Part 2
“Saya terima nikah dan kawinnya Safira Aini Binti Haji Mubasyir dengan mas kawin dua puluh gram kalung berlian dibayar tuuu nai ....” Ucapan yang keluar dari mulutku sebagai tanda ikatan suci bernama pernikahan--terdengar lantang. Hari ini, telah aku ikrarkan ijab qabul untuk seorang wanita yang duduk beberapa meter di belakang sana.
Safira Aini, janda muda yang beberapa bulan kukenal, telah memikat hati ini. Aku sangat ingin melindungi dan menjadi imam untuknya, juga menjadi ayah untuk anaknya. Maka kuputuskan untuk menghalalkan Safira agar bisa menunaikan tugas itu.
“Bagaimana saksi, sah?” Seorang ustadz yang juga guru spiritualku bertanya pada beberapa orang yang kupilih untuk menjadi saksi pernikahan.
“Sah ....” Jawaban kompak dari beberapa pria yang duduk di samping kanan dan kiri.
Aku menoleh sambil memberikan seulas senyum pada Safira. Ia hanya membalas dengan menarik sedikit dua sudut bibir.
“Mbak Safira, silakan bisa maju untuk mencium tangan Mas Hanan.” Guru spirituaku berkata sambil tersenyum pula.
Safira menoleh ke kanan dan kiri. Meminta persetujuan sang ibu yang duduk sambil memeluk sang cucu.
“Majulah! Dia sudah halal untukmu,” ucap wanita paruh baya dengan sudut mata berkaca.
Safira maju dan mencium takdim punggung tanganku. Untuk kali pertama setelah beberapa bulan kenal--kami bersentuhan.
Hasrat yang telah lama terpendam, semakin bergejolak dalam dada. Aku mengecup lembut pucuk kepalanya seraya membisikkan sebuah doa. Doa yang sama yang pernah ku ucap beberapa tahun silamuntuk wanita lain.
Kutatap wajah ayu Safira yang berbalut hijab putih berhiaskan ronce melati. Ada candu saat melihat wajah sendunya. Berharap setelah ini beban hidupnya akan berkurang, bahkan hilang.
“Sudah selesai ‘kan, Mas Hanan, acaranya?” Lelaki yang ku undang menjadi saksi bertanya, membuatku tersadar dan salah tingkah.
“Sudah. Kami juga mau pulang,” jawabku mengalihkan pandangan.
Setelah basa-basi sebentar, aku mengajak Safira, ibu juga anaknya pulang dari rumah Ustadz Ridho.
“Antarkan Ibu ke rumah sakit, Hanan. Nayma biar ikut bersamaku. Kamu ajak Safira pulang. Ia sudah sangat lelah,” kata Bu Widi memecah keheningan.
“Nayma mau pulang sama Bunda atau ikut Nenek?” tanyaku tanpa menoleh karena jalan yang ku lalui sangat ramai.
“Dia akan pulang bersama kita,” sahut Safira.
“Aku mau sama Nenek,” jawab Nayma.
“Nanti tidak boleh masuk rumah sakit,” kataku.
“Umur Nayma sudah sembilan tahun. Badannya besar. Aku bisa mengatakan kalau ia sudah sepuluh tahun,” ujar Bu Widi.
“Tapi, Bu ....” Safira terlihat tidak ingin berpisah.
“Safira, kamu baru saja menikah. Layani suami kamu dengan baik!” Bu Widi sepertinya sedang ingin memberikan waktu untuk kami berdua.
Kami kembali diam. Dan benar saja, Bu Widi mengajak Nayma turun dari mobil.
“Kamu mau aku ajak kemana? Ke rumah, atau ke hotel? Barangkali kamu ingin istirahat sebentar ....”
Safira menatapku sayu. Ah, gelora itu menjadi semakin besar.
“Terserah Mas Hanan,” jawab Safira pasrah.
“Kita ke rumah kamu saja ....” Sepertinya tidak etis kalau aku memaksakan kami berbulan madu saat ini.
