“Halo, dengan penanggung jawab event Kisah Cinta di Kantor, bisa tolong cek alasan kenapa naskah saya berjudul ‘Mampir di Hati Pak Ceo’ ditolak, ya? Bisa dijawab sekarang tidak? Soalnya saya butuh banget kontrak itu sekarang!”
Asa mendengarkan suara lawan bicaranya yang ternyata perempuan itu. Dia tidak habis pikir, perusahaannya sedang dilanda krisis karena beberapa situs diretas oleh orang tidak bertanggung jawab, lalu tiba-tiba seorang perempuan dengan nomor baru menelepon dirinya detik ini. Pria itu menghela napas, lantas mengarahkan layar gawai pada pemuda berkacamata di dekatnya.
“Tuan? Pak? Bu? Bisa tolong jawab saya?” Suara itu kembali terdengar.
Pria bernama lengkap Asa Kanagara itu berdecak lirih. Dia membiarkan peneleponnya mengomel sampai sekitar beberapa menit. Hitung-hitung sebagai tambahan waktu dia melihat Wana—pemuda berkacamata—mengutak-atik komputer di depannya.
Beberapa menit kemudian, perempuan itu tidak bersuara. Asa tersentak saat Wana menyenggol lengan, memberitahu jika sosok peneleponnya itu menunggu di seberang sana. Asa bergegas mengambil kembali ponsel, lalu memberi isyarat pada Wana sebelum akhirnya dia ke luar dari ruangan administrasi itu.
“Iya, saya di sini,” ucapnya usai masuk ke ruangan kerja. Pria itu duduk dan memutar kursi kerjanya supaya menghadap jendela. “Bisa diulangi?”
Terdengar desahan kasar di seberang panggilan. Asa tahu jika perempuan itu sedang kesal karena omelannya tidak kunjung dijawab sejak tadi.
“Um … maaf, Pak, tapi apa Bapak bisa mengecek kembali naskah saya yang berjudul—”
“Iya, saya sudah tahu.” Seringai Asa terukir sempurna. Ledekannya benar-benar bodoh. Dia bahkan tidak tahu naskah seperti apa yang dimaksud perempuan itu.
“Jadi, bagaimana, Pak?”
Pria itu terdiam. Manik cokelatnya mengedarkan pandangan ke luar jendela, menatap barisan gedung pencakar langit yang menghalangi serabut awan dan langit biru. Satu tangannya yang tidak memegang ponsel lantas meraup dagu. Dia tahu jika dirinya tidak memelihara jenggot atau kumis, tetapi cukup yakin bahwa dirinya tampan hanya dengan satu lesung pipit di pipi kirinya.
“Besok,” ucapnya.
Tidak ada tanggapan selama beberapa detik.
“Besok … kenapa, Pak?”
Asa tersenyum. Cukup menggemaskan bagi tiap wanita yang melihat ketampanannya. “Besok datanglah ke Kanagara Group,” ucapnya. “Beritahu pihak administrasi jika Anda ingin bertemu dengan Asa.”
***
Panggilan ditutup sepihak. Manik cokelat itu menatap layar ponsel yang kini berganti dengan wallpaper pantai. Senja mengunci mulut. Bukan dia mempermasalahkan dengan pihak yang ditelepon menutup begitu saja panggilannya, melainkan karena satu hal. Lawan bicaranya tidak memberitahu alasan naskah ceritanya ditolak.
“Urgh, kenapa sih?” gerutunya.
Pikirannya rumit, ditambah pula jika dirinya diundang ke Kanagara Group untuk bertemu dengan seseorang bernama Asa. Dia tidak mengenal Asa dan tidak tahu di mana Kanagara Group berada.
Gadis itu berdecak. Dia kembali merebahkan diri di kasur sambil mengutak-atik ponsel, berharap menemukan secercah harapan yang berkaitan dengan Kanagara Group. Beberapa saat kemudian, Senja berhasil menemukan sesuatu.
