Hidup wanita itu memang tidak sempurna, tapi dia bahagia. Keluarga Hermawan bersedia membiayai pendidikannya hingga selesai. Namun, dengan konsekuensi yang berat di kemudian hari. Menikahi putra sulung keluarga itu dan melahirkan pewaris baru. Tentu bukan hal yang sulit jika keduanya memang saling cinta. Akan tetapi hidup, tidak seindah dongeng penghantar tidur.
Sang pewaris sangat membenci wanita itu. Dia menyiksanya dengan membawa banyak wanita ke dalam hidup mereka. Akan tetapi, si wanita adalah ratu di istananya sendiri. Hampir apa pun selir yang dibawa suaminya akan disingkirkan karena dia adalah ratu meski tanpa mahkota
* Langkah Mitha dengan tenang memasuki rumah yang di dalamnya terdapat manusia pendosa. Siapa lagi kalau bukan suaminya tercinta-Zivano Hermawan-dan jalang tidak tahu diri yang baru beberapa bulan menjadi sekretaris suaminya. Kedua asistennya setia berada di sampingnya. Mereka adalah orang-orang kepercayaan wanita bermata bulat itu. Dengan sekali gebrak pintu kamar terbuka lebar.Suami wanita itu hanya menatap sekilas, kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya. Seolah-olah kehadiran sang istri bukanlah sesuatu yang penting. Lelaki itu meminum secangkir kopi dan menyesapnya dalam diam. Sementara di sisi tepian, si sekretaris sekaligus gundik baru lelaki itu merapikan baju kurang bahan yang mengundang syahwat. Dia berdiri sambil tersenyum pongah. Seakan-akan merasa di atas angin karena berhasil membawa sang lelaki ke atas.
Mitha tersenyum remeh. Menggelengkan kepala keberanian keberanian sang jalang menantangnya. Dia dekati lelakinya, lalu duduk di hadapannya.
"Apa sudah cukup main-mainnya?" Netra berbalut selaput bening itu menghunjam manik hitam pekat milik Vano lekat.
Sang lelaki tersenyum. "Kenapa? Apa kau sakit hati?" tanyanya sinis.
Mitha tertawa. "Menggelikan, ini bukan yang pertama, Mas. Haruskah aku sakit hati?!" tanyanya balik tanya.
Wajah Vano berubah datar. Jadi. Lelaki itu berharap sang istri akan mengamuk dan memohon padanya, kemudian meminta cerai. Akan tetapi, Mitha tak selemah itu!
"Jika kau sudah selesai dengan jalan ini, segeralah kembali ke kantor. Rapat pemegang saham akan segera dimulai. Kau tidak mau, kan, jika Presiden mengetahui kelakuanmu?!" ancam Mitha sambil mengulas senyum tipis, tapi sarat intimidasi.
Vano mendengkus, lalu bangkit merapikan pakaiannya. Mitha berdiri, lalu membantu menyorongkan jas berwarna hitam ke tubuh si lelaki, mengikatkan dasi berwarna merah ke leher suaminya, 'Selesai' dia pulih sambil mundur. Lengkung senyum terbit di bibir wanita itu melihat karyanya tergantung rapi di sana. "Pergilah!" Dia berucap lagi seraya menunjuk pintu ke luar dengan dagu.
Lelaki itu tersenyum kecut, kemudian melangkah keluar kamar. Akan tetapi, jalang tadi menyebut nama Vano dengan nada suara menggoda yang terdengar menjijikkan di telinga Mitha.
"Mas, aku bagaimana?"
"Terserah! Aku enggak butuh kau lagi," jawab Vano dingin. Ekspresinya begitu datar, kemudian berderap meninggalkan kamar tempat dia berbagi peluh dengan wanita itu.
Setelah sosok Vano tak tampak di mata, Mitha berbalik. Dia mendekati sekretaris penjual langkah demi langkah. Pelan-pelan. Ketukan sepatunya seperti nyanyian kematian yang sangat merdu. Wanita berpenampilan seksi itu masih mencoba terlihat kuat, walau dari sorot mata terlihat sebenarnya dia ketakutan setengah mati. Tangannya meremas ujung gaun yang panjangnya hanya setengah paha. Begitu pun tetes keringat mengucur deras di belahan dada yang terekspos.
