Share

Bab 3

Author: Nay Azzikra
last update Last Updated: 2024-12-17 15:21:34

Part 3

Wajah Safira sedikit sendu saat tahu siapa sosok yang menelponku.

“Angkatlah! Siapa tahu ada yang penting,” katanya sambil mengurai senyum tipis. Senyum yang dipaksakan.

“Kalau kamu keberatan, aku bisa mengabaikannya,” jawabku sambil menekan tombol matikan layar.

“Jangan! Angkat saja! Dia adalah istri pertamamu, dia lebih berhak atasmu dibanding aku.”

Aku izin keluar kamar dan dia mengangguk pelan.

“Assalamualaikum, Mah ....”

“Waalaikumsalam. Pah, bisa pulang? Abizar tiba-tiba panas tinggi. Dia sepertinya harus dibawa ke rumah sakit.” Felicia memberi kabar buruk di hari bahagiaku dengan Safira.

“Dikasih paracetamol dulu saja.”

“Sudah. Panas sejak tadi malam, aku kira pagi bisa sembuh. Tetapi malah tambah parah.”

Bukan tidak menyayangi Abizar, tetapi, saat ini tidak mungkin meninggalkan Safira yang baru saja kunikahi.

“Pah ....” Suara Felicia membuatku tersadar.

“Iya ... kamu berangkat ke rumah sakit dulu saja. Aku akan langsung kesana. Pilih kamar VIP.”

“Tapi kamu pulang ‘kan, Pah? Toko bisa dititipkan sama Harun,” kata Felicia lagi.

Harun adalah orang kepercayaanku dan dia saat ini sedang ada di toko. Aku membuka usaha toko bahan bangunan di kota kecil tempat Safira tinggal karena waktu itu, di sini belum ada toko bangunan yang lengkap. Sudah lima tahun mengembangkan bisnis dan di tahun ke empat, aku mulai mengenal Safira.

“Iya, tapi tidak bisa sekarang. Ini ada barang yang mau datang. Aku konfirmasi dulu sama sales, mau datang sekarang atau bisa ditunda. Yang penting sekarang bawa Abizar ke rumah sakit dulu. Biar bisa dapat penanganan yang cepat. Kamu tidak usah hubungi aku. Aku pasti datang setelah urusanku selesai.”

“Pah ....”

“Felic, segera bawa Abizar ke rumah sakit!” Aku memotong ucapan Felicia.

“Ba-baik ....” Felicia menutup telepon.

“Anakmu sakit, Mas?” Safira ternyata ada di belakangku.

Aku menoleh dan tersenyum padanya. “Iya, tidak apa-apa, cuma panas sedikit,” kataku sambil terpana menatap wajah Safira yang sudah tidak memakai kerudung.

“Pulanglah saja dulu, Mas. Mbak Felic mungkin membutuhkanmu.”

“Tidak apa-apa. Felic bisa mengatasi sendiri.” Hasrat ini sudah tidak terbendung melihat kecantikan Safira. Rambut hitamnya, bulu mata lentiknya serta bibirnya yang ranum, mendorong diri untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang suami.

Safira menatapku dalam. Deru napasnya pun terdengar sama kerasnya denganku. Aku tahu, ia sudah merindukan kasih sayang sejak lama. Aku paham, jika saat sekarang pun, ia tengah menungguku menyempurnakan hubungan kami.

Rumah yang sepi, hanya kicauan burung tetangga dan deru kendaraan yang sesekali lewat saja yang menemani kebersamaan kami.

“Safira, kamu sudah siap menjadi milikku seutuhnya?” tanyaku sambil mendekatkan diri.

“Kau tidak ingat istrimu, Mas? Kau tidak ingat anakmu yang sakit?” Ia balik bertanya.

“Kamu juga istriku, Safira. Jangan bahas selain kita bila bersama. Aku hanya ingin menikmati waktuku denganmu saja,” jawabku sambil membingkai wajah manisnya.

“Apa kamu hanya kasihan sama aku, Mas?” Safira bertanya lagi.

Aku tidak perlu menjawab pertanyaannya tentang itu. Safira juga sudah memejamkan mata. Betapa hari ini adalah saat yang sangat membahagiakan untukku. Tak perlu mengingat siapapun. Asalkan aku bisa menempatkan diriku di dua tempat yang berbeda.

“Safira ...,” ucapku lirih sambil mengecup lembut bibirnya.

Kami melakukan itu di hari menjelang siang dengan penuh gelora. Safira yang sudah lama menjada pun terlihat menikmati setiap sentuhan yang kuberi untuknya. Tidak ada kata terucap dari bibir kami. Hanya de--sah suara yang terkadang keluar tanpa kendali.

