Share

Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri
Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri
Penulis: Maheera

Prameswari Paramitha

Wanita itu terlahir kembali ke dunia tanpa tahu siapa kedua orang tuanya. Menurut Buk Asih, pengurus panti asuhan tempat dia dibesarkan, dia ditemukan di dalam kardus dengan tali pusar masih melekat di tubuhnya. Saat itu dini hari. Lengking tangisnya membangunkan semua penghuni panti. Kehadirannya bukanlah hal yang istimewa karena hampir setiap minggu ada bayi yang dibuang di sana. Tidak ada pengenal ditubuhnya, hanya sebuah kalung dari benang yang dijalin dan memiliki bandul dari kain hitam di tengah. Sungguh bukan peninggalan berharga, tetapi Buk Asih tetap tersimpan. Dia berkata, mungkin saja suatu hari benda itu berguna 

Hidup wanita itu memang tidak sempurna, tapi dia bahagia. Keluarga Hermawan bersedia membiayai pendidikannya hingga selesai. Namun, dengan konsekuensi yang berat di kemudian hari. Menikahi putra sulung keluarga itu dan melahirkan pewaris baru. Tentu bukan hal yang sulit jika keduanya memang saling cinta. Akan tetapi hidup, tidak seindah dongeng penghantar tidur. 

Sang pewaris sangat membenci wanita itu. Dia menyiksanya dengan membawa banyak wanita ke dalam hidup mereka. Akan tetapi, si wanita adalah ratu di istananya sendiri. Hampir apa pun selir yang dibawa suaminya akan disingkirkan karena dia adalah ratu meski tanpa mahkota

*

Langkah Mitha dengan tenang memasuki rumah yang di dalamnya terdapat manusia pendosa. Siapa lagi kalau bukan suaminya tercinta-Zivano Hermawan-dan jalang tidak tahu diri yang baru beberapa bulan menjadi sekretaris suaminya. Kedua asistennya setia berada di sampingnya. Mereka adalah orang-orang kepercayaan wanita bermata bulat itu. Dengan sekali gebrak pintu kamar terbuka lebar.

Suami wanita itu hanya menatap sekilas, kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya. Seolah-olah kehadiran sang istri bukanlah sesuatu yang penting. Lelaki itu meminum secangkir kopi dan menyesapnya dalam diam. Sementara di sisi tepian, si sekretaris sekaligus gundik baru lelaki itu merapikan baju kurang bahan yang mengundang syahwat. Dia berdiri sambil tersenyum pongah. Seakan-akan merasa di atas angin karena berhasil membawa sang lelaki ke atas.

Mitha tersenyum remeh. Menggelengkan kepala keberanian keberanian sang jalang menantangnya. Dia dekati lelakinya, lalu duduk di hadapannya. 

"Apa sudah cukup main-mainnya?" Netra berbalut selaput bening itu menghunjam manik hitam pekat milik Vano lekat.

Sang lelaki tersenyum. "Kenapa? Apa kau sakit hati?" tanyanya sinis.

Mitha tertawa. "Menggelikan, ini bukan yang pertama, Mas. Haruskah aku sakit hati?!" tanyanya balik tanya.

Wajah Vano berubah datar. Jadi. Lelaki itu berharap sang istri akan mengamuk dan memohon padanya, kemudian meminta cerai. Akan tetapi, Mitha tak selemah itu!

"Jika kau sudah selesai dengan jalan ini, segeralah kembali ke kantor. Rapat pemegang saham akan segera dimulai. Kau tidak mau, kan, jika Presiden mengetahui kelakuanmu?!" ancam Mitha sambil mengulas senyum tipis, tapi sarat intimidasi.

Vano mendengkus, lalu bangkit merapikan pakaiannya. Mitha berdiri, lalu membantu menyorongkan jas berwarna hitam ke tubuh si lelaki, mengikatkan dasi berwarna merah ke leher suaminya, 'Selesai' dia pulih sambil mundur. Lengkung senyum terbit di bibir wanita itu melihat karyanya tergantung rapi di sana. "Pergilah!" Dia berucap lagi seraya menunjuk pintu ke luar dengan dagu.

