Share

Perseteruan

Penulis: Athmika
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-11 11:23:29

Pov Rahma

"Jika sampai terjadi apa-apa sama Edo, aku akan pastikan, bukan penjara tempat kalian berada. Tetapi neraka paling jahanam!!!" ancamku pada mereka.

Dadaku masih kembang kempis karena emosi. Akan tetapi, kedua orang ini sepertinya semakin memancing emosi. Kulihat mereka berdua malah tersenyum sinis.

" Bagus kalau terjadi apa-apa. Setidaknya, tak ada lagi bayi menyusahkan di rumah. Kamu pun bisa bekerja kembali dan menghasilkan. Menikah sudah 2 tahun kok tak ada perkembangan apa-apa." cibir Ibu mertuaku.

Ya Tuhan...

Sekarang justru aku yang tersenyum sinis. Rupanya selama ini mereka tak tahu siapa orang yang telah bersusah payah memeras otak, tenaga serta harta demi memenuhi keinginan mereka.

" Memang genteng yang baru dipasang itu pakai uang siapa? Memang waktu Mardi di rumah sakit itu pakai duit siapa? Memang waktu wisuda Astri itu pakai duit siapa? UANG AKU!!!" ucapku lantang.

"Jangan bohong kamu!" ucap lirih Bu Yati yang sepertinya sudah ketakutan.

"Bahkan untuk genteng saja waktu itu mas Asep pakai uang utang. Dan bodohnya, aku tak tau akan hal itu. Dan siapa yang pontang-panting membayar hutangnya? AKU! AKU, MBOK! AKU!!!" seruku.

Mas Asep semakin menunduk. Sedangkan Bu Yati menatap wajah anaknya dan aku secara bergantian.

" Dan tarik kembali ucapan Mbok tentang anakku. Aku tak kan membiarkan ada apa pun yang menimpa anakku. " lekas kulangkahkan kaki menjauh dari mereka. Jika kuladeni, waktu seharian pun tak akan cukup untuk meladeni mereka.

"Memang kamu punya cukup uang? Untuk makan sehari-hari saja masih mengemis pada kami. Sok-sokan sekarang mau mempertahankan Edo dirawat di sini!" ucap Bu Yati seolah meremehkanku.

Kusunggingkan senyum di bibirku dan kembali mendekat pada wanita yang seharusnya dipanggil nenek oleh anakku itu.

" Utang anakmu saja aku sanggup membayar, apalagi untuk biaya rumah sakit buah hatiku. Anda belum mengenal saya dengan baik, Bu!" cibirku.

Kutatap wajah Bu Yati kembali. Kubuang semua sikap takut dan hormatku padanya.

"Dan aku tak pernah mengemis makan padamu atau anakmu. Karena seharusnya jika seorang laki-laki sudah beristri, istri adalah tanggung jawab utamanya. Jika dia belum atau bahkan tidak mampu akan hal itu, jangan coba-coba untuk menikah. Karena hanya akan mempermalukan dirinya sendiri nantinya. "

Tak kuhiraukan lagi ucapan mereka. Anggap saja angin lalu. Kupercepat langkah kaki menuju ruangan Edo karena aku sudah terlalu lama meninggalkannya.

Kulihat Edo masih tertidur lelap. Bu Sinta pun sudah kembali ke samping brankar cucunya yang terlelap. Kuelus dahi putraku yang berbalut perban. Tanpa kusadari, airmata mulai mengalir ke pipiku. Dadaku menjadi sesak memikirkan keadaannya.

"Maafkan, Ibu, Nak! Maaf belum bisa menjadi ibu yang baik untukmu." lirihku.

Aku sudah bertekad untuk kembali ke kota. Mencari kerja sembari menjaga Edo itu pilihan utamanya. Tentang pernikahanku, mungkin lebih baik kuakhiri saja.

Bukan sekali dua kali Mas Asep berbuat sesuka hatinya. Sering kali setiap selesai jual rosok, Mas Asep tidak mau kerja. Hanya memancing saja seharian. Kalau tidak ada order, dia hanya mencari rosok sesuka hatinya.