“Kenapa menangis?” tanyaku saat melihat pipinya basah di sela-sela aktivitas.

“Aku sangat bahagia, Mas, terima kasih sudah menjadikanku yang halal bagimu,” jawabnya sambil memeluk erat tubuhku. Jawaban Safira membuat diri ini semakin terbakar gelora. Merasa menjadi lelaki sejati yang bisa memberi kebahagiaan pada wanita yang cantiknya bak bidadari itu.

“Aku akan selalu melindungimu, jangan takut akan apapun lagi, Safira!” kataku sambil mengusap rambutnya yang hitam.

Hari ini telah kutunaikan keinginan hati menjadikan janda cantik itu menjadi milikku seutuhnya. Setelah ini, takkan kubiarkan siapapun menyakitinya, juga Nayma, anak semata wayang Safira.

Felicia dan Abizar, aku masih tetap bisa memberikan kasih sayang sebagaimana mestinya.

“Safira, aku mencintaimu ...,” kataku lirih setelah mencapai puncak dari apa yang kuinginkan.

“Aku juga mencintaimu, Mas Hanan,” balasnya pelan sambil mengalungkan kedua tangan di leherku.

Lelah pikiran ditambah tenaga yang terkuras habis menunaikan kewajibanku sebagai suami pada Safira, membuatku lupa akan janji yang sudah terucap untuk Felicia. Mata ini begitu berat dan hati yang sangat nyaman berada dalam dekapan istri kedua membuat kesadaran hilang seketika dan ruh berpindah ke alam mimpi.

Jiwa yang bahagia ternyata berpengaruh juga pada alam bawah sadar saat tidur. Rasanya sangat damai, saat kepala kuletakkan di pangkuannya. Selama kami saling kenal, baru sekarang melakukan hal ini. Aku menyentuhnya saat ia sudah benar-benar menjadi yang halal.

Saat ini, kami berada di sebuah taman bunga bersama Nayma. Gadis cantik yang menuruni garis wajah sang ibu itu tengah menangkap kupu-kupu yang hinggap di beberapa bunga dan daun. Aku memegang erat tangan Safira. Sangat lama. Menikmati setiap helaan napas yang keluar dari mulutnya.

 “Jangan pernah pergi dari hidup kami lagi ya, Mas Hanan. Aku mencintaimu dan aku sangat ikhlas meski hanya menjadi yang kedua. Tak mengapa kamu menyembunyikanku dari banyak orang. Asalkan ada ruang hati yang kamu sisakan untuk kami. Hanya untuk kami berdua,” kata Safira.

Tak berapa lama kemudian kurasakan tepukan tangan Safira di pipi berkali-kali. Sangat lembut.

“Bangunlah, kamu belum sholat Dzuhur, Mas. Ayo, kita mandi.” Suaranya terdengar sangat pelan. Mata ini begitu berat saat terbuka.

Ah, ternyata hanya mimpi. Kini, wajah cantik Safira dengan rambut basah yang terurai terpampang jelas di depan mata.

“Apa aku tidur lama?” tanyaku pada Safira.

Ia tersenyum dan mengecup lembut bibirku. “Iya. Kamu mendengkur tadi,” jawabnya.

“Aku mau tidur lagi,” bisikku lirih di telinga Safira.

“Sudah Dzuhur, sudah waktunya sholat. Ayo, bangun! Aku sudah siapkan handuk untuk mandi,” ucap Safira sambil mengelus pelan pipiku dengan tangannya.

“Aku mau mandi bersama kamu,” jawabku manja.

“Jangan, nanti malah tambah lama. Kamu harus pulang, ‘kan? Mbak Felic pasti sedang cemas menunggumu datang. Bangun, mandi dan berangkatlah!”

“Astaghfirullah ...,” ucapku pelan. Aku lupa jika Abizar sekarang ada di rumah sakit. Mungkin. Karena aku belum mengecek ponsel.

“Jam berapa ini?” tanyaku.

“Jam dua.”

“Ya Allah ....”

Kusingkirkan selimut dan gegas mandi. Guyuran air yang terasa dingin membuat otakku sedikit rileks. Abizar pasti baik-baik saja. Dia pasti sudah di rumah sakit dan mendapatkan perawatan yang terbaik. Sekalipun aku datang dengan segera, toh yang akan melakukan tindakan penolongan ya petugas medis. Bukan aku. Jadi, aku tidak perlu merasa bersalah.

Abizar berumur sembilan tahun, sama dengan Nayma. Ia adalah anak semata wayangku dengan Felic, tetapi bukan anak pertama. Karena anak pertamaku meninggal saat berusia dua tahun. Sakit panas.

