Share

Bab 4

Penulis: Nay Azzikra
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-17 15:22:01

Part 4

“Maaf, tadi aku meeting dengan perusahaan semen. Maaf, aku sudah hilang kendali karena was-was dan cemas dengan keadaan Abi.”

“Kalau kamu memang cemas, seharusnya kamu pulang lebih awal. Bukan pulang terlambat, terus menyalahkan. Kemana saja tadi kamu, Mas? Apa meeting sampai sesibuk itu? Bahkan pesanku hanya kamu baca tanpa kamu balas.” Felicia menatap penuh selidik.

“Habis dari toko, aku langsung meeting, lanjut meninjau lokasi yang akan menjadi tempat toko baru kita lagi.”

“Kamu tidak datang ke toko hari ini, itu yang Harun katakan.”

“Aku datang waktu Harun sedang ada di belakang. Mengecek sebentar lalu pergi.”

“Kamu sudah tahu Abi sakit, kenapa malah meninjau lokasi baru, Mas?”

Di sini aku mulai kehabisan cara dan alasan untuk menjawab. Namun, aku berusaha bersikap setenang mungkin. “Pemiliknya memaksa aku untuk datang kesana secepatnya. Kalau aku tidak datang, bisa saja tanah itu sudah dijual ke orang lain. Bukankah kamu ingin kita punya toko yang tidak terlalu jauh dari sini?” Akhirnya, aku bisa membuat alasan lagi.

Felicia terlihat mulai curiga. Dia perempuan yang sangat cerdas yang ketika aku salah bicara, pasti akan ditanya dari akar sampai ujung.

“Kita bicarakan besok lagi. Aku akan menemui dokter,” kataku memutus pembicaraan lalu pergi meninggalkan Felicia.

Saat sampai di luar ruangan, hidung langsung menghirup udara sebanyak-banyaknya. Aku harus lebih hati-hati mulai sekarang. Felicia pasti akan mencari bukti jika aku sampai gegabah.

Kaki melangkah cepat menuju ruangan perawat.

Demam berdarah, penyakit yang menimpa Abizar. Tulangku lemas seketika mendengar itu. rasa takut menyergap dalam hati, membayangkan jika Abizar akan bernasib sama dengan anak pertama kami. Namun, aku segera menghempaskan pikiran buruk itu jauh-jauh. Abizar pasti akan sembuh.

Ah, seandainya pernikahan dengan Safira aku tunda, pasti Abizar masih bisa kutemani sejak pagi.

Aku kembali ke kamar dengan lutut yang sangat lemas. Langkah kakiku sangat pelan, terlebih saat membuka gagang pintu ruangan yang hanya dihuni oleh Abizar saja. Rasa malu tiba-tiba hadir karena telah menghianati Felicia, wanita yang telah mengrobankan segala hal untuk hidup bersamaku.

Kriettt ....

Pintu berbunyi lirih. Kulihat Felicia duduk di samping ranjang Abizar sambil memegang sebuah tasbih kecil. Mulutnya terus bergerak, ia pasti tengah berdzikir.

“Kamu mau makan? Kalau iya, ayo kita keluar! Abizar akan kutitipkan pada suster,” kataku pelan saat sudah berhadapan dengan Felicia yang terhalang ranjang Abizar.

“Tidak. Kamu saja keluar sendiri kalau mau makan,” jawabnya pelan.

Ponsel di celanaku bergetar lama. Aku tahu jika ada telepon. Untung tidak kubunyikan. Jangan-janagn Safira yang menelpon. Perasaanku berkecamuk, antara ingin menemani Felicia, atau keluar untuk menghubungi Safira. Otak kotorku merindukan suara de-sa-hannya.

Felicia tidak menatapku sama sekali. Matanya tidak lepas dari Abizar.

“Papah ...,” rintih Abizar lirih.

“Mama di sini, Sayang. Kamu perlu apa? Abizar mau minum?” Felicia langsung menyahut.

Apa dia marah padaku? Sudah tahu Abizar memanggilku, kenapa dia malah menyebut dirinya sendiri?

“Abizar, anak Papa, Papa di sini, Nak. Kamu mau sama Papa?” tanyaku pada Abizar dan mendekatkan wajah di kepalanya.