Ekonomi keluarga kami sebetulnya bisa dikatakan mencukupi seandainya kami bisa mengatur uang dengan baik. Akan tetapi, kalau ibuku dan ibu Mas Asep sudah menodong, lagi-lagi tabungan kami akan terkuras.

Jika ibuku memperbaiki dapur, ibu Mas Asep juga meminta uang untuk memperbarui dapur. Jika ibuku ingin membuat pagar, ibu mertua pun menjadi ikut-ikutan.

"Inget! Saya ibunya Asep. Tanpa izin saya, kamu tak bisa menikah dengannya. Sudah sepantasnya kalau kamu juga ikut memikul tanggung jawabnya untuk menghidupi saya. Juga adik-adiknya. Seharusnya dahulukan dulu saya, bukan ibu kamu. Paham kamu?" ucap Ibu mertua saat aku mulai protes dengan segala permintaan ibunya Mas Asep itu.

Tentu saja protesku kuutarakan pada Mas Asep. Tetapi entah apa yang ada dipikiran suamiku itu hingga menceritakan ini semua pada ibunya. Ujung-ujungnya, aku lagi yang terkena ceramah ibunya. Kalau hidup seperti ini, bagaimana uang kami dapat terkumpul???

Ehm... Ehm...

Bayiku mulai bergerak lembut. Bibirnya mulai mencebik. Segera kuangkat perlahan untuk kususui. Untung saja gorden dari tadi memang sudah kututup.

Bayiku mulai menyesap sumber hidupnya dengan kencang. Sedikit nyeri, tapi ini sebagai bukti kalau putraku sudah semakin membaik.

"Edo haus ya? Pelan-pelan saja, sayang!" kuelus lembut pipi anakku yang sudah mulai tirus.

Memang sebelum kubawa ke rumah sakit, Edo sudah sering batuk akhir-akhir ini. Mas Asep selalu bilang buat beli obat di warung dulu. Tapi dosisnya dikurangi. Aku tak pernah menuruti kata-katanya itu. Gila saja, bayi 2 bulan mau diberi obat warung?

Namun karena kemarin sampai sesak nafas, aku pun segera melarikannya ke puskesmas dulu baru merujuk ke rumah sakit. Untunglah kata dokter masih bisa diatasi. Kalau tidak, bukankah aku akan menyesal seumur hidup?

"Ma,,," suara Bu Sinta terdengar dari balik gorden. Kusibak gorden perlahan. Edo yang sudah kembali terlelap, segera kutidurkan diatas brankarnya.

Bu Sinta duduk disampingku. Membelai lembut jariku seperti seorang ibu yang memberi kekuatan pada anaknya.

" Bagaimana tadi malam? Maaf ya saat kamu datang, Edo sudah bertambah sakit." ucap Bu Sinta penuh penyesalan.

Padahal aku tak pernah ada keinginan sedikitpun untuk menyalahkan beliau. Justru aku sangat berterima kasih kepadanya karena saat aku berkubang dosa, bu Sinta sudah mau menjaga anakku.

" Mereka saja yang gila, Bu. Saya sudah tak memikirkan hal itu. Yang terpenting bagi saya sekarang, hanya kesehatan Edo. Untuk Bapaknya, mungkin berpisah adalah pilihan terbaik bagi kami." terangku.

Aku sudah lelah dengan segala sikap mengalah selama ini hingga anakku pun menjadi korban. Aku hanya ingin waras. Mungkin dengan terlepas dari Mas Asep dan keluarganya sekaligus ibuku, aku dapat bernafas dengan lega. Setidaknya, sampai aku benar-benar mampu memberikan kebahagiaan untuk Edo.

"Apakah Edo tidak akan menanyakan kasih sayang bapaknya? Jangan egois, Ma! Pikirkan semuanya dengan tenang. Lepaskan semua amarahmu dahulu, baru kamu membuat keputusan." nasehat bu Sinta merasuk hatiku.

