Part 3
Lelah pikiran ditambah tenaga yang terkuras habis menunaikan kewajibanku sebagai suami pada Safira, membuatku lupa akan janji yang sudah terucap untuk Felicia. Mata ini begitu berat dan hati yang sangat nyaman berada dalam dekapan istri kedua membuat kesadaran hilang seketika dan ruh berpindah ke alam mimpi.
Jiwa yang bahagia ternyata berpengaruh juga pada alam bawah sadar saat tidur. Rasanya sangat damai, saat kepala kuletakkan di pangkuannya. Selama kami saling kenal, baru sekarang melakukan hal ini. Aku menyentuhnya saat ia sudah benar-benar menjadi yang halal.
Saat ini, kami berada di sebuah taman bunga bersama Nayma. Gadis cantik yang menuruni garis wajah sang ibu itu tengah menangkap kupu-kupu yang hinggap di beberapa bunga dan daun. Aku memegang erat tangan Safira. Sangat lama. Menikmati setiap helaan napas yang keluar dari mulutnya.
“Jangan pernah pergi dari hidup kami lagi ya, Mas Hanan. Aku mencintaimu dan aku sangat ikhlas meski hanya menjadi yang kedua. Tak mengapa kamu menyembunyikanku dari banyak orang. Asalkan ada ruang hati yang kamu sisakan untuk kami. Hanya untuk kami berdua,” kata Safira.
Tak berapa lama kemudian kurasakan tepukan tangan Safira di pipi berkali-kali. Sangat lembut.
“Bangunlah, kamu belum sholat Dzuhur, Mas. Ayo, kita mandi.” Suaranya terdengar sangat pelan. Mata ini begitu berat saat terbuka.
Ah, ternyata hanya mimpi. Kini, wajah cantik Safira dengan rambut basah yang terurai terpampang jelas di depan mata.
“Apa aku tidur lama?” tanyaku pada Safira.
Ia tersenyum dan mengecup lembut bibirku. “Iya. Kamu mendengkur tadi,” jawabnya.
“Aku mau tidur lagi,” bisikku lirih di telinga Safira.
“Sudah Dzuhur, sudah waktunya sholat. Ayo, bangun! Aku sudah siapkan handuk untuk mandi,” ucap Safira sambil mengelus pelan pipiku dengan tangannya.
“Aku mau mandi bersama kamu,” jawabku manja.
“Jangan, nanti malah tambah lama. Kamu harus pulang, ‘kan? Mbak Felic pasti sedang cemas menunggumu datang. Bangun, mandi dan berangkatlah!”
“Astaghfirullah ...,” ucapku pelan. Aku lupa jika Abizar sekarang ada di rumah sakit. Mungkin. Karena aku belum mengecek ponsel.
“Jam berapa ini?” tanyaku.
“Jam dua.”
“Ya Allah ....”
Kusingkirkan selimut dan gegas mandi. Guyuran air yang terasa dingin membuat otakku sedikit rileks. Abizar pasti baik-baik saja. Dia pasti sudah di rumah sakit dan mendapatkan perawatan yang terbaik. Sekalipun aku datang dengan segera, toh yang akan melakukan tindakan penolongan ya petugas medis. Bukan aku. Jadi, aku tidak perlu merasa bersalah.
Abizar berumur sembilan tahun, sama dengan Nayma. Ia adalah anak semata wayangku dengan Felic, tetapi bukan anak pertama. Karena anak pertamaku meninggal saat berusia dua tahun. Sakit panas.
Ya Allah, aku pernah kehilangan anak karena sakit panas. Lekas kupercepat kegiatan mandi karena ingin segera pulang. Kenapa aku lupa kalau pernah kehilangan anak karena sakit yang sama?
“Kamu tidak apa-apa kutinggal?” tanyaku pada Safira yang merapikan kerah baju setelah selesai mandi.
“Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa sendiri. Pria jahat itu pasti tidak akan berani lagi menggangguku. Sekarang aku sudah tenang karena punya kamu. Pulanglah! Aku juga akan ke rumah sakit. Nanti beri kabar kalau sudah sampai,” jawab Safira.
Bau parfum yang ia kenakan begitu menggoda. Sehingga membuat naluri lelakiku kembali bangkit. Bukankah itu normal? Kami ini pengantin baru, jadi wajar jika sedang mesra-mesranya.
“Aku pamit,” ucapku lirih di telinganya.
