Senja melihat pria di depannya tengah menandatangani dua buah kertas di dua map yang berbeda. Sekian detik kemudian, pria itu menyodorkan satu map padanya. Dia mengambil alih pena dan mulai mengarahkan ujungnya ke kertas.
“Bapak janji, ‘kan?” tanya gadis itu dengan menatap pria di depannya.
Pria itu mengangguk. “Saya adalah orang yang selalu menepati janji,” jawabnya. “Anda bisa memercayai saya.”
Gadis itu tidak menimpali. Dia menggoreskan tinta di kertas dan kontrak antara dirinya dan CEO muda itu berhasil dibuat. Sisi lain Senja masih ragu dengan kelanjutan hubungan mereka setelah kontrak. Dia kembali menatap pria tersebut. “Saya harap Bapak bisa memegang janji,” katanya.
Pria bernama Asa Kanagara itu tersenyum dan mengangguk. “Mulai hari ini, cukup panggil nama saya saja. Tidak perlu terlalu formal dan … panggilan aku-kamu mungkin harus kita lakukan mulai sekarang,” ucapnya dengan menaikkan sebelah alis. Dia menegapkan tubuh sejenak. “Berikan aku alamat indekosmu. Biar asistenku ke sana untuk mengambil barang-barang—”
“Eh, tidak! Maksud saya ….” Senja menggantung ucapan, melihat isyarat mata Asa perihal sapaan yang dilontarkannya. “Maksudku, kamu tidak perlu meminta asisten untuk mengambil barangku. Beri aku alamatmu, biar aku sendiri yang memindahkan barang-barangku.”
Asa menghela napas. “Aku ini suamimu sekarang,” ucapnya. “Sudah menjadi tanggung jawabku untuk membantu istriku sendiri.”
Pria itu bangkit dan meletakkan map kontrak miliknya di meja kerja. Dia melepas jas sejenak, lalu menyampirkannya di kursi. “Kursimu ada di sana,” katanya sembari menunjuk sebuah meja kerja di sisi ruangan yang berseberangan dengan meja kerjanya. Melihat Senja menatap bangku tersebut, Asa tersenyum. “Kamu suka?”
Senja menoleh. “Sejujurnya, akan lebih baik kalau mejaku ditaruh sejajar dengan karyawan lain.”
“Kamu, kan, asistenku. Mana mungkin aku menaruhmu di luar?”
Gadis itu terdiam. Ucapan Asa ada benarnya. Sekarang, dia secara official sudah bekerja di bawah naungan CEO Kanagara Group. Senja menggeleng, berusaha untuk membuat kesadarannya tetap terjaga meski sebenarnya dia masih tidak percaya telah diterima bekerja di tempat sebesar ini. Apalagi, saat dia dan Asa mengubah sapaan formal menjadi informal, terkesan memaksa, tetapi menurutnya ini lebih baik daripada harus ada kekakuan di antara mereka.
Gadis itu duduk di kursi kerjanya. Matanya mengedarkan pandangan. Terdapat sebuah laptop dan beberapa gawai di meja, serta setumpuk dokumen yang entah apa isinya. Dia menilik laci, mendapati sebuah buku di sana, lalu mengambilnya. Kemudian, Senja memandangi seorang pria yang duduk di seberang sana. Siapa lagi kalau bukan Asa Kanagara? Pria itu tengah sibuk mengetik sesuatu di gawainya hingga setiap ketukan jemarinya mengeluarkan suara berisik meski sesekali berhenti.
“Buku apa ini?” tanya Senja memecah keheningan.
Asa menghentikan pekerjaannya. Dia menoleh. “Kamu, kan, bisa buka dan baca sendiri,” jawabnya. “Saat aku sedang sibuk, kuharap kamu tidak menggangguku.”
Saliva Senja terteguk. Dia menghela napas. Tangannya mulai membuka buku yang ditemukannya di laci. Tulisan tangan yang begitu rapi sangat mudah untuk dibacanya. Senja menebak jika rentetan tulisan itu adalah milik Asa.