Ya Allah, aku pernah kehilangan anak karena sakit panas. Lekas kupercepat kegiatan mandi karena ingin segera pulang. Kenapa aku lupa kalau pernah kehilangan anak karena sakit yang sama?

“Kamu tidak apa-apa kutinggal?” tanyaku pada Safira yang merapikan kerah baju setelah selesai mandi.

“Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa sendiri. Pria jahat itu pasti tidak akan berani lagi menggangguku. Sekarang aku sudah tenang karena punya kamu. Pulanglah! Aku juga akan ke rumah sakit. Nanti beri kabar kalau sudah sampai,” jawab Safira.

Bau parfum yang ia kenakan begitu menggoda. Sehingga membuat naluri lelakiku kembali bangkit. Bukankah itu normal? Kami ini pengantin baru, jadi wajar jika sedang mesra-mesranya.

“Aku pamit,” ucapku lirih di telinganya.

“Hati-hati di jalan!” kata Safira lagi.

“Aku tidak ingin berpisah dari kamu, Safira ... aku ingin di sini selalu bersamamu.”

“Aku pun begitu, Mas. Akan tetapi, bukankah sekarang kamu dibutuhkan oleh istrimu?” Safira berkata dengan tatapan menggoda. Pandangan perempuan itu sungguh menggoda. Membangkitkan sesuatu yang telah tuntas tadi, menuntut untuk menciptakan lagi gelora-gelora cinta.

“Boleh minta sebentar?” tanyaku menggoda.

“Kamu sudah harus pergi,” jawab Safira. Meski berkata demikian, tetapi aku tahu kalau ia juga menginginkannya.

Aku ingin melupakan sejenak tentang Felicia dan Abizar. Lelah bekerja selama ini, bukankah hati dan perasaan juga butuh hiburan? Safira aku anggap hiburan yang sangat indah. Toh setelah ini, aku juga akan bertemu dan bergelut dengan sakit Abizar.

“Kamu sangat cantik ....” Kalimat terakhir yang terucap sebelum akhirnya, aku kembali menyelami nikmatnya surga dunia bersamanya.

***

Di balik kemudi, aku mengecek ponsel yang ternyata sudah ada puluhan panggilan dari Felicia. Aku memilih membuka pesan saja. Ia memberikan foto Abizar yang tergeletak lemas tak berdaya.

[Kamu dimana?]

[Kata Harun kamu tidak ada di toko]

[Pulanglah segera, Pah. Aku takut ....]

[Abizar panasnya tak juga turun meskipun sudah diinfus dan ditangani dokter]

[Abizar merintih memanggil namamu, Mas ....]

[Kenapa tak juga sampai? Ini sudah berjam-jam]

[Adakah sesuatu yang terjadi denganmu?]

“Astaghfirullahaladzim ... ya Allah, kenapa Abizar harus sakit di saat yang tidak tepat?” kataku lirih sambil menatap Safira yang sudah memakai jilbab berdiri di tepi teras untuk mengantar kepergianku.

Maafkan aku, Safira, seharusnya kita masih bisa bersama di dalam sana. Doakan Abizar segera membaik, sehingga aku bisa pulang kesini.

Mobil melaju setelah membunyikan klakson. Pintu gerbang segera ditutup Safira setelah mobil keluar dari pekarangan. Aku membelikannya rumah dua minggu yang lalu. Memilih cluster daripada komplek perumahan biasa, karena pengamanannya lebih terjamin. Setiap tamu yang masuk, harus lapor dulu sama satpam. Sehingga aku tidak perlu takut saat meninggalkan Safira dan juga tentang hubungan kami, sepertinya akan lebih aman dari pantauan siapapun.

Setelah menempuh waktu dua jam, akhirnya aku sampai di rumah sakit. Abizar, bocah laki-laki yang berusia sembilan tahun yang dekat denganku meski tak setiap hari bersama. Kulihat Felicia tertidur di tepi ranjang sambil memegang sebuah tasbih. Aku mendekat dan mengelus kepalanya lembut.

Apakah sama rasanya dengan saat aku menyentuh Safira?

Tentu saja tidak. Mereka berdua memiliki arti berbeda dalam hidupku.

“Mas Hanan,” kata Felicia lali menghambur di pelukanku. “Kenapa kamu baru datang? Aku takut sekali Abi akan seperti Nazmi,” ucapnya lagi.

“Jangan berpikiran yang buruk, Felic! Abi anak yang kuat. Sekarang aku sudah ada di sini, jadi, kamu tidak perlu takut lagi. Abi pasti akan baik-baik saja,” kataku berusaha menenangkan Felicia.

Felicia melepaskan pelukan setelah mungkin merasa tenang.

“Abi, bangunlah, Nak! Papa sudah di sini,” kataku pada Abi. Kupegang keningnya sangat panas.