“Cih! Benar-benar murahan,” desis Mitha. "Jadi kau ingin menantangku, begitu?!" Kini dia berdiri tegak di depan si wanita yang tingginya hanya sebahunya. Wanita penggoda tersebut terlihat meneguk air liangnya. Dia mulai gentar, sorot matanya tidak sepongah tadi.
"JAWAB!"
Wanita itu terlonjak, hingga tanpa sadar langkahnya pasang surut ke belakang. Melihat ketakutan yang terpeta di wajah jalang itu, Mitha tertawa sumbang. Tangannya bergerak menampar pipi yang dibubuhi perona murahan sehingga terjengkang ke atas meleset. Rambut kemerahan panjang milik sekretaris Vano dia jambak sampai kepalanya terdongak.
"Kau pikir siapa dirimu?! Kau hanya alat untuk menyakitiku. Jika tak berguna maka kau akan disingkirkan," bisik Mitha di telinga wanita itu, nada suaranya terdengar kejam serupa dengan raut dinginnya.
Wanita itu hanya menangis, sambil menahan sakit di pipi karena pukulan kerasnya Mitha. Dia memegang tangan Mitha yang menjambak jenggot sangat erat. Tak sudi tangan wanita itu menyentuhnya, Mitha melepaskan cengkeramannya hingga wanita tadi jatuh terlentang di atas menambahkan.
"Maaf, Buk. Sudah waktunya." Anita, sang sekretaris pribadi mengingatkan sebelum Mitha bertindak lebih beringas. "Wanita ini biar, Haris yang menangani," lanjutnya.
Mitha mendengkus, mengalihkan perhatian pada lelaki bertubuh tegap yang berdiri di sampingnya.
"Haris, kau tahu apa yang harus dilakukan?"
"Tentu, seperti biasa akan ada yang membayar mahal tubuh wanita ini," jawabnya.
"Siapa?"
"Adik-kakak. Satu penyuka masokhis dan satunya nekrofilia," jelasnya dengan gamblang.
Mata wanita itu membelalak. Dia beringsut bersimpuh memohon ampun, tapi Mitha bergeming. "Bagus!" Mitha tersenyum puas. Dia merunduk, lalu membelai rambut panjang gundik suaminya. "Kau dengar itu? Selamat menikmati nerakamu," tambahnya sambil tertawa, lalu berbalik meninggalkan lawannya yang masih menangis memohon belas kasihan.
'Rasakan! Harusnya dia tidak bermain-main denganku'. Gumam Mitha dengan nada sinis. "Anita, carikan sekretaris baru untuk suamiku!" Dia memberi titah sambil terus berjalan.
"Segera, Buk!"
Dia, Prameswari Paramitha.
Seorang komisaris utama sekaligus istri yang tidak pernah dicintai, meski pun mencintai suaminya dengan mencintai jiwa raga. Dia, istri yang tak dianggap sekali pun keberadaannya penting bagi seorang Zivano Hermawan.Jangan pernah menilai seseorang dari luar saja. Terkadang apa yang dilihat mata tidak sesuai dengan kenyataan. Prameswari Paramitha. Wanita yang hidup bergelimang harta, disegani pegawai, ditakuti pesaing bisnis, bahkan hidupnya penuh sanjung juga puja. Mereka bilang hidupnya sempurna! Namun, tidak ada yang bisa mengira sedalam apa dia menyimpan semua lukanya.Dia seorang upik abu yang beruntung menjadi seorang ratu. Seperti ulat menjijikkan yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu cantik. Mereka tidak pernah tahu apa yang telah dikorbankannya hingga sampai di titik itu. Air mata, gelimang luka, bahkan cinta pertamanya. Andai mesin waktu itu ada, pasti dia orang pertama yang rela menukar dengan seluruh harta, bahkan jiwanya.Hutang budi yang ditanamkan keluarga Hermawan membuatnya tidak sanggup menolak keinginan sang pilar utama untuk dinikahkan dengan putra sulung keluarga tersebut. Lelaki berpostur tegap, berkulit putih, bergaris rahang tegas, dan memiliki sorot sedingin kutub. Zivano