“Peraturan yang harus dipatuhi saat di kantor,” gumam gadis itu, lalu membuka beberapa lembar halaman selanjutnya. “Peraturan yang harus dipatuhi di rumah.”
Asa melirik sejenak ketika mendengar gumaman gadis itu. Dia menghela napas. Sejujurnya, baru kali ini dirinya membuat peraturan semacam itu. Bukan bagaimana sempurna dirinya, tetapi dia justru ingin Senja merasa nyaman di dekatnya.
Pria itu tertegun. Sekelebat bayangan terngiang dalam ingatannya. Sosok Senja tidaklah asing baginya meski mereka baru pertama kali bertemu. Ada sebuah rasa dari sesuatu yang selama ini Asa pendam. Dia berharap bisa jujur tentang hal tersebut suatu saat nanti.
***
Selama beberapa jam kedua insan itu terpaut dalam hening. Sesekali Senja melirik ke meja Asa, mendapati CEO itu tengah sibuk dengan pekerjaannya. Namun, kali ini, pria itu berdiri dengan membawa beberapa lembar dokumen dan berjalan ke arahnya. Asa menaruh lembar dokumen itu di salah satu sisi meja Senja dan membungkuk. Maniknya memandang ke arah layar monitor.
“Apa kamu sudah mulai menulis?” tanyanya.
Senja meneguk saliva. Entah kenapa detak jantungnya memburu sekejap. Terlebih saat helaan napas di antara ucapan Asa menyembul, menampar lembut pipinya. Pria itu berucap tepat di samping wajahnya yang tengah fokus menatap layar.
Gadis itu menghela napas, menggeleng, dan menjaga jarak dengan Asa. “I-iya,” jawabnya. “Katanya, kalau aku mengikuti semua syarat dan peraturan, kamu bisa meloloskan naskahku, ‘kan?”
Asa menoleh, membuat manik mereka bertemu selama beberapa detik. Wajahnya maju beberapa senti, memotong jarak dan menyisakan milimeter yang membuat deru jantung Senja makin tidak beraturan. Asa menggerakan bola mata, memandang setiap inci wajah gadis cantik di depannya. Sempurna. Bayangan sesosok perempuan kembali terngiang olehnya dan langsung membuat pria itu menjauh.
Dia menghela napas, lalu menoleh memandang Senja yang masih memberikan mimik wajah yang tidak bisa dideskripsikan. “Dari mana kamu mendapat wajah itu?” tanyanya.
Senja mengernyit. “Hm? Apa maksudmu?”
Belum sempat gadis itu melanjutkan ucapannya, Asa menggerakan satu tangan menyentuh pipi Senja hingga si empunya melebarkan pandangan. Sentuhan itu merambat seiring dengan tangan Asa yang lain yang turut menyentuh pipi halus tersebut. Tanpa sadar, pria itu membawa Senja ke dalam rengkuhan ranum segarnya.
Senja tidak bisa menawar. Asa memang tampan, tetapi mereka baru saja meneguhkan hati untuk menjadi suami-istri yang terikat kontrak kerja saja, bukan ikatan yang sah sebagaimana yang biasa dilihatnya pada puncak acara akad. Senja tahu, degub dalam dadanya mulai tidak bisa menipu diri. Makin berderu ketika detik waktu terus berjalan.
Namun, gadis itu menyadari sesuatu. Memang benar mereka tidak berada dalam ikatan akad yang sah, tetapi hal ini membuat sisi pemberontak dalam dirinya bergejolak. Senja berusaha melepaskan diri, tetapi kecupan Asa terlampau lembut untuknya. Sangat dalam dan intens seolah pria itu benar-benar ingin menandai Senja sebagai miliknya.