“Kanagara Group, ya?” gumamnya.
***
Pagi-pagi sekali—sebenarnya tidak pagi benar karena sudah jam sembilan—Senja telah bersiap dengan blouse putih dan celana dasar hitamnya. Dia tidak berpikir jika warna pakaiannya kali ini mirip dengan murid baru di sekolah pada umumnya. Di pikirannya adalah dia harus datang ke Kanagara Group dan meminta penjelasan kepada orang bernama Asa terkait penolakan naskahnya.
Gedung pencakar langit dengan billboard bertuliskan ‘Kanagara Group’ tampak jelas di depan mata. Senja meneguk saliva sejenak, sebelum melangkah menghampiri bangunan 100 lantai tersebut. Seorang satpam tampak menghentikan langkahnya.
“Apakah ada yang bisa saya bantu?”
Senja mengedarkan pandangan sejenak ke dalam gedung. Beberapa orang tampak menunggu di salah satu sisi di mana banyak meja dan sofa tertata rapi, sementara di sisi lain terdapat meja resepsionis. Dia menatap satpam di dekatnya.
“Saya ingin bertemu dengan orang bernama Asa di sini,” ucapnya tegas.
Pria yang mengenakan seragam cokelat itu terdiam dan tampak berpikir sejenak. “Apa … Nona sudah membuat janji dengannya?” tanyanya kemudian.
Senja mengangguk pasti. Dia mengeluarkan ponsel, lantas menunjukkan kepada pria itu riwayat panggilan yang dilakukannya kemarin. “Kemarin saya menghubungi nomor ini dan dia meminta saya untuk kemari menemui orang bernama Asa,” jawabnya.
Pria itu meneguk liur. “M-mari saya antar, Nona.”
Gadis berambut cokelat itu mengangguk. Namun, belum sempat sip ria mengantarkannya pergi, seorang pemuda berkacamata menghampiri keduanya.
“Siapa ya?” tanyanya.
“Oh, Pak Wana.” Sang satpam menunduk sejenak. “Ada Nona mau bertemu Pak Asa. Katanya sudah janjian kemarin.”
Wana mengernyit. Dia mengamati sosok gadis di depannya dari atas ke bawah, lalu kembali ke atas. Pemuda itu tertegun. Ingatannya kembali terngiang dengan sosok yang menghubungi nomor Asa kemarin yang ternyata adalah seorang wanita. Satu tangannya menggaruk pipi, mengamati jeli gadis yang menurutnya sangat cantik itu.
“Ah, biar saya saja yang antar dia, Pak. Tidak baik meninggalkan pintu utama dalam keadaan tidak terjaga,” ucap Wana.
Pria berseragam cokelat itu mengangguk. Wana mempersilakan gadis itu untuk mengikuti langkahnya menuju salah satu lift.
Senja tidak memikirkan apa pun selain naskahnya detik ini. Dia harus bisa bernegosiasi supaya naskahnya bisa diterima dan dirinya mendapatkan uang. Setidaknya, hanya uang yang ada dalam otak gadis bernama lengkap Senja Anindita tersebut sekarang. Dia tidak memikirkan sosok yang akan bertemu dengannya sebentar lagi.
Pemuda berkacamata itu mengantarkan Senja menuju salah satu ruangan usai keluar dari lift di lantai 55. “Namaku Wana. Aku adalah rekan kerja Asa,” ucapnya sembari mengulurkan tangan. “Kalau kamu butuh bantuan, panggil saja aku.”
Senja tersenyum seraya mengangguk. Dia membalas jabat tangan Wana. “Senja,” ucapnya.
Wana terdiam. Matanya membola sejenak. Nama yang cantik.
Sepersekian detik kemudian, pemuda itu membiarkan Senja masuk ke ruangan. Gadis itu melangkahkan kaki jenjangnya ke dalam ruangan bersuhu dingin tersebut. Ruangannya sangat rapi dengan aksen hitam-putih di berbagai sudut. Dia mendapati seseorang tengah duduk membelakangi meja kerja. Gadis itu menghentikan langkah tepat di depan meja. Senja menghela napas sejenak.