Saat itu, wajah Felicia pun sangat dekat denganku, tetapi lagi-lagi dia tidak memandangku. Tidak, Felicia tidak boleh marah. Aku harus bisa membujuknya. Kenapa juga aku harus menyalahkan dia tadi? Apa ini hukum alam karena aku sudah berbohong?

“Ma, dia mau sama aku. Kamu istirahat saja, ya? Kamu pasti capek karena sudah menjaga Abizar dari tadi siang. Gantian aku.” Aku berusaha membujuk Felicia.

“Tidak. Aku yang sudah bersalah kata kamu tadi. Jadi, aku yang menjaga Abizar. Kamu saja yang istirahat, sepertinya kamu lebih capek dari aku. Bukankah seharian kamu melakukan banyak hal? Sedangkan aku, aku hanya duduk di sini saja,” jawab Felicia masih dengan tidak mau menatapku.

“Maafkan aku, maaf, aku sudah salah bicara tadi.”

Ponselku kembali bergetar lama. “Baik, aku akan keluar mencarikan makan untuk kamu.” Tanpa menunggu jawaban dari Felicia, aku segera keluar kamar.

Tujuan utama bukan mencari tempar makan, tetapi mencari toilet. Setelah menemukan, aku langsung masuk ke dalam dan memeriksa ponselku.

Ada banyak pesan dan panggilan. Diantaranya dari Safira.

“Kenapa lama tidak mengangkat teleponku?” Protes Safira begitu aku balik menelpon.

“Aku bersama Felicia tadi.”

“Bagaimana keadaan Abizar?”

“Dia terkena demam berdarah. Panasnya tinggi dan tidak turun juga. Kamu jangan menghubungiku dulu ya! Aku akan di dalam bersama Felicia lagi,”

“Iya, Mas, gak papa. Aku hanya ingin memastikan kamu sudah sampai dengan selamat. Tunggui dulu Abizar sampai sembuh,” kata Safira lagi. “Aku sabar menantikan kamu kok, Mas. Kalau sudah membaik, pulang sebentar ya! Aku kangen ....” Dua kata terakhir yang Safira ucapkan membuatku darahku berdesir.

Akan tetapi, mengingat keadaan Abizar dan aku harus waspada, maka kuputuskan untuk mengakhiri obrolan kami meski harus menahan gelora penganti baru.

Selesai berbincang dengan Safira, aku kembali lagi ke dalam ruangan. Felicia menatapku tajam, memperhatikan dari bawah ke atas. “Kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanyaku.

“Bukankah kamu tadi pamit mau membelikan makanan? Mana makanannya?” Pertanyaan balik dari Safira membuatku berhenti melangkah seketika. Kenapa aku jadi lupa kalau alasanku keluar untuk mencari makan?

“Ah, iya, aku mau tanya sama kamu, kamu mau makan apa? Takutnya kalau tidak sesuai, malah kamu tidak mau memakannya.” Aku berhasil membuat alasan.

Wanita bermata sipit itu masih menatap tajam, membuatku salah tingkah. Seketika merasa jika oksigen di ruangan ini hampir habis.

“Aku tahu ada yang disembunyikan dariku, dan jika aku tahu itu sebuah kebohongan yang membuatku sakit hati, maka kamu tahu resiko yang akan terjadi,” ucap Felicia sambil berlalu pergi.

Felicia bangkit dan berjalan melewatiku tanpa menatap.

“Kamu mau kemana?” Pertanyaanku sama sekali tidak dijawab olehnya, hanya bunyi pintu tertutup yang menandakan jika ia sudah keluar dari ruang ini.

Segera kujatuhkan bobot pada sofa, menarik napas panjang dan menghembuskan napas perlahan. Berbohong pada Felicia membuat dadaku sesak. Kini otakku tidak hanya memikirkan bagaimana cara menyembunyikan pernikahan dengan Safira, tetapi juga dihadiri rasa takut bila akhirnya Felicia mengetahui semuanya.

Apakah aku lelaki yang jahat karena sudah menghianati sosok yang sudah berkorban banyak untukku? Akan tetapi, Safira juga wanita yang butuh perlindungan.

Ponselku kembali bergetar, tetapi hanya pesan, bukan panggilan.

Jangan lupa makan, Sayang! Kalau Abizar sudah membaik, pulang sebentar, ya! Aku sangat takut kalau lelaki itu datang lagi.

Aku memilih mematikan layar ponsel. Ancaman Felicia membuatku sangat takut, sehingga tidak peduli dengan keadaan Safira.