Peraduan yang begitu manis itu berakhir ketika Senja mendapati butir air mata menggenangi pelupuk mata pria tersebut. Asa menatapnya sebentar, lalu merengkuh tubuh gadis itu ke pelukannya. Amat erat sampai Senja berusaha menjaga agar kesadarannya tetap terkumpul.
“Monica. Aku merindukanmu.”
Lirihan Asa terdengar di telinga Senja. Gadis itu melongo seolah rasa aneh melingkupi keduanya sekarang. Pelukan Asa makin erat dan tidak mau terlepas begitu saja.
Senja teringat dengan salah satu bacaan favoritnya di salah satu platform, tentang seseorang yang ditinggal kekasihnya. Namun, jika dugaannya benar, pastilah pria tegas macam Asa menyimpan banyak sekali kisah pelik dalam hidupnya. Entah kenapa tangan Senja terlulur, mengusap lembut punggung pria itu dan berusaha mengalirkan energi positif padanya. Seumur hidup, gadis itu tidak pernah memikirkan cinta. Baru kali ini, dirinya dihadapkan pada sebuah rasa yang bahkan tidak dimengerti olehnya.
***
Senja masih membiarkan pria itu bersandar pada bahunya. Berat, tetapi dia tahu beban yang dipikul Asa jauh lebih berat dari perkiraannya. Sebelum Asa membawanya ke sofa dan melakukan hal yang lebih serius dibandingkan pelukan dan ciuman, gadis itu sudah memperkirakan jika tidak ada yang masuk ke ruangan ini. Hari ini adalah hari tersibuk bagi para pegawai, tetapi berbeda dengan sang CEO. Asa hanya sibuk mengerjakan laporan dan mengecek pendataan sejak penandatangan kontrak keduanya tadi selesai. Pria itu juga terlihat mengunci pintu dan menutup tirai jendela kacanya saat keduanya berdiskusi soal kontrak.
Gadis itu menatap wajah lelap Asa. Jemarinya tergerak, menyisir setiap helai rambut hitam pria berperangai tegas tersebut. Sesekali dia mendengkus, sadar dengan perlakuannya tadi. Sungguh, Senja bersumpah pada dirinya dan orang lain jika dia masih perawan kini. Dia hanya membuat Asa terengkuh dalam kerinduan tidak bersyarat yang dirasakan pemuda tersebut. Sekian menit meratapi keperawanannya yang hampir sirna, fokus Senja terurai kala melihat bayangan berdiri di depan pintu. Dia tahu sosok itu adalah laki-laki. Tangannya bergerak, menepuk pipi Asa supaya terbangun.
Pria itu membuka maniknya. Dia menatap Senja dengan pandangan inosen dan menyadari ada seseorang menunggunya di luar saat gadis itu menunjuk ke arah pintu. Asa menghela napas, lalu mengangguk.
“Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu,” ucapnya melirih, membuat gadis di dekatnya itu mengerutkan kening. “Mari kita bicara setelah aku menyelesaikan urusanku dan kita pulang.”