Rasa cemas mendadak datang lagi. Terlebih saat kupandangi wajahnya yang tidur sambil merintih. Ah, seandainya tadi waktu habis melakukan kewajiban pada Safira, aku langsung pulang, pasti tidak akan separah ini keadaan Abi.

“Apa dia tidak bangun dari tadi? Apa dia seperti ini terus?” tanyaku sambil menoleh pada Felic.

“Iya, dia merintih terus.”

“Kenapa tidak bilang padaku? Kalau bilang ‘kan, aku akan cepat pulang.”

“Kamu tidak mengangkat teleponku, Mas. Aku sudah bilang sebelum Dzuhur kalau Abi sakit. Akan tetapi, kamu tidak kunjung datang. Nomor kamu aktif, tetapi tidak menjawab teleponku dan sekarang kamu menyalahkanku?” Felicia menatap tajam dan penuh amarah.

Aku sudah hilang kendali tadi. Ah, bagaimana bisa aku menjelaskan pda Felicia jika ia menuntutku jujur? Kenapa tadi aku tidak bisa mengontrol diri?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Bab 4

    Part 4“Maaf, tadi aku meeting dengan perusahaan semen. Maaf, aku sudah hilang kendali karena was-was dan cemas dengan keadaan Abi.”“Kalau kamu memang cemas, seharusnya kamu pulang lebih awal. Bukan pulang terlambat, terus menyalahkan. Kemana saja tadi kamu, Mas? Apa meeting sampai sesibuk itu? Bahkan pesanku hanya kamu baca tanpa kamu balas.” Felicia menatap penuh selidik.“Habis dari toko, aku langsung meeting, lanjut meninjau lokasi yang akan menjadi tempat toko baru kita lagi.”“Kamu tidak datang ke toko hari ini, itu yang Harun katakan.”“Aku datang waktu Harun sedang ada di belakang. Mengecek sebentar lalu pergi.”“Kamu sudah tahu Abi sakit, kenapa malah meninjau lokasi baru, Mas?”Di sini aku mulai kehabisan cara dan alasan untuk menjawab. Namun, aku berusaha bersikap setenang mungkin. “Pemiliknya memaksa aku untuk datang kesana secepatnya. Kalau aku tidak datang, bisa saja tanah itu sudah dijual ke orang lain. Bukankah kamu ingin kita punya toko yang tidak terlalu jauh dari si

    Last Updated : 2024-12-17
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Bab 5

    Part 5POV FeliciaNamaku Felicia. Aku lahir dari etnis bermata sipit. Sebelum menikah dengan Mas Hanan, aku bekerja di sebuah perusahaan asing di bidang industri barang konsumen primer dengan gaji yang fantastis. Terlebih saat bisa melakukan penjualan di atas targert yang ditentukan, pasti akan mendapat bonus dari atasan. Beberapa bulan bekerja, aku langsung diangkat menjadi asisten manager. Karirku memang menanjak cepat saat itu.Orang tuaku termasuk keluarga yang mapan. Mereka memiliki toko bahan bangunan besar yang ramai pengunjung. Kami keluarga yang taat pada Tuhan. Setiap akhir pekan, selalu beribadah bersama.Kami tiga bersaudara dan aku anak tengah. Kakakku sudah menjadi dokter, dan adikku saat ini sudah menjadi pengacara, juga memiliki bisnis toko elektronik.Saat berumur dua puluh empat tahun, aku berkenalan dengan Mas Hanan. Dia bekerja sebagai kasir di toko Papa. Pemuda yang sangat religius, jujur dan sopan. Seorang lelaki yang berasal dari keluarga pas-pasan. Entah kena

    Last Updated : 2024-12-17
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Bab 6

    Part 6Setelah Abizar berusia empat tahun, aku dan Mas Hanan mulai merintis usaha toko bangunan dan sebuah kota kecil yang berjarak dua jam dari tempat kami tinggal. Awalnya aku ikut, tetapi kemudian memilih kembali ke rumah karena butik tidak ada yang mengurus. Lagi pula, Abizar jadi sering sakit karena tinggal di daerah berudara dingin.Saat itu kami sudah memiliki orang kepercayaan, sehingga Mas Hanan bisa sering pulang ke rumah.Mama, Papa, Mas Ferry dan Dion, belum pernah sekalipun mencari keberadaanku. Aku sempat beberapa kali pulang ke rumah, tetapi mereka tidak mau menemui. Pernah ketika keluarga merayakan hari raya, aku datang dengan membawa Abizar. Akan tetapi, satpam langsung memintaku pergi.“Maaf, Non Felic, saya dilarang menerima Non Felic, jadi tolong, pergi saja, ya! Nanti saya kehilangan pekerjaan,” ucap satpam.Meski sedih, aku memaklumi dan memilih pergi.“Berdoa saja, semoga Allah melunakkan hati keluarga kamu,” kata Mas Hanan menghibur. “Kalau suatu ketika mereka

