Eleanor bahkan sama sekali tidak melirik undangan itu. Tujuan Yoana hanyalah ingin pamer.Vivi mengamati undangan itu sambil tersenyum. Dia berkata, "Wah! Undangan pertunangan saja sebagus ini."Yoana tersenyum bangga. Namun, Vivi kembali melanjutkan dengan alis terangkat, "Sayang banget kalau undangan sebagus ini dibuang ke tong sampah."Kemudian, Vivi langsung melempar undangan itu ke tong sampah. Setelah itu, dia juga menyeka tangannya dengan tisu basah.Eleanor mengangkat alisnya dan tersenyum. Di sisi lain, Yoana mengernyit dalam dan matanya tiba-tiba berkilat dingin.Tiara mengambil undangan itu dari tong sampah, lalu membantingnya ke depan Eleanor sambil membentak, "Apa maksud kalian? Kak Yoana sudah berbaik hati mengundang kalian, tapi kalian malah nggak tahu terima kasih.""Eleanor, kamu cium sesuatu nggak?" tanya Vivi."Cium apa?" tanya Eleanor."Bau banget," ucap Vivi dengan nada sinis sambil mengipasi udara dengan tangannya."Vivi!" geram Tiara sambil menggertakkan gigi."A
Pelayan restoran menatap Eleanor dan Vivi dengan bimbang. Para tamu di sini biasanya adalah orang-orang kaya dan berpengaruh. Belum pernah ada kejadian orang yang kabur tanpa membayar.Mereka mengamati pakaian Eleanor dan Vivi, lalu beralih menatap Yoana dan Tiara. Yoana adalah pelanggan tetap di sini, para pelayan juga mengenalinya.Namun, ini pertama kalinya Eleanor makan di sini. Ditambah dengan pakaiannya yang yang sederhana, para pelayan secara naluriah memihak Yoana dan Tiara."Nona, tolong bayar tagihannya dulu. Kami nggak menerima utang di sini," ucap salah seorang pelayan, seolah-olah sudah yakin bahwa Eleanor dan Vivi tidak akan sanggup membayar.Vivi hendak memaki dengan marah. Namun, Eleanor menghentikannya.Tiara mencibir, "Kalian punya uang, 'kan? Ayo cepat bayar. Eleanor, mengingat kamu adalah kakakku, aku akan membantumu bayar. Nggak baik menghabiskan seluruh uangmu hanya untuk satu kali makan."Tepat setelah kata-kata itu terlontar, seorang pria berpakaian rapi buru-bu
Semua orang menoleh ke sumber suara. Entah sejak kapan, Jeremy telah berdiri di sana dengan setelan formalnya. Raut wajah tampannya terlihat sangat muram."Remy," panggil Yoana dengan suara lembut.Jeremy mendekat dengan tatapan dingin tertuju pada Eleanor. Matanya berkilat sinis dan penuh kebencian. Eleanor hanya menyeringai sinis sebagai tanggapan."Remy, sakit banget ...," ucap Yoana.Jeremy segera membungkuk dan membantu Yoana berdiri. Dia bertanya dengan perhatian, "Kamu nggak apa-apa, 'kan?"Yoana menggigit bibirnya dan menggeleng dengan ekspresi pilu. Air matanya mulai menetes.Jeremy melirik Tiara yang berusaha bangun sendiri, lalu bertanya dengan nada dingin, "Apa yang terjadi?"Tiara menunjuk Eleanor dan Vivi, menuduh dengan suara lantang, "Mereka yang duluan ....""Tolol, ada kamera CCTV," sela Vivi sambil memutar bola matanya. Siapa yang terlebih dahulu memulai pertengkaran terekam jelas di kamera.Tiara menggigit bibirnya, lalu melanjutkan, "Mereka yang duluan menindas Kak
Eleanor menarik napas dalam-dalam dan berusaha sekeras mungkin untuk mengendalikan emosinya.Yoana yang masih bersandar di pelukan Jeremy memasang ekspresi puas. Dia berucap dengan suara lembut, "Sudahlah, Remy. Biarkan Eleanor pergi."Tiara segera berkata, "Kak Yoana terlalu baik. Dia sudah menghina dan menyakitimu, tapi kamu masih memaafkannya. Tapi, Eleanor sama sekali nggak akan menghargainya. Pak Jeremy, kakakku sudah kejam sejak kecil. Kalau kamu nggak memberinya pelajaran, dia akan mengganggu Kak Yoana lagi lain kali."Jeremy menghampiri Eleanor dengan sorot mata kelam. Merasakan aura familier itu, Eleanor sontak berbalik dan melihat sosok tinggi Jeremy telah berdiri di belakangnya.Eleanor terkejut saat Jeremy tiba-tiba mencengkeram tangannya. Segera setelahnya, tangannya ditekan dengan kuat ke meja.Eleanor berusaha melepaskan diri, tetapi cengkeraman Jeremy begitu kuat. Rasa sakit seolah-olah pergelangan tangannya hendak dirembukkan itu membuat Eleanor mengernyit."Kamu mau m