***
“Bukalah jilbabmu! Kita sudah halal,” ucapku saat kami sudah berada di kamar berdua. Deru napasku sepertinya dirasakan pula olehnya.
Safira tidak menjawab. Ia hanya menatapku lekat. Tangan ini yang akhirnya menggantikan tugasnya. Melepaskan ronce yang terpasang di jilbab, lalu terakhir meletakkan kain putih yang sejak tadi menutup kepala perempuan berbulu mata lentik itu--di atas kasur.
“Jangan takut lagi! Aku sudah di sini,” kataku sambil mendekatkan wajah hingga jarak diantara kami hampir tidak ada lagi. Ujung hidungku bertemu dengan ujung hidungnya yang mancung.
Semuanya buyar tatkala ponsel yang ada di saku celana berdering. Aku mengambilnya.
My wife memanggil.
Wajah Safira sedikit sendu saat tahu siapa sosok yang menelponku.
“Angkatlah! Siapa tahu ada yang penting,” katanya sambil mengurai senyum tipis. Senyum yang dipaksakan.
“Kalau kamu keberatan, aku bisa mengabaikannya,” jawabku sambil menekan tombol matikan layar.
“Jangan! Angkat saja! Dia adalah istri pertamamu, dia lebih berhak atasmu dibanding aku.”
Aku izin keluar kamar dan dia mengangguk pelan.
“Assalamualaikum, Mah ....”
“Waalaikumsalam. Pah, bisa pulang? Abizar tiba-tiba panas tinggi. Dia sepertinya harus dibawa ke rumah sakit.” Felicia memberi kabar buruk di hari bahagiaku dengan Safira.
“Dikasih paracetamol dulu saja.”
“Sudah. Panas sejak tadi malam, aku kira pagi bisa sembuh. Tetapi malah tambah parah.”
Bukan tidak menyayangi Abizar, tetapi, saat ini tidak mungkin meninggalkan Safira yang baru saja kunikahi.
“Pah ....” Suara Felicia membuatku tersadar.
“Iya ... kamu berangkat ke rumah sakit dulu saja. Aku akan langsung kesana. Pilih kamar VIP.”
“Tapi kamu pulang ‘kan, Pah? Toko bisa dititipkan sama Harun,” kata Felicia lagi.
Harun adalah orang kepercayaanku dan dia saat ini sedang ada di toko. Aku membuka usaha toko bahan bangunan di kota kecil tempat Safira tinggal karena waktu itu, di sini belum ada toko bangunan yang lengkap. Sudah lima tahun mengembangkan bisnis dan di tahun ke empat, aku mulai mengenal Safira.
“Iya, tapi tidak bisa sekarang. Ini ada barang yang mau datang. Aku konfirmasi dulu sama sales, mau datang sekarang atau bisa ditunda. Yang penting sekarang bawa Abizar ke rumah sakit dulu. Biar bisa dapat penanganan yang cepat. Kamu tidak usah hubungi aku. Aku pasti datang setelah urusanku selesai.”
“Pah ....”
“Felic, segera bawa Abizar ke rumah sakit!” Aku memotong ucapan Felicia.
“Ba-baik ....” Felicia menutup telepon.
“Anakmu sakit, Mas?” Safira ternyata ada di belakangku.
Aku menoleh dan tersenyum padanya. “Iya, tidak apa-apa, cuma panas sedikit,” kataku sambil terpana menatap wajah Safira yang sudah tidak memakai kerudung.
“Pulanglah saja dulu, Mas. Mbak Felic mungkin membutuhkanmu.”
“Tidak apa-apa. Felic bisa mengatasi sendiri.” Hasrat ini sudah tidak terbendung melihat kecantikan Safira. Rambut hitamnya, bulu mata lentiknya serta bibirnya yang ranum, mendorong diri untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang suami.
Safira menatapku dalam. Deru napasnya pun terdengar sama kerasnya denganku. Aku tahu, ia sudah merindukan kasih sayang sejak lama. Aku paham, jika saat sekarang pun, ia tengah menungguku menyempurnakan hubungan kami.
