Part 6
Setelah Abizar berusia empat tahun, aku dan Mas Hanan mulai merintis usaha toko bangunan dan sebuah kota kecil yang berjarak dua jam dari tempat kami tinggal. Awalnya aku ikut, tetapi kemudian memilih kembali ke rumah karena butik tidak ada yang mengurus. Lagi pula, Abizar jadi sering sakit karena tinggal di daerah berudara dingin.
Saat itu kami sudah memiliki orang kepercayaan, sehingga Mas Hanan bisa sering pulang ke rumah.
Mama, Papa, Mas Ferry dan Dion, belum pernah sekalipun mencari keberadaanku. Aku sempat beberapa kali pulang ke rumah, tetapi mereka tidak mau menemui. Pernah ketika keluarga merayakan hari raya, aku datang dengan membawa Abizar. Akan tetapi, satpam langsung memintaku pergi.
“Maaf, Non Felic, saya dilarang menerima Non Felic, jadi tolong, pergi saja, ya! Nanti saya kehilangan pekerjaan,” ucap satpam.
Meski sedih, aku memaklumi dan memilih pergi.
“Berdoa saja, semoga Allah melunakkan hati keluarga kamu,” kata Mas Hanan menghibur. “Kalau suatu ketika mereka menerima kedatanganmu, jangan pernah membahas agama kita! Jangan pernah berdebat tentang perbedaan ajaran agama, karena keyakinan adalah tentang hati yang tidak boleh dijadikan bahan untuk berdebat. Seandainya ya, seandainya masih ada saudara jauh yang mengajak kamu berdebat masalah ini, maka lebih baik kamu diam, jangan menanggapi. Kamu berpindah keyakinan, itu sudah melukai perasaan mereka, maka jangan pernah membantah apapun yang mereka ucapkan. Cukuplah Islam kamu pilih sebagai pedoman hidup, bukan untuk mencaci,” tambahnya lagi.
Ah, suamiku, dia benar-benar orang yang pandai menjaga perasaan orang lain.
***
Aku mencium gelagat yang aneh dengan perilaku Mas Hanan saat ini. Ah, tidak, bahkan dari beberapa minggu terakhir. Ia sudah jarang pulang dengan alasan yang kadang tidak masuk akal. Terlebih saat ini, ketika Abi sakit, feeling-ku sebagai istri, sangat tidak enak. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan.
“Aku tahu ada yang disembunyikan dariku, dan jika aku tahu itu sebuah kebohongan yang membuatku sakit hati, maka kamu tahu resiko yang akan terjadi,” ucapku sambil berlalu pergi meninggalkannya di kamar untuk menunggui Abizar.
Kaki melangkah keluar rumah sakit untuk mencari makan. Meski tidak nafsu, perut harus terisi agar jangan sakit. Untuk pertama kalinya setelah menikah, aku tidak peduli apakah Mas Hanan sudah makan, atau belum. Setelah selesai, memilih membayar tanpa membungkus nasi.
Perasaanku masih kesal pada dia. Rasa yang baru kali ini hadir dalam hati setelah beberapa tahun menikah.
“Abizar tadi minta minum, tapi sudah aku beri minum. Dia menanyakanmu, kamu habis makan ya? Apa tidak sekalian membelikan untukku?” tanya Mas Hanan saat aku masuk hanya membawa satu botol air mineral.
“Kamu bisa mencari sendiri. Hanya sekedar mencari makan, masa tidak bisa? Aku saja bisa mengurus anak sakit sendirian,” jawabku ketus sambil duduk di samping ranjang. “Dari tadi keluar cari makan masa tidak dapat. Nggak niat cari makan, makanya lupa,” lanjutku lagi.
“Ah iya, kamu tidur saja di sofa! Aku yang menjaga Abi,” ucap Mas Hanan.
Aku segera bangkit dan bertukar posisi. “Ah iya, dua bulan ini kamu belum memberikan laporan keuangan toko sama aku ya, Mas. Aku tunggu besok.”
“Ah, i-iya, tapi aku tidak bawa buku dan file karena cepat-cepat tadi.”
“Laba tiga bulan ini juga belum masuk ke rekeningku. Kata Harun, toko ramai setiap harinya, seharusnya keuntungan meningkat dari bulan kemarin.”
“I-ya, soalnya buat cadangan beli tanah untuk cabang toko baru.”
