menatap wanita itu sendu.Evelin membuang wajahnya ke arah jendela. Matanya menatap daun akasia yang bergoyang ditiup angin sepoi. Vano menggelengkan kepalanya dan tersenyum samar, menertawakan kebodohannya selama bertahun-tahun. Kebungkaman Evelin menjawab tanyanya, hanya kecewa menusuk kalbunya tak ada rasa perih di dada karena sudah lama hatinya dimiliki seseorang. Seseorang yang kini untuk memandangnya saja sudah tak sudi."Karna kalian sudah mengetahuinya jadi tidak a
Mitha meletakkan dua jenis benda di atas meja, menggesernya ke depan Sam."Aku berharap kecurigaanku salah, tapi instingku kuat tentang ini. Selama ini aku bertahan karna mengikuti kata hati."Sam meraih benda pertama, berisi beberapa helai rambut. Tertulis empat nama di sana, Hermawan, Mitha, Max, dan Haris, kemudian benda kedua terlihat seperti kalung dengan kain hitam di tengahnya, terukir dengan benang emas nama 'Prameswari Paramitha'. Sam membuka kain tersebut. Terdapat benda pipih keperakan yang di dalamnya foto sepasang pria dan wanita serta seorang anak lelaki sedang tersenyum. "Aku ingin kau mencocokkan semua sampel juga selidiki orang yang ada di foto itu!" pinta Mitha. "Aku butuh 10 hari," ujar Sam, tangannya memasukkan semua benda tadi ke dalam saku jasnya."Tidak bisakah lebih cepat?" Mitha mencoba bernegosiasi. Mengingat dia hanya punya waktu 12 hari lagi dari perjanjiannya dengan Evelin. "Aku tidak bisa gegabah! Apalagi ini menyangkut masa depan seseorang." Sam menja
Setahun yang lalu ...Haris gugup luar biasa. Dari tangannya sibuk mengusap dahi yang berkeringat. Bukan karena udara panas, melainkan hari ini dia akan melihat Presiden Komisaris Hermawan Group. Lelaki yang bisa disebut legenda dalam dunia bisnis. Lelaki itu dikabarkan mampu membangun jaringan bisnis, hingga ke luar negeri. Beberapa perusahaan multi internasional menjadi rekanannya. Lelaki dingin yang memiliki banyak ide cemerlang di otaknya. Dua tahun lebih, Haris bekerja pada Mitha. Wanita yang menyelamatkan hidup adik kesayangannya. Dia memiliki hati selembut kapas sekaligus sekuat karang. Dia hangat, tetapi bisa berubah sedingin antartika bila tersakiti. Dari awal Haris telah mengikrarkan janji untuk Mitha, menyerahkan hidup dan mati untuk wanita yang telah mencuri hatinya. Pesona seorang Prameswari Paramitha tak mampu ditolaknya. Wanita yang tidak hanya cantik paras, tetapi juga pribadinya, wanita yang ditolak suaminya sendiri. Haris cukup tahu diri menyimpan rapat perasaannya
"Princess, I am sorry. Aku ...""Don't ..." Mitha menepis tangan Max yang mencoba meraih lengannya. Dia surut ke belakang, menghadap ke jendela apartemen yang mengarah langsung ke pantai. Dia memeluk tubuhnya sendiri, seolah melindungi dirinya dari sesuatu yang hendak membuatnya terluka. Tapi dia tidak tahu siapa dan kenapa."Kapan dia bangun?" tanya Mitha setelah cukup lama mereka diam."Lima hari yang lalu," jawab Max. Dia ikut berdiri di samping Mitha, menatap ke luar jendela."Haris menceritakan semuanya. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di rumah sakit setelah mobilku tanpa sengaja menabrakmu. Jadi aku mengutus orang-orangku untuk menjaga Vano dan Bima."Mitha menoleh, menatap Max lekat."Kenapa Vano bisa kabur dari rumah sakit. Logikanya, untuk seorang yang baru bangun dari koma tidak mungkin dia bisa pergi begitu saja tanpa ada yang membantu,"Max menunduk, melipat bibirnya ke dalam, kedua tangannya terkepal kuat di dalam saku celana. Hal itu tak luput dari pengamatan Mitha, ins
