Felicia membaca pesan dari Hanan dengan ekspresi datar.Aku belum bisa pulang, Mah.Sudah dua hari lewat dari yang dijanjikan Hanan, lelaki itu masih tetap ingkar janji. Namun, Felicia tetap berusaha tenang. Ia lalu mengetik balasan.Ok. Lanjutkan saja."Kak, makasih ya sudah kasih tumpangan. Aku mau pulang sekarang, soalnya Mama suruh pulang dulu. Tentang tawaran dari Kak Felicia, aku baru bisa kesana minggu depan. Gimana?" Veronica muncul dari kamar tamu sambil membawa koper."Ok, gak papa, Ver. Salam buat mama kamu, ya? Nanti aku mau kesana buat survey tempat biar bisa kasih kamu arahan sekalian carikan kamu penginapan di sana. Tapi Kakak mohon jangan sampai ada orang yang tahu tentang ini, ya?" jawab Felicia sambil tersenyum."Baik, Kakak. Aku pulang ya? Jilbab yang Kakak pinjami semalam, boleh gak aku bawa pulang?" tanya Veronica lagi."Bawa saja! Nanti Kakak kasih yang banyak kalau kamu sudah siap melakukan tugas dari Kakak."Veronica berlalu sambil menyatukan jari telunjuk dan j
Part 18Siang itu di kediaman Safira dan Hanan.“Masakan kamu selalu membuat lidahku ketagihan,” kata Hanan sambil terus mengunyah makan siangnya.Safira tersenyum memperhatikan suaminya yang makan dengan lahap.“Tadi Mbak Salamah kasih kabar, katanya ada acara arisan di rumah dia, Mas. Arisan jamaah. Aku sudah bilang, ‘kan, gak bisa ikut karena sudah berjalan lama. Tapi Mbak Salamah memaksa, jadi bingung mau menolaknya gimana. Menurut Mas gimana ya cara menolak tawaran Mbak Salamah?” Sambil memindahkan lauk ke piring Hanan, Safira bertanya demikian.“Kamu ingin ikut apa tidak? Kalau kamu mau ikut, ya ikut saja, nanti aku antar. Aku tidak usah ke toko lagi.”“Jangan dong, Mas! Mas harus ke toko. Kalau aku boleh ikut, aku berangkat sendiri saja,” tolak Safira.“Aku tahu, acara itu dihadiri oleh sepasang suami istri. Kalau kamu ikut sendirian, kamu akan merasa asing. Lagian, hanya di kalangan mereka kita bisa tampil sebagai suami istri. Aku akan mengantarmu.”Safira tersenyum lebar. Bag
Di tempat lain, Abizar sedang menangis sesenggukan karena tidak bisa menghubungi ayahnya. Saking sibuknya Hanan dengan Safira dan Nayma, ia sampai lupa kalau ponselnya mati.“Papa kenapa sih, Ma susah dihubungi? Papa apa sudah lupa sama aku?” tanya Abizar sambil memeluk lutut bersandar pada tembok.Felicia bingung hendak menjawab apa. Hatinya menjadi yakin jika sang suami memiliki orang ketiga.“Mama tidak bisa menjawab, Abi. Abi bilang sama Mama, Abi mau apa? Yang bisa membuat Abi bahagia apa saat ini? Kita keluar? Kita pulang atau apa?”Abizar menggeleng cepat. “Aku tidak ingin apa-apa, Mama. Aku ingin sama Papa.”Susah payah Felicia menghibur Abizar, anak itu tetap tidak mau berhenti menangis.“Anaknya Bu Tri tadi ajak main Abi ya? Main apa tadi Abi sama dia?”Abizar perlahan menghentikan tangisannya. “Main di pancuran, tapi sekarang sudah malam,” katanya sambil tersedu.“Ok, kita main ke rumah Bu Tri ya? Atau Abi mau anaknya Bu Tri tidur di sini? Besok pagi, dia pasti ajak Abi ke p