“Kita sudah sepakat untuk apapun itu, semua harus masuk dan keluar lewat rekeningku. Dua bulan ini sepertinya tidak menggunakan rekeningku untuk transaksi apapun. Tidak ada laporan email, maupun SMS.” Aku terus memberondong Mas Hanan dengan nada yan tenang meski hati bergemuruh.
“Maaf, Felic, itu karena toko ramai, jadi uang tidak sempat masuk rekening. Besok aku bawa kesini buku laporannya.” Mas Hanan menatapku dengan tatapan yang aku tidak paham, tetapi aku yakin dia menyembunyikan suatu hal.
“Dari awal kita sudah sepakat untuk jujur dalam hal apapun. Terlebih, apa yang menjadi hasil kita bersama saat ini, itu semua berasal dari jerih payahku. Aku bukan berarti menjadikanmu sebagai suami yang takut pada istri, tetapi ini lebih pada kejujuran yang sudah kita sepakati bersama. Toh, untuk uang bulanan ibumu, aku masih memberikan setiap bulan. Sifa, adik kandungmu juga membuka usaha setelah menikah dengan bantuan modal dari aku. Ibu mau berangkat umroh, atau butuh apa, beliau selalu meminta padaku. Jadi, tidak ada yang perlu kamu sembunyikan dari aku, ‘kan? Kecuali kamu memang punya rahasia selain yang berhubungan dengan keluarga kamu.”
Mas Hanan duduk terpaku sambil terus memandangku.
“Aku sudah mengamati perubahan kamu beberapa bulan ini. Dan memang ada yang lain dari sikap kamu. Ada yang berubah. Puncaknya adalah saat ini, dimana Abi sakit dan kamu terkesan mengabaikan dia.”
“Ma-maaf, maafkan aku, Felic. Aku salah, aku lebih mementingkan urusan toko daripada Abizar. Lain kali, aku tidak akan seperti itu lagi. Tentang aku yang jarang pulang, aku juga minta maaf. Semua ku lakukan demi usaha kita,” ucap Mas Hanan sambil menunduk.
Aku tidak menanggapi. Memilih berbaring di atas sofa dan menyelimuti tubuh dengan kain yang sudah ku bawa dari rumah. Setelahnya mencoba memejamkan mata meski hati dan pikiran masih terjaga.
Beberapa menit berselang, aku merasa Mas Hanan mendekap tubuhku erat, menicum kening berkali-kali. Setelahnya terdengar pintu berderit, aku membuka mata sedikit dan melihatnya keluar.
Aku akan menyelidiki mengapa dia berubah. Orang ketiga dalam pernikahan berasal dari tiga arah. Keluarga suami yang toxic, teman yang masih mengganggu waktunya, atau ada wanita lain yang hadir dalam hidup kami. Menikah dengannya, aku telah mengorbankan banyak hal, sampai rela hidup sebatang kara. Mengangkat derajatnya dari orang tidak mampu, menjadi pria kaya, juga keluarganya yang sekarang hidup sejahtera. Jika terbukti Mas Hanan berpaling, maka aku tidak akan mengembalikan hidupnya kembali pada posisi semula.
Bukan tanpa sebab aku berpikir demikian, perubahan sikapnya sudah menjadi catatan selama beberapa bulan, hanya saja belum menemukan momen yang pas untuk mencari tahu.
Tubuh dan pikiran yang lelah nyatanya tidak mampu membuar diri terlelap. Memilih iseng membuka media sosial, hal jarang ku lakukan. Mata memanas ketika melihat keluargaku semua berkumpul dalam acara pernikahan Dion. Foto yang tidak lengkap karena tidak ada diriku di sana, tetapi Mama dan Papa terlihat bahagia. Apa mereka sudah melupakanku?
Sejujurnya aku sering menangis menahan rindu pada mereka. Meski aku memilih jalan yang berbeda, mereka tetaplah keluarga sampai kapan pun.
Hati tak pernah berhenti berdoa agar suatu ketika bisa bersama lagi dengan mereka.