“Hati-hati di jalan!” kata Safira lagi.
“Aku tidak ingin berpisah dari kamu, Safira ... aku ingin di sini selalu bersamamu.”
“Aku pun begitu, Mas. Akan tetapi, bukankah sekarang kamu dibutuhkan oleh istrimu?” Safira berkata dengan tatapan menggoda. Pandangan perempuan itu sungguh menggoda. Membangkitkan sesuatu yang telah tuntas tadi, menuntut untuk menciptakan lagi gelora-gelora cinta.
“Boleh minta sebentar?” tanyaku menggoda.
“Kamu sudah harus pergi,” jawab Safira. Meski berkata demikian, tetapi aku tahu kalau ia juga menginginkannya.
Aku ingin melupakan sejenak tentang Felicia dan Abizar. Lelah bekerja selama ini, bukankah hati dan perasaan juga butuh hiburan? Safira aku anggap hiburan yang sangat indah. Toh setelah ini, aku juga akan bertemu dan bergelut dengan sakit Abizar.
“Kamu sangat cantik ....” Kalimat terakhir yang terucap sebelum akhirnya, aku kembali menyelami nikmatnya surga dunia bersamanya.
***
Di balik kemudi, aku mengecek ponsel yang ternyata sudah ada puluhan panggilan dari Felicia. Aku memilih membuka pesan saja. Ia memberikan foto Abizar yang tergeletak lemas tak berdaya.
[Kamu dimana?]
[Kata Harun kamu tidak ada di toko]
[Pulanglah segera, Pah. Aku takut ....]
[Abizar panasnya tak juga turun meskipun sudah diinfus dan ditangani dokter]
[Abizar merintih memanggil namamu, Mas ....]
[Kenapa tak juga sampai? Ini sudah berjam-jam]
[Adakah sesuatu yang terjadi denganmu?]
“Astaghfirullahaladzim ... ya Allah, kenapa Abizar harus sakit di saat yang tidak tepat?” kataku lirih sambil menatap Safira yang sudah memakai jilbab berdiri di tepi teras untuk mengantar kepergianku.
Maafkan aku, Safira, seharusnya kita masih bisa bersama di dalam sana. Doakan Abizar segera membaik, sehingga aku bisa pulang kesini.
Mobil melaju setelah membunyikan klakson. Pintu gerbang segera ditutup Safira setelah mobil keluar dari pekarangan. Aku membelikannya rumah dua minggu yang lalu. Memilih cluster daripada komplek perumahan biasa, karena pengamanannya lebih terjamin. Setiap tamu yang masuk, harus lapor dulu sama satpam. Sehingga aku tidak perlu takut saat meninggalkan Safira dan juga tentang hubungan kami, sepertinya akan lebih aman dari pantauan siapapun.
Setelah menempuh waktu dua jam, akhirnya aku sampai di rumah sakit. Abizar, bocah laki-laki yang berusia sembilan tahun yang dekat denganku meski tak setiap hari bersama. Kulihat Felicia tertidur di tepi ranjang sambil memegang sebuah tasbih. Aku mendekat dan mengelus kepalanya lembut.
Apakah sama rasanya dengan saat aku menyentuh Safira?
Tentu saja tidak. Mereka berdua memiliki arti berbeda dalam hidupku.
“Mas Hanan,” kata Felicia lali menghambur di pelukanku. “Kenapa kamu baru datang? Aku takut sekali Abi akan seperti Nazmi,” ucapnya lagi.
“Jangan berpikiran yang buruk, Felic! Abi anak yang kuat. Sekarang aku sudah ada di sini, jadi, kamu tidak perlu takut lagi. Abi pasti akan baik-baik saja,” kataku berusaha menenangkan Felicia.
Felicia melepaskan pelukan setelah mungkin merasa tenang.
“Abi, bangunlah, Nak! Papa sudah di sini,” kataku pada Abi. Kupegang keningnya sangat panas.
Rasa cemas mendadak datang lagi. Terlebih saat kupandangi wajahnya yang tidur sambil merintih. Ah, seandainya tadi waktu habis melakukan kewajiban pada Safira, aku langsung pulang, pasti tidak akan separah ini keadaan Abi.
“Apa dia tidak bangun dari tadi? Apa dia seperti ini terus?” tanyaku sambil menoleh pada Felic.
“Iya, dia merintih terus.”