Part 19“Dari kemarin. Aku menelponmu, ponsel kamu mati,” jawab Felicia santai. “Kamu pucat, Mas, sakit kah?” Ia balik bertanya.Hanan menelan saliva berkali-kali, tidak mengira jika Felicia akan datang tanpa memberitahu lebih dulu. Biasanya mereka membuat janji jika Felicia hendak menyusul.“Eh, iya, aku agak tidak enak badan, kamu datang dari kapan, Mah?”“Dari kemarin. Aku sudah bilang dari kemarin lho tadi. Kemarin sore aku kesini gak ada kamu terus aku pulang ke rumah, kata Mbak Tri kamu tidak pernah pulang.” Meski dada terasa panas dan ingin mengamuk, Felicia berhasil pura-pura bersikap manis di depan Hanan.“Ini nota yang tadi sudah dihitung apa belum ya, Bu? Ini ada lagi notanya, saya kasih sama Ibu apa sama Bapak?” Seorang karyawan datang dan merasa bingung.“Ah, sudah, Mbak, ini. Yang baru bawa sini!” jawab Felicia sambil mengulurkan beberapa lembar nota, lalu menerima nota yang baru.“Mah, butik kamu tinggal, siapa yang ada di sana?” tanya Hanan celingukan.Biasanya ia adal
Hanan terbangun saat jam menunjukkan pukul satu siang. Ingat jika ada Felicia di sana, ia lalu gegas bangun dan mencari Harun.“Ibu sudah pergi karena Bapak tidur katanya.”“Pergi kemana? Kamu tahu tidak?”“Ya ke rumah kali, Pak, ‘kan ada Abizar di sana.”“Astaghfirullah kenapa aku bisa lupa ya?”“Jangan kebanyakan pikiran, Pak, biar tidak lupa,” celetuk Harun dan berlalu pergi.Ia segera berlalu meninggalkan toko dan pulang ke rumah dimana Felicia dan Abizar berada.“Ibu keluar sama Abizar, Pak. Soalnya nggak mau ikut Rehan mengaji, Abizar menangis minta ketemu sama Bapak,” kata Tri.“Terus sekarang mereka dimana?”“Tidak tahu, Pak. Kenapa nggak telpon sih, Pak?” Tri ikut terbawa emosi.“Astaghfirullah, kenapa tidak berpikir kesana ya?”“Satu lagi, Pak, Bapak kemana saja sih, Pak nggak pernah pulang kesini?”“Ceritanya panjang, tri,” jawab Hanan sambil berlalu menyusul Felicia ke toko.Akan tetapi, yang dicari tidak ada di toko. Berkali-kali menelpon, Felicia maupun Abizar tidak mau
Part 1Aku Felicia, istri pertama dari suamiku. Duduk dengan menyilangkan kaki, sambil menatap seorang wanita yang bersimpuh di bawah kursi. Sudah persis seperti nyonya angkuh.“Tolong, Mbak, ibuku sakit keras, aku butuh uang, Mbak. Aku mohon beri aku bantuan dan titip Nayma karena aku harus ke rumah sakit. Mbak, kita sudah hidup bersama sekian lamanya, apa Mbak tidak punya sedikit rasa iba untukku?” Wanita yang sedang merengek itu bernama safira, dia adalah adik maduku. Ia memohon dengan berurai air mata.“Jika aku mengatakan tidak, apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku sinis.“Mbak, bukankah aku sudah berulang kali meminta maaf sama Mbak? Mbak, aku sudah menjalani hidup yang penuh penderitaan di rumah ini. Apa Mbak masih akan terus menyiksaku? Jika di dalam poligami seorang suami harus adil, aku sudah menerima ketidak adilan dalam hal apapun, Mbak. Nafkah lahir, nafkah batin dan pengakuan di depan masyarakat, aku sudah mengalah untuk itu, Mbak. Jadi tolong, Mbak Felic, untuk kali ini,
Part 2“Saya terima nikah dan kawinnya Safira Aini Binti Haji Mubasyir dengan mas kawin dua puluh gram kalung berlian dibayar tuuu nai ....” Ucapan yang keluar dari mulutku sebagai tanda ikatan suci bernama pernikahan--terdengar lantang. Hari ini, telah aku ikrarkan ijab qabul untuk seorang wanita yang duduk beberapa meter di belakang sana.Safira Aini, janda muda yang beberapa bulan kukenal, telah memikat hati ini. Aku sangat ingin melindungi dan menjadi imam untuknya, juga menjadi ayah untuk anaknya. Maka kuputuskan untuk menghalalkan Safira agar bisa menunaikan tugas itu.“Bagaimana saksi, sah?” Seorang ustadz yang juga guru spiritualku bertanya pada beberapa orang yang kupilih untuk menjadi saksi pernikahan.“Sah ....” Jawaban kompak dari beberapa pria yang duduk di samping kanan dan kiri.Aku menoleh sambil memberikan seulas senyum pada Safira. Ia hanya membalas dengan menarik sedikit dua sudut bibir.“Mbak Safira, silakan bisa maju untuk mencium tangan Mas Hanan.” Guru spirituaku