Part 7POV SafiraMas Hanan, satu nama yang akhirnya mengisi hati ini setelah sekian lama terbelenggu rasa sakit yang tak terperi.Tidak ada satu pun wanita yang ingin seperti aku, menjanda di usia muda tanpa pekerjaan dan harus menanggung satu anak dan juga seorang ibu. Aku menikah di usia yang belia, yakni delapan belas tahun karena sebuah kecelakaan. Saat itu baru lulus SMA.Ah tidak! Sebenarnya aku sudah hamil sejak enam bulan sebelum kelulusan, tetapi bisa ku tutupi karena badan yang langsing. Adalah Mas Angga, cowok kakak kelas yang sudah berpacaran denganku sejak kelas dua SMA. Saat kami menikah, ia sudah duduk di bangku kuliah. Mas Angga berasal dari keluarga yang sederhana, sehingga kehidupan kami sangat kekurangan pada awal pernikahan.Terlahir sebagai anak semata wayang, Bapak hanya seorang sopir angkutan umum dan harus meregang nyawa setelah menikahkanku. Mungkin depresi karena aib yang sudah ku torehkan. Sementara Ibu, harus bekerja sebagai pembantu setelah kepergian Bapa
Part 8Lelaki itu, dari mana tahu keberadaanku?Mas Angga hendak menarik tanganku, tetapi Mas Hanan sigap menghadang.“Aku tidak tahu siapa Anda, tetapi alangkah buruknya perangai Anda, memukul seorang wainta.” Dengan tegas Mas Hanan melindungiku.“Minggir jangan ikut campur! Dia istriku. Siapa kamu? Ah, jangan-jangan, kamu sudah menikah lagi ya, Safira? Pernikahan haram karena kamu masih menjadi istri sahku. Kenapa kamu menikah lagi, Safira? Apa karena kamu gatal, hah?” teriak Mas Angga.“Jaga bicaranya, Mas! Duduklah dan bicarakan baik-baik. Aku bukan suami Mbak Safira.”“Lalu siapa? Kamu datang untuk memuaskan nafsunya?” bentak Mas Angga.“Saya CV yang akan mengerjakan rumah Mbak Safira. Anda siapa? Datang-datang berteriak dan memukul seorang wanita?”Ah, Mas Hanan, bahkan di saat pria di hadapannya berkata kasar, ia masih bersikap lembut. Semakin membuat hati ini tertarik.“Saya suami dia. Mau apa kamu? Sekarang juga, hentikan pembangunan apapun di sini! Kalau tidak ingin saya tun
Part 9“Katanya mau buat kamar lagi, kenapa belum juga beli bahan bangunan? Ibu nanti bilang sama tukang kalau sudah siap semuanya,” tanya Ibu seusai shalat Isya.“Entah, Bu, aku rasanya tidak bersemangat lagi. Kapan-kapan saja, Bu,” jawabku sambil masuk kamar.“Bagaimana, Safira, kamu siap apa tidak untuk bercerai dari Angga? Kalau sudah siap, Ibu kabari paman kamu.”“Aku belum memikirkan itu, Bu, aku sedang tidak enak badan.”“Kasihan Nayma, dia butuh sosok ayah. Bila memang kamu masih mencintai Angga, bolehlah bicarakan hal ini bagaimana baiknya, apa dia mau merubah sifat kasarnya. Kalau Ibu sejujurnya sudah tidak ingin kamu kembali sama dia. Tapi apa kamu mau seperti ini terus? Buat keputusan, Safira! Agar status kamu jelas.”Aku abai akan ucapan Ibu, memilih menutup pintu rapat dan menelungkupkan tubuh di atas kasur. Dari dulu, hati ini sulit untuk jatuh cinta. Sekalinya jatuh cinta, susah untuk berpaling. Itu sebabnya meski Mas Angga sangat kasar, dulu masih bertahan sebagai ist