    Last Updated : 2024-12-17
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Bab 7

    Part 7 “Mama ....”Panggilan dari Abizar membuatku terbangun. Mas Hanan tidur di samping anak semata wayang kami. Aku memegang kening Abizar, panasnya sudah turun.“Iya, Sayang. Mama di sini, kenapa? Ingin minum?” tanyaku lembut.“Aku ingin tidur sama Mama di sofa,” kata Abizar.“Baiklah, ayo, kita turun,” ajakku.Abizar kupapah berjalan, karena tidak mungkin aku mengangkat tubuhnya sambil membawa infus. Hati masih tidak ingin membangunkan Mas Hanan.“Mama, kalau aku sudah sembuh, ajak liburan sama Papa juga, ya?” kata Abizar saat sudah berbaring di atas sofa.“Iya, mau piknik kemana maunya Abi?”“Ke gunung Bromo, Ma. Aku ingin naik mobil jeep. Nanti kita bertiga saja, tidak usah bawa sopir.”“Iya, Sayang, yang penting Abi sembuh dulu, ya?”“Mama, kapan Mama mau ajak aku ke rumah Oma? Kapan Oma main ke rumah kita, Ma? Teman-temanku punya Oma dan Opa baik banget, kenapa Oma dan Opa aku tidak baik sama aku?”“Karena Mama pernah melakukan kesalahan besar dan mereka belum bisa memaafkan M

    Last Updated : 2024-12-20
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 8

    Part 8POV AuthorLebih dari tiga hari Hanan tidak kunjung pulang ke rumah Felicia, bahkan sulit untuk dihubungi. Tidak dipungkiri, wanita berkulit putih itu merasa sangat curiga dan dirasa perlu mencari tahu kenapa sang suami menjadi berubah seperti sekarang. Ia meletakkan ponsel di kursi sebelah dan sudah bersiap ke butik setelah mengantar Abizar ke sekolah. Jarinya mengetuk setir mobil berkali-kali. Tak lama kemudian, ia menelpon seseorang.“Antarkan aku nanti sore ke tempat suamiku bekerja,” ucapnya. “Ah, tidak. Kita berangkat agar sampai sana jam satu siang. Aku akan mengurus bisnisku dulu, nanti ke sekolah buat kasih tahu Abizar.”Dengan cepat Felicia melakukan segala aktivitas agar pukul sebelas ia bisa meluncur ke toko bangunan Hanan.“Jadi bagaimana, Ibu Felic, apakah Ibu sudah mendapatkan tempat baru untuk cabang butik Ibu?” tanya partner bisnisnya yang baru.“Sudah. Aku juga sudah melakukan pembayaran dan sertifikat toko itu sudah berpindah padaku. Tempatnya memang bukan di

    Last Updated : 2024-12-21
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 9

    Part 9Masih POV Author“Manjakan suami kamu! Kamu tidak punya harta seperti Felicia, maka kamu harus memberikan yang lain! Nayma, sementara waktu biar tinggal sama Ibu. Biar tidak mengganggu dan biar Hanan nyaman berada disisi kamu. Setelah dekat dengan dia, kamu nanti akan tahu bagaimana cara meluluhkan hati suamimu. Ingat, Safira! Kamu hanya istri kedua, maka separuh lebih hati Hanan harus kamu rebut!”Karena wejangan yang disampaikan ibunya itu, Safira jadi memiliki kekuatan untuk bersabar dalam kondisinya sekarang. Ia tidak mau lagi menuntut Hanan untuk menyayangi Nayma secepatnya.“Pokoknya kalau kamu ingin Nayma menjadi ratu dalam hidup hanan, maka hal utama yang harus kamu lakukan adalah menjadi babu untuk suamimu lebih dulu. Mengalahlah untuk menang, Safira!” Ucapan terakhir dari ibunya, membuat Safira bersemangat memanjakan Hanan.Siang saat Hanan istirahat, ia pulang ke rumah Safira. Istri keduanya melayani dengan sepenuh hati.“Kamu kenapa sih, Sayang, hanya sendok lho, aku

    Last Updated : 2024-12-23
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 10 A