“Kau tidak tersesat?”
Pertanyaan yang terkesan tiba-tiba itu mengejutkan Senja. Gadis itu mengatur ritme napas di sela ucapannya. “T-tidak, Pak. Tidak sama sekali,” jawabnya tergagap.
Sementara itu, Asa yang memang sengaja duduk membelakangi meja lantas mengerutkan kening saat mendengar suara perempuan tersebut. Tidak ada yang dipikirkannya saat ini selain penasaran dengan sosok yang berdiri di belakangnya. Dia memutar kursi, membalikkan diri menghadap perempuan lancang yang menelepon nomor pribadinya kemarin.
Asa terdiam. Manik cokelatnya memandangi perlahan gadis yang berdiri di seberangnya. Rambut cokelatnya yang terurai dengan sebagian helai menutupi wajah, membuat kecantikan gadis itu tidaklah sirna. Siapa pun bisa menebak betapa seksi gadis itu meski blouse putih dan celana dasar hitam membalut tubuhnya. Namun, yang membuat pria Kanagara itu tercenung saat ini bukanlah keseksian Senja, melainkan rupa gadis tersebut.
Asa meneguk saliva, sontak bangkit dari kursi, dan menghampiri Senja. Gadis itu kebingungan. Matanya berkelana melihat rupat pria yang kini mendekatinya. Sebelum Asa dengan bebas memotong jarak keduanya, Senja buru-buru mengangkat tas—memutus jarak.
Pria itu tersentak. Dia menggeleng lantas menghela napas. “Maaf,” ucapnya.
Senja mengangguk dan menurunkan tasnya. “Jadi, apa Bapak yang bernama Asa?” tanyanya kemudian.
Asa mengerutkan kening. Ingatannya berputar, terkenang dengan peristiwa yang terjadi kemarin. Dia menyadari jika sosok di depannya saat ini adalah perempuan yang menelepon nomor pribadinya. Telunjuknya terangkat, terarah pada gadis tersebut.
“Kau ….”
Senja tersenyum. Dia menunduk sejenak. “Saya Senja Anindita, Pak,” ucapnya. “Saya yang menghubungi Bapak kemarin.”
Senja Anindita.
Nama yang cantik.
“Bapak … adminnya, ‘kan, ya?” Senja kembali bertanya, membuat pria di depannya mengernyit. “Kemarin nomor Bapak ada di daftar CS soalnya. Saya pikir Bapak ad ….”
Belum sempat Senja menyelesaikan ucapannya, pria itu tertawa. Gadis itu memandang inosen. “Pak?”
Asa tidak bisa membendung tawanya. Bagaimana bisa gadis itu menganggap dirinya adalah seorang Customer Service (CS). Dia menatap Senja dengan satu alis terangkat. “Apa kau yakin saya CS?”
Gadis itu mengangguk, makin membuat Asa tertawa. Pria itu kembali menatap Senja seraya menegapkan tubuh dan menyilangkan kedua lengan di depan dada.
“Saya Asa Kanagara, CEO Kanagara Group.”