Part 10Hari-hari berlalu seperti biasanya dan Mas Hanan tidak pernah lagi mengikuti kajian. Apa dia tahu kalau aku menaruh rasa dan sengaja menghindar?Entahlah ....Ibu tidak pernah lagi membahas perceraianku dengan Mas Angga. Aku tetap berkomitmen akan menyelesaikan hubunganku dengan Mas Angga bila sudah menemukan sosok penggantinya.Siang itu cuaca mendung. Nayma ada kegiatan kemah pramuka di sekolah. Ibu ada job memasak di tempat orang hajatan. Karena merasa kesepian, aku iseng jalan-jalan naik motor ke sebuah tempat yang pemandangannya bagus. Masih sekitar kotaku tinggal.Rintik-rintik hujan mulai turun dan baru sadar jika tidak ada jas hujan yang kubawa. Naas, ternyata ada proyek pelebaran jalan yang mengakibatkan jalanan licin. Motorku tergelincir dan terjatuh. Jalan sepi hanya ada sepasang suami istri yang lewat dan menolong. Si istri lalu menghentikan satu mobil yang kebetulan lewat. Aku terkapar tak bisa bangun meski masih bisa mendengar. Beberapa anggota tubuh terasa perih
“Kalau masih mau melakukan kekerasan, saya akan panggil polisi. Perbuatan Anda sudah saya rekam,” ucap Mas Hanan tenang.“Kamu jangan ikut campur!” Mas Angga mengacungkan jari telunjuk tepat di depan wajah Mas Hanan.“Jelas saya ikut campur. Ada wanita lemah yang terancam keselamatannya. Jadi, pergi atau saya panggil polisi?”“Aku akan datang lagi nanti malam, Safira!” Mas Angga yang kesal berlalu pergi.Aku menangis tersedu-sedu. Mas Hanan memintaku membuka pintu rumah. Ia lalu membuatkan segelas teh hangat, nasi dan menyuruhku minum obat. Ah, beginikah rasanya diperlakukan sebagai ratu dalam rumah tangga?“Terima kasih, Mas sudah menolongku.”“Aku teringat adik perempuanku. Aku membayangkan jika dia ada di posisimu.”“Senang rasanya yang menjadi adik Mas Hanan. Andai aku punya kakak, pasti tidak akan seperti ini. Aku tidak ada tempat untuk bersandar atau mengadu. Ibu juga seorang janda. Kami jauh dari keluarga. Pergi ke tempat ini agar jauh dari Mas Angga, tapi ternyata dia menemuka
Part 11“Mas Hanan, benarkah ini kamu, Mas? Mas, aku dimana? Dan lelaki jahat itu, dia kemana?” Setelah benar-benar sadar, aku bertanya kembali.“Jangan bertanya dulu, lebih baik kamu istirahat, yang penting kamu sudah berada di tempat yang aman sekarang dan suami kamu, dia tidak akan kesini lagi.”Aku menangis dan hendak memeluk Mas Hanan karena merasa butuh sandaran.“Jangan, Safira! Aku bukan muhrim kamu. Tunggu sebentar! Aku akan panggil Mbak Salamah. Dia ada di luar.”Ucapan Mas Hanan membuatku malu. Ya Allah, aku ingin menjadi yang halal untuknya. Agar bisa berlindung di balik punggungnya yang kekar. Sungguh ya Allah, aku rela jika ditkadirkan menjadi selir, asal lelaki yang menjadi suamiku adalah Mas Hanan.“Mbak Safira sudah bangun? Ya Allah, untung saja kami datang tepat waktu sehingga Mbak Safira bisa diselamatkan.” Mbak Salamah datang sambil mengusap kepalaku lembut.“Mbak Salamah ikut ke rumahku?”“Iya, Mbak. Pak Hanan menelpon Abi dan mengajak kerumah kamu. Pintu depan te
Di rumah Mbak Salamah ternyata sudah ada tamu yang datang. Aku terlambat berangkat karena harus mengantarkan Nayma ke tempat les menari. Akhirnya memilih pintu belakang agar tidak melewati para tamu itu.Sampai dapur langsung disambut senyuman oleh istri dari guruku itu. setelah basa-basi sebentar, Mbak Salamah lalu berucap, “Mbak Safira, waktunya sudah tiba. Orang yang akan meminang Mbak Safira, sudah siap untuk menampakkan diri.”Jantung ini mendadak berdegup kencang. Mas Hanan memesan snack untuk menjadi donatur, apa dia kenal dengan sosok yang akan meminangku? Ya Allah, bagaimana caraku untuk menolak?“Tetapi dia sudah beristri. Mbak Safira akan dijadikan istri kedua,” kata Mbak Salamah lagi. “Tak mengapa, Mbak Safira, berpoligami tidak dilarang dalam agama kita. Terlebih jika janda yang akan dinikahi adalah Mbak Safira yang sangat butuh perlindungan dari seorang lelaki. Dia mapan, tampan, dan juga, ah tidak bisa diungkapkan lagi pokokknya. Sepertinya Mbak Safira mau. Tapi, orang i