***
Senja menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Tadi, sebelum pergi, Asa memintanya untuk memindahkan data mentah ke softfile yang sudah disediakan. Sebenarnya, pekerjaannya amat mudah. Senja harus memindahkan data saja dan mengecek ulang isinya. Namun, karena data yang terlalu banyak membuatnya bekerja sampai malam hari.Seorang pegawai memeriksa ruangan dan mendapati dirinya masih bekerja. “Ibu, masih ada di sini?” tanyanya.Senja mengangguk. “Iya. Apa Pak Asa belum kembali dari urusannya?”Pegawai itu masuk sempurna ke ruangan usai sebelumnya hanya menyembulkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. “Maaf, Bu. Pak Asa belum pulang. Tapi, biasanya Bapak langsung ke rumah kalau pekerjaannya sudah selesai,” jawabnya.“Oh, begitu.” Senja kembali menatap pegawai perempuan itu. “Mbak di sini sebagai apa, ya?”Perempuan berambut pendek itu tersenyum. “Saya admin di ruangan depan, Bu. Kalau ada dokumen masuk, biasanya ke saya dulu, baru nanti saya kasih ke Bapak,” jawabnya dan mendap
Senja membuka kedua mata, mendapati sorot matahari menembus tirai putih yang sedikit menutupi jendela kamar. Dia tersentak usai menyadari sesuatu, lalu mengedarkan pandangan. Ruangan itu sedikit berbeda dengan yang disambanginya semalam. Ini bukan di hotel, bukan juga di kamar indekosnya. Gadis itu bangun perlahan, mendapati rasa sakit mencekam di antara dua selangkangan serta pinggulnya. Kesadarannya mulai terkumpul sempurna, teringat dengan kejadian miris semalam. Senja menggeleng. “Tidak, tidak mungkin,” lirihnya mulai terisak. Seseorang terdengar membuka pintu. Dia pria yang seharusnya bisa melindungi Senja tadi malam. Namun, dengan ketiadaannya di saat detik yang malang itu, kini Asa hanya bisa memberikan tatapan sendu. Dia menghampiri ranjang Senja dan meletakkan nampan berisi sarapan yang dibawanya di nakas. Pria itu duduk di tepi ranjang, lalu mengulurkan tangan, mengusap pelan kepala istri kontraknya tersebut. Senja yang semula merunduk memeluk kedua lutut yang tertutup s
Senja tengah mengetik sesuatu di gawainya. Hal itu sudah dia lakukan sejak beberapa jam yang lalu setelah dirinya menangis sejadi-jadinya di dada Asa. Pria tersebut meninggalkannya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan di ruang kerja pribadinya.“Bagaimana aku menuliskannya, ya?” gumamnya sembari menggigit bibir. Jujur saja, dia kebingungan kali ini. Menulis adegan dewasa bukanlah ranahnya, tetapi dia harus menuliskan hal itu di tulisannya kali ini.Gadis itu menghela napas. Maniknya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore. Perutnya berbunyi, tanda jika lambungnya sudah minta diisi. Senja beranjak dari kasur, berniat untuk mengambil atau membuat beberapa makanan di dapur.Rumah Asa terlihat minimalis dengan desain arsitektur kayu yang membuatnya tampak estetik. Gadis itu menuju dapur dan mendapati sesuatu di dalam kulkas. Namun, gerakannya terhenti saat seseorang mengejutkannya. Senja terkejut dan tidak sengaja menyundul dagu pria di belakangnya.“Ops, sorry!” Senja meleta