    Part 10POV SafiraMas Hanan, satu nama yang akhirnya mengisi hati ini setelah sekian lama terbelenggu rasa sakit yang tak terperi.Tidak ada satu pun wanita yang ingin seperti aku, menjanda di usia muda tanpa pekerjaan dan harus menanggung satu anak dan juga seorang ibu. Aku menikah di usia yang belia, yakni delapan belas tahun karena sebuah kecelakaan. Saat itu baru lulus SMA.Ah tidak! Sebenarnya aku sudah hamil sejak enam bulan sebelum kelulusan, tetapi bisa ku tutupi karena badan yang langsing. Adalah Mas Angga, cowok kakak kelas yang sudah berpacaran denganku sejak kelas dua SMA. Saat kami menikah, ia sudah duduk di bangku kuliah. Mas Angga berasal dari keluarga yang sederhana, sehingga kehidupan kami sangat kekurangan pada awal pernikahan.Terlahir sebagai anak semata wayang, Bapak hanya seorang sopir angkutan umum dan harus meregang nyawa setelah menikahkanku. Mungkin depresi karena aib yang sudah ku torehkan. Sementara Ibu, harus bekerja sebagai pembantu setelah kepergian Bapa

    Last Updated : 2024-12-24
  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 10 B

    Lelaki itu, dari mana tahu keberadaanku?Mas Angga hendak menarik tanganku, tetapi Mas Hanan sigap menghadang.“Aku tidak tahu siapa Anda, tetapi alangkah buruknya perangai Anda, memukul seorang wainta.” Dengan tegas Mas Hanan melindungiku.“Minggir jangan ikut campur! Dia istriku. Siapa kamu? Ah, jangan-jangan, kamu sudah menikah lagi ya, Safira? Pernikahan haram karena kamu masih menjadi istri sahku. Kenapa kamu menikah lagi, Safira? Apa karena kamu gatal, hah?” teriak Mas Angga.“Jaga bicaranya, Mas! Duduklah dan bicarakan baik-baik. Aku bukan suami Mbak Safira.”“Lalu siapa? Kamu datang untuk memuaskan nafsunya?” bentak Mas Angga.“Saya CV yang akan mengerjakan rumah Mbak Safira. Anda siapa? Datang-datang berteriak dan memukul seorang wanita?”Ah, Mas Hanan, bahkan di saat pria di hadapannya berkata kasar, ia masih bersikap lembut. Semakin membuat hati ini tertarik.“Saya suami dia. Mau apa kamu? Sekarang juga, hentikan pembangunan apapun di sini! Kalau tidak ingin saya tuntut kare

    Last Updated : 2024-12-24

Latest chapter

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 20B

    “Baiklah, aku tidak akan meminta Harun melaporkan keuangan. Kamu saja yang lapor, tapi tiap hari, ya!” ucap Felicia sambil tersenyum, terlihat Hanan menarik napas lega.“Nanti malam kita jadi makan di luar ya?” tanya Hanan.“Aku mau pulang habis ini. Kamu mau ikut?” tanya Felicia.“Kenapa mendadak pulang? Katamu masih ingin berhari-hari di sini?”“Tidak, aku berubah pikiran. Kasihan sama Abizar tidak ada teman.”“Aku akan antar kamu. Kita pulang bersama. Suruh Adi buat pulang naik kereta saja. Nanti aku balik kesini pakai kereta.”Felicia menatap Hanan lama. Ia merasa kehilangan sosok yang sangat melindungi dan mengayomi selama beberapa bulan ini.“Maaf aku sudah mengabaikanmu karena terlalu sibuk dengan pekerjaan di sini. Aku akan menghabiskan waktu satu minggu di sana, biar Abi bisa sekolah. Harun yang akan mengurus toko,” kata Hanan kemudian.Felicia hanya mengangguk pasrah. Mereka lalu pulang bersama untuk mengemasi barang.“Kamu berkemas saja, aku akan mengantar Adi ke stasiun,”

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 20 A

    Part 20Felicia berkali-kali terbangun dan tak ia dapati Hanan yang mengejarnya ke kamar. Ia lalu melanjutkan tidur dan menunggu esok hari menjelang.Keesokan paginya, Hanan sudah bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan pagi di meja makan dan juga keperluan Felicia dan Abizar mandi serta ganti baju.“Hari ini kamu mau kemana?” tanya Hanan sambil menata piring di meja.“Mau ke toko lagi karena Abizar masih kangen sama Papa sepertinya, jadi aku harus betah lama di sini,” jawab Felicia datar.“Papa, aku mau main sama Papa. Boleh minta ke kolam renang gak?” rengek Abizar sambil bergelayut manja di lengan Hanan.“Untuk sekolah Abizar gimana, Mah kalau kelamaan?” tanya Hanan.“Kamu keberatan Abizar di sini lama? Ada sesuatu yang ingin kamu kerjakan tanpa kami?” Felicia bertanya sambil tersenyum.“Tidak, tapi aku mengkhawatirkan Abizar.”“Abizar anak pintar, bukankah kita sudah biasa meminta materi pelajaran hari ini sama guru, terus Abizar belajar di rumah? Izin tiga hari tidak masuk sekolah