Rumah yang sepi, hanya kicauan burung tetangga dan deru kendaraan yang sesekali lewat saja yang menemani kebersamaan kami.
“Safira, kamu sudah siap menjadi milikku seutuhnya?” tanyaku sambil mendekatkan diri.
“Kau tidak ingat istrimu, Mas? Kau tidak ingat anakmu yang sakit?” Ia balik bertanya.
“Kamu juga istriku, Safira. Jangan bahas selain kita bila bersama. Aku hanya ingin menikmati waktuku denganmu saja,” jawabku sambil membingkai wajah manisnya.
“Apa kamu hanya kasihan sama aku, Mas?” Safira bertanya lagi.
Aku tidak perlu menjawab pertanyaannya tentang itu. Safira juga sudah memejamkan mata. Betapa hari ini adalah saat yang sangat membahagiakan untukku. Tak perlu mengingat siapapun. Asalkan aku bisa menempatkan diriku di dua tempat yang berbeda.
“Safira ...,” ucapku lirih sambil mengecup lembut bibirnya.
Kami melakukan itu di hari menjelang siang dengan penuh gelora. Safira yang sudah lama menjada pun terlihat menikmati setiap sentuhan yang kuberi untuknya. Tidak ada kata terucap dari bibir kami. Hanya de--sah suara yang terkadang keluar tanpa kendali.
“Kenapa menangis?” tanyaku saat melihat pipinya basah di sela-sela aktivitas.
“Aku sangat bahagia, Mas, terima kasih sudah menjadikanku yang halal bagimu,” jawabnya sambil memeluk erat tubuhku. Jawaban Safira membuat diri ini semakin terbakar gelora. Merasa menjadi lelaki sejati yang bisa memberi kebahagiaan pada wanita yang cantiknya bak bidadari itu.
“Aku akan selalu melindungimu, jangan takut akan apapun lagi, Safira!” kataku sambil mengusap rambutnya yang hitam.
Hari ini telah kutunaikan keinginan hati menjadikan janda cantik itu menjadi milikku seutuhnya. Setelah ini, takkan kubiarkan siapapun menyakitinya, juga Nayma, anak semata wayang Safira.
Felicia dan Abizar, aku masih tetap bisa memberikan kasih sayang sebagaimana mestinya.
“Safira, aku mencintaimu ...,” kataku lirih setelah mencapai puncak dari apa yang kuinginkan.
“Aku juga mencintaimu, Mas Hanan,” balasnya pelan sambil mengalungkan kedua tangan di leherku.
Part 3Lelah pikiran ditambah tenaga yang terkuras habis menunaikan kewajibanku sebagai suami pada Safira, membuatku lupa akan janji yang sudah terucap untuk Felicia. Mata ini begitu berat dan hati yang sangat nyaman berada dalam dekapan istri kedua membuat kesadaran hilang seketika dan ruh berpindah ke alam mimpi.Jiwa yang bahagia ternyata berpengaruh juga pada alam bawah sadar saat tidur. Rasanya sangat damai, saat kepala kuletakkan di pangkuannya. Selama kami saling kenal, baru sekarang melakukan hal ini. Aku menyentuhnya saat ia sudah benar-benar menjadi yang halal.Saat ini, kami berada di sebuah taman bunga bersama Nayma. Gadis cantik yang menuruni garis wajah sang ibu itu tengah menangkap kupu-kupu yang hinggap di beberapa bunga dan daun. Aku memegang erat tangan Safira. Sangat lama. Menikmati setiap helaan napas yang keluar dari mulutnya. “Jangan pernah pergi dari hidup kami lagi ya, Mas Hanan. Aku mencintaimu dan aku sangat ikhlas meski hanya menjadi yang kedua. Tak mengapa