Tanpa memedulikan tatapan muram Jeremy dan teriakan Yoana yang memekakkan telinga, keduanya berlalu dari situ.Vivi buru-buru menyusul Eleanor dan meraih lengannya dengan cemas. Dia kira Eleanor pasti sedang menangis.Vivi mengenal Eleanor dengan sangat baik. Meski terlihat tangguh dan keras kepala di depan Jeremy, sebenarnya hati temannya terluka dalam. Di balik ketangguhan yang ditunjukkannya, hati Eleanor sebenarnya sangat rapuh dan sensitif.Namun, Vivi terkejut saat mendapati Eleanor sama sekali tidak menangis. Bukan hanya itu, raut wajahnya juga terlihat sangat tenang. Seolah-olah tidak ada yang terjadi barusan."Eleanor, kita ke rumah sakit dulu," ucap Vivi sambil memegang tangan temannya dengan hati-hati.Eleanor tidak menolak. Tangannya memang perlu diobati.Melihat Vivi begitu mencemaskannya, ekspresi dingin Eleanor sedikit melunak. Dia menghiburnya, "Tenang saja, lukanya nggak dalam. Aku mengontrol kekuatanku tadi."Yang terluka adalah tangan kirinya. Eleanor tidak mungkin r
Vivi bertanya, "Kenapa? Atas dasar apa?"Eleanor juga tidak tahu jawabannya. Namun, dulu dia yang menyetujuinya. Sejak itu, Eleanor tidak pernah menyinggung masalah tersebut lagi.Sekarang, hubungan Eleanor dengan Jeremy sudah berubah. Membahas hal ini lagi rasanya tidak ada gunanya.Eleanor menganggap ginjal yang didonorkannya sebagai harga yang harus dia bayar karena telah mencintai orang yang salah.Eleanor bersumpah tidak akan pernah mencintai Jeremy lagi. Dia bersandar di kursi, lalu menghela napas panjang sambil memejamkan mata....."Dasar jalang!" maki Yoana. Setelah selesai membalut luka di rumah sakit, dia diantar pulang oleh Tiara.Yoana marah sekali hingga melemparkan tasnya ke lantai dengan penuh emosi. Tatapannya juga dipenuhi amarah. Tiara yang berada di belakangnya terlihat ketakutan."Kenapa jalang itu nggak mati saja waktu itu? Semua ini salahku karena terlalu baik. Aku seharusnya suruh orang untuk membunuhnya dulu. Kalau begitu, semua masalah ini nggak akan terjadi s
Mendengar itu, Yoana tersenyum. Kalau bukan karena dia tahu bahwa Tiara juga sangat membenci Eleanor dan bisa membantunya, dia tidak mungkin akan mempertahankan orang tidak berguna ini.Tiara benar-benar bodoh. Dia tidak bisa melakukan apa pun dengan benar. Namun kalau soal bicara, dialah yang paling pintar.Yoana memandangnya seraya membalas, "Tunjukkan kemampuanmu. Selain itu, kalau penjualan parfum di kuartal berikutnya masih kalah dari Grup Stelea, siap-siaplah untuk turun dari posisi kepala peracik parfum."Yoana menambahkan, "Grup Pratama nggak bakal mempertahankan orang yang nggak guna. Sekalian kuberi tahu, aku tertarik sama kepala peracik parfum Grup Stelea.""Menurutmu, kalau aku menawarkan bayaran dua kali lipat untuk merekrutnya, apa kamu yang sudah bertahun-tahun kalah darinya ini masih punya tempat di sini?" tanya Yoana.Dulu, Tiara memang punya sedikit kemampuan. Hanya saja, Yoana sungguh tidak menyangka bahwa dia ternyata begitu payah.Selama bertahun-tahun, Tiara selal
Bastian benar-benar bicara tanpa pikir panjang. Tak lama kemudian, Jeremy membalas dengan suara serak, "Sudah."Bastian bangkit, lalu bertanya dengan cemas, "Sudah? Kalau begitu, kenapa kondisimu bukannya membaik, malah makin parah? Jangan-jangan rumor tentang dia nggak benar?""Tapi, itu nggak mungkin! Kalau dia nggak punya kemampuan itu, reputasinya nggak bakal sebagus itu di dunia pengobatan tradisional," ucap Bastian yang benar-benar tidak paham.Jeremy bertanya, "Kalau nggak diobati olehnya, apa yang harus kulakukan selanjutnya?""Menunggu mati!" balas Bastian.Jeremy mengerutkan alis. Dia memandang dingin ke arah Bastian seraya bertanya, "Maksudmu kalau nggak ada dia, aku cuma bisa menunggu mati?"Bastian menaikkan kacamatanya sambil membalas, "Kondisi tubuhmu sekarang memang sangat buruk. Kalau terus begini, kamu bisa terkena penyakit seperti strok karena kelelahan."Bastian memang tidak sedang melebih-lebihkan. Kalau terus begini, situasi Jeremy memang sangat bahaya. Setelah be