Part 3Lelah pikiran ditambah tenaga yang terkuras habis menunaikan kewajibanku sebagai suami pada Safira, membuatku lupa akan janji yang sudah terucap untuk Felicia. Mata ini begitu berat dan hati yang sangat nyaman berada dalam dekapan istri kedua membuat kesadaran hilang seketika dan ruh berpindah ke alam mimpi.Jiwa yang bahagia ternyata berpengaruh juga pada alam bawah sadar saat tidur. Rasanya sangat damai, saat kepala kuletakkan di pangkuannya. Selama kami saling kenal, baru sekarang melakukan hal ini. Aku menyentuhnya saat ia sudah benar-benar menjadi yang halal.Saat ini, kami berada di sebuah taman bunga bersama Nayma. Gadis cantik yang menuruni garis wajah sang ibu itu tengah menangkap kupu-kupu yang hinggap di beberapa bunga dan daun. Aku memegang erat tangan Safira. Sangat lama. Menikmati setiap helaan napas yang keluar dari mulutnya. “Jangan pernah pergi dari hidup kami lagi ya, Mas Hanan. Aku mencintaimu dan aku sangat ikhlas meski hanya menjadi yang kedua. Tak mengapa
Hanan terbangun saat jam menunjukkan pukul satu siang. Ingat jika ada Felicia di sana, ia lalu gegas bangun dan mencari Harun.“Ibu sudah pergi karena Bapak tidur katanya.”“Pergi kemana? Kamu tahu tidak?”“Ya ke rumah kali, Pak, ‘kan ada Abizar di sana.”“Astaghfirullah kenapa aku bisa lupa ya?”“Jangan kebanyakan pikiran, Pak, biar tidak lupa,” celetuk Harun dan berlalu pergi.Ia segera berlalu meninggalkan toko dan pulang ke rumah dimana Felicia dan Abizar berada.“Ibu keluar sama Abizar, Pak. Soalnya nggak mau ikut Rehan mengaji, Abizar menangis minta ketemu sama Bapak,” kata Tri.“Terus sekarang mereka dimana?”“Tidak tahu, Pak. Kenapa nggak telpon sih, Pak?” Tri ikut terbawa emosi.“Astaghfirullah, kenapa tidak berpikir kesana ya?”“Satu lagi, Pak, Bapak kemana saja sih, Pak nggak pernah pulang kesini?”“Ceritanya panjang, tri,” jawab Hanan sambil berlalu menyusul Felicia ke toko.Akan tetapi, yang dicari tidak ada di toko. Berkali-kali menelpon, Felicia maupun Abizar tidak mau
Part 19“Dari kemarin. Aku menelponmu, ponsel kamu mati,” jawab Felicia santai. “Kamu pucat, Mas, sakit kah?” Ia balik bertanya.Hanan menelan saliva berkali-kali, tidak mengira jika Felicia akan datang tanpa memberitahu lebih dulu. Biasanya mereka membuat janji jika Felicia hendak menyusul.“Eh, iya, aku agak tidak enak badan, kamu datang dari kapan, Mah?”“Dari kemarin. Aku sudah bilang dari kemarin lho tadi. Kemarin sore aku kesini gak ada kamu terus aku pulang ke rumah, kata Mbak Tri kamu tidak pernah pulang.” Meski dada terasa panas dan ingin mengamuk, Felicia berhasil pura-pura bersikap manis di depan Hanan.“Ini nota yang tadi sudah dihitung apa belum ya, Bu? Ini ada lagi notanya, saya kasih sama Ibu apa sama Bapak?” Seorang karyawan datang dan merasa bingung.“Ah, sudah, Mbak, ini. Yang baru bawa sini!” jawab Felicia sambil mengulurkan beberapa lembar nota, lalu menerima nota yang baru.“Mah, butik kamu tinggal, siapa yang ada di sana?” tanya Hanan celingukan.Biasanya ia adal
