Jeremy bertanya, "Masih ada syarat lain? Katakan semuanya sekaligus.""Syarat ketiga, lepaskan aku," ucap Eleanor dengan dingin sambil memperhatikan jarak di antara mereka. Kemudian, Eleanor mendorongnya menjauh dengan tegas. Pria itu pun mundur selangkah. Senyumnya mengandung arti yang sulit dimengerti."Kamu setuju begitu cepat. Jangan-jangan, punya maksud tertentu?" tanya Jeremy.Eleanor jelas tidak akan memberitahunya bahwa dia hanya ingin melihat anak itu. Kalau tidak, urusan Jeremy sama sekali tidak ada hubungan dengan dirinya. Bahkan jika pria itu sakit parah atau mati, itu juga bukan urusannya."Kalau kamu pikir aku punya maksud tersembunyi, lupakan saja. Jangan minta aku mengobatimu," ucap Eleanor sambil merapikan pakaiannya, lalu berbalik dan pergi.....Di rumah Keluarga Haningrat.Eleanor turun dari mobil dan memandang vila mewah di depannya sambil tersenyum dingin. Vila ini dulu dibeli oleh ibunya, tetapi sekarang sudah terdaftar atas nama Robert.Tempat yang dia tinggali
"Cukup!" Sebuah suara tua yang tegas terdengar tiba-tiba.Ekspresi Felicia berubah seketika. Dia diam-diam memutar matanya. Hanya saja ketika berbalik, dia malah menampilkan senyum manis kepada wanita tua yang baru saja keluar, Jovita.Jovita berjalan perlahan dengan bantuan tongkat. Tatapannya langsung tertuju pada Felicia, lalu dia memarahi dengan tegas, "Apa yang kamu katakan tadi? Rumah ini juga adalah rumah Eleanor.""Apa maksudmu dengan mengatur satu kamar untuknya? Kamu biasanya cukup patuh. Begitu aku nggak ada, kamu langsung menunjukkan sifat aslimu ya?" Suara Jovita terdengar penuh emosi.Suasana ruang tamu tiba-tiba menjadi sunyi. Tiara yang cerdik langsung maju untuk menopang neneknya sambil menjelaskan, "Nek, jangan marah. Ibu nggak bermaksud begitu."Jovita mendengus keras dan memberikan tatapan tajam kepada Robert. Kemudian, dia memarahi, "Robert, jangan pernah melupakan budi orang lain. Coba pikirkan gimana kamu bisa punya semua yang kamu miliki sekarang."Di sisi lain,
Ketika mendengar suara kakaknya lagi, Harry merasa sedikit bersemangat. Dia menjawab, "Ini aku. Kak, aku mau bertemu denganmu. Boleh nggak?"Daniel ragu sejenak sebelum bertanya, "Kamu sudah di ibu kota?"Harry membalas, "Ya, papamu menindas mamaku. Hmph! Jangan pikir masalahnya akan selesai begitu saja. Aku punya rencana kecil dan mau melibatkan Kakak. Gimana? Mau bantu aku nggak?"Daniel sudah tahu bahwa video semalam pasti ulah Harry karena dia memang ahli komputer. Dia membalas, "Oke, aku sudah mau pulang sekolah. Kamu di mana? Aku akan pergi menemuimu. Kita bisa bicara nanti."Harry menolak, "Nggak perlu, aku sudah punya sopir. Kamu kirim saja lokasimu, aku yang akan datang menemuimu."Daniel memberikan alamatnya sambil berujar, "Oke. Hati-hati di jalan.""Tenang saja," ucap Harry.Setelah menutup telepon, Harry memberikan alamat itu kepada sopirnya. Dia duduk di kursi mobil, membuka laptop, dan mulai bekerja dengan terampil.Harry datang ke ibu kota bukan untuk merepotkan Eleanor
Eleanor langsung berdiri tegak. Punggungnya terasa dingin seolah-olah tertangkap basah karena melakukan sesuatu yang salah. Saat mengangkat kepala, dia langsung melihat mata gelap dan dalam Jeremy.Jantungnya sontak berdebar. Mungkin karena punya tujuan tertentu, Eleanor merasa seolah pikirannya akan terbaca di bawah tatapan tajam pria itu.Eleanor berusaha untuk menenangkan diri dan terus mengingatkan dirinya agar tidak menunjukkan tanda-tanda mencurigakan.Jeremy perlahan berjalan mendekatinya, lalu bertanya, "Kamu lagi lihat apa?"Makin Jeremy mendekat, Eleanor makin mundur. Hingga akhirnya, punggungnya menempel pada dinding. Sementara itu, Jeremy menatapnya dengan mata memicing.Eleanor menggertakkan gigi, lalu berpura-pura tenang sambil berucap, "Karena tunggu terlalu lama, jadi aku cuma lihat-lihat sekeliling."Mata Jeremy yang hitam pekat memancarkan aura dingin, tetapi dia sepertinya tidak meragukan ucapannya. Dia hanya membalas, "Oh."Eleanor diam-diam menghela napas lega, lal