Part 4“Maaf, tadi aku meeting dengan perusahaan semen. Maaf, aku sudah hilang kendali karena was-was dan cemas dengan keadaan Abi.”“Kalau kamu memang cemas, seharusnya kamu pulang lebih awal. Bukan pulang terlambat, terus menyalahkan. Kemana saja tadi kamu, Mas? Apa meeting sampai sesibuk itu? Bahkan pesanku hanya kamu baca tanpa kamu balas.” Felicia menatap penuh selidik.“Habis dari toko, aku langsung meeting, lanjut meninjau lokasi yang akan menjadi tempat toko baru kita lagi.”“Kamu tidak datang ke toko hari ini, itu yang Harun katakan.”“Aku datang waktu Harun sedang ada di belakang. Mengecek sebentar lalu pergi.”“Kamu sudah tahu Abi sakit, kenapa malah meninjau lokasi baru, Mas?”Di sini aku mulai kehabisan cara dan alasan untuk menjawab. Namun, aku berusaha bersikap setenang mungkin. “Pemiliknya memaksa aku untuk datang kesana secepatnya. Kalau aku tidak datang, bisa saja tanah itu sudah dijual ke orang lain. Bukankah kamu ingin kita punya toko yang tidak terlalu jauh dari s
Part 5POV FeliciaNamaku Felicia. Aku lahir dari etnis bermata sipit. Sebelum menikah dengan Mas Hanan, aku bekerja di sebuah perusahaan asing di bidang industri barang konsumen primer dengan gaji yang fantastis. Terlebih saat bisa melakukan penjualan di atas targert yang ditentukan, pasti akan mendapat bonus dari atasan. Beberapa bulan bekerja, aku langsung diangkat menjadi asisten manager. Karirku memang menanjak cepat saat itu.Orang tuaku termasuk keluarga yang mapan. Mereka memiliki toko bahan bangunan besar yang ramai pengunjung. Kami keluarga yang taat pada Tuhan. Setiap akhir pekan, selalu beribadah bersama.Kami tiga bersaudara dan aku anak tengah. Kakakku sudah menjadi dokter, dan adikku saat ini sudah menjadi pengacara, juga memiliki bisnis toko elektronik.Saat berumur dua puluh empat tahun, aku berkenalan dengan Mas Hanan. Dia bekerja sebagai kasir di toko Papa. Pemuda yang sangat religius, jujur dan sopan. Seorang lelaki yang berasal dari keluarga pas-pasan. Entah kena
Part 6Setelah Abizar berusia empat tahun, aku dan Mas Hanan mulai merintis usaha toko bangunan dan sebuah kota kecil yang berjarak dua jam dari tempat kami tinggal. Awalnya aku ikut, tetapi kemudian memilih kembali ke rumah karena butik tidak ada yang mengurus. Lagi pula, Abizar jadi sering sakit karena tinggal di daerah berudara dingin.Saat itu kami sudah memiliki orang kepercayaan, sehingga Mas Hanan bisa sering pulang ke rumah.Mama, Papa, Mas Ferry dan Dion, belum pernah sekalipun mencari keberadaanku. Aku sempat beberapa kali pulang ke rumah, tetapi mereka tidak mau menemui. Pernah ketika keluarga merayakan hari raya, aku datang dengan membawa Abizar. Akan tetapi, satpam langsung memintaku pergi.“Maaf, Non Felic, saya dilarang menerima Non Felic, jadi tolong, pergi saja, ya! Nanti saya kehilangan pekerjaan,” ucap satpam.Meski sedih, aku memaklumi dan memilih pergi.“Berdoa saja, semoga Allah melunakkan hati keluarga kamu,” kata Mas Hanan menghibur. “Kalau suatu ketika mereka