“Kenapa tidak bilang padaku? Kalau bilang ‘kan, aku akan cepat pulang.”
“Kamu tidak mengangkat teleponku, Mas. Aku sudah bilang sebelum Dzuhur kalau Abi sakit. Akan tetapi, kamu tidak kunjung datang. Nomor kamu aktif, tetapi tidak menjawab teleponku dan sekarang kamu menyalahkanku?” Felicia menatap tajam dan penuh amarah.
Aku sudah hilang kendali tadi. Ah, bagaimana bisa aku menjelaskan pda Felicia jika ia menuntutku jujur? Kenapa tadi aku tidak bisa mengontrol diri?
Part 4“Maaf, tadi aku meeting dengan perusahaan semen. Maaf, aku sudah hilang kendali karena was-was dan cemas dengan keadaan Abi.”“Kalau kamu memang cemas, seharusnya kamu pulang lebih awal. Bukan pulang terlambat, terus menyalahkan. Kemana saja tadi kamu, Mas? Apa meeting sampai sesibuk itu? Bahkan pesanku hanya kamu baca tanpa kamu balas.” Felicia menatap penuh selidik.“Habis dari toko, aku langsung meeting, lanjut meninjau lokasi yang akan menjadi tempat toko baru kita lagi.”“Kamu tidak datang ke toko hari ini, itu yang Harun katakan.”“Aku datang waktu Harun sedang ada di belakang. Mengecek sebentar lalu pergi.”“Kamu sudah tahu Abi sakit, kenapa malah meninjau lokasi baru, Mas?”Di sini aku mulai kehabisan cara dan alasan untuk menjawab. Namun, aku berusaha bersikap setenang mungkin. “Pemiliknya memaksa aku untuk datang kesana secepatnya. Kalau aku tidak datang, bisa saja tanah itu sudah dijual ke orang lain. Bukankah kamu ingin kita punya toko yang tidak terlalu jauh dari s
Part 5POV FeliciaNamaku Felicia. Aku lahir dari etnis bermata sipit. Sebelum menikah dengan Mas Hanan, aku bekerja di sebuah perusahaan asing di bidang industri barang konsumen primer dengan gaji yang fantastis. Terlebih saat bisa melakukan penjualan di atas targert yang ditentukan, pasti akan mendapat bonus dari atasan. Beberapa bulan bekerja, aku langsung diangkat menjadi asisten manager. Karirku memang menanjak cepat saat itu.Orang tuaku termasuk keluarga yang mapan. Mereka memiliki toko bahan bangunan besar yang ramai pengunjung. Kami keluarga yang taat pada Tuhan. Setiap akhir pekan, selalu beribadah bersama.Kami tiga bersaudara dan aku anak tengah. Kakakku sudah menjadi dokter, dan adikku saat ini sudah menjadi pengacara, juga memiliki bisnis toko elektronik.Saat berumur dua puluh empat tahun, aku berkenalan dengan Mas Hanan. Dia bekerja sebagai kasir di toko Papa. Pemuda yang sangat religius, jujur dan sopan. Seorang lelaki yang berasal dari keluarga pas-pasan. Entah kena
Part 6Setelah Abizar berusia empat tahun, aku dan Mas Hanan mulai merintis usaha toko bangunan dan sebuah kota kecil yang berjarak dua jam dari tempat kami tinggal. Awalnya aku ikut, tetapi kemudian memilih kembali ke rumah karena butik tidak ada yang mengurus. Lagi pula, Abizar jadi sering sakit karena tinggal di daerah berudara dingin.Saat itu kami sudah memiliki orang kepercayaan, sehingga Mas Hanan bisa sering pulang ke rumah.Mama, Papa, Mas Ferry dan Dion, belum pernah sekalipun mencari keberadaanku. Aku sempat beberapa kali pulang ke rumah, tetapi mereka tidak mau menemui. Pernah ketika keluarga merayakan hari raya, aku datang dengan membawa Abizar. Akan tetapi, satpam langsung memintaku pergi.“Maaf, Non Felic, saya dilarang menerima Non Felic, jadi tolong, pergi saja, ya! Nanti saya kehilangan pekerjaan,” ucap satpam.Meski sedih, aku memaklumi dan memilih pergi.“Berdoa saja, semoga Allah melunakkan hati keluarga kamu,” kata Mas Hanan menghibur. “Kalau suatu ketika mereka
