Bastian benar-benar bicara tanpa pikir panjang. Tak lama kemudian, Jeremy membalas dengan suara serak, "Sudah."Bastian bangkit, lalu bertanya dengan cemas, "Sudah? Kalau begitu, kenapa kondisimu bukannya membaik, malah makin parah? Jangan-jangan rumor tentang dia nggak benar?""Tapi, itu nggak mungkin! Kalau dia nggak punya kemampuan itu, reputasinya nggak bakal sebagus itu di dunia pengobatan tradisional," ucap Bastian yang benar-benar tidak paham.Jeremy bertanya, "Kalau nggak diobati olehnya, apa yang harus kulakukan selanjutnya?""Menunggu mati!" balas Bastian.Jeremy mengerutkan alis. Dia memandang dingin ke arah Bastian seraya bertanya, "Maksudmu kalau nggak ada dia, aku cuma bisa menunggu mati?"Bastian menaikkan kacamatanya sambil membalas, "Kondisi tubuhmu sekarang memang sangat buruk. Kalau terus begini, kamu bisa terkena penyakit seperti strok karena kelelahan."Bastian memang tidak sedang melebih-lebihkan. Kalau terus begini, situasi Jeremy memang sangat bahaya. Setelah be
Andy melaporkan, "Rekaman CCTV dari insiden Nona Yoana dan Nona Eleanor di restoran tadi sudah tersebar di internet. Sekarang, itu menjadi bahan perbincangan seluruh netizen."Mendengar itu, Jeremy sontak mengernyit. Andy sempat melihat beberapa komentar. Kebanyakan orang menyadari bahwa jatuhnya Yoana terlalu dibuat-buat.Publik benar-benar bisa menilai dengan jelas. Kini, ada banyak orang yang ramai-ramai mengejek Yoana. Tentu saja, Jeremy yang waktu itu membela Yoana dan "bertindak kasar" terhadap Eleanor juga ikut dihujat habis-habisan.Di akhir video yang diputar, seseorang menambahkan animasi singkat. Ada karakter kecil yang mengenakan kostum badut dengan akting yang sangat buruk, sementara seekor anjing di sampingnya menonton dengan penuh minat.Sekelompok orang di bawah tertawa keras-keras, seolah mengejek akting badut yang buruk dan kebodohan anjing yang polos.Kemudian, suara kembang api meledak di akhir. Itu menampilkan badut dan anjing yang akhirnya "bersatu" dengan tulisan
Nada bicara Jeremy yang dalam dan dingin membuat napas Yoana terhenti sejenak."Remy, apa maksudmu?" tanya Yoana dengan cemas."Bukannya kamu yang meracuni Eleanor dulu sehingga dia masuk ke kamar pria lain? Setelah itu, kamu menyelinap ke kamarku sehingga bisa mengandung anak itu. Jadi Yoana, sebenarnya apa yang dikatakan Eleanor nggak salah," jelas Jeremy dengan nada dingin.Yoana bahkan merasa tubuhnya akan membeku. Dengan kata lain, Jeremy menyiratkan bahwa dia hanyalah orang ketiga. Bagaimana bisa Jeremy mengatakan hal itu padanya? Hati Yoana terasa sangat sakit, seperti dicabik-cabik."Yoana, waktu itu aku sudah memperingatkanmu. Jangan pernah pakai cara licik seperti itu untuk mencelakai orang lain lagi. Tapi sepertinya kamu nggak peduli," ucap Jeremy. Dia menatap wanita itu lekat-lekat dengan mata hitam pekat.Tubuh Yoana mulai gemetar ketakutan. Dia menjelaskan, "Remy, tolong dengarkan aku ... Aku benar-benar tahu kesalahanku. Dulu aku terlalu mencintaimu, jadi cemburu pada El
Mata Yoana berbinar-binar. Dia membalas sambil mengangguk, "Begitu ya."Setelah dokter selesai berbicara, mereka pergi membawa sampel darah. Sementara itu, Yoana mengepalkan tangannya erat-erat.Setelah keluar dari rumah Keluarga Adrian dan masuk ke mobil, Yoana segera mengeluarkan ponselnya untuk menelepon.Yoana berujar, "Sampel untuk tes DNA antara Remy dan Daniel sudah dikirim. Apa kamu yakin bisa menanganinya?"Orang itu membalas, "Tenang saja, aku akan mengurusnya.""Bagus. Ingat, jangan sampai ada kesalahan sedikit pun," ucap Yoana sambil menghela napas."Aku tahu," jawab orang itu.....Di ruang kerja, Daniel mengetuk pintu dengan lembut sambil memanggil, "Papa."Jeremy mendongak dan melihat anak itu berdiri di pintu. Ekspresi dinginnya sedikit mereda. Dia melambaikan tangan sambil bertanya, "Kenapa belum tidur malam-malam begini?""Aku sudah melihat semua yang terjadi di internet," jawab Daniel sambil berjalan mendekat dengan ekspresi serius. Dia menambahkan, "Pa, kamu seharus