***
Senja mengerjapkan mata, tidak percaya dengan ucapan pria di depannya yang barusan didengar. Keterkejutannya makin bertambah tatkala seorang karyawan kantor masuk ke ruangan dan meletakkan beberapa berkas di atas meja kerja pria tersebut. Karyawan perempuan itu menunduk sejenak.“Rapat dimulai satu jam lagi, Pak,” ucapnya. “Klien juga sudah datang dan menunggu di ruangan.”Asa mengangguk. “Berikan presentasi periklanan yang dibuat kemarin dahulu,” titahnya.“Baik, Pak.” Karyawan itu keluar ruangan sekian detik kemudian.Senja kembali menatap pria di depannya. Pria itu tersenyum dengan lesung pipit di pipinya yang membuat sisi lain diri Senja tidak memercayai jika yang ada di hadapannya saat ini adalah CEO dari salah satu perusahaan terbesar yang menaungi platform kepenulisan tempat naskahnya ditolak.Gadis itu menggaruk tengkuk, lalu menunduk. “Maaf atas kelancangan saya kemarin, Pak. Saya benar-benar tidak tahu kalau—”“Iya, tidak masalah,” potong Asa. “Jadi, apa yang membuat Anda me
Senja melihat pria di depannya tengah menandatangani dua buah kertas di dua map yang berbeda. Sekian detik kemudian, pria itu menyodorkan satu map padanya. Dia mengambil alih pena dan mulai mengarahkan ujungnya ke kertas.“Bapak janji, ‘kan?” tanya gadis itu dengan menatap pria di depannya.Pria itu mengangguk. “Saya adalah orang yang selalu menepati janji,” jawabnya. “Anda bisa memercayai saya.”Gadis itu tidak menimpali. Dia menggoreskan tinta di kertas dan kontrak antara dirinya dan CEO muda itu berhasil dibuat. Sisi lain Senja masih ragu dengan kelanjutan hubungan mereka setelah kontrak. Dia kembali menatap pria tersebut. “Saya harap Bapak bisa memegang janji,” katanya.Pria bernama Asa Kanagara itu tersenyum dan mengangguk. “Mulai hari ini, cukup panggil nama saya saja. Tidak perlu terlalu formal dan … panggilan aku-kamu mungkin harus kita lakukan mulai sekarang,” ucapnya dengan menaikkan sebelah alis. Dia menegapkan tubuh sejenak. “Berikan aku alamat indekosmu. Biar asistenku ke
Senja menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Tadi, sebelum pergi, Asa memintanya untuk memindahkan data mentah ke softfile yang sudah disediakan. Sebenarnya, pekerjaannya amat mudah. Senja harus memindahkan data saja dan mengecek ulang isinya. Namun, karena data yang terlalu banyak membuatnya bekerja sampai malam hari.Seorang pegawai memeriksa ruangan dan mendapati dirinya masih bekerja. “Ibu, masih ada di sini?” tanyanya.Senja mengangguk. “Iya. Apa Pak Asa belum kembali dari urusannya?”Pegawai itu masuk sempurna ke ruangan usai sebelumnya hanya menyembulkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. “Maaf, Bu. Pak Asa belum pulang. Tapi, biasanya Bapak langsung ke rumah kalau pekerjaannya sudah selesai,” jawabnya.“Oh, begitu.” Senja kembali menatap pegawai perempuan itu. “Mbak di sini sebagai apa, ya?”Perempuan berambut pendek itu tersenyum. “Saya admin di ruangan depan, Bu. Kalau ada dokumen masuk, biasanya ke saya dulu, baru nanti saya kasih ke Bapak,” jawabnya dan mendap