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 19 B

    Hanan terbangun saat jam menunjukkan pukul satu siang. Ingat jika ada Felicia di sana, ia lalu gegas bangun dan mencari Harun.“Ibu sudah pergi karena Bapak tidur katanya.”“Pergi kemana? Kamu tahu tidak?”“Ya ke rumah kali, Pak, ‘kan ada Abizar di sana.”“Astaghfirullah kenapa aku bisa lupa ya?”“Jangan kebanyakan pikiran, Pak, biar tidak lupa,” celetuk Harun dan berlalu pergi.Ia segera berlalu meninggalkan toko dan pulang ke rumah dimana Felicia dan Abizar berada.“Ibu keluar sama Abizar, Pak. Soalnya nggak mau ikut Rehan mengaji, Abizar menangis minta ketemu sama Bapak,” kata Tri.“Terus sekarang mereka dimana?”“Tidak tahu, Pak. Kenapa nggak telpon sih, Pak?” Tri ikut terbawa emosi.“Astaghfirullah, kenapa tidak berpikir kesana ya?”“Satu lagi, Pak, Bapak kemana saja sih, Pak nggak pernah pulang kesini?”“Ceritanya panjang, tri,” jawab Hanan sambil berlalu menyusul Felicia ke toko.Akan tetapi, yang dicari tidak ada di toko. Berkali-kali menelpon, Felicia maupun Abizar tidak mau

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 19 A

    Part 19“Dari kemarin. Aku menelponmu, ponsel kamu mati,” jawab Felicia santai. “Kamu pucat, Mas, sakit kah?” Ia balik bertanya.Hanan menelan saliva berkali-kali, tidak mengira jika Felicia akan datang tanpa memberitahu lebih dulu. Biasanya mereka membuat janji jika Felicia hendak menyusul.“Eh, iya, aku agak tidak enak badan, kamu datang dari kapan, Mah?”“Dari kemarin. Aku sudah bilang dari kemarin lho tadi. Kemarin sore aku kesini gak ada kamu terus aku pulang ke rumah, kata Mbak Tri kamu tidak pernah pulang.” Meski dada terasa panas dan ingin mengamuk, Felicia berhasil pura-pura bersikap manis di depan Hanan.“Ini nota yang tadi sudah dihitung apa belum ya, Bu? Ini ada lagi notanya, saya kasih sama Ibu apa sama Bapak?” Seorang karyawan datang dan merasa bingung.“Ah, sudah, Mbak, ini. Yang baru bawa sini!” jawab Felicia sambil mengulurkan beberapa lembar nota, lalu menerima nota yang baru.“Mah, butik kamu tinggal, siapa yang ada di sana?” tanya Hanan celingukan.Biasanya ia adal

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 18 B

    Di tempat lain, Abizar sedang menangis sesenggukan karena tidak bisa menghubungi ayahnya. Saking sibuknya Hanan dengan Safira dan Nayma, ia sampai lupa kalau ponselnya mati.“Papa kenapa sih, Ma susah dihubungi? Papa apa sudah lupa sama aku?” tanya Abizar sambil memeluk lutut bersandar pada tembok.Felicia bingung hendak menjawab apa. Hatinya menjadi yakin jika sang suami memiliki orang ketiga.“Mama tidak bisa menjawab, Abi. Abi bilang sama Mama, Abi mau apa? Yang bisa membuat Abi bahagia apa saat ini? Kita keluar? Kita pulang atau apa?”Abizar menggeleng cepat. “Aku tidak ingin apa-apa, Mama. Aku ingin sama Papa.”Susah payah Felicia menghibur Abizar, anak itu tetap tidak mau berhenti menangis.“Anaknya Bu Tri tadi ajak main Abi ya? Main apa tadi Abi sama dia?”Abizar perlahan menghentikan tangisannya. “Main di pancuran, tapi sekarang sudah malam,” katanya sambil tersedu.“Ok, kita main ke rumah Bu Tri ya? Atau Abi mau anaknya Bu Tri tidur di sini? Besok pagi, dia pasti ajak Abi ke p