Part 7POV SafiraMas Hanan, satu nama yang akhirnya mengisi hati ini setelah sekian lama terbelenggu rasa sakit yang tak terperi.Tidak ada satu pun wanita yang ingin seperti aku, menjanda di usia muda tanpa pekerjaan dan harus menanggung satu anak dan juga seorang ibu. Aku menikah di usia yang belia, yakni delapan belas tahun karena sebuah kecelakaan. Saat itu baru lulus SMA.Ah tidak! Sebenarnya aku sudah hamil sejak enam bulan sebelum kelulusan, tetapi bisa ku tutupi karena badan yang langsing. Adalah Mas Angga, cowok kakak kelas yang sudah berpacaran denganku sejak kelas dua SMA. Saat kami menikah, ia sudah duduk di bangku kuliah. Mas Angga berasal dari keluarga yang sederhana, sehingga kehidupan kami sangat kekurangan pada awal pernikahan.Terlahir sebagai anak semata wayang, Bapak hanya seorang sopir angkutan umum dan harus meregang nyawa setelah menikahkanku. Mungkin depresi karena aib yang sudah ku torehkan. Sementara Ibu, harus bekerja sebagai pembantu setelah kepergian Bapa
Part 8Lelaki itu, dari mana tahu keberadaanku?Mas Angga hendak menarik tanganku, tetapi Mas Hanan sigap menghadang.“Aku tidak tahu siapa Anda, tetapi alangkah buruknya perangai Anda, memukul seorang wainta.” Dengan tegas Mas Hanan melindungiku.“Minggir jangan ikut campur! Dia istriku. Siapa kamu? Ah, jangan-jangan, kamu sudah menikah lagi ya, Safira? Pernikahan haram karena kamu masih menjadi istri sahku. Kenapa kamu menikah lagi, Safira? Apa karena kamu gatal, hah?” teriak Mas Angga.“Jaga bicaranya, Mas! Duduklah dan bicarakan baik-baik. Aku bukan suami Mbak Safira.”“Lalu siapa? Kamu datang untuk memuaskan nafsunya?” bentak Mas Angga.“Saya CV yang akan mengerjakan rumah Mbak Safira. Anda siapa? Datang-datang berteriak dan memukul seorang wanita?”Ah, Mas Hanan, bahkan di saat pria di hadapannya berkata kasar, ia masih bersikap lembut. Semakin membuat hati ini tertarik.“Saya suami dia. Mau apa kamu? Sekarang juga, hentikan pembangunan apapun di sini! Kalau tidak ingin saya tun
Part 9“Katanya mau buat kamar lagi, kenapa belum juga beli bahan bangunan? Ibu nanti bilang sama tukang kalau sudah siap semuanya,” tanya Ibu seusai shalat Isya.“Entah, Bu, aku rasanya tidak bersemangat lagi. Kapan-kapan saja, Bu,” jawabku sambil masuk kamar.“Bagaimana, Safira, kamu siap apa tidak untuk bercerai dari Angga? Kalau sudah siap, Ibu kabari paman kamu.”“Aku belum memikirkan itu, Bu, aku sedang tidak enak badan.”“Kasihan Nayma, dia butuh sosok ayah. Bila memang kamu masih mencintai Angga, bolehlah bicarakan hal ini bagaimana baiknya, apa dia mau merubah sifat kasarnya. Kalau Ibu sejujurnya sudah tidak ingin kamu kembali sama dia. Tapi apa kamu mau seperti ini terus? Buat keputusan, Safira! Agar status kamu jelas.”Aku abai akan ucapan Ibu, memilih menutup pintu rapat dan menelungkupkan tubuh di atas kasur. Dari dulu, hati ini sulit untuk jatuh cinta. Sekalinya jatuh cinta, susah untuk berpaling. Itu sebabnya meski Mas Angga sangat kasar, dulu masih bertahan sebagai ist
Part 10Hari-hari berlalu seperti biasanya dan Mas Hanan tidak pernah lagi mengikuti kajian. Apa dia tahu kalau aku menaruh rasa dan sengaja menghindar?Entahlah ....Ibu tidak pernah lagi membahas perceraianku dengan Mas Angga. Aku tetap berkomitmen akan menyelesaikan hubunganku dengan Mas Angga bila sudah menemukan sosok penggantinya.Siang itu cuaca mendung. Nayma ada kegiatan kemah pramuka di sekolah. Ibu ada job memasak di tempat orang hajatan. Karena merasa kesepian, aku iseng jalan-jalan naik motor ke sebuah tempat yang pemandangannya bagus. Masih sekitar kotaku tinggal.Rintik-rintik hujan mulai turun dan baru sadar jika tidak ada jas hujan yang kubawa. Naas, ternyata ada proyek pelebaran jalan yang mengakibatkan jalanan licin. Motorku tergelincir dan terjatuh. Jalan sepi hanya ada sepasang suami istri yang lewat dan menolong. Si istri lalu menghentikan satu mobil yang kebetulan lewat. Aku terkapar tak bisa bangun meski masih bisa mendengar. Beberapa anggota tubuh terasa perih