Part 7POV SafiraMas Hanan, satu nama yang akhirnya mengisi hati ini setelah sekian lama terbelenggu rasa sakit yang tak terperi.Tidak ada satu pun wanita yang ingin seperti aku, menjanda di usia muda tanpa pekerjaan dan harus menanggung satu anak dan juga seorang ibu. Aku menikah di usia yang belia, yakni delapan belas tahun karena sebuah kecelakaan. Saat itu baru lulus SMA.Ah tidak! Sebenarnya aku sudah hamil sejak enam bulan sebelum kelulusan, tetapi bisa ku tutupi karena badan yang langsing. Adalah Mas Angga, cowok kakak kelas yang sudah berpacaran denganku sejak kelas dua SMA. Saat kami menikah, ia sudah duduk di bangku kuliah. Mas Angga berasal dari keluarga yang sederhana, sehingga kehidupan kami sangat kekurangan pada awal pernikahan.Terlahir sebagai anak semata wayang, Bapak hanya seorang sopir angkutan umum dan harus meregang nyawa setelah menikahkanku. Mungkin depresi karena aib yang sudah ku torehkan. Sementara Ibu, harus bekerja sebagai pembantu setelah kepergian Bapa
Part 8Lelaki itu, dari mana tahu keberadaanku?Mas Angga hendak menarik tanganku, tetapi Mas Hanan sigap menghadang.“Aku tidak tahu siapa Anda, tetapi alangkah buruknya perangai Anda, memukul seorang wainta.” Dengan tegas Mas Hanan melindungiku.“Minggir jangan ikut campur! Dia istriku. Siapa kamu? Ah, jangan-jangan, kamu sudah menikah lagi ya, Safira? Pernikahan haram karena kamu masih menjadi istri sahku. Kenapa kamu menikah lagi, Safira? Apa karena kamu gatal, hah?” teriak Mas Angga.“Jaga bicaranya, Mas! Duduklah dan bicarakan baik-baik. Aku bukan suami Mbak Safira.”“Lalu siapa? Kamu datang untuk memuaskan nafsunya?” bentak Mas Angga.“Saya CV yang akan mengerjakan rumah Mbak Safira. Anda siapa? Datang-datang berteriak dan memukul seorang wanita?”Ah, Mas Hanan, bahkan di saat pria di hadapannya berkata kasar, ia masih bersikap lembut. Semakin membuat hati ini tertarik.“Saya suami dia. Mau apa kamu? Sekarang juga, hentikan pembangunan apapun di sini! Kalau tidak ingin saya tun
Part 9“Katanya mau buat kamar lagi, kenapa belum juga beli bahan bangunan? Ibu nanti bilang sama tukang kalau sudah siap semuanya,” tanya Ibu seusai shalat Isya.“Entah, Bu, aku rasanya tidak bersemangat lagi. Kapan-kapan saja, Bu,” jawabku sambil masuk kamar.“Bagaimana, Safira, kamu siap apa tidak untuk bercerai dari Angga? Kalau sudah siap, Ibu kabari paman kamu.”“Aku belum memikirkan itu, Bu, aku sedang tidak enak badan.”“Kasihan Nayma, dia butuh sosok ayah. Bila memang kamu masih mencintai Angga, bolehlah bicarakan hal ini bagaimana baiknya, apa dia mau merubah sifat kasarnya. Kalau Ibu sejujurnya sudah tidak ingin kamu kembali sama dia. Tapi apa kamu mau seperti ini terus? Buat keputusan, Safira! Agar status kamu jelas.”Aku abai akan ucapan Ibu, memilih menutup pintu rapat dan menelungkupkan tubuh di atas kasur. Dari dulu, hati ini sulit untuk jatuh cinta. Sekalinya jatuh cinta, susah untuk berpaling. Itu sebabnya meski Mas Angga sangat kasar, dulu masih bertahan sebagai ist
Part 10Hari-hari berlalu seperti biasanya dan Mas Hanan tidak pernah lagi mengikuti kajian. Apa dia tahu kalau aku menaruh rasa dan sengaja menghindar?Entahlah ....Ibu tidak pernah lagi membahas perceraianku dengan Mas Angga. Aku tetap berkomitmen akan menyelesaikan hubunganku dengan Mas Angga bila sudah menemukan sosok penggantinya.Siang itu cuaca mendung. Nayma ada kegiatan kemah pramuka di sekolah. Ibu ada job memasak di tempat orang hajatan. Karena merasa kesepian, aku