Share

Bab 5

Author: Nay Azzikra
last update Last Updated: 2024-12-17 15:22:27

Part 5

POV Felicia

Namaku Felicia. Aku lahir dari etnis bermata sipit.  Sebelum menikah dengan Mas Hanan, aku bekerja di sebuah perusahaan asing di bidang industri barang konsumen primer dengan gaji yang fantastis. Terlebih saat bisa melakukan penjualan di atas targert yang ditentukan, pasti akan mendapat bonus dari atasan. Beberapa bulan bekerja, aku langsung diangkat menjadi asisten manager. Karirku memang menanjak cepat saat itu.

Orang tuaku termasuk keluarga yang mapan. Mereka memiliki toko bahan bangunan besar yang ramai pengunjung. Kami keluarga yang taat pada Tuhan. Setiap akhir pekan, selalu beribadah bersama.

Kami tiga bersaudara dan aku anak tengah. Kakakku sudah menjadi dokter, dan adikku saat ini sudah menjadi pengacara, juga memiliki bisnis toko elektronik.

Saat berumur dua puluh empat tahun, aku berkenalan dengan Mas Hanan. Dia bekerja sebagai kasir di toko Papa. Pemuda yang sangat religius, jujur dan sopan. Seorang lelaki yang berasal dari keluarga pas-pasan. Entah kenapa, aku selalu senang memperhatikan wajahnya dari jauh. Bukan tanpa sebab tentunya, Papa memilih dia menjadi kasir karena lelaki itusangat jujur dan sopan. Tak dipungkiri, ayahku menyukai kepribadian Mas Hanan yang seperti itu.

Seringkali sepulang bekerja aku mampir ke toko dengan alasan ingin belajar bisnis, padahal aslinya hanya ingin bersama Mas Hanan. Dari kebersamaan kami setiap hari itu, aku akhirnya tahu, kalau dia sedang membiayai adik semata wayangnya di sebuah pondok pesantren penghafal kitab suci agama mereka.

Papa dan Mama tidak pernah curiga sama sekali dengan perasaanku yang kian hari bertambah besar dalam hatiku. Itu karena kami berbeda agama dan aku masih taat dengan kegiatan beribadah. Mereka pikir, aku tidak akan pernah menyukai lelaki yang berbeda keyakinan, apalagi ditambah Mas Hanan berasal dari keluarga miskin.

Suatu ketika, Mas Hanan membawa serta adiknya saat bekerja. Kala itu aku tidak berangkat karena diberi libur sebelum tugas ke luar kota.

“Maaf, Koh, ibu saya tidak di rumah. Dia ingin ikut saya kesini, dia sudah besar, tidak akan merepotkan atau mengganggu saya,” ucap Mas Hanan sambil memperkenalkan gadis berusia delapan belas tahun yang bernama Syifa itu.

Senyum Sifa sangat manis, tingkah lakunya juga sangat sopan. Ia membantu kakakknya yang sering kerepotan. Sesekali mereka terdengar bergurau. Ah, kenapa aku suka sekaliu memperhatikan mereka. Saat makan siang, entah kenapa aku tertarik mengajak Sifa keluar untuk makan bersama. Mas Hanan awalnya seperti tidak mengizinkan, karena menganggap aku adalah majikan yang harus disegani, tetapi aku memaksa.

Dari kebersamaan dengan Sifa, aku tahu kalau Mas Hanan belum memiliki pacar. Rasanya sangat senang saat mendengar hal itu. Aku mulai menggunakan Sifa sebagai alat agar bisa dekat dengan kakaknya. Hingga singkat cerita, aku dan Mas Hanan, kami menjalin hubungan tanpa status. Dekat, tetapi tidak ada ikatan pacaran. Namun begitu, terkadang Mas Hanan agak menjaga jarak denganku. Entah apa yang ada dalam pikirannya, aku tidak tahu.

Aku dan Mas Hanan hanya bersama setiap sekali dalam sepekan. Itu pun karena aku yang berani bermain ke rumahnya. Ibu Mas Hanan tidak berpikir macam-macam tentang kami. Beliau tidak akan mengira jika kami pacaran, itu karena perbedaan keyakinan dan status sosial kami. Mas Hanan memperlakukanku dengan sangat baik.