“Kalau masih mau melakukan kekerasan, saya akan panggil polisi. Perbuatan Anda sudah saya rekam,” ucap Mas Hanan tenang.“Kamu jangan ikut campur!” Mas Angga mengacungkan jari telunjuk tepat di depan wajah Mas Hanan.“Jelas saya ikut campur. Ada wanita lemah yang terancam keselamatannya. Jadi, pergi atau saya panggil polisi?”“Aku akan datang lagi nanti malam, Safira!” Mas Angga yang kesal berlalu pergi.Aku menangis tersedu-sedu. Mas Hanan memintaku membuka pintu rumah. Ia lalu membuatkan segelas teh hangat, nasi dan menyuruhku minum obat. Ah, beginikah rasanya diperlakukan sebagai ratu dalam rumah tangga?“Terima kasih, Mas sudah menolongku.”“Aku teringat adik perempuanku. Aku membayangkan jika dia ada di posisimu.”“Senang rasanya yang menjadi adik Mas Hanan. Andai aku punya kakak, pasti tidak akan seperti ini. Aku tidak ada tempat untuk bersandar atau mengadu. Ibu juga seorang janda. Kami jauh dari keluarga. Pergi ke tempat ini agar jauh dari Mas Angga, tapi ternyata dia menemuka
Di rumahnya, Safira benar-benar menjalani peran sebagai istri yang baik. Ia berusaha keras untuk menjadi istri yang lebih baik dari Felicia, meski belum mengenal sosok madunya seperti apa.“Jangan menuntut Hanan untuk banyak hal saat ini, Safira!” kata ibunya saat Safira berkeluh kesah tentang Hanan yang cuek pada Nayma. “Nanti malah suami kamu akan meninggalkan kamu. Rebut hatinya sedikit demi sedikit! Ingat, Safira! Kamu hanya istri siri yang mudah untuk diceraikan. Tetapi mencari lelaki seperti Hanan itu susah. Ibu mengizinkan kamu menjadi istri kedua, itu karena suamimu adalah Hanan. Orang kaya yang kamu tidak akan kelaparan dan kekurangan apapun. Masalah Nayma, buat Hanan sedikit demi sedikit menyayangi anak kamu. Ibu tentu ingin anakmu lebih disayang daripada anak kandungnya. Mengalah untuk menang! Itu yang harus kamu lakukan.”“Maksudnya bagaimana, Bu?”“Manjakan suami kamu! Kamu tidak punya harta seperti Felicia, maka kamu harus memberikan yang lain! Nayma, sementara waktu biar
Part 16POV AuthorFelicia meletakkan ponsel di kursi sebelah. Ia sudah bersiap ke butik setelah mengantar Abizar ke sekolah. Jarinya mengetuk setir mobil berkali-kali. Tak lama kemudian, ia menelpon seseorang.“Antarkan aku nanti sore ke tempat suamiku bekerja,” ucapnya. “Ah, tidak. Kita berangkat agar sampai sana jam satu siang. Aku akan mengurus bisnisku dulu, nanti ke sekolah buat kasih tahu Abizar.”Dengan cepat Felicia melakukan segala aktivitas agar pukul sebelas ia bisa meluncur ke toko bangunan Hanan.“Jadi bagaimana, Ibu Felic, apakah Ibu sudah mendapatkan tempat baru untuk cabang butik Ibu?” tanya partner bisnisnya yang baru.“Sudah. Aku juga sudah melakukan pembayaran dan sertifikat toko itu sudah berpindah padaku. Tempatnya memang bukan di jalan raya kota, tetapi jalan depan lebar, jadi kalau ada mobil berbelanja di sana, lalu lintasnya mudah. Tempat parkir luas dan tokonya besar. Saya ambil di situ karena tidak menemukan yang dekat dengan jalan besar, lagian harganya sed