Namun, benarkah jika aku mempertahankan pernikahan ini Edo akan bahagia?

Apakah Mas Asep benar-benar bisa memberikan kasih sayangnya padahal selama 2 bulan ini pun, Mas Asep tak pernah mau menyentuh Edo?

Kuhembuskan nafas perlahan. Kenangan pahit selama 2 bulan kelahiran Edo terbayang kembali di mataku. Selain bekerja, Mas Asep hanya akan bermain dengan teman-temannya. Katanya menjaga anak itu membosankan.

"Mas, tolong jaga Edo sebentar ya? Aku mau mencuci baju." ucapku saat kulihat Mas Asep hanya main hp.

"Ck... Anakmu itu menyusahkan. Aku itu sudah lelah bekerja. Kalau libur itu pengennya istirahat. Bukan momong anak. Jaga sendiri!" ucap Mas Asep setiap aku minta tolong menjaga Edo.

Selalu alasan, alasan dan alasan. Tetapi kalau teman-temannya datang, dia mampu bergadang sampai dini hari. Inginku marah, tapi sama sekali tak akan menyelesaikan masalah.

Akhirnya aku hanya bisa bersabar dengan menaruh Edo di kasur kecil yang kubawa disamping kamar mandi. Sedangkan aku, melanjutkan pekerjaan yang ada.

Dan kini, apakah aku masih harus berpikir ulang mengenai kelanjutan pernikahanku sedangkan orang yang dipertahankan saja lalai akan tanggung jawabnya?

"Kelihatannya, saya sudah yakin berpisah, Bu! Mungkin ini juga yang terbaik bagi saya dan juga Edo. Siapa tahu nanti saya dan Edo akan mendapatkan pengganti yang lebih baik." pungkasku.

"Tak akan pernah kita bercerai, perempuan murahan!!!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Iftiati Maisyaroh
ternyataaaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   Kacau

    Pov Rahma "Tak akan pernah kita bercerai, perempuan murahan!!!" Suara dari pintu membuatku terkejut. Ternyata Mas Asep mendengar apa yang aku bicarakan dengan Bu Sinta. "Kenapa? Bukankah selama ini kamu juga sudah tak peduli lagi sama kami?" ucapku dengan tegas. Anak baru ke rumah sakit sekali saja, aku harus jual diri untuk biayanya. Apalagi nanti jika Edo sudah sekolah. "Kalau aku tak peduli sama kalian, sudah kubuang kalian semua ke jalan. Ini masih aku biayain ke rumah sakit. Masih kuberi makan. Apalagi yang kurang?" elak Mas Asep. Sepertinya dia sudah lupa dengan 2 hari kemarin. "Kapan terakhir kali kami diberi makan oleh Mas?" tanyaku yang membuatnya gelagapan. "Halah, baru juga 2 hari. Ngga bakalan mati juga. Lagi pula kalau kamu mau cerai, mau dapat uang dari mana? Sekarang saja kamu ngga kerja. Sok-sokan mau minta cerai." ejek Mas Asep dengan begitu congkaknya. "Oke aku ngga bakalan mati karena hanya tidak makan 2 hari. Lalu bagaimana dengan biaya pindah kamar E

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-14
  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   bab 5

    Mau tak mau kubuka jendela disamping brangkar Edo. Untung saja keadaan sudah sepi. Jadi tidak ada yang curiga. Semoga saja! Malam sudah menyusul pagi. Tetapi sedari tadi, laki-laki yang memaksaku melayaninya itu tak kunjung datang. Apakah tidak jadi? Kalau tidak, aku justru akan sangat bersyukur. Ponselku kini berdering. Nama pemesan layanan tertera di sana. Aku pun dengan ogah-ogahan mengangkatnya. Pikiranku masih ke anak kok dipaksa berbuat dosa. Yang benar saja! "Hallo..." sapaku. Terdengar suara aneh dari seberang sana. Oh, rupanya dia mau pamer karena servis perempuan lain! Kubiarkan saja panggilan itu tetap menyala. Toh dia yang kehilangan pulsa, bukan aku. Selama hampir 20 menit mereka masih terus pamer kemesraan tanpa berupaya untuk mematikan panggilan. Kuanggap saja itu semua sebagai musik klasik di pagi buta. "Bagaimana? Apakah masih ada niat untuk gatel sama suamiku?" ucap perempuan di seberang sana yang membuatku sedikit terkejut. "Oh, baguslah! Setidaknya, a