Senja mengeratkan kedua lengannya pada leher Asa ketika pria itu meleburkan diri saat mendapati dirinya telah siap. Ini terlalu dini baginya, tetapi Senja yakin keputusannya tidak salah. Manik gadis itu terpejam. Dia menggigit bibir, menahan sesuatu yang terasa perih di bawah sana, sementara Asa mengetahuinya. Pria itu menghentikan diri dan menatap Senja yang berada di bawahnya. “Apa kamu baik-baik saja dengan ini?” tanyanya. Gadis itu mengangguk pelan. Napasnya masih tertahan dan dia tidak ingin melepaskannya sekarang. Kedua lengannya mengencangkan tautan, mengizinkan pria itu untuk melanjutkan gerakannya. “Aku tidak ingin membuat simbiosis Parasitisme di sini,” ucap Asa, membuat Senja membuka mata dan memandanginya. “Kalau sakit, lebih baik berhenti.” Senja menggeleng. “Kamu tahu aku yang menginginkannya,” lirihnya. “Jadi, lanjutkan saja.” Asa menghela napas. “Kamu yakin?” Keduanya saling bersitatap. Senja mengangguk menimpali. Asa tersenyum tipis. Lesung pipinya sedikit terlih
Senja itu, matahari belum juga tenggelam. Warna jingga kemerahan sudah menguasai langit dengan beberapa burung beterbangan kembali ke peraduannya. Suara sepatu dari luar rumah terdengar sangat keras, seperti sengaja dientakkan.Senja yang tengah mengupas apel di meja makan langsung menoleh kea rah pintu utama. Rumah Asa yang minimalis dengan kaca sebagai pembatas dominan setiap ruangan di sana membuatnya bisa memantau tamu dengan mudah. Seorang pria tampak memasuki rumah. Suara tas jinjing yang ditaruh asal didengar oleh Senja. Gadis itu segera berdiri ketika mendapati Asa menuju dapur.“Sudah selesai urusannya?” tanyanya.Asa terdiam. Dia lantas memijat kening, merasakan denyut emosi di sana. “Apa kamu sudah memastikan jika Neon pelakunya?” timpalnya balik bertanya,Senja terdiam. Keningnya sedikit berkerut. “Maksudmu?”“Aku sudah mendatangi Neon dan dia bilang dia belum bertemu denganmu sejak kemarin.” Mata cokelat Asa memandang lurus ke arah Senja. “Apa kamu yakin dia pelakunya?”H
Senja menutup kasar pintu kamar hingga Asa tidak bisa memasukinya. Pria itu menggedor bilah kecokelatan tersebut dan membuat telinga siapa pun yang mendengarnya akan pengang. Sementara itu, Senja mendengkus. Dia tidak peduli pada apa pun yang terjadi di luar sana.Asa menghela napas. Tangannya sakit juga lama-kelamaan. Dia menyandarkan diri di pintu, lalu duduk. Pikirannya merumit tentang segala hal yang belum bisa dilupakannya. Ingatannya pun menguar ketika dirinya pergi ke psikiater dan dokter kejiwaan itu mendiagnosa penyakitnya.“Senja,” panggilnya. “Aku minta maaf.”***Pagi ini Senja telah bersiap untuk pergi pekerja. Dia tahu jika dirinya tidak bisa mencampuradukkan antara pekerjaan dengan urusan pribadi. Jadi, ketika alarm di ponselnya berdering, gadis itu segera bangkit dan langsung membersihkan diri.Senja pelan-pelan membuka pintu kamar. Tidak ada Asa di depan sana. Tungkainya melangkah perlahan, nyaris tanpa suara. Dia berharap jika bisa berangkat terlebih dahulu dari pria
Senja tercenung. Kopi dicangkirnya sudah mulai dingin. Ingatannya menguar ke kejadian tadi siang yang membuat Asa menceritakan semuanya, soal dirinya dan penyakitnya. Pria itu terlihat baik-baik saja di luar. Namun, siapa yang menyangka jika dirinya mengidap gangguan kejiwaan.Gadis normies seperti Senja dihadapkan dengan peristiwa baru dalam hidupnya. Penyakit Asa tidak main-main. BPD atau Borderline Personality Disorder adalah salah satu dari jenis gangguan kejiwaan yang membuat penderitanya sangat sulit mengendalikan emosi. Penderitanya bisa saja kambuh karena mood yang tidak stabil, cemas yang berlebihan, sehingga menyebabkan kesulitan menjalani hubungan sosial.Senja baru saja akan bernapas lega jika saja yang diceritakan Asa adalah sebuah bualan. Namun, nyatanya itu semua benar.***“Kamu? Tidak mungkin, kan?” Senja masih ternganga menatap pria yang duduk di dekatnya itu.“Itu benar,” jawab Asa. Dia menatap lurus gadis itu. “Aku mengidapnya sudah sangat lama dan ini mengganggu p