Mitha baru saja memasukkan potongan roti yang dioles selai nuttella ke mulutnya ketika Anita-asisten pribadinya-masuk bersama dengan Haris, orang kepercayaannya. Mereka seperti sepasang tangan dan kaki untuk wanita itu. Apa yang dia pikirkan mereka bisa menebak. Bagi Anita dan Haris, Mitha seperti buku terbuka, begitu jelas terbaca.Begitu pun bagi Mitha. kedua orang itu penguat sekaligus orang-orang paling dia percaya selain dirinya sendiri. Keduanya selalu berada di barisan terdepan dan menjadi tameng untuknya. Mereka asisten, sahabat, juga keluarganya."Pagi, Buk," sapa Anita ramah.Mitha menyunggingkan senyum. "Anita, berapa kali kubilang. Panggil namaku saja bila tidak ada orang lain. Kau membuatku semakin tua saja! Ayo, temani aku sarapan," pintanyaAnita terkekeh, "Maaf, udah kebiasaan, jadi susah diubah," jawabnya. Anita duduk di samping kiri Mitha. Menuangkan teh ke dalam cangkir yang ada di atas meja."Apa, kau akan kenyang hanya dengan melihat kami sarapan?" tanya Mitha pad
"Hai, Princes!"..Mitha tersenyum kikuk. Kedua tangannya mencengkeram sendok untuk menetralisir gugup yang melanda, sementara jantungnya berlarian dengan tidak tahu malu. Mengentak keras seluruh urat nadi, menjalarkan rasa yang sulit dijabarkan dengan kata.Max duduk di sebelah Hermawan, tepat di depan Mitha. Netranya menatap wanita itu lembut. Sarat kerinduan di sana, rindu yang kini terlarang untuknya."Kamu semakin cantik, Mit," ujar Max menatap penuh kekaguman.Mitha berdehem, tak urung rona terlihat jelas di pipi chubby-nya, "Terima kasih." jawabnya singkat.Trang!Terdengar suara benda diletakkan kasar di sebelahnya. Wanita itu menoleh. Terlihat Vano meraih cangkir kopi dengan sebelah tangan laki-laki itu terkepal di paha. Sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja. Wajahnya terlihat merah padam dengan sorot mata lelaki itu berkilat cemburu.'Tidak mungkin ...!" desis Mitha. Mungkin dunia akan kiamat jika seorang Zivano Hermawan cemburu padanya."Akhirnya, Kamu in
Vano duduk sambil mengetuk-ngetukan jari ke meja kerja yang terbuat dari kayu jati. Sebelah tangannya berada di lengan kursi menopang dagu. Wajahnya terlihat gusar. Hatinya gundah mengingat yang dia lihat tadi siang di kantor Mitha. Setelah wanita itu membongkar kecurangan Surya Group, Vano menyusulnya ke kantor. Lelaki itu ingin memperbaiki hubungannya dengan sang istri. Mungkin sudah saatnya membuka hati dan melupakan masa lalu. Vano juga tidak ingin tersiksa dengan perasaannya. Dia ingin lebih jujur dan memberi ruang untuk rasa yang mulai tumbuh. Namun, baru saja sampai di pintu ruang kerja Mitha, Vano melihat Max sedang memeluk wanitanya.Amarah dan cemburu membaur jadi satu di dada Vano. Saudara tirinya itu benar-benar keras kepala. Ingin rasanya mematahkan tangan yang telah lancang memeluk Mitha, tetapi ditahannya rasa itu. Leaki itu tak ingin terlihat konyol di mata Mitha. Apa yang akan di pikirkan oleh wanita itu jika tiba-tiba saja dia memukul Max tanpa alasan? Tidak mungkin
"Apa yang kau lakukan, Max! Lepaskan aku!" Mitha berseru ketika tiba-tiba merasakan sepasang tangan kokoh memeluk pinggangnya dari belakang.Max semakin mengeratkan pelukannya. Membenamkan kepala di ceruk leher Mitha. "Sebentar saja, biarkan seperti ini, Princess ...."pintanya lirih."Max ...." erang Mitha saat merasakan pria itu mengendus lehernya. Sesaat kewarasan wanita itu lenyap. Rasa yang terkubur tiga tahun lalu perlahan muncul ke permukaan. Munafik jika dia tidak menyukai sentuhan Max. Meski puluhan purnama berlalu, tetapi tubuhnya masih mengingat rasa itu. Rasa hangat dan menenangkan.Hanya Max yang bisa menenangkan gundahnya. Memberi kekuatan saat dia rapuh, dan mengulurkan tangan ketika dia terpuruk."Kembalilah padaku, Mit. Ayo kita tinggalkan tempat ini. Tinggalkan suamimu yang brengsek itu," bisik Max.Mendengarnya refleks Mitha menyentak tangan Max kasar dan bergerak menjauh. "Keluar, Max!" perintah Mitha ketus.Bukannya menjauh, Max semakin mendekati Mitha yang tersudu