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-15
  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   bab 6

    Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Keluargaku sendiri menolakku. Asep tidak mungkin mau lagi membiayai Edo. Aku harus apa, Tuhan? Suara ponsel kembali berdering. Tertera nama Mimi di sana. Kenapa hanya dia yang ada saat aku susah? "Hallo, Mi?" sapaku pada sahabatku itu. "Kalau keadaan Edo sudah membaik, lebih baik kamu pulang. Suami laknatmu itu pasti akan tambah menyusahkanmu kalau kamu lama di situ," ucap Mimi. "Keadaan Edo belum baik-baik, Mi. Kemarin dia terbentur sampai gegar otak ringan," "Bagaimana bisa?" tanya Mimi langsung memotong ucapanku. "Ngga sengaja waktu di gendong bapaknya," jelasku singkat. "Emang selain kamunya dari dulu sudah bodoh, kebetulan juga milih suami juga keterlaluan bodohnya. Tetapi bukankah yang membuatmu viral itu juga laki-laki masa lalumu? Nah, komplit itu kebodohanmu!" Mimi terdengar sangat geram. Namun aku tak menyangkalnya sama sekali. Aku memang bodoh. " Uangmu kurang tidak? Tunggu! Bukankah yang membuat Edo seperti itu juga s

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-06
  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   bab 7

    Hari ini hari ketujuh Edo dirawat. Izin untuk pulang pun sudah kukantongi. Namun aku kini menjadi bingung. Mau pulang kemana? Drt... Drt... Drt... "Hallo," Baru saja pulang Mimi sudah langsung menghubungi. Memang temanku yang satu itu ter the best. "Pulang ke rumah aku saja. Emakmu masih emosi. Kasihan Edo nanti kalau sampai menjadi pelampiasan,"ucap Mimi. " Kamu sudah bertemu emak?"tanyaku. Rumah Mimi dan emak sebenarnya jauh. Hanya saja terkadang mereka sering bertemu di tempat belanja. " Sudah. Dia ngoceh ngga karuan! Yang kamu anak tak tau berterima kasih sudah punya suami tidak pernah memberi uang. Yang bilang kamu sudah mencoreng nama baiknya. Yang bilang kamu sudah egois melupakan keluarga. Banyaklah!" jawab Mimi yang membuatku mengelus dada. " Kamu ngga bilang kalau aku tidak pernah pegang uang?" tanyaku. " Lah si Oon! Sudah sampai berbusa mulutku berbicara. Tapi kamu tau apa jawaban emak saat ku beri tahu soal kamu ngga diberi nafkah, "halah, Rahma itu memang

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-07
  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   bab 8

    Aku termenung di ruangan kos tiga kali tiga meter ini. Kenapa hidupku jadi seperti ini? Lepas kerja, suami gila, anak sakit-sakitan, rasanya kepalaku sudah ingin pecah saat ini. Edo masih tidur dengan nyenyak. Aku bersyukur akan hal itu. Bayi 2 bulan yang baru keluar dari rumah sakit itu ternyata tidak kaget saat kuajak perjalanan jauh empat jam lamanya. "Ma, makan dulu gih," Mimi menawariku dua bungkus nasi kucing. Lumayanlah buat pengisi perut di malam dingin ini. "Sudah terbayang mau kerja apa?" tanya Mimi. Aku hanya mampu menghembuskan napas. Pabrik tempatku bekerja dulu telah mendapatkan penggantiku. Jadi tidak mau, aku harus mencari kerja di tempat lain. "Apa ya, Mi? Nomor para suplayer juga masih di rumah Asep. Kalau mau tanya-tanya, kok agak gimana ya?" keluhku. Kami para staf dulu saling menutup informasi tentang suplayer kepada staf pabrik lain. Ini untuk menjaga harga agar tetap stabil. "Kulakan. Kayak dulu yang dikerjakan Asep. Kamu survei dulu. Nanti kita cari-c