Lelaki itu tersenyum kecut, kemudian melangkah keluar kamar. Akan tetapi, jalang tadi menyebut nama Vano dengan nada suara menggoda yang terdengar menjijikkan di telinga Mitha.

"Mas, aku bagaimana?"

"Terserah! Aku enggak butuh kau lagi," jawab Vano dingin. Ekspresinya begitu datar, kemudian berderap meninggalkan kamar tempat dia berbagi peluh dengan wanita itu.

Setelah sosok Vano tak tampak di mata, Mitha berbalik. Dia mendekati sekretaris penjual langkah demi langkah. Pelan-pelan. Ketukan sepatunya seperti nyanyian kematian yang sangat merdu. Wanita berpenampilan seksi itu masih mencoba terlihat kuat, walau dari sorot mata terlihat sebenarnya dia ketakutan setengah mati. Tangannya meremas ujung gaun yang panjangnya hanya setengah paha. Begitu pun tetes keringat mengucur deras di belahan dada yang terekspos.

“Cih! Benar-benar murahan,” desis Mitha. "Jadi kau ingin menantangku, begitu?!" Kini dia berdiri tegak di depan si wanita yang tingginya hanya sebahunya. Wanita penggoda tersebut terlihat meneguk air liangnya. Dia mulai gentar, sorot matanya tidak sepongah tadi.

"JAWAB!" 

Wanita itu terlonjak, hingga tanpa sadar langkahnya pasang surut ke belakang. Melihat ketakutan yang terpeta di wajah jalang itu, Mitha tertawa sumbang. Tangannya bergerak menampar pipi yang dibubuhi perona murahan sehingga terjengkang ke atas meleset. Rambut kemerahan panjang milik sekretaris Vano dia jambak sampai kepalanya terdongak.

"Kau pikir siapa dirimu?! Kau hanya alat untuk menyakitiku. Jika tak berguna maka kau akan disingkirkan," bisik Mitha di telinga wanita itu, nada suaranya terdengar kejam serupa dengan raut dinginnya.

Wanita itu hanya menangis, sambil menahan sakit di pipi karena pukulan kerasnya Mitha. Dia memegang tangan Mitha yang menjambak jenggot sangat erat. Tak sudi tangan wanita itu menyentuhnya, Mitha melepaskan cengkeramannya hingga wanita tadi jatuh terlentang di atas menambahkan.

"Maaf, Buk. Sudah waktunya." Anita, sang sekretaris pribadi mengingatkan sebelum Mitha bertindak lebih beringas. "Wanita ini biar, Haris yang menangani," lanjutnya.

Mitha mendengkus, mengalihkan perhatian pada lelaki bertubuh tegap yang berdiri di sampingnya.

"Haris, kau tahu apa yang harus dilakukan?" 

"Tentu, seperti biasa akan ada yang membayar mahal tubuh wanita ini," jawabnya.

"Siapa?"

"Adik-kakak. Satu penyuka masokhis dan satunya nekrofilia," jelasnya dengan gamblang.

Mata wanita itu membelalak. Dia beringsut bersimpuh memohon ampun, tapi Mitha bergeming. "Bagus!" Mitha tersenyum puas. Dia merunduk, lalu membelai rambut panjang gundik suaminya. "Kau dengar itu? Selamat menikmati nerakamu," tambahnya sambil tertawa, lalu berbalik meninggalkan lawannya yang masih menangis memohon belas kasihan.

'Rasakan! Harusnya dia tidak bermain-main denganku'. Gumam Mitha dengan nada sinis. "Anita, carikan sekretaris baru untuk suamiku!" Dia memberi titah sambil terus berjalan.

"Segera, Buk!"

Dia, Prameswari Paramitha.

Seorang komisaris utama sekaligus istri yang tidak pernah dicintai, meski pun mencintai suaminya dengan mencintai jiwa raga. Dia, istri yang tak dianggap sekali pun keberadaannya penting bagi seorang Zivano Hermawan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status