Senja membuka kedua mata, mendapati sorot matahari menembus tirai putih yang sedikit menutupi jendela kamar. Dia tersentak usai menyadari sesuatu, lalu mengedarkan pandangan. Ruangan itu sedikit berbeda dengan yang disambanginya semalam. Ini bukan di hotel, bukan juga di kamar indekosnya. Gadis itu bangun perlahan, mendapati rasa sakit mencekam di antara dua selangkangan serta pinggulnya. Kesadarannya mulai terkumpul sempurna, teringat dengan kejadian miris semalam. Senja menggeleng. “Tidak, tidak mungkin,” lirihnya mulai terisak. Seseorang terdengar membuka pintu. Dia pria yang seharusnya bisa melindungi Senja tadi malam. Namun, dengan ketiadaannya di saat detik yang malang itu, kini Asa hanya bisa memberikan tatapan sendu. Dia menghampiri ranjang Senja dan meletakkan nampan berisi sarapan yang dibawanya di nakas. Pria itu duduk di tepi ranjang, lalu mengulurkan tangan, mengusap pelan kepala istri kontraknya tersebut. Senja yang semula merunduk memeluk kedua lutut yang tertutup s
Senja tengah mengetik sesuatu di gawainya. Hal itu sudah dia lakukan sejak beberapa jam yang lalu setelah dirinya menangis sejadi-jadinya di dada Asa. Pria tersebut meninggalkannya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan di ruang kerja pribadinya.“Bagaimana aku menuliskannya, ya?” gumamnya sembari menggigit bibir. Jujur saja, dia kebingungan kali ini. Menulis adegan dewasa bukanlah ranahnya, tetapi dia harus menuliskan hal itu di tulisannya kali ini.Gadis itu menghela napas. Maniknya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore. Perutnya berbunyi, tanda jika lambungnya sudah minta diisi. Senja beranjak dari kasur, berniat untuk mengambil atau membuat beberapa makanan di dapur.Rumah Asa terlihat minimalis dengan desain arsitektur kayu yang membuatnya tampak estetik. Gadis itu menuju dapur dan mendapati sesuatu di dalam kulkas. Namun, gerakannya terhenti saat seseorang mengejutkannya. Senja terkejut dan tidak sengaja menyundul dagu pria di belakangnya.“Ops, sorry!” Senja meleta
Senja mengeratkan kedua lengannya pada leher Asa ketika pria itu meleburkan diri saat mendapati dirinya telah siap. Ini terlalu dini baginya, tetapi Senja yakin keputusannya tidak salah. Manik gadis itu terpejam. Dia menggigit bibir, menahan sesuatu yang terasa perih di bawah sana, sementara Asa mengetahuinya. Pria itu menghentikan diri dan menatap Senja yang berada di bawahnya. “Apa kamu baik-baik saja dengan ini?” tanyanya. Gadis itu mengangguk pelan. Napasnya masih tertahan dan dia tidak ingin melepaskannya sekarang. Kedua lengannya mengencangkan tautan, mengizinkan pria itu untuk melanjutkan gerakannya. “Aku tidak ingin membuat simbiosis Parasitisme di sini,” ucap Asa, membuat Senja membuka mata dan memandanginya. “Kalau sakit, lebih baik berhenti.” Senja menggeleng. “Kamu tahu aku yang menginginkannya,” lirihnya. “Jadi, lanjutkan saja.” Asa menghela napas. “Kamu yakin?” Keduanya saling bersitatap. Senja mengangguk menimpali. Asa tersenyum tipis. Lesung pipinya sedikit terlih
Senja itu, matahari belum juga tenggelam. Warna jingga kemerahan sudah menguasai langit dengan beberapa burung beterbangan kembali ke peraduannya. Suara sepatu dari luar rumah terdengar sangat keras, seperti sengaja dientakkan.Senja yang tengah mengupas apel di meja makan langsung menoleh kea rah pintu utama. Rumah Asa yang minimalis dengan kaca sebagai pembatas dominan setiap ruangan di sana membuatnya bisa memantau tamu dengan mudah. Seorang pria tampak memasuki rumah. Suara tas jinjing yang ditaruh asal didengar oleh Senja. Gadis itu segera berdiri ketika mendapati Asa menuju dapur.“Sudah selesai urusannya?” tanyanya.Asa terdiam. Dia lantas memijat kening, merasakan denyut emosi di sana. “Apa kamu sudah memastikan jika Neon pelakunya?” timpalnya balik bertanya,Senja terdiam. Keningnya sedikit berkerut. “Maksudmu?”“Aku sudah mendatangi Neon dan dia bilang dia belum bertemu denganmu sejak kemarin.” Mata cokelat Asa memandang lurus ke arah Senja. “Apa kamu yakin dia pelakunya?”H