Mitha membuka mata dan mendapati kelam membungkus dirinya. Perlahan bangkit mencoba meraba dalam gelap. Tertatih langkahnya menapaki lantai yang terasa dingin. Dia tak tahu arah, kakinya tak memiliki tujuan.Dia terjatuh, tak lama tersenyum ketika melihat titik terang di ujung lorong. Dia bangkit, terus berlari meski tak tahu lari dari apa. Dia hanya takut pada gelap yang terus mendekatinya dari belakang.Mitha terengah, napasnya memburu karna pasokan oksigen yang semakin menipis. Namun, rasa takut membuat kaki bergerak lebih cepat. Dia berhasil menggapai gagang pintu. Mendorong papan kayu itu perlahan. Air matanya menetes begitu saja. Di balik pintu dia melihat dua orang tercintanya berdiri bergandengan tangan. Vano dan Bima, mereka tersenyum, wajah kedua begitu cerah. Tak pernah dia merasa selega itu, mengayunkan kaki hendak mendekati keduanya. Tapi, sepasang tangan besar menahannya. Dia menoleh dan mendapati sosok yang menghilang delapan tahun kini memdekapnya"Jangan pergi. Stay w
Mendung menggayuti langit Ibukota, meski matahari begitu pongah memancarkan sinarnya, tak mampu menembus mega-mega kelabu yang menaungi areal pemakaman keluarga Hermawan yang berada di tanah pribadi. Isak tangis terdengar ketika jenazah diturunkan ke liang lahat. Jeritan Evelin terasa menusuk perih gendang telinga dan memilukan hati yang mendengar. Beberapa orang terlihat sigap menahan tubuh janda dari Hermawan itu. Terus meronta dan menangis membuat tubuhnya perlahan melemah, lalu terduduk tak berdaya.Mitha mematung melihat adegan itu dari balik kacamata hitamnya. Kemarin malam, setelah mendapat kabar jika laki-laki pilar utama klan Hermawan itu meninggal karna kecelakan, dia segera memacu mobilnya menuju rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari tempat Vano dirawat. Malam itu juga jenazah almarhum langsung dibawa ke Jakarta. Mitha tak mengerti mengapa masalah datang beruntun setelah kecelakaan yang menimpa Vano. Apalagi siangnya beliau masih terlihat bugar dan cerah. Tapi, siapa ya
Mesin EKG seperti musik pengantar tidur untuk sosok yang kini terbaring beku di atas brankar rumah sakit. Berbagai alat medis terpasang di tubuhnya, wajahnya pun ditutupi masker untuk menyalurkan oksigen ke dalam paru-parunya. Mobil yang dikemudikan Vano menabrak pembatas jalan tol, berguling beberapa kali hingga tercebur ke dalam sungai yang arusnya sangat deras. Dia dinyatakan koma karena luka parah di kepala.Kenyataan itu membuat Mitha didera rasa bersalah. Andai malam itu dia mendengarkan penjelasan Vano dan tidak larut dalam kemarahannya, tentu semua baik-baik saja. Andai dia lebih sabar dan percaya pada hati kecilnya, tentu saat ini suaminya itu masih sehat dan bugar.Dua minggu yang lalu setelah dia meninggalkan laki-laki itu dengan amarah yang masih menguasai dada, Mitha mendengar ponsel Vano berdering, entah dengan siapa laki-laki itu bicara, dia tak peduli dan tak ingin tahu. Tidak lama terdengar suara mobilnya menjauh. Sesal segera mendekap tubuhnya, sebesar apa pun kemara
Julian terkejut melihat Hans sudah berdiri di depan pintu apartemen pagi-pagi sekali. Pemuda itu terlihat memakai long coat berwarna merah hati. "Wow! Kau on time sekali!" serunya, menggeser tubuhnya memberi akses untuk Hans masuk. Pemuda itu tersenyum. "Saya sangat bersemangat," ujarnya, "lagipula Tuan Max terlihat pemarah. Saya tidak ingin mengecewakan pelanggan," tambahnya. Julian tertawa mendengar penilaian pemuda itu tentang Max. Dia mengenal laki-laki itu--Julian menjadi orang kepercayaannya selama sepuluh tahun--seperti dia mengenal dirinya sendiri. Mereka melebihi saudara, bahkan dia saksi kehancuran Max ketika wanita yang dicintainya dikatakan memiliki hubungan darah dengannya. Sebuah fakta yang belakangan diketahui adalah sebuah kebohongan keji yang disengaja dibuat seseorang. Sebenarnya Max bukan laki-laki pemarah dan dingin. Dia sangat baik dan mudah sekali tersenyum. Hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh. Tapi, kebohongan keji itu telah merubahnya menjadi laki-laki