“Gimana, kamu setuju tidak akan pergi kemana-mana? Maksudnya, menginap. Kalau siang hari. Gak papa, Mas, kamu bekerja.”Aku mengangguk.“Mbak Salamah kirim pesan, Mas. Katanya kita ditunggu di rumah dia, suruh buat acara tasyakuran pernikahan. Gimana, Mas? Bisa nggak kira-kira?”Apa lagi ini? Belum juga bisa membatalkan acara dengan felicia, sudah ada lagi permintaan dari Mbak Salamah.“Kita jangan jawab dulu, soalnya aku masih capek.”“Ouh, baiklah. Dijawab belum bisa kasih kepastian gitu ya?”Malam itu aku merasakan sesuatu hal yang berbeda. Pulang bersama istri, sholat berjamaah dan menghabiskan waktu bersama. Safira manja luar biasa, seperti sedang balas dendam dengan penderitaan masa lalunya. Ditambah di rumah hanya berdua.“Mas, bobok di depan tivi saja, ya?” rengeknya manja sambil memainkan daguku.“Di kamar saja kenapa?”“Aku ingin sensasi yang berbeda,” bisiknya.“Mas, gendong.”“Mas peluk aku ya tidurnya. Jangan lepasin tangannya lho!”“Mas, besok pagi mau sarapan apa?”“Sia
Part 15Hari kedua aku masih sibuk berbelanja. Harun berkali-kali tertangkap sedang menatap lama ke arahku, tapi saat aku memandangnya, langsung berpaling ke arah lain. Ini tidak bisa dibiarkan. Dia kenal dekat dengan Felicia. Beberapa karyawan laki-laki yang rumahnya jauh, memang tidur di kamar belakang. Sedangkan Harun, hanya kadang-kadang saja ketika banyak barang baru yang datang dan mengharuskan lembur.Kenapa harus takut? Aku memang biasa pulang ke rumah lain selain yang ada di toko.“Harun, kita harus lembur sampai besok untuk belanjaan. Lusa aku sudah janji mau ajak Abizar ke Bromo. Sepertinya paling cepat di sana empat atau lima hari, tergantung Abizar nanti maunya bagaimana. Jadi, kamu tahu ya apa yang harus dilakukan? Insya Allah stok untuk satu minggu kedepan aman. Oh iya, pembukuan yang belum disetorkan pada Felicia, kirim sama aku ya!” Untuk menghentikan aktivitas Harun yang sering mencuri pandang, aku berkata demikian.“Baik, Pak. Mau dikirim kapan?”“Kalau kamu sudah i
“Tidak ada sesuatu yang instan, Safira. Aku minta maaf karena sudah membuat kamu terluka. Aku lelah sekali. Abizar sakit, Felicia mulai curiga dengan perubahanku. Aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan sekarang. Aku masih belajar menjadi seorang lelaki yang mempunyai dua istri. Jika kamu mau menyalahkanku kenapa menikahi kamu, sekarang aku balik bertanya, Safira. Kenapa saat kamu didatangi mantan suamimu, akulah orang yang kamu panggil dan mintai tolong? Kenapa tidak orang lain saja? Kamu ikut menciptakan situasi dimana aku harus punya rasa iba sama kamu.”Safira berhenti menangis.“Aku mengambilmu dengan cara yang halal. Kita belum terlalu saling kenal sifat masing-masing. Kamu punya anak, aku siap menerima, tetapi untuk menjadi dekat layaknya ayah dan anak, semua butuh proses Safira. Jujur saja, saat melihat Abizar sakit, aku merasa menyesal sudah menghianati Felicia.”“Iya, Mas, aku memang tidak berarti apa-apa bagi kamu. Apalagi Nayma, aku sudah sadar diri kok, Ma
Part 14“Pak Hanan mau pulang?” tanya Harun ketika aku sudah bersiap pulang ke rumah Safira. Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam.Aku memang mempunyai rumah pribadi yang lain dan lebih sering tinggal di sana daripada di toko rumah dekat toko.“Iya.”“Tumben, Pak, biasanya menginap di sini kalau sedang pesan barang banyak.”“Aku agak pusing kepalanya, Harun. Nungguin Abizar sering tidak tidur. Tadi pagi berangkat nyetir sendiri, sampai sini langsung bekerja, rasanya perlu istirahat di tempat yang sepi. Kamu urus saja semuanya, ya?”“Iya, Pak,” jawab Harun sambil mengangguk.Aku langsung masuk mobil menuju rumah Safira. Nayma rupanya sudah menunggu di teras rumah sambil main boneka. Gadis kecil itu berdiri malu-malu. Aku mendekatinya meski jujur saja, rasa sayang padanya belum ada dalam hati. Yang ada hanyalah sedikit perasaan kasihan akan nasib yang diderita.“Salim sama Ayah! Kenapa malu gitu?” Safira langsung muncul dari balik pintu.“Sudah makan?” Aku bertanya.Nayma menggele