Mereka memiliki toko kecil di depan rumah yang menjual sembako. Jika Syifa

Sore itu, selesai bekerja, ia memintaku untuk menunggu di depan Masjid. Lelaki yang berwajah tampan itu menatapku lama saat keluar. Sisa-sisa air yang masih menempel, menambah kharisma pada wajahnya.

“Felic, kau mau datang ternyata,” ucapnya.

“Kenapa kau berpikir seperti itu, Mas?” Aku balik bertanya.

“Kita berbincang di sana!” Mas Hanan menunjuk satu kursi yang letaknya ada di pojok kantin masjid. Kami duduk berhadapan.

Selama dekat dengan Mas Hanan, kami tidak pernah bersentuhan. Itu jelas membuatku penasaran, karena bagiku dan teman-teman, berciuman adalah hal yang wajar saat dua orang menjalin hubungan pacaran.

“Kenapa mengajak aku ketemu di luar? Kenapa tidak pas aku main ke rumah kamu saja, Mas?” tanyaku.

Awalnya begitu aneh ketika harus memanggilnya dengan panggilan Mas. Karena dia hanya seorang pekerja di toko kami. Aku mengikuti karyawan perempuan lain yang memanggil begitu.

“Felic, maaf, sepertinya kamu harus menjauhiku. Mama dan papa kamu, mereka sudah tahu kalau kamu suka bermain ke rumah dan membantu ibuku. Aku diinterogasi oleh mereka. Aku sangat butuh bekerja di keluarga kalian, aku tidak mau membuat masalah.”

Wajahku langsung murung mendengar ia berucap demikian.

“Kita memang sudah dekat. Akan tetapi, dilihat dari manapun, kita memiliki banyak sekali perbedaan, Felic. Tidak mungkin bisa bersatu. Dan aku, aku hanya ingin menjalin hubungan dengan wanita yang ingin ku nikahi. Sementara kamu, kamu tidak mungkin bisa menikah denganku.” Tanpa basa-basi, Mas Hanan langsung mengatakan yang sebenarnya.

“Aku akan berpindah keyakinan, agar kita tidak berbeda,” ucapku tegas.

Mas Hanan menatap tidak percaya. “Jangan berpindah keyakinan hanya karena kamu ingin menikah denganku, Felic!”

“Aku ingin memeluk Islam, bukan karena mau menikah denganmu. Aku tertarik pada Islam, karena melihat kebiasaan yang kamu dan keluargamu lakukan.”

“Tapi, Felic ....”

“Aku punya banyak tabungan, kita akan memulai hidup baru dan hidup bersama. Dalam suka dan duka. Jadi, jangan khawatir tentang pekerjaan kamu. Masalah ini, biar aku yang menyampaikan pada Mama dan Papa.”

Mas Hanan diam tak berkutik.

“Aku pulang. Kita bisa bicara lain waktu.”

Setelah berucap demikian, aku gegas meninggalkan Mas Hanan. Sampai rumah, keluarga sudah berkumpul untuk menginterogasi.

Kak Ferry dan adikku Dion nampak tidak ramah.

“Aku akan memeluk Islam. Bukan karena Hanan, tetapi aku mulai tertarik karena, karena aku nyaman. Entah nantinya akan menikah dengan dia atau tidak, tetapi keputusanku untuk berpindah keyakinan sudah bulat. Kalian tetap keluargaku sampai kapanpun. Aku tidak akan memaksa mama, papa, Kak Ferry dan Dion untuk mengikutiku.”

Plak!

Sebuah tamparan mengenai salah satu pipiku. Papa menatap dengan penuh amarah.

Aku langsung berlari ke kamar dan mengemasi seluruh pakaian. Otak sudah berpikir apa yang akan terjadi jika masih berada dalam satu rumah bersama mereka.

Singkat cerita, aku mengontrak di salah satu rumah yang dekat dengan masjid. Di sana aku belajar banyak tentang Islam dan juga masih bekerja di perusahaan. Keluarga tak satupun mencari. Oleh karena kesibukan itulah, aku dan Mas Hanan tidak pernah bertemu.