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-08
  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   bab 9

    Mas Rahmat terus menyeretku hingga masuk ke dalam mobilnya. Aku meronta ingin melepaskan diri. Namun tenaga pria ini ternyata sangat kuat hingga aku tak mampu mengimbanginya. Setibanya di sebuah hotel, mas Rahmat kembali menyeretku masuk ke dalam kamar. Sungguh mas Rahmat yang sekarang sangat berbeda dengan pria cupu yang telah membuatku jatuh cinta. "Maaassss, lep-pas!" Aku terus mencoba meronta. Namun mas Rahmat lebih gila lagi mengukungku. "Mas, sadar! Ini salah," ucapku dengan suara bergetar. Aku hanya takut kalau apa yang mas Rahmat lakukan nanti akan menghasilkan bayi. Melihatku terus meronta, mas Rahmat malah justru tersenyum. "Kali ini aku akan melakukannya sampai menghasilkan jabang bayi." ucapnya tanpa ragu. Mas Rahmat mulai menggila dengan memperlakukan aku sesuka hati. "Mas, jangan! Kamu punya istri, Mas. Buatlah dengan istrimu. Aku masih mempunyai Edo yang butuh perhatian penuh." Kali ini mas Rahmat mulai melembut. Tetapi tetap tidak melepaskan aku. Bahkan ci

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-09
  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   IUD di Rahim Agnes

    "KALIAN GILA!!!" Suara pintu yang dibuka paksa membuat perhatian kami berdua tertuju pada seorang perempuan dan beberapa orang yang memaksa masuk ruangan ini. Aku terburu-buru menutup tubuhku dengan selimut. Namun tidak dengan mas Rahmat. Dia tampak santai berganti pakaian dengan disaksikan banyak orang. "Kenapa kalian sampai berbuat seperti ini? Kalau kamu sudah tidak mau dengan aku, kamu bisa langsung menceraikan aku tanpa harus ada adegan seperti ini, Mas!" Agnes menangis dengan penuh drama. Dari mana aku tahu itu? Tentu saja dari senyum sinis yang dia tujukan hanya padaku. " Tentu saja! Andai kamu mau aku ceraikan sedari dulu, aku tak perlu harus kucing-kucingan seperti ini," ucap mas Rahmat sembari mengulurkan pakaian dan menuntunku ke kamar mandi. Agnes terlihat berlari dan hampir saja menjambak rambutku seandainya tidak dilindungi oleh mas Rahmat. " Jangan bertindak seolah-olah kamu adalah korban disini, Nes! Sedari dulu kamu paham kalau aku hanya mencintai Rahma.

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-10
  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   Kenapa Harus Hamil Jika Selingkuhan Bisa Memberikan Anak

    "Aku akan membiarkan kalian berselingkuh. Tetapi setelah Rahma hamil dan melahirkan, Rahma harus pergi dan menyerahkan bayi itu padaku,"ucap Agnes dengan angkuhnya. " Kenapa bukan kamu saja yang hamil? Males sakit? Atau takut ngga seksi lagi?"tanya mas Rahmat. Aku hanya diam bersedekap tangan. Drama yang menarik. Aku kepo apa balasan Agnes sekarang. " Kenapa aku harus repot-repot hamil jika selingkuhanmu saja bisa memenuhinya?" balas Agnes kembali. Gila! Patut diacungi jempol keberaniannya. "Lalu apa gunamu sebagai istri? Hanya foya-foya? Atau bermain dengan laki-laki lain mungkin," balasku. Namun sebuah tamparan yang hinggap di pipiku membuatku terkejut. Ternyata budhe menamparku. Siapa budhe ini sebenarnya? Kenapa dia begitu lancang menamparku? " Dasar perempuan murahan! Kamu yang murahan jangan pernah menuduh perempuan lain juga murahan. Sadarlah akan derajatmu yang tak lebih baik dari sampah," sarkas budhe. Mas Rahmat membelai lembut pipiku yang ditampar bud