“Halo, dengan penanggung jawab event Kisah Cinta di Kantor, bisa tolong cek alasan kenapa naskah saya berjudul ‘Mampir di Hati Pak Ceo’ ditolak, ya? Bisa dijawab sekarang tidak? Soalnya saya butuh banget kontrak itu sekarang!”Asa mendengarkan suara lawan bicaranya yang ternyata perempuan itu. Dia tidak habis pikir, perusahaannya sedang dilanda krisis karena beberapa situs diretas oleh orang tidak bertanggung jawab, lalu tiba-tiba seorang perempuan dengan nomor baru menelepon dirinya detik ini. Pria itu menghela napas, lantas mengarahkan layar gawai pada pemuda berkacamata di dekatnya.“Tuan? Pak? Bu? Bisa tolong jawab saya?” Suara itu kembali terdengar.Pria bernama lengkap Asa Kanagara itu berdecak lirih. Dia membiarkan peneleponnya mengomel sampai sekitar beberapa menit. Hitung-hitung sebagai tambahan waktu dia melihat Wana—pemuda berkacamata—mengutak-atik komputer di depannya.Beberapa menit kemudian, perempuan itu tidak bersuara. Asa tersentak saat Wana menyenggol lengan, memberi
Senja tercenung. Kopi dicangkirnya sudah mulai dingin. Ingatannya menguar ke kejadian tadi siang yang membuat Asa menceritakan semuanya, soal dirinya dan penyakitnya. Pria itu terlihat baik-baik saja di luar. Namun, siapa yang menyangka jika dirinya mengidap gangguan kejiwaan.Gadis normies seperti Senja dihadapkan dengan peristiwa baru dalam hidupnya. Penyakit Asa tidak main-main. BPD atau Borderline Personality Disorder adalah salah satu dari jenis gangguan kejiwaan yang membuat penderitanya sangat sulit mengendalikan emosi. Penderitanya bisa saja kambuh karena mood yang tidak stabil, cemas yang berlebihan, sehingga menyebabkan kesulitan menjalani hubungan sosial.Senja baru saja akan bernapas lega jika saja yang diceritakan Asa adalah sebuah bualan. Namun, nyatanya itu semua benar.***“Kamu? Tidak mungkin, kan?” Senja masih ternganga menatap pria yang duduk di dekatnya itu.“Itu benar,” jawab Asa. Dia menatap lurus gadis itu. “Aku mengidapnya sudah sangat lama dan ini mengganggu p
Senja menutup kasar pintu kamar hingga Asa tidak bisa memasukinya. Pria itu menggedor bilah kecokelatan tersebut dan membuat telinga siapa pun yang mendengarnya akan pengang. Sementara itu, Senja mendengkus. Dia tidak peduli pada apa pun yang terjadi di luar sana.Asa menghela napas. Tangannya sakit juga lama-kelamaan. Dia menyandarkan diri di pintu, lalu duduk. Pikirannya merumit tentang segala hal yang belum bisa dilupakannya. Ingatannya pun menguar ketika dirinya pergi ke psikiater dan dokter kejiwaan itu mendiagnosa penyakitnya.“Senja,” panggilnya. “Aku minta maaf.”***Pagi ini Senja telah bersiap untuk pergi pekerja. Dia tahu jika dirinya tidak bisa mencampuradukkan antara pekerjaan dengan urusan pribadi. Jadi, ketika alarm di ponselnya berdering, gadis itu segera bangkit dan langsung membersihkan diri.Senja pelan-pelan membuka pintu kamar. Tidak ada Asa di depan sana. Tungkainya melangkah perlahan, nyaris tanpa suara. Dia berharap jika bisa berangkat terlebih dahulu dari pria