Setelah menjadi seorang muslim, hati ini justru tidak terlalu terobsesi menjadi istri Mas Hanan. Jika memang kami berjodoh, akan jalan untuk dipertemukan. Berbulan-bulan lamanya tidak bertemu, sampai suatu hari, pria itu mencariku ke perusahaan dan memberi tahu, jika ia telah dipecat dari toko.

“Keluargamu mengira kalau kita langsung menikah. Mereka baru percaya setelah menyuruh orang mengintai rumahku. Dan mungkin saja, ada yang selalu mengikutimu setiap hari. Meski kita tidak menikah, aku tetap dipecat karena dianggap sudah membuatmu tersesat.”

Mas Hanan lalu bercerita kalau sekarang dia sudah menjadi pengangguran dan hanya membantu ibunya berjualan di toko kecil.

Satu minggu kemudian, Mas Hanan melamarku untuk menikah dengannya. Dan dua minggu kemudian, kami sudah resmi menjadi suami istri. Sungguh pernikahan yang di luar khayalan masa kecil. Hanya dihadiri oleh keluarga terdekat Mas Hanan dan beberapa teman dekatku di kantor. Meski begitu, aku merasa bahagia, karena memiliki seorang imam yang taat beragama.

Kami menjalani hari dengan penuh kebahagiaan. Mas Hanan sosok suami yang tidak membuatku repot. Ia melakukan semua pekerjaan rumah tangga di rumah baru yang ku beli dengan uang tabungan. Ibu Mas Hanan dan Sifa sering datang untuk membantu.

Sampai mempunyai anak pertama, aku masih bekerja di perusahaan. Mas Hanan yang mengasuh Nazmi di rumah karena dia tidak ingin anak kami diasuh oleh pembantu. Usia satu tahun, Nazmi mengalami panas tinggi dan tidak tertolong. Setelah itu aku hamil dan memilih keluar dari perusahaan, lalu membuka butik baju muslim karena kebetulan juga, aku sudah berhijab.

Related chapters

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Bab 6

    Part 6Setelah Abizar berusia empat tahun, aku dan Mas Hanan mulai merintis usaha toko bangunan dan sebuah kota kecil yang berjarak dua jam dari tempat kami tinggal. Awalnya aku ikut, tetapi kemudian memilih kembali ke rumah karena butik tidak ada yang mengurus. Lagi pula, Abizar jadi sering sakit karena tinggal di daerah berudara dingin.Saat itu kami sudah memiliki orang kepercayaan, sehingga Mas Hanan bisa sering pulang ke rumah.Mama, Papa, Mas Ferry dan Dion, belum pernah sekalipun mencari keberadaanku. Aku sempat beberapa kali pulang ke rumah, tetapi mereka tidak mau menemui. Pernah ketika keluarga merayakan hari raya, aku datang dengan membawa Abizar. Akan tetapi, satpam langsung memintaku pergi.“Maaf, Non Felic, saya dilarang menerima Non Felic, jadi tolong, pergi saja, ya! Nanti saya kehilangan pekerjaan,” ucap satpam.Meski sedih, aku memaklumi dan memilih pergi.“Berdoa saja, semoga Allah melunakkan hati keluarga kamu,” kata Mas Hanan menghibur. “Kalau suatu ketika mereka

    Last Updated : 2024-12-17
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Bab 7

    Part 7POV SafiraMas Hanan, satu nama yang akhirnya mengisi hati ini setelah sekian lama terbelenggu rasa sakit yang tak terperi.Tidak ada satu pun wanita yang ingin seperti aku, menjanda di usia muda tanpa pekerjaan dan harus menanggung satu anak dan juga seorang ibu. Aku menikah di usia yang belia, yakni delapan belas tahun karena sebuah kecelakaan. Saat itu baru lulus SMA.Ah tidak! Sebenarnya aku sudah hamil sejak enam bulan sebelum kelulusan, tetapi bisa ku tutupi karena badan yang langsing. Adalah Mas Angga, cowok kakak kelas yang sudah berpacaran denganku sejak kelas dua SMA. Saat kami menikah, ia sudah duduk di bangku kuliah. Mas Angga berasal dari keluarga yang sederhana, sehingga kehidupan kami sangat kekurangan pada awal pernikahan.Terlahir sebagai anak semata wayang, Bapak hanya seorang sopir angkutan umum dan harus meregang nyawa setelah menikahkanku. Mungkin depresi karena aib yang sudah ku torehkan. Sementara Ibu, harus bekerja sebagai pembantu setelah kepergian Bapa