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-11

Bab terbaru

  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   Tuduhan Orang

    "Kenapa kalian dulu berpisah?" Aku dan Mimi menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di sekitar rumah sore ini karena sedari tadi aku sudah merasa tidak nyaman di punggung belakangku. "Karena ada masalah," jawabku singkat. Ya kali aku mau bilang kalau kami berpisah karena kepercayaan kuno? Kan tidak masuk akal! "Masalah apa? Aku lihat Rahmat sangat mencintaimu. Jadi pasti bukan dia yang buat masalah kan?" cerca Mimi lagi. Aku hanya menghembuskan napas lelah. Aku tak mau membongkar hal tak penting di masa lalu. Tetapi kenapa, Mimi malah mengoreknya sedari tadi. "Itu semua hanya masa lalu, Mi! Yang mungkin juga akan menjadi masalah suatu saat nanti juga karena kini semua orang menjadi tau, bahwa kami kembali bersama," Aku terdiam. Namun tidak dengan kakiku. Rasa panas di punggung sedari tadi membuatku semakin yakin kalau buah hatiku semakin tidak sabar untuk keluar dari dalam perut. " Balik yuk! Ngeri aku mendengarmu merasakan kesakitan. Apa operasi aja yuk! Jangan khawatir. Nant

  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   Memanfaatkan Keadaan

    "Ngapain kamu disini?" Pagi-pagi buta Mimi sudah terlihat di depan rumahku. Kurang kerjaan sekali sebenarnya. Mentang-mentang sekarang sudah tak kerja malam, jam segini sudah berkeliaran di rumah orang. "Mau jaga kamu. Siapa tau mau lahiran kan?" ucapnya santai. Mimi segera masuk ke dalam kamar yang biasa ia gunakan saat menginap disini. "Edo mana?" tanyanya langsung saat boneka hidupnya tak terlihat. Aku hanya menggeleng melihat sahabatku tak tau diri itu. "Ini masih jam lima. Edo juga masih terlelaplah." Tak kuhiraukan lagi keberadaannya. Aku harus segera beberes mumpung Edo belum terbangun. "Ngga usah masak! Aku dah pesan gulai dari waring depan gang. Lebih baik sekarang, kamu prepare apa yang akan kamu bawa kalau sampai melahirkan." Mimi beralih menuju lemari perlengkapan bayiku. Sedangkan aku, aku malah memilih berdiam diri sembari melihat betapa repotnya sahabatku itu. " Perlengkapan mandi dibawa tidak?" tanya Mimi padaku. Aku hanya menggeleng sebagai jawaba

  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   Semoga berbahagia, Mimi

    "Do'amu terkabul. Aku akan menikah dengan seorang mafia." ucap Mimi dengan santainya. Aku sontak tertawa mendengar gurauan Mimi yang tidak tau aturan. Mana ada mafia di zaman sekarang. "Kalau bercanda yang masuk akal sedikit. Mana ada mafia di negara kita," balasku seraya terkekeh. Ada-ada saja!!! Namun tatapan mata tajam Mimi membuatku merasa kalau dia sedang tidak bercanda. "Mi,,," ucapku seraya membalas tatapan tajam matanya. Mimi hanya menjawab dengan mengangguk sebagai jawabannya. Namun... "Hwa...bagaimana ini, Ma! Kenapa ada manusia seperti dia yang mau menerima sampah seperti aku." Teriakan Mimi yang melengking membuat Edo yang sedang bermain pun menjadi ikut terkejut dan menangis. Lekas saja kegeplak punggungnya gemas karena teriakan dia, membuat Edo terkejut dan menangis. " Cup cup cup, sayang! Tante ngga marah kok. Cup cup cup ya." Aku mencoba mengangkat Edo dan menimangnya agar bisa diam. " Jangan teriak bisa ngga sih. Kalau anakku sudah menangis kaya