Apa aku memang belum pantas beristri dua dan memberi keadilan pada mereka berdua?

Bab terkait

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Bab 5

    Part 5POV FeliciaNamaku Felicia. Aku lahir dari etnis bermata sipit. Sebelum menikah dengan Mas Hanan, aku bekerja di sebuah perusahaan asing di bidang industri barang konsumen primer dengan gaji yang fantastis. Terlebih saat bisa melakukan penjualan di atas targert yang ditentukan, pasti akan mendapat bonus dari atasan. Beberapa bulan bekerja, aku langsung diangkat menjadi asisten manager. Karirku memang menanjak cepat saat itu.Orang tuaku termasuk keluarga yang mapan. Mereka memiliki toko bahan bangunan besar yang ramai pengunjung. Kami keluarga yang taat pada Tuhan. Setiap akhir pekan, selalu beribadah bersama.Kami tiga bersaudara dan aku anak tengah. Kakakku sudah menjadi dokter, dan adikku saat ini sudah menjadi pengacara, juga memiliki bisnis toko elektronik.Saat berumur dua puluh empat tahun, aku berkenalan dengan Mas Hanan. Dia bekerja sebagai kasir di toko Papa. Pemuda yang sangat religius, jujur dan sopan. Seorang lelaki yang berasal dari keluarga pas-pasan. Entah kena

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Bab 6

    Part 6Setelah Abizar berusia empat tahun, aku dan Mas Hanan mulai merintis usaha toko bangunan dan sebuah kota kecil yang berjarak dua jam dari tempat kami tinggal. Awalnya aku ikut, tetapi kemudian memilih kembali ke rumah karena butik tidak ada yang mengurus. Lagi pula, Abizar jadi sering sakit karena tinggal di daerah berudara dingin.Saat itu kami sudah memiliki orang kepercayaan, sehingga Mas Hanan bisa sering pulang ke rumah.Mama, Papa, Mas Ferry dan Dion, belum pernah sekalipun mencari keberadaanku. Aku sempat beberapa kali pulang ke rumah, tetapi mereka tidak mau menemui. Pernah ketika keluarga merayakan hari raya, aku datang dengan membawa Abizar. Akan tetapi, satpam langsung memintaku pergi.“Maaf, Non Felic, saya dilarang menerima Non Felic, jadi tolong, pergi saja, ya! Nanti saya kehilangan pekerjaan,” ucap satpam.Meski sedih, aku memaklumi dan memilih pergi.“Berdoa saja, semoga Allah melunakkan hati keluarga kamu,” kata Mas Hanan menghibur. “Kalau suatu ketika mereka

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-17
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Bab 7

    Part 7POV SafiraMas Hanan, satu nama yang akhirnya mengisi hati ini setelah sekian lama terbelenggu rasa sakit yang tak terperi.Tidak ada satu pun wanita yang ingin seperti aku, menjanda di usia muda tanpa pekerjaan dan harus menanggung satu anak dan juga seorang ibu. Aku menikah di usia yang belia, yakni delapan belas tahun karena sebuah kecelakaan. Saat itu baru lulus SMA.Ah tidak! Sebenarnya aku sudah hamil sejak enam bulan sebelum kelulusan, tetapi bisa ku tutupi karena badan yang langsing. Adalah Mas Angga, cowok kakak kelas yang sudah berpacaran denganku sejak kelas dua SMA. Saat kami menikah, ia sudah duduk di bangku kuliah. Mas Angga berasal dari keluarga yang sederhana, sehingga kehidupan kami sangat kekurangan pada awal pernikahan.Terlahir sebagai anak semata wayang, Bapak hanya seorang sopir angkutan umum dan harus meregang nyawa setelah menikahkanku. Mungkin depresi karena aib yang sudah ku torehkan. Sementara Ibu, harus bekerja sebagai pembantu setelah kepergian Bapa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-20
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 8