iseng jalan-jalan naik motor ke sebuah tempat yang pemandangannya bagus. Masih sekitar kotaku tinggal.Rintik-rintik hujan mulai turun dan baru sadar jika tidak ada jas hujan yang kubawa. Naas, ternyata ada proyek pelebaran jalan yang mengakibatkan jalanan licin. Motorku tergelincir dan terjatuh. Jalan sepi hanya ada sepasang suami istri yang lewat dan menolong. Si istri lalu menghentikan satu mobil yang kebetulan lewat. Aku terkapar tak bisa bangun meski masih bisa mendengar. Beberapa anggota tubuh terasa perih
Hanan terbangun saat jam menunjukkan pukul satu siang. Ingat jika ada Felicia di sana, ia lalu gegas bangun dan mencari Harun.“Ibu sudah pergi karena Bapak tidur katanya.”“Pergi kemana? Kamu tahu tidak?”“Ya ke rumah kali, Pak, ‘kan ada Abizar di sana.”“Astaghfirullah kenapa aku bisa lupa ya?”“Jangan kebanyakan pikiran, Pak, biar tidak lupa,” celetuk Harun dan berlalu pergi.Ia segera berlalu meninggalkan toko dan pulang ke rumah dimana Felicia dan Abizar berada.“Ibu keluar sama Abizar, Pak. Soalnya nggak mau ikut Rehan mengaji, Abizar menangis minta ketemu sama Bapak,” kata Tri.“Terus sekarang mereka dimana?”“Tidak tahu, Pak. Kenapa nggak telpon sih, Pak?” Tri ikut terbawa emosi.“Astaghfirullah, kenapa tidak berpikir kesana ya?”“Satu lagi, Pak, Bapak kemana saja sih, Pak nggak pernah pulang kesini?”“Ceritanya panjang, tri,” jawab Hanan sambil berlalu menyusul Felicia ke toko.Akan tetapi, yang dicari tidak ada di toko. Berkali-kali menelpon, Felicia maupun Abizar tidak mau
Part 19“Dari kemarin. Aku menelponmu, ponsel kamu mati,” jawab Felicia santai. “Kamu pucat, Mas, sakit kah?” Ia balik bertanya.Hanan menelan saliva berkali-kali, tidak mengira jika Felicia akan datang tanpa memberitahu lebih dulu. Biasanya mereka membuat janji jika Felicia hendak menyusul.“Eh, iya, aku agak tidak enak badan, kamu datang dari kapan, Mah?”“Dari kemarin. Aku sudah bilang dari kemarin lho tadi. Kemarin sore aku kesini gak ada kamu terus aku pulang ke rumah, kata Mbak Tri kamu tidak pernah pulang.” Meski dada terasa panas dan ingin mengamuk, Felicia berhasil pura-pura bersikap manis di depan Hanan.“Ini nota yang tadi sudah dihitung apa belum ya, Bu? Ini ada lagi notanya, saya kasih sama Ibu apa sama Bapak?” Seorang karyawan datang dan merasa bingung.“Ah, sudah, Mbak, ini. Yang baru bawa sini!” jawab Felicia sambil mengulurkan beberapa lembar nota, lalu menerima nota yang baru.“Mah, butik kamu tinggal, siapa yang ada di sana?” tanya Hanan celingukan.Biasanya ia adal
Di tempat lain, Abizar sedang menangis sesenggukan karena tidak bisa menghubungi ayahnya. Saking sibuknya Hanan dengan Safira dan Nayma, ia sampai lupa kalau ponselnya mati.“Papa kenapa sih, Ma susah dihubungi? Papa apa sudah lupa sama aku?” tanya Abizar sambil memeluk lutut bersandar pada tembok.Felicia bingung hendak menjawab apa. Hatinya menjadi yakin jika sang suami memiliki orang ketiga.“Mama tidak bisa menjawab, Abi. Abi bilang sama Mama, Abi mau apa? Yang bisa membuat Abi bahagia apa saat ini? Kita keluar? Kita pulang atau apa?”Abizar menggeleng cepat. “Aku tidak ingin apa-apa, Mama. Aku ingin sama Papa.”Susah payah Felicia menghibur Abizar, anak itu tetap tidak mau berhenti menangis.“Anaknya Bu Tri tadi ajak main Abi ya? Main apa tadi Abi sama dia?”Abizar perlahan menghentikan tangisannya. “Main di pancuran, tapi sekarang sudah malam,” katanya sambil tersedu.“Ok, kita main ke rumah Bu Tri ya? Atau Abi mau anaknya Bu Tri tidur di sini? Besok pagi, dia pasti ajak Abi ke p