  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   Rencana Pernikahan

    "Mau kemana kamu?" Aku sebenarnya sudah sangat kesal dengan kehadiran mas Rahmat disini. Tak tau kah dia kenapa aku lebih memilih rumah yang tiada tetangga seperti ini untuk dikontrak? Tentu saja untuk menghindari ucapan pedas dari orang-orang yang mengenalku sebagai orang ketiga diantara pernikahan Rahmat dan Agnes. Namun sepertinya, mas Rahmat tidak pernah peduli tentang hal itu. "Mau apalagi sih kamu kemari, Mas? Aku sudah lelah menjadi pergunjingan warga karena kehadiran kamu yang terus-menerus membuat aku selalu saja disindir yang ngga-ngga," seruku yang mulai lelah dengan sikap mas Rahmat yang bebal. Apalagi Agnes pun pernah datang ke rumah ini hanya untuk mencaci makiku. Sungguh! Kesalahan pertama yang berdampak selamanya kalau sudah seperti ini. " Apanya lagi yang mesti dipermasalahkan sih? Aku duda, kamu janda. Lalu apa salahnya?" ucap mas Rahmat tanpa merasa bersalah. Ingin rasanya kuremas mulut mas Rahmat yang terlalu santai dengan keadaan. Sama sekali dia tak per

  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   Rencana oh Rencana

    Pov Rahma "Kita buat acara tujuh bulanan yang bagaimana ya sebaiknya?" ucap Rahmat dengan senyum melebar mengungkapkan betapa bahagianya dia dengan kehamilanku ini."Huft... Apa kamu ngga malu dengan kehamilanku ini? Setidaknya, jika kamu ngga malu, pikirkan bagaimana perasaanku," ucapku sembari menimang Edo yang terlihat sudah sangat ngantuk sekali. "Kenapa harus malu? Tak ada yang memalukan dengan anak kita," kekeh Rahmat yang membuatku menggeram kesal. "Anak ini ada di luar pernikahan. Nasabnya jatuh padaku, ibunya. Semua orang bahkan tau bahwa aku adalah orang ketiga diantara hubunganmu dengan Agnes dulunya. Apa kamu sadar beban apa yang akan ditanggung anakmu?" tanyaku berapi-api. Bukan aku tak menerimanya. Aku hanya menyesalkan kehadirannya yang diluar pernikahan. Itu akan menjadi ujian yang berat kala ia dewasa nanti. "Aku hanya akan berdoa kepada Tuhan saja semoga aku dan dia baik-baik saja, diberi kelancaran sampai melahirkannya nanti, dia lahir dengan sempurna tanpa

  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   bab 26

    " Dia akan menjadi princess yang cantik dan penuh percaya diri karena ayahnya akan selalu menjadi garda terdepan untuk selalu melindunginya," ucap Rahmat sembari bernapas lega, perempuan yang selama ini dicarinya kini telah ketemu. Apalagi saat melihat perut Rahma yang membuncit, semakin yakin pula bahwa mimpinya bukan sekedar bunga tidur. Rahma dan Mimi tak bisa menyembunyikan raut wajah terkejut. Darimana laki-laki ini bisa menemukan lokasi tempat tinggal Rahma? "Aku sudah membuntuti Mimi berulang kali. Namun baru kali ini tujuan kepergiannya sama seperti tujuanku." Rahmat mendekati Rahma dan mencoba mengelus perutnya. Sebuah sambutan luar biasa karena anak di dalam perutnya juga bergerak seakan mengetahui jika yang menyentuhnya adalah ayahnya. " Selamat sore, anak ayah! Sehat kamu, Nak,"ucap Rahmat yang dibalas sundulan dari janin yang ada didalam perut Rahma. Rahmat tentu saja sangat bahagia pertanyaannya mendapatkan sambutan. Rahma yang tersadar akan kelakuan Rahmat seg