Mitha masih bergelung malas di dalam selimutnya. Udara dingin masuk dari balkon kamar yang terbuka, membuat wanita itu memilih melanjutkan tidurnya kembali. Dia seakan buta dengan sekitar, hingga tidak menyadari langkah Vano memasuki kamar. Belaian lembut di kepala membuat Mitha menggeliatkan tubuhnya malas. Alih-alih merasa terganggu, dia malah tersenyum semakin larut dalam mimpinya."Jika kau tidak juga bangun, mungkin aku akan bergabung denganmu di dalam selimut itu lagi," bisik Vano di telinganya.Netra Mitha seketika terbuka, menatap Vano dengan raut wajah bingung. "Kau? Apa yang kau lakukan di sini!" pekiknya. Mitha beringsut duduk di kepala ranjang, sambil menarik selimutnya hingga sebatas leher. Tentu saja reaksinya seperti itu. Saat ini dia hanya memakai kamisol dan celana super pendek. Meski mereka cukup intim seminggu terakhir, tetap saja ada kecanggungan terasa.Vano tertawa melihat reaksi istrinya itu, terlihat semakin menggemaskan dan menantang. Dia tidak pernah menyangk
[I miss you][Do you remember me]Puluhan notifikasi sejenis setiap hari masuk ke ponselnya. Akan tetapi, Vano memilih mengabaikan. Lelaki itu lebih fokus kepada pekerjaan dan hubungannya dengan Mitha .Sikap Vano semakin hari semakin posesif terhadap wanita itu. Dia selalu uring-uringan jika ada lelaki yang mendekatinya. Kalau sudah begitu dia akan merajuk hingga berhari-hari. Dia senang jika Mitha susah payah membujuknya. Seperti sebuah kesenangan baginya melihat sang istri kelimpungan, semakin terlihat menggemaskan.[Aku sangat merindukanmu. Bisa kita bertemu di cafe fovorit kita siang ini. Evelin]Netra Vano membola membaca pesan yang baru masuk keponselnya. Nama yang ingin dikuburnya bersama dengan masa lalu, kenapa setelah tiga tahun hadir kembali?Seketika wajah Vano gusar, hatinya digayuti awan hitam. Antara percaya dan tidak. Dia melirik benda yang melingkar di pergelangan tangannya, 'sudah jam makan siang' gumamnya. Vano gundah, siang ini dia sudah berjanji makan siang denga
Denting sendok yang beradu dengan piring menemani sarapan dua orang yang masih membisu sejak tadi malam. Vano terlihat sibuk dengan ponselnya. Lelaki itu sesekali tersenyum, kemudian jemarinya menari mengetik pesan yang ditujukan untuk seseorang. Mitha menggenggam erat kedua sendok di tangannya. Mencoba sekuat mungkin meredam gejolak emosi yang sedari tadi menyelubunginya. Wanita itu tidak buta atau pun bodoh. Tanpa melihat dia tahu siapa yang saat ini sedang berbalas pesan dengan lelakinya. Namun, dia mencoba menahan diri. Harga dirinya masih sangat tinggi jika harus dipertaruhkan dengan meratap atau menangis di hadapan Vano."Mas!" Akhirnya Mitha mengalah memutus kebungkaman yang sedari tadi mengikat mereka.Vano hanya diam, tanpa ada reaksi menoleh atau apapun. "Mas!" ulang Mitha. Vano mengangkat wajahnya, menjawab dengan malas. "Ada apa?""Nanti siang kita makan bareng, ya? Aku pengen ayam bakar madu," ajak Mitha."Sorry, Mit, aku nggak bisa. Ada janji sama klien. Mungkin sampa