Part 18Siang itu di kediaman Safira dan Hanan.“Masakan kamu selalu membuat lidahku ketagihan,” kata Hanan sambil terus mengunyah makan siangnya.Safira tersenyum memperhatikan suaminya yang makan dengan lahap.“Tadi Mbak Salamah kasih kabar, katanya ada acara arisan di rumah dia, Mas. Arisan jamaah. Aku sudah bilang, ‘kan, gak bisa ikut karena sudah berjalan lama. Tapi Mbak Salamah memaksa, jadi bingung mau menolaknya gimana. Menurut Mas gimana ya cara menolak tawaran Mbak Salamah?” Sambil memindahkan lauk ke piring Hanan, Safira bertanya demikian.“Kamu ingin ikut apa tidak? Kalau kamu mau ikut, ya ikut saja, nanti aku antar. Aku tidak usah ke toko lagi.”“Jangan dong, Mas! Mas harus ke toko. Kalau aku boleh ikut, aku berangkat sendiri saja,” tolak Safira.“Aku tahu, acara itu dihadiri oleh sepasang suami istri. Kalau kamu ikut sendirian, kamu akan merasa asing. Lagian, hanya di kalangan mereka kita bisa tampil sebagai suami istri. Aku akan mengantarmu.”Safira tersenyum lebar. Bag
Felicia membaca pesan dari Hanan dengan ekspresi datar.Aku belum bisa pulang, Mah.Sudah dua hari lewat dari yang dijanjikan Hanan, lelaki itu masih tetap ingkar janji. Namun, Felicia tetap berusaha tenang. Ia lalu mengetik balasan.Ok. Lanjutkan saja."Kak, makasih ya sudah kasih tumpangan. Aku mau pulang sekarang, soalnya Mama suruh pulang dulu. Tentang tawaran dari Kak Felicia, aku baru bisa kesana minggu depan. Gimana?" Veronica muncul dari kamar tamu sambil membawa koper."Ok, gak papa, Ver. Salam buat mama kamu, ya? Nanti aku mau kesana buat survey tempat biar bisa kasih kamu arahan sekalian carikan kamu penginapan di sana. Tapi Kakak mohon jangan sampai ada orang yang tahu tentang ini, ya?" jawab Felicia sambil tersenyum."Baik, Kakak. Aku pulang ya? Jilbab yang Kakak pinjami semalam, boleh gak aku bawa pulang?" tanya Veronica lagi."Bawa saja! Nanti Kakak kasih yang banyak kalau kamu sudah siap melakukan tugas dari Kakak."Veronica berlalu sambil menyatukan jari telunjuk dan j
Part 17Safira mematut diri di depan cermin. Gamis mahal dan perhiasan mewah di tangan membuat wanita itu semakin cantik."Tak mengapa jika aku hanya menjadi yang kedua. Yang penting Mas Hanan saat ini masih bisa ku kendalikan. Benar ternyata kata Ibu, aku harus merendah dan pura-pura mengalah agar Mas Hanan kasihan," ucapnya di depan cermin. "Daripada menjadi istri pertama, tapi menderita, lebih baik jadi istri kedua, tapi serasa permaisuri."Bel rumah berbunyi, Safira keluar. Hanan sudah menunggu dan memandangnya takjub."Kenapa dikunci sih pintunya?""Karena suamiku tidak ada di rumah, aku harus bisa menjaga harga diri. Jadi makan di luar?""Jadi lah. Kamu sudah siap masa mau dibatalin."Safira dengan cepat menyambar tas dan mengajak Hanan pergi. Di sepanjang jalan terus berfoto di dalam mobil."Aku boleh buat status gak, Mas?" tanya Safira."Boleh, tapi jangan sama aku, ya? Sementara ini foto kita berdua jangan dipublikasikan!""Iya deh, kan aku hanya simpanan," ucap Safira sambil