Senja itu, matahari belum juga tenggelam. Warna jingga kemerahan sudah menguasai langit dengan beberapa burung beterbangan kembali ke peraduannya. Suara sepatu dari luar rumah terdengar sangat keras, seperti sengaja dientakkan.Senja yang tengah mengupas apel di meja makan langsung menoleh kea rah pintu utama. Rumah Asa yang minimalis dengan kaca sebagai pembatas dominan setiap ruangan di sana membuatnya bisa memantau tamu dengan mudah. Seorang pria tampak memasuki rumah. Suara tas jinjing yang ditaruh asal didengar oleh Senja. Gadis itu segera berdiri ketika mendapati Asa menuju dapur.“Sudah selesai urusannya?” tanyanya.Asa terdiam. Dia lantas memijat kening, merasakan denyut emosi di sana. “Apa kamu sudah memastikan jika Neon pelakunya?” timpalnya balik bertanya,Senja terdiam. Keningnya sedikit berkerut. “Maksudmu?”“Aku sudah mendatangi Neon dan dia bilang dia belum bertemu denganmu sejak kemarin.” Mata cokelat Asa memandang lurus ke arah Senja. “Apa kamu yakin dia pelakunya?”H
Senja mengeratkan kedua lengannya pada leher Asa ketika pria itu meleburkan diri saat mendapati dirinya telah siap. Ini terlalu dini baginya, tetapi Senja yakin keputusannya tidak salah. Manik gadis itu terpejam. Dia menggigit bibir, menahan sesuatu yang terasa perih di bawah sana, sementara Asa mengetahuinya. Pria itu menghentikan diri dan menatap Senja yang berada di bawahnya. “Apa kamu baik-baik saja dengan ini?” tanyanya. Gadis itu mengangguk pelan. Napasnya masih tertahan dan dia tidak ingin melepaskannya sekarang. Kedua lengannya mengencangkan tautan, mengizinkan pria itu untuk melanjutkan gerakannya. “Aku tidak ingin membuat simbiosis Parasitisme di sini,” ucap Asa, membuat Senja membuka mata dan memandanginya. “Kalau sakit, lebih baik berhenti.” Senja menggeleng. “Kamu tahu aku yang menginginkannya,” lirihnya. “Jadi, lanjutkan saja.” Asa menghela napas. “Kamu yakin?” Keduanya saling bersitatap. Senja mengangguk menimpali. Asa tersenyum tipis. Lesung pipinya sedikit terlih
Senja tengah mengetik sesuatu di gawainya. Hal itu sudah dia lakukan sejak beberapa jam yang lalu setelah dirinya menangis sejadi-jadinya di dada Asa. Pria tersebut meninggalkannya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan di ruang kerja pribadinya.“Bagaimana aku menuliskannya, ya?” gumamnya sembari menggigit bibir. Jujur saja, dia kebingungan kali ini. Menulis adegan dewasa bukanlah ranahnya, tetapi dia harus menuliskan hal itu di tulisannya kali ini.Gadis itu menghela napas. Maniknya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore. Perutnya berbunyi, tanda jika lambungnya sudah minta diisi. Senja beranjak dari kasur, berniat untuk mengambil atau membuat beberapa makanan di dapur.Rumah Asa terlihat minimalis dengan desain arsitektur kayu yang membuatnya tampak estetik. Gadis itu menuju dapur dan mendapati sesuatu di dalam kulkas. Namun, gerakannya terhenti saat seseorang mengejutkannya. Senja terkejut dan tidak sengaja menyundul dagu pria di belakangnya.“Ops, sorry!” Senja meleta
Senja membuka kedua mata, mendapati sorot matahari menembus tirai putih yang sedikit menutupi jendela kamar. Dia tersentak usai menyadari sesuatu, lalu mengedarkan pandangan. Ruangan itu sedikit berbeda dengan yang disambanginya semalam. Ini bukan di hotel, bukan juga di kamar indekosnya. Gadis itu bangun perlahan, mendapati rasa sakit mencekam di antara dua selangkangan serta pinggulnya. Kesadarannya mulai terkumpul sempurna, teringat dengan kejadian miris semalam. Senja menggeleng. “Tidak, tidak mungkin,” lirihnya mulai terisak. Seseorang terdengar membuka pintu. Dia pria yang seharusnya bisa melindungi Senja tadi malam. Namun, dengan ketiadaannya di saat detik yang malang itu, kini Asa hanya bisa memberikan tatapan sendu. Dia menghampiri ranjang Senja dan meletakkan nampan berisi sarapan yang dibawanya di nakas. Pria itu duduk di tepi ranjang, lalu mengulurkan tangan, mengusap pelan kepala istri kontraknya tersebut. Senja yang semula merunduk memeluk kedua lutut yang tertutup s