    Last Updated : 2024-12-20
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 8

    Part 8Lelaki itu, dari mana tahu keberadaanku?Mas Angga hendak menarik tanganku, tetapi Mas Hanan sigap menghadang.“Aku tidak tahu siapa Anda, tetapi alangkah buruknya perangai Anda, memukul seorang wainta.” Dengan tegas Mas Hanan melindungiku.“Minggir jangan ikut campur! Dia istriku. Siapa kamu? Ah, jangan-jangan, kamu sudah menikah lagi ya, Safira? Pernikahan haram karena kamu masih menjadi istri sahku. Kenapa kamu menikah lagi, Safira? Apa karena kamu gatal, hah?” teriak Mas Angga.“Jaga bicaranya, Mas! Duduklah dan bicarakan baik-baik. Aku bukan suami Mbak Safira.”“Lalu siapa? Kamu datang untuk memuaskan nafsunya?” bentak Mas Angga.“Saya CV yang akan mengerjakan rumah Mbak Safira. Anda siapa? Datang-datang berteriak dan memukul seorang wanita?”Ah, Mas Hanan, bahkan di saat pria di hadapannya berkata kasar, ia masih bersikap lembut. Semakin membuat hati ini tertarik.“Saya suami dia. Mau apa kamu? Sekarang juga, hentikan pembangunan apapun di sini! Kalau tidak ingin saya tun

    Last Updated : 2024-12-21
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 9

    Part 9“Katanya mau buat kamar lagi, kenapa belum juga beli bahan bangunan? Ibu nanti bilang sama tukang kalau sudah siap semuanya,” tanya Ibu seusai shalat Isya.“Entah, Bu, aku rasanya tidak bersemangat lagi. Kapan-kapan saja, Bu,” jawabku sambil masuk kamar.“Bagaimana, Safira, kamu siap apa tidak untuk bercerai dari Angga? Kalau sudah siap, Ibu kabari paman kamu.”“Aku belum memikirkan itu, Bu, aku sedang tidak enak badan.”“Kasihan Nayma, dia butuh sosok ayah. Bila memang kamu masih mencintai Angga, bolehlah bicarakan hal ini bagaimana baiknya, apa dia mau merubah sifat kasarnya. Kalau Ibu sejujurnya sudah tidak ingin kamu kembali sama dia. Tapi apa kamu mau seperti ini terus? Buat keputusan, Safira! Agar status kamu jelas.”Aku abai akan ucapan Ibu, memilih menutup pintu rapat dan menelungkupkan tubuh di atas kasur. Dari dulu, hati ini sulit untuk jatuh cinta. Sekalinya jatuh cinta, susah untuk berpaling. Itu sebabnya meski Mas Angga sangat kasar, dulu masih bertahan sebagai ist

    Last Updated : 2024-12-23
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 10 A

    Part 10Hari-hari berlalu seperti biasanya dan Mas Hanan tidak pernah lagi mengikuti kajian. Apa dia tahu kalau aku menaruh rasa dan sengaja menghindar?Entahlah ....Ibu tidak pernah lagi membahas perceraianku dengan Mas Angga. Aku tetap berkomitmen akan menyelesaikan hubunganku dengan Mas Angga bila sudah menemukan sosok penggantinya.Siang itu cuaca mendung. Nayma ada kegiatan kemah pramuka di sekolah. Ibu ada job memasak di tempat orang hajatan. Karena merasa kesepian, aku iseng jalan-jalan naik motor ke sebuah tempat yang pemandangannya bagus. Masih sekitar kotaku tinggal.Rintik-rintik hujan mulai turun dan baru sadar jika tidak ada jas hujan yang kubawa. Naas, ternyata ada proyek pelebaran jalan yang mengakibatkan jalanan licin. Motorku tergelincir dan terjatuh. Jalan sepi hanya ada sepasang suami istri yang lewat dan menolong. Si istri lalu menghentikan satu mobil yang kebetulan lewat. Aku terkapar tak bisa bangun meski masih bisa mendengar. Beberapa anggota tubuh terasa perih