Part 12POV Felicia“Mama ....”Panggilan dari Abizar membuatku terbangun. Mas Hanan tidur di samping anak semata wayang kami. Aku memegang kening Abizar, panasnya sudah turun.“Iya, Sayang. Mama di sini, kenapa? Ingin minum?” tanyaku lembut.“Aku ingin tidur sama Mama di sofa,” kata Abizar.“Baiklah, ayo, kita turun,” ajakku.Abizar kupapah berjalan, karena tidak mungkin aku mengangkat tubuhnya sambil membawa infus. Hati masih tidak ingin membangunkan Mas Hanan.“Mama, kalau aku sudah sembuh, ajak liburan sama Papa juga, ya?” kata Abizar saat sudah berbaring di atas sofa.“Iya, mau piknik kemana maunya Abi?”“Ke gunung Bromo, Ma. Aku ingin naik mobil jeep. Nanti kita bertiga saja, tidak usah bawa sopir.”“Iya, Sayang, yang penting Abi sembuh dulu, ya?”“Mama, kapan Mama mau ajak aku ke rumah Oma? Kapan Oma main ke rumah kita, Ma? Teman-temanku punya Oma dan Opa baik banget, kenapa Oma dan Opa aku tidak baik sama aku?”“Karena Mama pernah melakukan kesalahan besar dan mereka belum bis
Hanan terbangun saat jam menunjukkan pukul satu siang. Ingat jika ada Felicia di sana, ia lalu gegas bangun dan mencari Harun.“Ibu sudah pergi karena Bapak tidur katanya.”“Pergi kemana? Kamu tahu tidak?”“Ya ke rumah kali, Pak, ‘kan ada Abizar di sana.”“Astaghfirullah kenapa aku bisa lupa ya?”“Jangan kebanyakan pikiran, Pak, biar tidak lupa,” celetuk Harun dan berlalu pergi.Ia segera berlalu meninggalkan toko dan pulang ke rumah dimana Felicia dan Abizar berada.“Ibu keluar sama Abizar, Pak. Soalnya nggak mau ikut Rehan mengaji, Abizar menangis minta ketemu sama Bapak,” kata Tri.“Terus sekarang mereka dimana?”“Tidak tahu, Pak. Kenapa nggak telpon sih, Pak?” Tri ikut terbawa emosi.“Astaghfirullah, kenapa tidak berpikir kesana ya?”“Satu lagi, Pak, Bapak kemana saja sih, Pak nggak pernah pulang kesini?”“Ceritanya panjang, tri,” jawab Hanan sambil berlalu menyusul Felicia ke toko.Akan tetapi, yang dicari tidak ada di toko. Berkali-kali menelpon, Felicia maupun Abizar tidak mau
Part 19“Dari kemarin. Aku menelponmu, ponsel kamu mati,” jawab Felicia santai. “Kamu pucat, Mas, sakit kah?” Ia balik bertanya.Hanan menelan saliva berkali-kali, tidak mengira jika Felicia akan datang tanpa memberitahu lebih dulu. Biasanya mereka membuat janji jika Felicia hendak menyusul.“Eh, iya, aku agak tidak enak badan, kamu datang dari kapan, Mah?”“Dari kemarin. Aku sudah bilang dari kemarin lho tadi. Kemarin sore aku kesini gak ada kamu terus aku pulang ke rumah, kata Mbak Tri kamu tidak pernah pulang.” Meski dada terasa panas dan ingin mengamuk, Felicia berhasil pura-pura bersikap manis di depan Hanan.“Ini nota yang tadi sudah dihitung apa belum ya, Bu? Ini ada lagi notanya, saya kasih sama Ibu apa sama Bapak?” Seorang karyawan datang dan merasa bingung.“Ah, sudah, Mbak, ini. Yang baru bawa sini!” jawab Felicia sambil mengulurkan beberapa lembar nota, lalu menerima nota yang baru.“Mah, butik kamu tinggal, siapa yang ada di sana?” tanya Hanan celingukan.Biasanya ia adal