Senja menutup kasar pintu kamar hingga Asa tidak bisa memasukinya. Pria itu menggedor bilah kecokelatan tersebut dan membuat telinga siapa pun yang mendengarnya akan pengang. Sementara itu, Senja mendengkus. Dia tidak peduli pada apa pun yang terjadi di luar sana.Asa menghela napas. Tangannya sakit juga lama-kelamaan. Dia menyandarkan diri di pintu, lalu duduk. Pikirannya merumit tentang segala hal yang belum bisa dilupakannya. Ingatannya pun menguar ketika dirinya pergi ke psikiater dan dokter kejiwaan itu mendiagnosa penyakitnya.“Senja,” panggilnya. “Aku minta maaf.”***Pagi ini Senja telah bersiap untuk pergi pekerja. Dia tahu jika dirinya tidak bisa mencampuradukkan antara pekerjaan dengan urusan pribadi. Jadi, ketika alarm di ponselnya berdering, gadis itu segera bangkit dan langsung membersihkan diri.Senja pelan-pelan membuka pintu kamar. Tidak ada Asa di depan sana. Tungkainya melangkah perlahan, nyaris tanpa suara. Dia berharap jika bisa berangkat terlebih dahulu dari pria
Senja tercenung. Kopi dicangkirnya sudah mulai dingin. Ingatannya menguar ke kejadian tadi siang yang membuat Asa menceritakan semuanya, soal dirinya dan penyakitnya. Pria itu terlihat baik-baik saja di luar. Namun, siapa yang menyangka jika dirinya mengidap gangguan kejiwaan.Gadis normies seperti Senja dihadapkan dengan peristiwa baru dalam hidupnya. Penyakit Asa tidak main-main. BPD atau Borderline Personality Disorder adalah salah satu dari jenis gangguan kejiwaan yang membuat penderitanya sangat sulit mengendalikan emosi. Penderitanya bisa saja kambuh karena mood yang tidak stabil, cemas yang berlebihan, sehingga menyebabkan kesulitan menjalani hubungan sosial.Senja baru saja akan bernapas lega jika saja yang diceritakan Asa adalah sebuah bualan. Namun, nyatanya itu semua benar.***“Kamu? Tidak mungkin, kan?” Senja masih ternganga menatap pria yang duduk di dekatnya itu.“Itu benar,” jawab Asa. Dia menatap lurus gadis itu. “Aku mengidapnya sudah sangat lama dan ini mengganggu p
Senja menutup kasar pintu kamar hingga Asa tidak bisa memasukinya. Pria itu menggedor bilah kecokelatan tersebut dan membuat telinga siapa pun yang mendengarnya akan pengang. Sementara itu, Senja mendengkus. Dia tidak peduli pada apa pun yang terjadi di luar sana.Asa menghela napas. Tangannya sakit juga lama-kelamaan. Dia menyandarkan diri di pintu, lalu duduk. Pikirannya merumit tentang segala hal yang belum bisa dilupakannya. Ingatannya pun menguar ketika dirinya pergi ke psikiater dan dokter kejiwaan itu mendiagnosa penyakitnya.“Senja,” panggilnya. “Aku minta maaf.”***Pagi ini Senja telah bersiap untuk pergi pekerja. Dia tahu jika dirinya tidak bisa mencampuradukkan antara pekerjaan dengan urusan pribadi. Jadi, ketika alarm di ponselnya berdering, gadis itu segera bangkit dan langsung membersihkan diri.Senja pelan-pelan membuka pintu kamar. Tidak ada Asa di depan sana. Tungkainya melangkah perlahan, nyaris tanpa suara. Dia berharap jika bisa berangkat terlebih dahulu dari pria