Jeremy akhirnya memejamkan mata sepenuhnya dan tertidur tanpa disadari. Melihat pria itu sudah terlelap, Eleanor baru merasa lega.Eleanor mulai membereskan alat-alat akupunkturnya dan melihat jam tangan. Ini sudah larut, sekolah sudah lama berakhir. Namun, kenapa anak Jeremy masih belum pulang juga?Eleanor mulai merasa cemas. Dia melihat-lihat kamar seperti pencuri, tetapi tetap tidak menemukan satu pun foto di sana.Eleanor benar-benar sangat ingin bertemu dengan anak itu. Namun, tidak masalah karena dia bisa menunggu. Anak itu pasti akan pulang nantinya.Eleanor berjalan mendekati Jeremy yang sedang tidur dan berencana melepas jarum di kepalanya. Saat itu, Yoana muncul dari luar dengan penuh semangat. Penampilannya tetap rapi dan cantik seperti biasanya."Remy ...." Senyumnya mendadak hilang saat melihat Eleanor. Suaranya langsung berubah tajam ketika bertanya, "Eleanor, kenapa kamu ada di sini?"Melihat Jeremy yang terbaring di sofa dengan beberapa jarum tertancap di kepalanya, Yo
"Kamu bilang apa?" tanya Yoana yang mendengarnya dengan jelas.Eleanor sama sekali tidak takut. Dia menjawab, "Aku bilang kamu bodoh. Ini namanya akupunktur, metode pengobatan dalam pengobatan tradisional. Pikirkan baik-baik. Kalau aku bunuh Jeremy di rumahnya, bukannya tindakanku seperti bunuh diri?"Rumah Keluarga Adrian penuh dengan pengawal yang terlatih. Sebagai seorang wanita yang lemah, mana mungkin Eleanor akan mencoba mencelakainya?Itu sama saja seperti pembunuh tanpa keterampilan yang mencoba membunuh kaisar di istana. Jelas, itu adalah tindakan mencari mati. Eleanor memang membenci Jeremy, tetapi dia masih punya anak dan harus menjaga nyawanya baik-baik.Yoana membalas sambil mengernyit, "Siapa yang tahu apa rencanamu? Aku akan segera memanggil dokter. Kalau kamu bohong, aku nggak akan melepaskanmu."Eleanor mengangkat tangannya sembari membalas, "Silakan."Usai berkata demikian, Eleanor lanjut mencabut jarum dari kepala Jeremy. Namun, Yoana maju lagi dan berusaha mendorong
Yoana berbalik dengan gembira dan memberi tahu Eleanor, "Eleanor, kamu dengar, 'kan? Remy menyuruhmu pergi!" Eleanor hanya sedikit tersenyum sinis."Maksudnya kamu." Suara Jeremy terdengar dingin dan tajam. Sementara itu, matanya terlihat agak memicing.Ekspresi bahagia di wajah Yoana seketika memudar. Dia tidak percaya sehingga mencoba memastikan lagi, "Remy, kamu menyuruhku pergi?"Namun, jawabannya sudah jelas. Yoana gemetar ketakutan ketika bertanya, "Kenapa? Remy, aku melakukannya demi kebaikanmu."Jeremy menatapnya sejenak dan berkata dengan dingin, "Jangan sampai aku mengatakannya dua kali."Yoana menggigit bibirnya dengan keras. Melihat Jeremy benar-benar marah, dia tidak mengerti apa yang membuatnya begitu kesal. Bagaimanapun, dia hanya peduli padanya.Setelah memikirkannya, Yoana tidak menemukan alasan yang masuk akal. Dia pun menyalahkan Eleanor atas segalanya. Gara-gara Eleanor, Jeremy memperlakukannya seperti ini.Yoana menggertakkan gigi sambil menatap Eleanor dengan penu
"Nggak kok," jawab Eleanor.Nada suara Jeremy terdengar tidak senang ketika bertanya, "Kalau begitu, kenapa kamu duduk begitu jauh dariku?"Eleanor membalas sambil tersenyum, "Kenapa aku harus duduk dekat denganmu?"Jeremy pun mengernyit. Dia bertanya lagi, "Mejanya sebesar ini. Apa kamu nggak merasa aneh?"Eleanor menerima makanan yang disodorkan pembantu, lalu merespons, "Aku nggak merasa aneh. Dulu juga selalu begini, 'kan? Dulu kamu bisa terbiasa, masa setelah lima tahun jadi nggak bisa?"Jeremy menatapnya dengan ekspresi makin muram. Dia tahu betul maksud di balik sindiran halus Eleanor.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Jeremy mengambil sumpitnya dan mulai makan. Eleanor juga tidak memperhatikannya dan langsung mulai makan.Dari sudut ruangan, seorang pembantu diam-diam memotret mereka berdua, lalu mengirimkannya kepada Yoana.Saat Yoana melihat foto di mana Jeremy dan Eleanor duduk bersama untuk makan, kecemasannya langsung meningkat."Eleanor, ternyata kamu memang belum menyerah,"