Di tempat lain, Abizar sedang menangis sesenggukan karena tidak bisa menghubungi ayahnya. Saking sibuknya Hanan dengan Safira dan Nayma, ia sampai lupa kalau ponselnya mati.“Papa kenapa sih, Ma susah dihubungi? Papa apa sudah lupa sama aku?” tanya Abizar sambil memeluk lutut bersandar pada tembok.Felicia bingung hendak menjawab apa. Hatinya menjadi yakin jika sang suami memiliki orang ketiga.“Mama tidak bisa menjawab, Abi. Abi bilang sama Mama, Abi mau apa? Yang bisa membuat Abi bahagia apa saat ini? Kita keluar? Kita pulang atau apa?”Abizar menggeleng cepat. “Aku tidak ingin apa-apa, Mama. Aku ingin sama Papa.”Susah payah Felicia menghibur Abizar, anak itu tetap tidak mau berhenti menangis.“Anaknya Bu Tri tadi ajak main Abi ya? Main apa tadi Abi sama dia?”Abizar perlahan menghentikan tangisannya. “Main di pancuran, tapi sekarang sudah malam,” katanya sambil tersedu.“Ok, kita main ke rumah Bu Tri ya? Atau Abi mau anaknya Bu Tri tidur di sini? Besok pagi, dia pasti ajak Abi ke p
Part 18Siang itu di kediaman Safira dan Hanan.“Masakan kamu selalu membuat lidahku ketagihan,” kata Hanan sambil terus mengunyah makan siangnya.Safira tersenyum memperhatikan suaminya yang makan dengan lahap.“Tadi Mbak Salamah kasih kabar, katanya ada acara arisan di rumah dia, Mas. Arisan jamaah. Aku sudah bilang, ‘kan, gak bisa ikut karena sudah berjalan lama. Tapi Mbak Salamah memaksa, jadi bingung mau menolaknya gimana. Menurut Mas gimana ya cara menolak tawaran Mbak Salamah?” Sambil memindahkan lauk ke piring Hanan, Safira bertanya demikian.“Kamu ingin ikut apa tidak? Kalau kamu mau ikut, ya ikut saja, nanti aku antar. Aku tidak usah ke toko lagi.”“Jangan dong, Mas! Mas harus ke toko. Kalau aku boleh ikut, aku berangkat sendiri saja,” tolak Safira.“Aku tahu, acara itu dihadiri oleh sepasang suami istri. Kalau kamu ikut sendirian, kamu akan merasa asing. Lagian, hanya di kalangan mereka kita bisa tampil sebagai suami istri. Aku akan mengantarmu.”Safira tersenyum lebar. Bag
Felicia membaca pesan dari Hanan dengan ekspresi datar.Aku belum bisa pulang, Mah.Sudah dua hari lewat dari yang dijanjikan Hanan, lelaki itu masih tetap ingkar janji. Namun, Felicia tetap berusaha tenang. Ia lalu mengetik balasan.Ok. Lanjutkan saja."Kak, makasih ya sudah kasih tumpangan. Aku mau pulang sekarang, soalnya Mama suruh pulang dulu. Tentang tawaran dari Kak Felicia, aku baru bisa kesana minggu depan. Gimana?" Veronica muncul dari kamar tamu sambil membawa koper."Ok, gak papa, Ver. Salam buat mama kamu, ya? Nanti aku mau kesana buat survey tempat biar bisa kasih kamu arahan sekalian carikan kamu penginapan di sana. Tapi Kakak mohon jangan sampai ada orang yang tahu tentang ini, ya?" jawab Felicia sambil tersenyum."Baik, Kakak. Aku pulang ya? Jilbab yang Kakak pinjami semalam, boleh gak aku bawa pulang?" tanya Veronica lagi."Bawa saja! Nanti Kakak kasih yang banyak kalau kamu sudah siap melakukan tugas dari Kakak."Veronica berlalu sambil menyatukan jari telunjuk dan j
Part 17Safira mematut diri di depan cermin. Gamis mahal dan perhiasan mewah di tangan membuat wanita itu semakin cantik."Tak mengapa jika aku hanya menjadi yang kedua. Yang penting Mas Hanan saat ini masih bisa ku kendalikan. Benar ternyata kata Ibu, aku harus merendah dan pura-pura mengalah agar Mas Hanan kasihan," ucapnya di depan cermin. "Daripada menjadi istri pertama, tapi menderita, lebih baik jadi istri kedua, tapi serasa permaisuri."Bel rumah berbunyi, Safira keluar. Hanan sudah menunggu dan memandangnya takjub."Kenapa dikunci sih pintunya?""Karena suamiku tidak ada di rumah, aku harus bisa menjaga harga diri. Jadi makan di luar?""Jadi lah. Kamu sudah siap masa mau dibatalin."Safira dengan cepat menyambar tas dan mengajak Hanan pergi. Di sepanjang jalan terus berfoto di dalam mobil."Aku boleh buat status gak, Mas?" tanya Safira."Boleh, tapi jangan sama aku, ya? Sementara ini foto kita berdua jangan dipublikasikan!""Iya deh, kan aku hanya simpanan," ucap Safira sambil