    Last Updated : 2024-12-24
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 10 B

    “Kalau masih mau melakukan kekerasan, saya akan panggil polisi. Perbuatan Anda sudah saya rekam,” ucap Mas Hanan tenang.“Kamu jangan ikut campur!” Mas Angga mengacungkan jari telunjuk tepat di depan wajah Mas Hanan.“Jelas saya ikut campur. Ada wanita lemah yang terancam keselamatannya. Jadi, pergi atau saya panggil polisi?”“Aku akan datang lagi nanti malam, Safira!” Mas Angga yang kesal berlalu pergi.Aku menangis tersedu-sedu. Mas Hanan memintaku membuka pintu rumah. Ia lalu membuatkan segelas teh hangat, nasi dan menyuruhku minum obat. Ah, beginikah rasanya diperlakukan sebagai ratu dalam rumah tangga?“Terima kasih, Mas sudah menolongku.”“Aku teringat adik perempuanku. Aku membayangkan jika dia ada di posisimu.”“Senang rasanya yang menjadi adik Mas Hanan. Andai aku punya kakak, pasti tidak akan seperti ini. Aku tidak ada tempat untuk bersandar atau mengadu. Ibu juga seorang janda. Kami jauh dari keluarga. Pergi ke tempat ini agar jauh dari Mas Angga, tapi ternyata dia menemuka

    Last Updated : 2024-12-24
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 11 A

    Part 11“Mas Hanan, benarkah ini kamu, Mas? Mas, aku dimana? Dan lelaki jahat itu, dia kemana?” Setelah benar-benar sadar, aku bertanya kembali.“Jangan bertanya dulu, lebih baik kamu istirahat, yang penting kamu sudah berada di tempat yang aman sekarang dan suami kamu, dia tidak akan kesini lagi.”Aku menangis dan hendak memeluk Mas Hanan karena merasa butuh sandaran.“Jangan, Safira! Aku bukan muhrim kamu. Tunggu sebentar! Aku akan panggil Mbak Salamah. Dia ada di luar.”Ucapan Mas Hanan membuatku malu. Ya Allah, aku ingin menjadi yang halal untuknya. Agar bisa berlindung di balik punggungnya yang kekar. Sungguh ya Allah, aku rela jika ditkadirkan menjadi selir, asal lelaki yang menjadi suamiku adalah Mas Hanan.“Mbak Safira sudah bangun? Ya Allah, untung saja kami datang tepat waktu sehingga Mbak Safira bisa diselamatkan.” Mbak Salamah datang sambil mengusap kepalaku lembut.“Mbak Salamah ikut ke rumahku?”“Iya, Mbak. Pak Hanan menelpon Abi dan mengajak kerumah kamu. Pintu depan te

    Last Updated : 2024-12-25
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 11 B

    Di rumah Mbak Salamah ternyata sudah ada tamu yang datang. Aku terlambat berangkat karena harus mengantarkan Nayma ke tempat les menari. Akhirnya memilih pintu belakang agar tidak melewati para tamu itu.Sampai dapur langsung disambut senyuman oleh istri dari guruku itu. setelah basa-basi sebentar, Mbak Salamah lalu berucap, “Mbak Safira, waktunya sudah tiba. Orang yang akan meminang Mbak Safira, sudah siap untuk menampakkan diri.”Jantung ini mendadak berdegup kencang. Mas Hanan memesan snack untuk menjadi donatur, apa dia kenal dengan sosok yang akan meminangku? Ya Allah, bagaimana caraku untuk menolak?“Tetapi dia sudah beristri. Mbak Safira akan dijadikan istri kedua,” kata Mbak Salamah lagi. “Tak mengapa, Mbak Safira, berpoligami tidak dilarang dalam agama kita. Terlebih jika janda yang akan dinikahi adalah Mbak Safira yang sangat butuh perlindungan dari seorang lelaki. Dia mapan, tampan, dan juga, ah tidak bisa diungkapkan lagi pokokknya. Sepertinya Mbak Safira mau. Tapi, orang i