    Part 8Lelaki itu, dari mana tahu keberadaanku?Mas Angga hendak menarik tanganku, tetapi Mas Hanan sigap menghadang.“Aku tidak tahu siapa Anda, tetapi alangkah buruknya perangai Anda, memukul seorang wainta.” Dengan tegas Mas Hanan melindungiku.“Minggir jangan ikut campur! Dia istriku. Siapa kamu? Ah, jangan-jangan, kamu sudah menikah lagi ya, Safira? Pernikahan haram karena kamu masih menjadi istri sahku. Kenapa kamu menikah lagi, Safira? Apa karena kamu gatal, hah?” teriak Mas Angga.“Jaga bicaranya, Mas! Duduklah dan bicarakan baik-baik. Aku bukan suami Mbak Safira.”“Lalu siapa? Kamu datang untuk memuaskan nafsunya?” bentak Mas Angga.“Saya CV yang akan mengerjakan rumah Mbak Safira. Anda siapa? Datang-datang berteriak dan memukul seorang wanita?”Ah, Mas Hanan, bahkan di saat pria di hadapannya berkata kasar, ia masih bersikap lembut. Semakin membuat hati ini tertarik.“Saya suami dia. Mau apa kamu? Sekarang juga, hentikan pembangunan apapun di sini! Kalau tidak ingin saya tun

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-21
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 9

    Part 9“Katanya mau buat kamar lagi, kenapa belum juga beli bahan bangunan? Ibu nanti bilang sama tukang kalau sudah siap semuanya,” tanya Ibu seusai shalat Isya.“Entah, Bu, aku rasanya tidak bersemangat lagi. Kapan-kapan saja, Bu,” jawabku sambil masuk kamar.“Bagaimana, Safira, kamu siap apa tidak untuk bercerai dari Angga? Kalau sudah siap, Ibu kabari paman kamu.”“Aku belum memikirkan itu, Bu, aku sedang tidak enak badan.”“Kasihan Nayma, dia butuh sosok ayah. Bila memang kamu masih mencintai Angga, bolehlah bicarakan hal ini bagaimana baiknya, apa dia mau merubah sifat kasarnya. Kalau Ibu sejujurnya sudah tidak ingin kamu kembali sama dia. Tapi apa kamu mau seperti ini terus? Buat keputusan, Safira! Agar status kamu jelas.”Aku abai akan ucapan Ibu, memilih menutup pintu rapat dan menelungkupkan tubuh di atas kasur. Dari dulu, hati ini sulit untuk jatuh cinta. Sekalinya jatuh cinta, susah untuk berpaling. Itu sebabnya meski Mas Angga sangat kasar, dulu masih bertahan sebagai ist

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 10 A

    Part 10Hari-hari berlalu seperti biasanya dan Mas Hanan tidak pernah lagi mengikuti kajian. Apa dia tahu kalau aku menaruh rasa dan sengaja menghindar?Entahlah ....Ibu tidak pernah lagi membahas perceraianku dengan Mas Angga. Aku tetap berkomitmen akan menyelesaikan hubunganku dengan Mas Angga bila sudah menemukan sosok penggantinya.Siang itu cuaca mendung. Nayma ada kegiatan kemah pramuka di sekolah. Ibu ada job memasak di tempat orang hajatan. Karena merasa kesepian, aku iseng jalan-jalan naik motor ke sebuah tempat yang pemandangannya bagus. Masih sekitar kotaku tinggal.Rintik-rintik hujan mulai turun dan baru sadar jika tidak ada jas hujan yang kubawa. Naas, ternyata ada proyek pelebaran jalan yang mengakibatkan jalanan licin. Motorku tergelincir dan terjatuh. Jalan sepi hanya ada sepasang suami istri yang lewat dan menolong. Si istri lalu menghentikan satu mobil yang kebetulan lewat. Aku terkapar tak bisa bangun meski masih bisa mendengar. Beberapa anggota tubuh terasa perih

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 10 B

    “Kalau masih mau melakukan kekerasan, saya akan panggil polisi. Perbuatan Anda sudah saya rekam,” ucap Mas Hanan tenang.“Kamu jangan ikut campur!” Mas Angga mengacungkan jari telunjuk tepat di depan wajah Mas Hanan.“Jelas saya ikut campur. Ada wanita lemah yang terancam keselamatannya. Jadi, pergi atau saya panggil polisi?”“Aku akan datang lagi nanti malam, Safira!” Mas Angga yang kesal berlalu pergi.Aku menangis tersedu-sedu. Mas Hanan memintaku membuka pintu rumah. Ia lalu membuatkan segelas teh hangat, nasi dan menyuruhku minum obat. Ah, beginikah rasanya diperlakukan sebagai ratu dalam rumah tangga?“Terima kasih, Mas sudah menolongku.”“Aku teringat adik perempuanku. Aku membayangkan jika dia ada di posisimu.”“Senang rasanya yang menjadi adik Mas Hanan. Andai aku punya kakak, pasti tidak akan seperti ini. Aku tidak ada tempat untuk bersandar atau mengadu. Ibu juga seorang janda. Kami jauh dari keluarga. Pergi ke tempat ini agar jauh dari Mas Angga, tapi ternyata dia menemuka