Di rumahnya, Safira benar-benar menjalani peran sebagai istri yang baik. Ia berusaha keras untuk menjadi istri yang lebih baik dari Felicia, meski belum mengenal sosok madunya seperti apa.“Jangan menuntut Hanan untuk banyak hal saat ini, Safira!” kata ibunya saat Safira berkeluh kesah tentang Hanan yang cuek pada Nayma. “Nanti malah suami kamu akan meninggalkan kamu. Rebut hatinya sedikit demi sedikit! Ingat, Safira! Kamu hanya istri siri yang mudah untuk diceraikan. Tetapi mencari lelaki seperti Hanan itu susah. Ibu mengizinkan kamu menjadi istri kedua, itu karena suamimu adalah Hanan. Orang kaya yang kamu tidak akan kelaparan dan kekurangan apapun. Masalah Nayma, buat Hanan sedikit demi sedikit menyayangi anak kamu. Ibu tentu ingin anakmu lebih disayang daripada anak kandungnya. Mengalah untuk menang! Itu yang harus kamu lakukan.”“Maksudnya bagaimana, Bu?”“Manjakan suami kamu! Kamu tidak punya harta seperti Felicia, maka kamu harus memberikan yang lain! Nayma, sementara waktu biar
Part 16POV AuthorFelicia meletakkan ponsel di kursi sebelah. Ia sudah bersiap ke butik setelah mengantar Abizar ke sekolah. Jarinya mengetuk setir mobil berkali-kali. Tak lama kemudian, ia menelpon seseorang.“Antarkan aku nanti sore ke tempat suamiku bekerja,” ucapnya. “Ah, tidak. Kita berangkat agar sampai sana jam satu siang. Aku akan mengurus bisnisku dulu, nanti ke sekolah buat kasih tahu Abizar.”Dengan cepat Felicia melakukan segala aktivitas agar pukul sebelas ia bisa meluncur ke toko bangunan Hanan.“Jadi bagaimana, Ibu Felic, apakah Ibu sudah mendapatkan tempat baru untuk cabang butik Ibu?” tanya partner bisnisnya yang baru.“Sudah. Aku juga sudah melakukan pembayaran dan sertifikat toko itu sudah berpindah padaku. Tempatnya memang bukan di jalan raya kota, tetapi jalan depan lebar, jadi kalau ada mobil berbelanja di sana, lalu lintasnya mudah. Tempat parkir luas dan tokonya besar. Saya ambil di situ karena tidak menemukan yang dekat dengan jalan besar, lagian harganya sed
“Gimana, kamu setuju tidak akan pergi kemana-mana? Maksudnya, menginap. Kalau siang hari. Gak papa, Mas, kamu bekerja.”Aku mengangguk.“Mbak Salamah kirim pesan, Mas. Katanya kita ditunggu di rumah dia, suruh buat acara tasyakuran pernikahan. Gimana, Mas? Bisa nggak kira-kira?”Apa lagi ini? Belum juga bisa membatalkan acara dengan felicia, sudah ada lagi permintaan dari Mbak Salamah.“Kita jangan jawab dulu, soalnya aku masih capek.”“Ouh, baiklah. Dijawab belum bisa kasih kepastian gitu ya?”Malam itu aku merasakan sesuatu hal yang berbeda. Pulang bersama istri, sholat berjamaah dan menghabiskan waktu bersama. Safira manja luar biasa, seperti sedang balas dendam dengan penderitaan masa lalunya. Ditambah di rumah hanya berdua.“Mas, bobok di depan tivi saja, ya?” rengeknya manja sambil memainkan daguku.“Di kamar saja kenapa?”“Aku ingin sensasi yang berbeda,” bisiknya.“Mas, gendong.”“Mas peluk aku ya tidurnya. Jangan lepasin tangannya lho!”“Mas, besok pagi mau sarapan apa?”“Sia