Senja menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Tadi, sebelum pergi, Asa memintanya untuk memindahkan data mentah ke softfile yang sudah disediakan. Sebenarnya, pekerjaannya amat mudah. Senja harus memindahkan data saja dan mengecek ulang isinya. Namun, karena data yang terlalu banyak membuatnya bekerja sampai malam hari.Seorang pegawai memeriksa ruangan dan mendapati dirinya masih bekerja. “Ibu, masih ada di sini?” tanyanya.Senja mengangguk. “Iya. Apa Pak Asa belum kembali dari urusannya?”Pegawai itu masuk sempurna ke ruangan usai sebelumnya hanya menyembulkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. “Maaf, Bu. Pak Asa belum pulang. Tapi, biasanya Bapak langsung ke rumah kalau pekerjaannya sudah selesai,” jawabnya.“Oh, begitu.” Senja kembali menatap pegawai perempuan itu. “Mbak di sini sebagai apa, ya?”Perempuan berambut pendek itu tersenyum. “Saya admin di ruangan depan, Bu. Kalau ada dokumen masuk, biasanya ke saya dulu, baru nanti saya kasih ke Bapak,” jawabnya dan mendap
Senja melihat pria di depannya tengah menandatangani dua buah kertas di dua map yang berbeda. Sekian detik kemudian, pria itu menyodorkan satu map padanya. Dia mengambil alih pena dan mulai mengarahkan ujungnya ke kertas.“Bapak janji, ‘kan?” tanya gadis itu dengan menatap pria di depannya.Pria itu mengangguk. “Saya adalah orang yang selalu menepati janji,” jawabnya. “Anda bisa memercayai saya.”Gadis itu tidak menimpali. Dia menggoreskan tinta di kertas dan kontrak antara dirinya dan CEO muda itu berhasil dibuat. Sisi lain Senja masih ragu dengan kelanjutan hubungan mereka setelah kontrak. Dia kembali menatap pria tersebut. “Saya harap Bapak bisa memegang janji,” katanya.Pria bernama Asa Kanagara itu tersenyum dan mengangguk. “Mulai hari ini, cukup panggil nama saya saja. Tidak perlu terlalu formal dan … panggilan aku-kamu mungkin harus kita lakukan mulai sekarang,” ucapnya dengan menaikkan sebelah alis. Dia menegapkan tubuh sejenak. “Berikan aku alamat indekosmu. Biar asistenku ke
Senja mengerjapkan mata, tidak percaya dengan ucapan pria di depannya yang barusan didengar. Keterkejutannya makin bertambah tatkala seorang karyawan kantor masuk ke ruangan dan meletakkan beberapa berkas di atas meja kerja pria tersebut. Karyawan perempuan itu menunduk sejenak.“Rapat dimulai satu jam lagi, Pak,” ucapnya. “Klien juga sudah datang dan menunggu di ruangan.”Asa mengangguk. “Berikan presentasi periklanan yang dibuat kemarin dahulu,” titahnya.“Baik, Pak.” Karyawan itu keluar ruangan sekian detik kemudian.Senja kembali menatap pria di depannya. Pria itu tersenyum dengan lesung pipit di pipinya yang membuat sisi lain diri Senja tidak memercayai jika yang ada di hadapannya saat ini adalah CEO dari salah satu perusahaan terbesar yang menaungi platform kepenulisan tempat naskahnya ditolak.Gadis itu menggaruk tengkuk, lalu menunduk. “Maaf atas kelancangan saya kemarin, Pak. Saya benar-benar tidak tahu kalau—”“Iya, tidak masalah,” potong Asa. “Jadi, apa yang membuat Anda me