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-24
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 11 A

    Part 11“Mas Hanan, benarkah ini kamu, Mas? Mas, aku dimana? Dan lelaki jahat itu, dia kemana?” Setelah benar-benar sadar, aku bertanya kembali.“Jangan bertanya dulu, lebih baik kamu istirahat, yang penting kamu sudah berada di tempat yang aman sekarang dan suami kamu, dia tidak akan kesini lagi.”Aku menangis dan hendak memeluk Mas Hanan karena merasa butuh sandaran.“Jangan, Safira! Aku bukan muhrim kamu. Tunggu sebentar! Aku akan panggil Mbak Salamah. Dia ada di luar.”Ucapan Mas Hanan membuatku malu. Ya Allah, aku ingin menjadi yang halal untuknya. Agar bisa berlindung di balik punggungnya yang kekar. Sungguh ya Allah, aku rela jika ditkadirkan menjadi selir, asal lelaki yang menjadi suamiku adalah Mas Hanan.“Mbak Safira sudah bangun? Ya Allah, untung saja kami datang tepat waktu sehingga Mbak Safira bisa diselamatkan.” Mbak Salamah datang sambil mengusap kepalaku lembut.“Mbak Salamah ikut ke rumahku?”“Iya, Mbak. Pak Hanan menelpon Abi dan mengajak kerumah kamu. Pintu depan te

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-25

Bab terbaru

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 16 B

    Di rumahnya, Safira benar-benar menjalani peran sebagai istri yang baik. Ia berusaha keras untuk menjadi istri yang lebih baik dari Felicia, meski belum mengenal sosok madunya seperti apa.“Jangan menuntut Hanan untuk banyak hal saat ini, Safira!” kata ibunya saat Safira berkeluh kesah tentang Hanan yang cuek pada Nayma. “Nanti malah suami kamu akan meninggalkan kamu. Rebut hatinya sedikit demi sedikit! Ingat, Safira! Kamu hanya istri siri yang mudah untuk diceraikan. Tetapi mencari lelaki seperti Hanan itu susah. Ibu mengizinkan kamu menjadi istri kedua, itu karena suamimu adalah Hanan. Orang kaya yang kamu tidak akan kelaparan dan kekurangan apapun. Masalah Nayma, buat Hanan sedikit demi sedikit menyayangi anak kamu. Ibu tentu ingin anakmu lebih disayang daripada anak kandungnya. Mengalah untuk menang! Itu yang harus kamu lakukan.”“Maksudnya bagaimana, Bu?”“Manjakan suami kamu! Kamu tidak punya harta seperti Felicia, maka kamu harus memberikan yang lain! Nayma, sementara waktu biar

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 16 A

    Part 16POV AuthorFelicia meletakkan ponsel di kursi sebelah. Ia sudah bersiap ke butik setelah mengantar Abizar ke sekolah. Jarinya mengetuk setir mobil berkali-kali. Tak lama kemudian, ia menelpon seseorang.“Antarkan aku nanti sore ke tempat suamiku bekerja,” ucapnya. “Ah, tidak. Kita berangkat agar sampai sana jam satu siang. Aku akan mengurus bisnisku dulu, nanti ke sekolah buat kasih tahu Abizar.”Dengan cepat Felicia melakukan segala aktivitas agar pukul sebelas ia bisa meluncur ke toko bangunan Hanan.“Jadi bagaimana, Ibu Felic, apakah Ibu sudah mendapatkan tempat baru untuk cabang butik Ibu?” tanya partner bisnisnya yang baru.“Sudah. Aku juga sudah melakukan pembayaran dan sertifikat toko itu sudah berpindah padaku. Tempatnya memang bukan di jalan raya kota, tetapi jalan depan lebar, jadi kalau ada mobil berbelanja di sana, lalu lintasnya mudah. Tempat parkir luas dan tokonya besar. Saya ambil di situ karena tidak menemukan yang dekat dengan jalan besar, lagian harganya sed