    Last Updated : 2024-12-25

Latest chapter

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 19 B

    Hanan terbangun saat jam menunjukkan pukul satu siang. Ingat jika ada Felicia di sana, ia lalu gegas bangun dan mencari Harun.“Ibu sudah pergi karena Bapak tidur katanya.”“Pergi kemana? Kamu tahu tidak?”“Ya ke rumah kali, Pak, ‘kan ada Abizar di sana.”“Astaghfirullah kenapa aku bisa lupa ya?”“Jangan kebanyakan pikiran, Pak, biar tidak lupa,” celetuk Harun dan berlalu pergi.Ia segera berlalu meninggalkan toko dan pulang ke rumah dimana Felicia dan Abizar berada.“Ibu keluar sama Abizar, Pak. Soalnya nggak mau ikut Rehan mengaji, Abizar menangis minta ketemu sama Bapak,” kata Tri.“Terus sekarang mereka dimana?”“Tidak tahu, Pak. Kenapa nggak telpon sih, Pak?” Tri ikut terbawa emosi.“Astaghfirullah, kenapa tidak berpikir kesana ya?”“Satu lagi, Pak, Bapak kemana saja sih, Pak nggak pernah pulang kesini?”“Ceritanya panjang, tri,” jawab Hanan sambil berlalu menyusul Felicia ke toko.Akan tetapi, yang dicari tidak ada di toko. Berkali-kali menelpon, Felicia maupun Abizar tidak mau

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 19 A

    Part 19“Dari kemarin. Aku menelponmu, ponsel kamu mati,” jawab Felicia santai. “Kamu pucat, Mas, sakit kah?” Ia balik bertanya.Hanan menelan saliva berkali-kali, tidak mengira jika Felicia akan datang tanpa memberitahu lebih dulu. Biasanya mereka membuat janji jika Felicia hendak menyusul.“Eh, iya, aku agak tidak enak badan, kamu datang dari kapan, Mah?”“Dari kemarin. Aku sudah bilang dari kemarin lho tadi. Kemarin sore aku kesini gak ada kamu terus aku pulang ke rumah, kata Mbak Tri kamu tidak pernah pulang.” Meski dada terasa panas dan ingin mengamuk, Felicia berhasil pura-pura bersikap manis di depan Hanan.“Ini nota yang tadi sudah dihitung apa belum ya, Bu? Ini ada lagi notanya, saya kasih sama Ibu apa sama Bapak?” Seorang karyawan datang dan merasa bingung.“Ah, sudah, Mbak, ini. Yang baru bawa sini!” jawab Felicia sambil mengulurkan beberapa lembar nota, lalu menerima nota yang baru.“Mah, butik kamu tinggal, siapa yang ada di sana?” tanya Hanan celingukan.Biasanya ia adal

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 18 B

    Di tempat lain, Abizar sedang menangis sesenggukan karena tidak bisa menghubungi ayahnya. Saking sibuknya Hanan dengan Safira dan Nayma, ia sampai lupa kalau ponselnya mati.“Papa kenapa sih, Ma susah dihubungi? Papa apa sudah lupa sama aku?” tanya Abizar sambil memeluk lutut bersandar pada tembok.Felicia bingung hendak menjawab apa. Hatinya menjadi yakin jika sang suami memiliki orang ketiga.“Mama tidak bisa menjawab, Abi. Abi bilang sama Mama, Abi mau apa? Yang bisa membuat Abi bahagia apa saat ini? Kita keluar? Kita pulang atau apa?”Abizar menggeleng cepat. “Aku tidak ingin apa-apa, Mama. Aku ingin sama Papa.”Susah payah Felicia menghibur Abizar, anak itu tetap tidak mau berhenti menangis.“Anaknya Bu Tri tadi ajak main Abi ya? Main apa tadi Abi sama dia?”Abizar perlahan menghentikan tangisannya. “Main di pancuran, tapi sekarang sudah malam,” katanya sambil tersedu.“Ok, kita main ke rumah Bu Tri ya? Atau Abi mau anaknya Bu Tri tidur di sini? Besok pagi, dia pasti ajak Abi ke p