  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   Harta yang tak bisa dituntut

    "Apa ini? Bagaimana bisa?" Agnes dan keluarga besarnya sangat terkejut karena tuntutan harta gono-gini tentang sawah, tanah dan ruko yang setau mereka dimiliki Rahmat selama masa pernikahan dengan Agnes ternyata tidak bisa dijadikan bahan tuntutan. Apalagi, fakta yang baru terungkap ternyata Rahmat memiliki semua itu sebelum laki-laki yang akan menjadi mantan suami Agnes itu membelinya sebelum lamaran resmi terjadi. "Bagaimana bisa?" teriak bu Tini karena syok cucunya tak memiliki hak apapun akan harta suaminya. "Bukankah di surat itu sudah tertera jelas kapan aku membelinya? Bahkan jauh sebelum kami menikah, aku sudah memiliki aset-aset tersebut," jawab Rahmat tenang. "Lalu kenapa setelah kalian menikah, pak Haji masih mengelola itu semua? Kenapa bukan kamu sendiri yang mengelola," tanya Ratno yang juga tak kalah terkejut. Andai bakal tau seperti ini, dia akan lebih hati-hati untuk menutupi aib keponakannya. Ini sudah dicerai, tak ada harta lagi. Mau hidup pakai apa Agnes

  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   Menuntut Harta Gono-gini

    Keadaan keluarga pak Samsul menjadi tegang. Keadaan sang kepala keluarga menjadi pemicu utamanya. Pak Samsul yang telah dipindah ke dalam ruang rawat biasa namun sedari tadi belum juga membuka mata. "Kenapa kamu jadi semurahan itu, Nes! Ibu bukan hanya kecewa denganmu, tapi ibu juga sangat malu sama Rahmat. Kamu yang meminta untuk jadi istrinya, tetapi kamu juga yang sudah berkhianat darinya. Apa yang kamu inginkan sebenarnya, Nes?" Bu Ana berkata dengan lirih namun sanggup menembus relung hati Agnes. " Bu," Airmata Agnes sudah mengalir dengan deras. Ada penyesalan besar yang bersarang di hatinya. Namun mau bagaimana pun, keadaan tak akan kembali seperti sedia kala. " Ibu sudah melarangmu, tapi kamu yang tetap kekeh dengan pendirianmu. Ibu berusaha menerima Rahmat dengan segala kekurangannya demi kebahagian anak ibu satu-satunya. Namun apa yang ibu unduh, ternyata tak sepadan dengan apa yang ibu" korbankan. Setelah ini, apa lagi yang akan kamu berikan kepada kami, Nes?" tambah bu A

  • Menjadi Yang Kedua Demi Buah Hati   Rahasia Apa?

    "Oohhhh... Jadi kamu lebih memilih perempuan yang bisa menjadi mantan dari pada saudara sendiri yang suatu saat bisa membantu?" teriak bu Tini seketika menghentikan langkah pak Samsul. "Apakah kurang aku dalam membela keluargaku buk? Apakah kurang pula bantuanku selama ini, buk? Ibu bahkan lebih mengedepankan kebutuhan Ratno daripada aku hingga aku harus berjuang habis-habisan hingga mempunyai segala hal saat ini. Bahkan saat ibu meminta sertifikat dengan alasan tak masuk akal pun, aku tetap memilih ibuk. Karena apa?" Pak Samsul sengaja menjeda ucapannya. Dan itu membuat perhatian semua orang tertuju kepada lelaki paruh baya itu. " Karena aku ingin ibu lebih menghargai Ana sebagai menantu ibu. Ana yang menemani aku berjuang untuk mendapatkan sertifikat itu. Tetapi kenapa dengan lancangnya, ibu memberikan sertifikat itu kepada Ratno. Tak selamanya saudara harus terus membantu tanpa imbal balik, bu! Apalagi sampai membuat anak ibu bertengkar dengan istrinya," sambung pak Samsul kemba

DMCA.com Protection Status