Di tempat lain, Abizar sedang menangis sesenggukan karena tidak bisa menghubungi ayahnya. Saking sibuknya Hanan dengan Safira dan Nayma, ia sampai lupa kalau ponselnya mati.“Papa kenapa sih, Ma susah dihubungi? Papa apa sudah lupa sama aku?” tanya Abizar sambil memeluk lutut bersandar pada tembok.Felicia bingung hendak menjawab apa. Hatinya menjadi yakin jika sang suami memiliki orang ketiga.“Mama tidak bisa menjawab, Abi. Abi bilang sama Mama, Abi mau apa? Yang bisa membuat Abi bahagia apa saat ini? Kita keluar? Kita pulang atau apa?”Abizar menggeleng cepat. “Aku tidak ingin apa-apa, Mama. Aku ingin sama Papa.”Susah payah Felicia menghibur Abizar, anak itu tetap tidak mau berhenti menangis.“Anaknya Bu Tri tadi ajak main Abi ya? Main apa tadi Abi sama dia?”Abizar perlahan menghentikan tangisannya. “Main di pancuran, tapi sekarang sudah malam,” katanya sambil tersedu.“Ok, kita main ke rumah Bu Tri ya? Atau Abi mau anaknya Bu Tri tidur di sini? Besok pagi, dia pasti ajak Abi ke p
Part 18Siang itu di kediaman Safira dan Hanan.“Masakan kamu selalu membuat lidahku ketagihan,” kata Hanan sambil terus mengunyah makan siangnya.Safira tersenyum memperhatikan suaminya yang makan dengan lahap.“Tadi Mbak Salamah kasih kabar, katanya ada acara arisan di rumah dia, Mas. Arisan jamaah. Aku sudah bilang, ‘kan, gak bisa ikut karena sudah berjalan lama. Tapi Mbak Salamah memaksa, jadi bingung mau menolaknya gimana. Menurut Mas gimana ya cara menolak tawaran Mbak Salamah?” Sambil memindahkan lauk ke piring Hanan, Safira bertanya demikian.“Kamu ingin ikut apa tidak? Kalau kamu mau ikut, ya ikut saja, nanti aku antar. Aku tidak usah ke toko lagi.”“Jangan dong, Mas! Mas harus ke toko. Kalau aku boleh ikut, aku berangkat sendiri saja,” tolak Safira.“Aku tahu, acara itu dihadiri oleh sepasang suami istri. Kalau kamu ikut sendirian, kamu akan merasa asing. Lagian, hanya di kalangan mereka kita bisa tampil sebagai suami istri. Aku akan mengantarmu.”Safira tersenyum lebar. Bag
Felicia membaca pesan dari Hanan dengan ekspresi datar.Aku belum bisa pulang, Mah.Sudah dua hari lewat dari yang dijanjikan Hanan, lelaki itu masih tetap ingkar janji. Namun, Felicia tetap berusaha tenang. Ia lalu mengetik balasan.Ok. Lanjutkan saja."Kak, makasih ya sudah kasih tumpangan. Aku mau pulang sekarang, soalnya Mama suruh pulang dulu. Tentang tawaran dari Kak Felicia, aku baru bisa kesana minggu depan. Gimana?" Veronica muncul dari kamar tamu sambil membawa koper."Ok, gak papa, Ver. Salam buat mama kamu, ya? Nanti aku mau kesana buat survey tempat biar bisa kasih kamu arahan sekalian carikan kamu penginapan di sana. Tapi Kakak mohon jangan sampai ada orang yang tahu tentang ini, ya?" jawab Felicia sambil tersenyum."Baik, Kakak. Aku pulang ya? Jilbab yang Kakak pinjami semalam, boleh gak aku bawa pulang?" tanya Veronica lagi."Bawa saja! Nanti Kakak kasih yang banyak kalau kamu sudah siap melakukan tugas dari Kakak."Veronica berlalu sambil menyatukan jari telunjuk dan j
Part 17Safira mematut diri di depan cermin. Gamis mahal dan perhiasan mewah di tangan membuat wanita itu semakin cantik."Tak mengapa jika aku hanya menjadi yang kedua. Yang penting Mas Hanan saat ini masih bisa ku kendalikan. Benar ternyata kata Ibu, aku harus merendah dan pura-pura mengalah agar Mas Hanan kasihan," ucapnya di depan cermin. "Daripada menjadi istri pertama, tapi menderita, lebih baik jadi istri kedua, tapi serasa permaisuri."Bel rumah berbunyi, Safira keluar. Hanan sudah menunggu dan memandangnya takjub."Kenapa dikunci sih pintunya?""Karena suamiku tidak ada di rumah, aku harus bisa menjaga harga diri. Jadi makan di luar?""Jadi lah. Kamu sudah siap masa mau dibatalin."Safira dengan cepat menyambar tas dan mengajak Hanan pergi. Di sepanjang jalan terus berfoto di dalam mobil."Aku boleh buat status gak, Mas?" tanya Safira."Boleh, tapi jangan sama aku, ya? Sementara ini foto kita berdua jangan dipublikasikan!""Iya deh, kan aku hanya simpanan," ucap Safira sambil