Sudut bibir Eleanor menyunggingkan senyuman dingin. Dia sengaja berpura-pura tidak tahu dengan bertanya, "Kenapa?"Sejak ibunya menghilang, Robert membawa selingkuhannya dan anaknya yang lahir di luar nikah ke rumah. Dia bahkan mengambil alih semua milik ibunya.Saat itu, Eleanor masih sangat kecil, tetapi Robert tak pernah peduli padanya lagi. Setelah bertahun-tahun diabaikan, hari ini Robert tiba-tiba memanggilnya pulang dengan tergesa-gesa. Itu sudah pasti karena insiden semalam.Video rekaman itu juga memberikan dampak besar pada Tiara. Pasti adiknya yang mengadukan hal ini kepada Robert. Eleanor sudah terbiasa dengan sikap ayahnya yang selalu membela Tiara.Robert membalas, "Kamu masih berani bertanya? Apa kamu nggak tahu apa yang kamu lakukan tadi malam? Adikmu pulang semalam dengan wajah bengkak. Sebagai kakaknya, bukannya membelanya, kamu malah bantu orang lain untuk menamparnya. Eleanor, kenapa kamu nggak mati saja?""Adikmu terluka parah, tapi kamu baik-baik saja. Eleanor, ke
Eleanor membalas sambil tersenyum, "Tiara adalah kepala peracik parfum di Grup Pratama, tapi penjualan parfumnya kalah dari perusahaan kecil. Jadi, Yoana pasti akan menekannya."Eleanor melanjutkan, "Setiap kali merasa tertekan, Tiara bukannya berusaha memperbaiki diri, tapi malah ingin menyingkirkan orang yang membuatnya tertekan. Itu sebabnya, dia mencoba menyelidikiku. Bukannya itu wajar?""Kalau Yoana, dia sangat fokus pada keuntungan. Setelah berkali-kali kecewa oleh Tiara, dia pasti berpikir untuk mencari pengganti. Karena sudah mengalahkan Tiara, aku tentu menjadi targetnya," tambah Eleanor.Mendengar analisis Eleanor, Vivi bertepuk tangan sambil memuji, "Kamu benar-benar memahami mereka berdua." Eleanor tentu saja sudah melihat semuanya dengan jelas.Vivi menambahkan, "Tapi, sia-sia saja usaha mereka. Bahkan, para petinggi perusahaan pun belum pernah melihatmu. Mereka berharap bisa mendapatkan informasi tentangmu? Itu mustahil."Eleanor pun tersenyum. Tentu saja dia tidak akan
Jeremy terdiam. Dia menatap Eleanor, lalu menepis tangannya dan membalas dengan dingin. "Aku cuma mau bicara sebentar. Bisakah kamu dengarkan baik-baik?""Karena kamu mau bicara, aku harus mendengarkan dengan patuh? Kenapa? Apa aku ini anjing peliharaanmu?" balas Eleanor dengan tajam.Wajah Jeremy berubah sangat muram, seolah-olah ingin mencekik wanita yang pandai bicara ini. Andy yang berada di samping diam-diam berdoa agar bosnya tidak pingsan karena terlalu emosi.Jeremy pun memejamkan mata untuk menahan amarah. Dia akhirnya merespons, "Eleanor, mulutmu benar-benar tajam sekali.""Aku tahu itu, nggak perlu kamu kasih tahu," balas Eleanor.Jeremy menatap wajah Eleanor yang dingin dan tak acuh. Kata-kata yang ingin dia ucapkan terasa sulit dilontarkan."Apa aku sudah boleh pergi?" tanya Eleanor.Jeremy tidak menjawab. Eleanor pun langsung berbalik untuk pergi. Akan tetapi, pria itu malah menarik pergelangan tangannya dan mendorongnya ke badan mobil.Eleanor sangat terkejut. Tatapannya
Jeremy bertanya, "Masih ada syarat lain? Katakan semuanya sekaligus.""Syarat ketiga, lepaskan aku," ucap Eleanor dengan dingin sambil memperhatikan jarak di antara mereka. Kemudian, Eleanor mendorongnya menjauh dengan tegas. Pria itu pun mundur selangkah. Senyumnya mengandung arti yang sulit dimengerti."Kamu setuju begitu cepat. Jangan-jangan, punya maksud tertentu?" tanya Jeremy.Eleanor jelas tidak akan memberitahunya bahwa dia hanya ingin melihat anak itu. Kalau tidak, urusan Jeremy sama sekali tidak ada hubungan dengan dirinya. Bahkan jika pria itu sakit parah atau mati, itu juga bukan urusannya."Kalau kamu pikir aku punya maksud tersembunyi, lupakan saja. Jangan minta aku mengobatimu," ucap Eleanor sambil merapikan pakaiannya, lalu berbalik dan pergi.....Di rumah Keluarga Haningrat.Eleanor turun dari mobil dan memandang vila mewah di depannya sambil tersenyum dingin. Vila ini dulu dibeli oleh ibunya, tetapi sekarang sudah terdaftar atas nama Robert.Tempat yang dia tinggali
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in