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 18 A

    Part 18Siang itu di kediaman Safira dan Hanan.“Masakan kamu selalu membuat lidahku ketagihan,” kata Hanan sambil terus mengunyah makan siangnya.Safira tersenyum memperhatikan suaminya yang makan dengan lahap.“Tadi Mbak Salamah kasih kabar, katanya ada acara arisan di rumah dia, Mas. Arisan jamaah. Aku sudah bilang, ‘kan, gak bisa ikut karena sudah berjalan lama. Tapi Mbak Salamah memaksa, jadi bingung mau menolaknya gimana. Menurut Mas gimana ya cara menolak tawaran Mbak Salamah?” Sambil memindahkan lauk ke piring Hanan, Safira bertanya demikian.“Kamu ingin ikut apa tidak? Kalau kamu mau ikut, ya ikut saja, nanti aku antar. Aku tidak usah ke toko lagi.”“Jangan dong, Mas! Mas harus ke toko. Kalau aku boleh ikut, aku berangkat sendiri saja,” tolak Safira.“Aku tahu, acara itu dihadiri oleh sepasang suami istri. Kalau kamu ikut sendirian, kamu akan merasa asing. Lagian, hanya di kalangan mereka kita bisa tampil sebagai suami istri. Aku akan mengantarmu.”Safira tersenyum lebar. Bag

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 17 B

    Felicia membaca pesan dari Hanan dengan ekspresi datar.Aku belum bisa pulang, Mah.Sudah dua hari lewat dari yang dijanjikan Hanan, lelaki itu masih tetap ingkar janji. Namun, Felicia tetap berusaha tenang. Ia lalu mengetik balasan.Ok. Lanjutkan saja."Kak, makasih ya sudah kasih tumpangan. Aku mau pulang sekarang, soalnya Mama suruh pulang dulu. Tentang tawaran dari Kak Felicia, aku baru bisa kesana minggu depan. Gimana?" Veronica muncul dari kamar tamu sambil membawa koper."Ok, gak papa, Ver. Salam buat mama kamu, ya? Nanti aku mau kesana buat survey tempat biar bisa kasih kamu arahan sekalian carikan kamu penginapan di sana. Tapi Kakak mohon jangan sampai ada orang yang tahu tentang ini, ya?" jawab Felicia sambil tersenyum."Baik, Kakak. Aku pulang ya? Jilbab yang Kakak pinjami semalam, boleh gak aku bawa pulang?" tanya Veronica lagi."Bawa saja! Nanti Kakak kasih yang banyak kalau kamu sudah siap melakukan tugas dari Kakak."Veronica berlalu sambil menyatukan jari telunjuk dan j

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 17 A

    Part 17Safira mematut diri di depan cermin. Gamis mahal dan perhiasan mewah di tangan membuat wanita itu semakin cantik."Tak mengapa jika aku hanya menjadi yang kedua. Yang penting Mas Hanan saat ini masih bisa ku kendalikan. Benar ternyata kata Ibu, aku harus merendah dan pura-pura mengalah agar Mas Hanan kasihan," ucapnya di depan cermin. "Daripada menjadi istri pertama, tapi menderita, lebih baik jadi istri kedua, tapi serasa permaisuri."Bel rumah berbunyi, Safira keluar. Hanan sudah menunggu dan memandangnya takjub."Kenapa dikunci sih pintunya?""Karena suamiku tidak ada di rumah, aku harus bisa menjaga harga diri. Jadi makan di luar?""Jadi lah. Kamu sudah siap masa mau dibatalin."Safira dengan cepat menyambar tas dan mengajak Hanan pergi. Di sepanjang jalan terus berfoto di dalam mobil."Aku boleh buat status gak, Mas?" tanya Safira."Boleh, tapi jangan sama aku, ya? Sementara ini foto kita berdua jangan dipublikasikan!""Iya deh, kan aku hanya simpanan," ucap Safira sambil