Dua tahun kemudian .... USA, New York Max merapatkan mantelnya. Menyeberangi 7th Avenue yang padat. Selama dua tahun tinggal di New York, ini pertama kalinya dia ke bagian lain Manhattan. Hidupnya hanya seputar bekerja dan apartemen. Sebagai kota Metropolitan, New York memiliki kepadatan yang luar biasa. Selain menjadi pusat fashion, kota ini juga merupakan pusat perdagangan, keuangan, seni, dan budaya. Penduduknya pun beragam dan datang dari berbagai bangsa dunia. Jika di Indonesia, New York tak ubahnya Jakarta. Hanya saja tak ada istana negara di kota ini karena pusat pemerintahan ada di Washington D.C. Kaki Max membawanya ke arah Bryant Park. Area terbuka publik yang berada di antara 5th dan 6th Avenue. Max disambut oleh air mancur yang meliuk indah. Di tengah-tengah gedung-gedung pencakar langit, area terbuka itu terlihat sangat menyejukkan. Tidak heran banyak orang menghabiskan waktu di sana, meski hanya untuk sekadar mengobrol atau membaca buku. Max mengedarkan pandangan ke
"Bagaimana keadaannya?" Mitha menatap Elena yang duduk di bawah pohon jambu yang ada di taman belakang rumah sakit jiwa di Jakarta.Hampir setiap pekan dia mengunjungi Elena di sana. Sebelum itu dia dan Vano menyempatkan diri mampir ke rumah Priambudi. Ayah kandung Mitha itu memilih tinggal bersama Haris. Dia ingin menebus keselahan karena telah mengabaikan Elena dulu."Sudah lebih baik," jawab Haris mengikuti arah pandangan Mitha.Elena dinyatakan bersalah atas rencana pembunuhan terhadap Vano, teror kepada Mitha, pemalsuan dokumen, dan yang paling memberatkan, dia otak pembunuhan terhadap Hermawan dan Evelin. Tapi polisi tidak bisa menuntutnya karena hasil pemeriksaan psikolog kepolisian, Elena positif mengidap kelainan jiwa. Dengan kata lain, dia melakukan semua kejahatan diluar kendalinya. Hakim memerintahkan wanita itu dirawat di rumah sakit jiwa dengan pengawasan ketat."Mit, aku minta maaf atas nama Elena," ucap Haris pelan. Haris tidak mengira Elena tega membunuh ayah kandun
Max bersedekap menatap kesal ke arah makhluk cantik di depannya. Bagaimana tidak, awalnya Ivanka setuju menghabiskan waktu sepanjang weekend menikmati segarnya udara di perkebun teh miliknya. Max sudah mengerahkan tenaga dan waktu dua bulan penuh hanya untuk membujuk Ivanka.Namun, di tengah perjalanan gadis itu meminta Max mengarahkan mobil ke kantor polisi terlebih dahulu, setelah mendapat laporan dari anak buahnya jika buronan pengedar narkotika jaringan internasional tertangkap di bandara Soekarno-Hatta. Max tidak bisa membantah karena dia berjanji hanya sebentar.Sepertinya Ivanka terlalu gembira berhasil mendapatkan buruannya hingga mengabaikan keberadaannya. Sejak siang hingga sore menjelang, dia asyik di dalam ruang interogasi. Max berusaha bersabar, meski dadanya menggelegak. Kesal dan marah memenuhi rongga dadanya melihat Ivanka keluar dari ruangan yang tertutup kaca hitam dengan wajah cerah. Bukannya menghampirinya, gadis itu malah menyapa dan asyik berbincang dengan rekan
"Maafkan Ayah, Nak. Harusnya saat itu Ayah mendatangi Hermawan, tapi Ayah begitu takut. Mana mungkin polisi percaya pada cerita Ayah, sementara tidak punya apa-apa lagi."Priambudi menatap Mitha dengan sorot penyesalan. Mata tua itu juga berpendar penuh kerinduan. Untuk pertama kalinya dia bisa melihat putri yang dirindukan selama tiga puluh tiga tahun. Selama ini, dia hanya bisa melihat Mitha dari kejauhan. Hanya mampu menahan amarah jika ada yang menyakiti putrinya. Dia tidak mampu melindungi keluarganya. Hal itu yang membuat dirinya frustrasi. Mabuk dan mengabaikan keluarganya yang lain, yang dibentuk di atas kebohongan. Dia merasa gagal sebagai seorang laki-laki dan sebagai suami."Harusnya Ayah menemuiku. Mengungkap jati diri Ayah. Bukan terus bersembunyi," lirih Mitha membuat Priambudi terdiam."Ayah ingin, tapi Elena ...""Dia mengancam Ayah?" tanya Mitha serak.Priambudi mengangguk. "Ayah hanya bisa melihatmu dari jauh. Elena bilang, dia akan membunuhmu jika sampai Ayah terl