Di rumahnya, Safira benar-benar menjalani peran sebagai istri yang baik. Ia berusaha keras untuk menjadi istri yang lebih baik dari Felicia, meski belum mengenal sosok madunya seperti apa.“Jangan menuntut Hanan untuk banyak hal saat ini, Safira!” kata ibunya saat Safira berkeluh kesah tentang Hanan yang cuek pada Nayma. “Nanti malah suami kamu akan meninggalkan kamu. Rebut hatinya sedikit demi sedikit! Ingat, Safira! Kamu hanya istri siri yang mudah untuk diceraikan. Tetapi mencari lelaki seperti Hanan itu susah. Ibu mengizinkan kamu menjadi istri kedua, itu karena suamimu adalah Hanan. Orang kaya yang kamu tidak akan kelaparan dan kekurangan apapun. Masalah Nayma, buat Hanan sedikit demi sedikit menyayangi anak kamu. Ibu tentu ingin anakmu lebih disayang daripada anak kandungnya. Mengalah untuk menang! Itu yang harus kamu lakukan.”“Maksudnya bagaimana, Bu?”“Manjakan suami kamu! Kamu tidak punya harta seperti Felicia, maka kamu harus memberikan yang lain! Nayma, sementara waktu biar
Part 16POV AuthorFelicia meletakkan ponsel di kursi sebelah. Ia sudah bersiap ke butik setelah mengantar Abizar ke sekolah. Jarinya mengetuk setir mobil berkali-kali. Tak lama kemudian, ia menelpon seseorang.“Antarkan aku nanti sore ke tempat suamiku bekerja,” ucapnya. “Ah, tidak. Kita berangkat agar sampai sana jam satu siang. Aku akan mengurus bisnisku dulu, nanti ke sekolah buat kasih tahu Abizar.”Dengan cepat Felicia melakukan segala aktivitas agar pukul sebelas ia bisa meluncur ke toko bangunan Hanan.“Jadi bagaimana, Ibu Felic, apakah Ibu sudah mendapatkan tempat baru untuk cabang butik Ibu?” tanya partner bisnisnya yang baru.“Sudah. Aku juga sudah melakukan pembayaran dan sertifikat toko itu sudah berpindah padaku. Tempatnya memang bukan di jalan raya kota, tetapi jalan depan lebar, jadi kalau ada mobil berbelanja di sana, lalu lintasnya mudah. Tempat parkir luas dan tokonya besar. Saya ambil di situ karena tidak menemukan yang dekat dengan jalan besar, lagian harganya sed
“Gimana, kamu setuju tidak akan pergi kemana-mana? Maksudnya, menginap. Kalau siang hari. Gak papa, Mas, kamu bekerja.”Aku mengangguk.“Mbak Salamah kirim pesan, Mas. Katanya kita ditunggu di rumah dia, suruh buat acara tasyakuran pernikahan. Gimana, Mas? Bisa nggak kira-kira?”Apa lagi ini? Belum juga bisa membatalkan acara dengan felicia, sudah ada lagi permintaan dari Mbak Salamah.“Kita jangan jawab dulu, soalnya aku masih capek.”“Ouh, baiklah. Dijawab belum bisa kasih kepastian gitu ya?”Malam itu aku merasakan sesuatu hal yang berbeda. Pulang bersama istri, sholat berjamaah dan menghabiskan waktu bersama. Safira manja luar biasa, seperti sedang balas dendam dengan penderitaan masa lalunya. Ditambah di rumah hanya berdua.“Mas, bobok di depan tivi saja, ya?” rengeknya manja sambil memainkan daguku.“Di kamar saja kenapa?”“Aku ingin sensasi yang berbeda,” bisiknya.“Mas, gendong.”“Mas peluk aku ya tidurnya. Jangan lepasin tangannya lho!”“Mas, besok pagi mau sarapan apa?”“Sia