Senja itu, matahari belum juga tenggelam. Warna jingga kemerahan sudah menguasai langit dengan beberapa burung beterbangan kembali ke peraduannya. Suara sepatu dari luar rumah terdengar sangat keras, seperti sengaja dientakkan.Senja yang tengah mengupas apel di meja makan langsung menoleh kea rah pintu utama. Rumah Asa yang minimalis dengan kaca sebagai pembatas dominan setiap ruangan di sana membuatnya bisa memantau tamu dengan mudah. Seorang pria tampak memasuki rumah. Suara tas jinjing yang ditaruh asal didengar oleh Senja. Gadis itu segera berdiri ketika mendapati Asa menuju dapur.“Sudah selesai urusannya?” tanyanya.Asa terdiam. Dia lantas memijat kening, merasakan denyut emosi di sana. “Apa kamu sudah memastikan jika Neon pelakunya?” timpalnya balik bertanya,Senja terdiam. Keningnya sedikit berkerut. “Maksudmu?”“Aku sudah mendatangi Neon dan dia bilang dia belum bertemu denganmu sejak kemarin.” Mata cokelat Asa memandang lurus ke arah Senja. “Apa kamu yakin dia pelakunya?”H
Senja mengeratkan kedua lengannya pada leher Asa ketika pria itu meleburkan diri saat mendapati dirinya telah siap. Ini terlalu dini baginya, tetapi Senja yakin keputusannya tidak salah. Manik gadis itu terpejam. Dia menggigit bibir, menahan sesuatu yang terasa perih di bawah sana, sementara Asa mengetahuinya. Pria itu menghentikan diri dan menatap Senja yang berada di bawahnya. “Apa kamu baik-baik saja dengan ini?” tanyanya. Gadis itu mengangguk pelan. Napasnya masih tertahan dan dia tidak ingin melepaskannya sekarang. Kedua lengannya mengencangkan tautan, mengizinkan pria itu untuk melanjutkan gerakannya. “Aku tidak ingin membuat simbiosis Parasitisme di sini,” ucap Asa, membuat Senja membuka mata dan memandanginya. “Kalau sakit, lebih baik berhenti.” Senja menggeleng. “Kamu tahu aku yang menginginkannya,” lirihnya. “Jadi, lanjutkan saja.” Asa menghela napas. “Kamu yakin?” Keduanya saling bersitatap. Senja mengangguk menimpali. Asa tersenyum tipis. Lesung pipinya sedikit terlih
Senja tengah mengetik sesuatu di gawainya. Hal itu sudah dia lakukan sejak beberapa jam yang lalu setelah dirinya menangis sejadi-jadinya di dada Asa. Pria tersebut meninggalkannya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan di ruang kerja pribadinya.“Bagaimana aku menuliskannya, ya?” gumamnya sembari menggigit bibir. Jujur saja, dia kebingungan kali ini. Menulis adegan dewasa bukanlah ranahnya, tetapi dia harus menuliskan hal itu di tulisannya kali ini.Gadis itu menghela napas. Maniknya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore. Perutnya berbunyi, tanda jika lambungnya sudah minta diisi. Senja beranjak dari kasur, berniat untuk mengambil atau membuat beberapa makanan di dapur.Rumah Asa terlihat minimalis dengan desain arsitektur kayu yang membuatnya tampak estetik. Gadis itu menuju dapur dan mendapati sesuatu di dalam kulkas. Namun, gerakannya terhenti saat seseorang mengejutkannya. Senja terkejut dan tidak sengaja menyundul dagu pria di belakangnya.“Ops, sorry!” Senja meleta
Senja membuka kedua mata, mendapati sorot matahari menembus tirai putih yang sedikit menutupi jendela kamar. Dia tersentak usai menyadari sesuatu, lalu mengedarkan pandangan. Ruangan itu sedikit berbeda dengan yang disambanginya semalam. Ini bukan di hotel, bukan juga di kamar indekosnya. Gadis itu bangun perlahan, mendapati rasa sakit mencekam di antara dua selangkangan serta pinggulnya. Kesadarannya mulai terkumpul sempurna, teringat dengan kejadian miris semalam. Senja menggeleng. “Tidak, tidak mungkin,” lirihnya mulai terisak. Seseorang terdengar membuka pintu. Dia pria yang seharusnya bisa melindungi Senja tadi malam. Namun, dengan ketiadaannya di saat detik yang malang itu, kini Asa hanya bisa memberikan tatapan sendu. Dia menghampiri ranjang Senja dan meletakkan nampan berisi sarapan yang dibawanya di nakas. Pria itu duduk di tepi ranjang, lalu mengulurkan tangan, mengusap pelan kepala istri kontraknya tersebut. Senja yang semula merunduk memeluk kedua lutut yang tertutup s