Di rumahnya, Safira benar-benar menjalani peran sebagai istri yang baik. Ia berusaha keras untuk menjadi istri yang lebih baik dari Felicia, meski belum mengenal sosok madunya seperti apa.“Jangan menuntut Hanan untuk banyak hal saat ini, Safira!” kata ibunya saat Safira berkeluh kesah tentang Hanan yang cuek pada Nayma. “Nanti malah suami kamu akan meninggalkan kamu. Rebut hatinya sedikit demi sedikit! Ingat, Safira! Kamu hanya istri siri yang mudah untuk diceraikan. Tetapi mencari lelaki seperti Hanan itu susah. Ibu mengizinkan kamu menjadi istri kedua, itu karena suamimu adalah Hanan. Orang kaya yang kamu tidak akan kelaparan dan kekurangan apapun. Masalah Nayma, buat Hanan sedikit demi sedikit menyayangi anak kamu. Ibu tentu ingin anakmu lebih disayang daripada anak kandungnya. Mengalah untuk menang! Itu yang harus kamu lakukan.”“Maksudnya bagaimana, Bu?”“Manjakan suami kamu! Kamu tidak punya harta seperti Felicia, maka kamu harus memberikan yang lain! Nayma, sementara waktu biar
Part 16POV AuthorFelicia meletakkan ponsel di kursi sebelah. Ia sudah bersiap ke butik setelah mengantar Abizar ke sekolah. Jarinya mengetuk setir mobil berkali-kali. Tak lama kemudian, ia menelpon seseorang.“Antarkan aku nanti sore ke tempat suamiku bekerja,” ucapnya. “Ah, tidak. Kita berangkat agar sampai sana jam satu siang. Aku akan mengurus bisnisku dulu, nanti ke sekolah buat kasih tahu Abizar.”Dengan cepat Felicia melakukan segala aktivitas agar pukul sebelas ia bisa meluncur ke toko bangunan Hanan.“Jadi bagaimana, Ibu Felic, apakah Ibu sudah mendapatkan tempat baru untuk cabang butik Ibu?” tanya partner bisnisnya yang baru.“Sudah. Aku juga sudah melakukan pembayaran dan sertifikat toko itu sudah berpindah padaku. Tempatnya memang bukan di jalan raya kota, tetapi jalan depan lebar, jadi kalau ada mobil berbelanja di sana, lalu lintasnya mudah. Tempat parkir luas dan tokonya besar. Saya ambil di situ karena tidak menemukan yang dekat dengan jalan besar, lagian harganya sed
“Gimana, kamu setuju tidak akan pergi kemana-mana? Maksudnya, menginap. Kalau siang hari. Gak papa, Mas, kamu bekerja.”Aku mengangguk.“Mbak Salamah kirim pesan, Mas. Katanya kita ditunggu di rumah dia, suruh buat acara tasyakuran pernikahan. Gimana, Mas? Bisa nggak kira-kira?”Apa lagi ini? Belum juga bisa membatalkan acara dengan felicia, sudah ada lagi permintaan dari Mbak Salamah.“Kita jangan jawab dulu, soalnya aku masih capek.”“Ouh, baiklah. Dijawab belum bisa kasih kepastian gitu ya?”Malam itu aku merasakan sesuatu hal yang berbeda. Pulang bersama istri, sholat berjamaah dan menghabiskan waktu bersama. Safira manja luar biasa, seperti sedang balas dendam dengan penderitaan masa lalunya. Ditambah di rumah hanya berdua.“Mas, bobok di depan tivi saja, ya?” rengeknya manja sambil memainkan daguku.“Di kamar saja kenapa?”“Aku ingin sensasi yang berbeda,” bisiknya.“Mas, gendong.”“Mas peluk aku ya tidurnya. Jangan lepasin tangannya lho!”“Mas, besok pagi mau sarapan apa?”“Sia