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 18 A

    Part 18Siang itu di kediaman Safira dan Hanan.“Masakan kamu selalu membuat lidahku ketagihan,” kata Hanan sambil terus mengunyah makan siangnya.Safira tersenyum memperhatikan suaminya yang makan dengan lahap.“Tadi Mbak Salamah kasih kabar, katanya ada acara arisan di rumah dia, Mas. Arisan jamaah. Aku sudah bilang, ‘kan, gak bisa ikut karena sudah berjalan lama. Tapi Mbak Salamah memaksa, jadi bingung mau menolaknya gimana. Menurut Mas gimana ya cara menolak tawaran Mbak Salamah?” Sambil memindahkan lauk ke piring Hanan, Safira bertanya demikian.“Kamu ingin ikut apa tidak? Kalau kamu mau ikut, ya ikut saja, nanti aku antar. Aku tidak usah ke toko lagi.”“Jangan dong, Mas! Mas harus ke toko. Kalau aku boleh ikut, aku berangkat sendiri saja,” tolak Safira.“Aku tahu, acara itu dihadiri oleh sepasang suami istri. Kalau kamu ikut sendirian, kamu akan merasa asing. Lagian, hanya di kalangan mereka kita bisa tampil sebagai suami istri. Aku akan mengantarmu.”Safira tersenyum lebar. Bag

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 17 B

    Felicia membaca pesan dari Hanan dengan ekspresi datar.Aku belum bisa pulang, Mah.Sudah dua hari lewat dari yang dijanjikan Hanan, lelaki itu masih tetap ingkar janji. Namun, Felicia tetap berusaha tenang. Ia lalu mengetik balasan.Ok. Lanjutkan saja."Kak, makasih ya sudah kasih tumpangan. Aku mau pulang sekarang, soalnya Mama suruh pulang dulu. Tentang tawaran dari Kak Felicia, aku baru bisa kesana minggu depan. Gimana?" Veronica muncul dari kamar tamu sambil membawa koper."Ok, gak papa, Ver. Salam buat mama kamu, ya? Nanti aku mau kesana buat survey tempat biar bisa kasih kamu arahan sekalian carikan kamu penginapan di sana. Tapi Kakak mohon jangan sampai ada orang yang tahu tentang ini, ya?" jawab Felicia sambil tersenyum."Baik, Kakak. Aku pulang ya? Jilbab yang Kakak pinjami semalam, boleh gak aku bawa pulang?" tanya Veronica lagi."Bawa saja! Nanti Kakak kasih yang banyak kalau kamu sudah siap melakukan tugas dari Kakak."Veronica berlalu sambil menyatukan jari telunjuk dan j

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 17 A

    Part 17POV AUTHORSafira mematut diri di depan cermin. Gamis mahal dan perhiasan mewah di tangan membuat wanita itu semakin cantik."Tak mengapa jika aku hanya menjadi yang kedua. Yang penting Mas Hanan saat ini masih bisa ku kendalikan. Benar ternyata kata Ibu, aku harus merendah dan pura-pura mengalah agar Mas Hanan kasihan," ucapnya di depan cermin. "Daripada menjadi istri pertama, tapi menderita, lebih baik jadi istri kedua, tapi serasa permaisuri."Bel rumah berbunyi, Safira keluar. Hanan sudah menunggu dan memandangnya takjub."Kenapa dikunci sih pintunya?""Karena suamiku tidak ada di rumah, aku harus bisa menjaga harga diri. Jadi makan di luar?""Jadi lah. Kamu sudah siap masa mau dibatalin."Safira dengan cepat menyambar tas dan mengajak Hanan pergi. Di sepanjang jalan terus berfoto di dalam mobil."Aku boleh buat status gak, Mas?" tanya Safira."Boleh, tapi jangan sama aku, ya? Sementara ini foto kita berdua jangan dipublikasikan!""Iya deh, kan aku hanya simpanan," ucap Saf

  • Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan   Part 16 B

    “Kemarin kamu harus pulang ke rumah Mbak Felic karena Abizar sakit. Sekarang aku ingin menghabiskan waktu bersama kamu, Mas. Dua minggu ke depan, jangan pergi kemana-mana, ya? Nayma sudah aku tinggal di rumah Ibu, jadi kita bebas berduaan.”Aku masih bingung hendak menjawab apa.“Siang kamu harus makan siang di rumah lho, Mas. Biar gak usah bawa bekal. Mas tinggal bilang saja, hari ini ingin masak apa saja.”Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.“Mas tidak perlu bawa baju ke laundry, tidak perlu panggil orang buat bersih-bersih. Aku akan melakukan semua itu. Tugasku adalah mengabdikan diriku pada suamiku.”Safira, andai aku tidak memiliki Felicia, pasti akan bahagia memiliki kamu. Rasanya tidak tega akan menyampaikan hal ini. Dia sudah berkorban hidup jauh dari Nayma. Aku akan mencari cara untuk membatalkan liburan bersama Felicia. Setidaknya satu minggu agar bisa hidup bersama Safira layaknya suami istri.“Gimana, kamu setuju tidak akan pergi kemana-mana? Maksudnya, menginap. Kalau s

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status