Senja menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Tadi, sebelum pergi, Asa memintanya untuk memindahkan data mentah ke softfile yang sudah disediakan. Sebenarnya, pekerjaannya amat mudah. Senja harus memindahkan data saja dan mengecek ulang isinya. Namun, karena data yang terlalu banyak membuatnya bekerja sampai malam hari.Seorang pegawai memeriksa ruangan dan mendapati dirinya masih bekerja. “Ibu, masih ada di sini?” tanyanya.Senja mengangguk. “Iya. Apa Pak Asa belum kembali dari urusannya?”Pegawai itu masuk sempurna ke ruangan usai sebelumnya hanya menyembulkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. “Maaf, Bu. Pak Asa belum pulang. Tapi, biasanya Bapak langsung ke rumah kalau pekerjaannya sudah selesai,” jawabnya.“Oh, begitu.” Senja kembali menatap pegawai perempuan itu. “Mbak di sini sebagai apa, ya?”Perempuan berambut pendek itu tersenyum. “Saya admin di ruangan depan, Bu. Kalau ada dokumen masuk, biasanya ke saya dulu, baru nanti saya kasih ke Bapak,” jawabnya dan mendap
Senja melihat pria di depannya tengah menandatangani dua buah kertas di dua map yang berbeda. Sekian detik kemudian, pria itu menyodorkan satu map padanya. Dia mengambil alih pena dan mulai mengarahkan ujungnya ke kertas.“Bapak janji, ‘kan?” tanya gadis itu dengan menatap pria di depannya.Pria itu mengangguk. “Saya adalah orang yang selalu menepati janji,” jawabnya. “Anda bisa memercayai saya.”Gadis itu tidak menimpali. Dia menggoreskan tinta di kertas dan kontrak antara dirinya dan CEO muda itu berhasil dibuat. Sisi lain Senja masih ragu dengan kelanjutan hubungan mereka setelah kontrak. Dia kembali menatap pria tersebut. “Saya harap Bapak bisa memegang janji,” katanya.Pria bernama Asa Kanagara itu tersenyum dan mengangguk. “Mulai hari ini, cukup panggil nama saya saja. Tidak perlu terlalu formal dan … panggilan aku-kamu mungkin harus kita lakukan mulai sekarang,” ucapnya dengan menaikkan sebelah alis. Dia menegapkan tubuh sejenak. “Berikan aku alamat indekosmu. Biar asistenku ke
Senja mengerjapkan mata, tidak percaya dengan ucapan pria di depannya yang barusan didengar. Keterkejutannya makin bertambah tatkala seorang karyawan kantor masuk ke ruangan dan meletakkan beberapa berkas di atas meja kerja pria tersebut. Karyawan perempuan itu menunduk sejenak.“Rapat dimulai satu jam lagi, Pak,” ucapnya. “Klien juga sudah datang dan menunggu di ruangan.”Asa mengangguk. “Berikan presentasi periklanan yang dibuat kemarin dahulu,” titahnya.“Baik, Pak.” Karyawan itu keluar ruangan sekian detik kemudian.Senja kembali menatap pria di depannya. Pria itu tersenyum dengan lesung pipit di pipinya yang membuat sisi lain diri Senja tidak memercayai jika yang ada di hadapannya saat ini adalah CEO dari salah satu perusahaan terbesar yang menaungi platform kepenulisan tempat naskahnya ditolak.Gadis itu menggaruk tengkuk, lalu menunduk. “Maaf atas kelancangan saya kemarin, Pak. Saya benar-benar tidak tahu kalau—”“Iya, tidak masalah,” potong Asa. “Jadi, apa yang membuat Anda me