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 15 B

    “Gimana, kamu setuju tidak akan pergi kemana-mana? Maksudnya, menginap. Kalau siang hari. Gak papa, Mas, kamu bekerja.”Aku mengangguk.“Mbak Salamah kirim pesan, Mas. Katanya kita ditunggu di rumah dia, suruh buat acara tasyakuran pernikahan. Gimana, Mas? Bisa nggak kira-kira?”Apa lagi ini? Belum juga bisa membatalkan acara dengan felicia, sudah ada lagi permintaan dari Mbak Salamah.“Kita jangan jawab dulu, soalnya aku masih capek.”“Ouh, baiklah. Dijawab belum bisa kasih kepastian gitu ya?”Malam itu aku merasakan sesuatu hal yang berbeda. Pulang bersama istri, sholat berjamaah dan menghabiskan waktu bersama. Safira manja luar biasa, seperti sedang balas dendam dengan penderitaan masa lalunya. Ditambah di rumah hanya berdua.“Mas, bobok di depan tivi saja, ya?” rengeknya manja sambil memainkan daguku.“Di kamar saja kenapa?”“Aku ingin sensasi yang berbeda,” bisiknya.“Mas, gendong.”“Mas peluk aku ya tidurnya. Jangan lepasin tangannya lho!”“Mas, besok pagi mau sarapan apa?”“Sia

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 15 A

    Part 15Hari kedua aku masih sibuk berbelanja. Harun berkali-kali tertangkap sedang menatap lama ke arahku, tapi saat aku memandangnya, langsung berpaling ke arah lain. Ini tidak bisa dibiarkan. Dia kenal dekat dengan Felicia. Beberapa karyawan laki-laki yang rumahnya jauh, memang tidur di kamar belakang. Sedangkan Harun, hanya kadang-kadang saja ketika banyak barang baru yang datang dan mengharuskan lembur.Kenapa harus takut? Aku memang biasa pulang ke rumah lain selain yang ada di toko.“Harun, kita harus lembur sampai besok untuk belanjaan. Lusa aku sudah janji mau ajak Abizar ke Bromo. Sepertinya paling cepat di sana empat atau lima hari, tergantung Abizar nanti maunya bagaimana. Jadi, kamu tahu ya apa yang harus dilakukan? Insya Allah stok untuk satu minggu kedepan aman. Oh iya, pembukuan yang belum disetorkan pada Felicia, kirim sama aku ya!” Untuk menghentikan aktivitas Harun yang sering mencuri pandang, aku berkata demikian.“Baik, Pak. Mau dikirim kapan?”“Kalau kamu sudah i

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 14B

    “Tidak ada sesuatu yang instan, Safira. Aku minta maaf karena sudah membuat kamu terluka. Aku lelah sekali. Abizar sakit, Felicia mulai curiga dengan perubahanku. Aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan sekarang. Aku masih belajar menjadi seorang lelaki yang mempunyai dua istri. Jika kamu mau menyalahkanku kenapa menikahi kamu, sekarang aku balik bertanya, Safira. Kenapa saat kamu didatangi mantan suamimu, akulah orang yang kamu panggil dan mintai tolong? Kenapa tidak orang lain saja? Kamu ikut menciptakan situasi dimana aku harus punya rasa iba sama kamu.”Safira berhenti menangis.“Aku mengambilmu dengan cara yang halal. Kita belum terlalu saling kenal sifat masing-masing. Kamu punya anak, aku siap menerima, tetapi untuk menjadi dekat layaknya ayah dan anak, semua butuh proses Safira. Jujur saja, saat melihat Abizar sakit, aku merasa menyesal sudah menghianati Felicia.”“Iya, Mas, aku memang tidak berarti apa-apa bagi kamu. Apalagi Nayma, aku sudah sadar diri kok, Ma

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 14 A

    Part 14“Pak Hanan mau pulang?” tanya Harun ketika aku sudah bersiap pulang ke rumah Safira. Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam.Aku memang mempunyai rumah pribadi yang lain dan lebih sering tinggal di sana daripada di toko rumah dekat toko.“Iya.”“Tumben, Pak, biasanya menginap di sini kalau sedang pesan barang banyak.”“Aku agak pusing kepalanya, Harun. Nungguin Abizar sering tidak tidur. Tadi pagi berangkat nyetir sendiri, sampai sini langsung bekerja, rasanya perlu istirahat di tempat yang sepi. Kamu urus saja semuanya, ya?”“Iya, Pak,” jawab Harun sambil mengangguk.Aku langsung masuk mobil menuju rumah Safira. Nayma rupanya sudah menunggu di teras rumah sambil main boneka. Gadis kecil itu berdiri malu-malu. Aku mendekatinya meski jujur saja, rasa sayang padanya belum ada dalam hati. Yang ada hanyalah sedikit perasaan kasihan akan nasib yang diderita.“Salim sama Ayah! Kenapa malu gitu?” Safira langsung muncul dari balik pintu.“Sudah makan?” Aku bertanya.Nayma menggele