Aku membuka mata, ternyata benar, Safira datang ke toko. Entah kenapa begitu cemas, takut kalau dia akan menyapaku layaknya suami istri. Ah dia sepertinya sedang mengecek apakah aku sudah kembali apa belum. Safira sangat cantik hari ini. Dia memakai gamis yang belum pernah aku lihat. Wajahnya dipoles riasan tipis dan memakai kacamata D frame dengan lensa setengah gelap.“Ada toilet gak, Mas?” tanya Safira pada Harun.“Adanya di rumah, Bu,” jawab Harun.Apa dia sedang memberi kode padaku untuk berbincang?“Di rumah belakang?”“Iya, tapi nggak ada orang.” Harun sepertinya ragu mempersilakan orang lain masuk rumah sendirian. “Semua pelayan sibuk, Mbak lihat sendiri ‘kan, toko ramai? Jadi tidak ada yang bisa mengantar.”“Gimana ya, Mas, udah kebelet nih.”“Pak Hanan, apa Pak Hanan mau ke dalam rumah?” tanya Harun padaku.“Ya sudah gak papa, aku antar,” kataku sambil berdiri.Safira berjalan di belakangku.“Kok gak bilang kalau sudah pulang?” Ketika sampai di dalam rumah, Safira langsung be
Part 13POV HananAku menghentikan mobil ke tepi jalan setelah meninggalkan rumah dalam jarak lima kilometer. Hidungku menghirup udara banyak-banyak. Rasanya seperti menahan napas berhari-hari selama bersama Felicia. Kepala kusandarkan pada sandaran kursi sambil memejamkan mata dengan tangan masih memegang setir mobil. Untungnya Safira bisa dikondisikan. Pada malam pertama Abizar di rumah sakit, aku sudah mewanti-wanti dia untuk tidak menghubungi sebelum ku telepon. Nomernya juga sudah ku hapus dari kontak, pesan dan daftar panggilan.Hati ini menyadari jika sudah berbuat salah yang teramat besar pada Felicia. Dia wanita yang cerdas dan kuat. Jika mengetahui aku telah menghianati, ia pasti akan membuat sebuah tindakan yang aku sendiri tidak memprediksi. Berpisah dengan orang tuanya saja, dia mampu melewati apalagi meninggalkanku.Tak terasa bulir bening jatuh dari pipi. Ya Allah, kenapa harus dipertemukan dengan Safira? Dari awal perkenalan kami, aku sudah menghindar karena Safira ter
Jika toko itu diberikan pada Harun, kita jangan terlalu percaya pada orang lain.“Tidak perlu melakukan semua itu, Mas! Abi hanya meminta waktumu saja. Dia sangat kesepian karena keluarga dia hanya kamu dan aku saja. Tetap jalankan toko seperti biasa, aku yang akan mengubah kebiasaanku,” ucapku memberi keputusan.“Maksud kamu, Felic?” tanya Mas Hanan.“Jika kamu tidak pulang maka ....” Aku menggantung kalimat yang ku ucapkan.“Maka kamu yang akan kesana?” Mas Hanan langsung paham.“Iya, kamu keberatan?” tanyaku memastikan.“Ah, tidak sama sekali, Felic. Kamu bebas datang kapanpun kamu mau. Toko itu milik kamu, aku hanya ditugaskan kamu untuk mengembangkan saja. Jika kamu mau mengurusnya sendiri juga aku dengan senang hati akan hanya membantu saja. Kalau begitu, apa butiknya saja yang kamu tutup?”“Gampang, Mas, bisa diatur. Itu urusanku.”“Felic, terima kasih sudah mau hidup denganku, mengangkat derajatku dari pemuda miskin hingga menjadi seperti saat ini. Aku sangat berhutang budi pad