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 16 B

    Di rumahnya, Safira benar-benar menjalani peran sebagai istri yang baik. Ia berusaha keras untuk menjadi istri yang lebih baik dari Felicia, meski belum mengenal sosok madunya seperti apa.“Jangan menuntut Hanan untuk banyak hal saat ini, Safira!” kata ibunya saat Safira berkeluh kesah tentang Hanan yang cuek pada Nayma. “Nanti malah suami kamu akan meninggalkan kamu. Rebut hatinya sedikit demi sedikit! Ingat, Safira! Kamu hanya istri siri yang mudah untuk diceraikan. Tetapi mencari lelaki seperti Hanan itu susah. Ibu mengizinkan kamu menjadi istri kedua, itu karena suamimu adalah Hanan. Orang kaya yang kamu tidak akan kelaparan dan kekurangan apapun. Masalah Nayma, buat Hanan sedikit demi sedikit menyayangi anak kamu. Ibu tentu ingin anakmu lebih disayang daripada anak kandungnya. Mengalah untuk menang! Itu yang harus kamu lakukan.”“Maksudnya bagaimana, Bu?”“Manjakan suami kamu! Kamu tidak punya harta seperti Felicia, maka kamu harus memberikan yang lain! Nayma, sementara waktu biar

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 16 A

    Part 16POV AuthorFelicia meletakkan ponsel di kursi sebelah. Ia sudah bersiap ke butik setelah mengantar Abizar ke sekolah. Jarinya mengetuk setir mobil berkali-kali. Tak lama kemudian, ia menelpon seseorang.“Antarkan aku nanti sore ke tempat suamiku bekerja,” ucapnya. “Ah, tidak. Kita berangkat agar sampai sana jam satu siang. Aku akan mengurus bisnisku dulu, nanti ke sekolah buat kasih tahu Abizar.”Dengan cepat Felicia melakukan segala aktivitas agar pukul sebelas ia bisa meluncur ke toko bangunan Hanan.“Jadi bagaimana, Ibu Felic, apakah Ibu sudah mendapatkan tempat baru untuk cabang butik Ibu?” tanya partner bisnisnya yang baru.“Sudah. Aku juga sudah melakukan pembayaran dan sertifikat toko itu sudah berpindah padaku. Tempatnya memang bukan di jalan raya kota, tetapi jalan depan lebar, jadi kalau ada mobil berbelanja di sana, lalu lintasnya mudah. Tempat parkir luas dan tokonya besar. Saya ambil di situ karena tidak menemukan yang dekat dengan jalan besar, lagian harganya sed

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 15 B

    “Gimana, kamu setuju tidak akan pergi kemana-mana? Maksudnya, menginap. Kalau siang hari. Gak papa, Mas, kamu bekerja.”Aku mengangguk.“Mbak Salamah kirim pesan, Mas. Katanya kita ditunggu di rumah dia, suruh buat acara tasyakuran pernikahan. Gimana, Mas? Bisa nggak kira-kira?”Apa lagi ini? Belum juga bisa membatalkan acara dengan felicia, sudah ada lagi permintaan dari Mbak Salamah.“Kita jangan jawab dulu, soalnya aku masih capek.”“Ouh, baiklah. Dijawab belum bisa kasih kepastian gitu ya?”Malam itu aku merasakan sesuatu hal yang berbeda. Pulang bersama istri, sholat berjamaah dan menghabiskan waktu bersama. Safira manja luar biasa, seperti sedang balas dendam dengan penderitaan masa lalunya. Ditambah di rumah hanya berdua.“Mas, bobok di depan tivi saja, ya?” rengeknya manja sambil memainkan daguku.“Di kamar saja kenapa?”“Aku ingin sensasi yang berbeda,” bisiknya.“Mas, gendong.”“Mas peluk aku ya tidurnya. Jangan lepasin tangannya lho!”“Mas, besok pagi mau sarapan apa?”“Sia

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status