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 13 B

    Aku membuka mata, ternyata benar, Safira datang ke toko. Entah kenapa begitu cemas, takut kalau dia akan menyapaku layaknya suami istri. Ah dia sepertinya sedang mengecek apakah aku sudah kembali apa belum. Safira sangat cantik hari ini. Dia memakai gamis yang belum pernah aku lihat. Wajahnya dipoles riasan tipis dan memakai kacamata D frame dengan lensa setengah gelap.“Ada toilet gak, Mas?” tanya Safira pada Harun.“Adanya di rumah, Bu,” jawab Harun.Apa dia sedang memberi kode padaku untuk berbincang?“Di rumah belakang?”“Iya, tapi nggak ada orang.” Harun sepertinya ragu mempersilakan orang lain masuk rumah sendirian. “Semua pelayan sibuk, Mbak lihat sendiri ‘kan, toko ramai? Jadi tidak ada yang bisa mengantar.”“Gimana ya, Mas, udah kebelet nih.”“Pak Hanan, apa Pak Hanan mau ke dalam rumah?” tanya Harun padaku.“Ya sudah gak papa, aku antar,” kataku sambil berdiri.Safira berjalan di belakangku.“Kok gak bilang kalau sudah pulang?” Ketika sampai di dalam rumah, Safira langsung be

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 13 A

    Part 13POV HananAku menghentikan mobil ke tepi jalan setelah meninggalkan rumah dalam jarak lima kilometer. Hidungku menghirup udara banyak-banyak. Rasanya seperti menahan napas berhari-hari selama bersama Felicia. Kepala kusandarkan pada sandaran kursi sambil memejamkan mata dengan tangan masih memegang setir mobil. Untungnya Safira bisa dikondisikan. Pada malam pertama Abizar di rumah sakit, aku sudah mewanti-wanti dia untuk tidak menghubungi sebelum ku telepon. Nomernya juga sudah ku hapus dari kontak, pesan dan daftar panggilan.Hati ini menyadari jika sudah berbuat salah yang teramat besar pada Felicia. Dia wanita yang cerdas dan kuat. Jika mengetahui aku telah menghianati, ia pasti akan membuat sebuah tindakan yang aku sendiri tidak memprediksi. Berpisah dengan orang tuanya saja, dia mampu melewati apalagi meninggalkanku.Tak terasa bulir bening jatuh dari pipi. Ya Allah, kenapa harus dipertemukan dengan Safira? Dari awal perkenalan kami, aku sudah menghindar karena Safira ter

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 12 B

    Jika toko itu diberikan pada Harun, kita jangan terlalu percaya pada orang lain.“Tidak perlu melakukan semua itu, Mas! Abi hanya meminta waktumu saja. Dia sangat kesepian karena keluarga dia hanya kamu dan aku saja. Tetap jalankan toko seperti biasa, aku yang akan mengubah kebiasaanku,” ucapku memberi keputusan.“Maksud kamu, Felic?” tanya Mas Hanan.“Jika kamu tidak pulang maka ....” Aku menggantung kalimat yang ku ucapkan.“Maka kamu yang akan kesana?” Mas Hanan langsung paham.“Iya, kamu keberatan?” tanyaku memastikan.“Ah, tidak sama sekali, Felic. Kamu bebas datang kapanpun kamu mau. Toko itu milik kamu, aku hanya ditugaskan kamu untuk mengembangkan saja. Jika kamu mau mengurusnya sendiri juga aku dengan senang hati akan hanya membantu saja. Kalau begitu, apa butiknya saja yang kamu tutup?”“Gampang, Mas, bisa diatur. Itu urusanku.”“Felic, terima kasih sudah mau hidup denganku, mengangkat derajatku dari pemuda miskin hingga menjadi seperti saat ini. Aku sangat berhutang budi pad

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status