"Kenapa kalian dulu berpisah?" Aku dan Mimi menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di sekitar rumah sore ini karena sedari tadi aku sudah merasa tidak nyaman di punggung belakangku. "Karena ada masalah," jawabku singkat. Ya kali aku mau bilang kalau kami berpisah karena kepercayaan kuno? Kan tidak masuk akal! "Masalah apa? Aku lihat Rahmat sangat mencintaimu. Jadi pasti bukan dia yang buat masalah kan?" cerca Mimi lagi. Aku hanya menghembuskan napas lelah. Aku tak mau membongkar hal tak penting di masa lalu. Tetapi kenapa, Mimi malah mengoreknya sedari tadi. "Itu semua hanya masa lalu, Mi! Yang mungkin juga akan menjadi masalah suatu saat nanti juga karena kini semua orang menjadi tau, bahwa kami kembali bersama," Aku terdiam. Namun tidak dengan kakiku. Rasa panas di punggung sedari tadi membuatku semakin yakin kalau buah hatiku semakin tidak sabar untuk keluar dari dalam perut. " Balik yuk! Ngeri aku mendengarmu merasakan kesakitan. Apa operasi aja yuk! Jangan khawatir. Nant
Mata yang berderai tak henti mengalirkan airmata menjadi hiasan di wajah Rahma. Putranya yang baru berusia 2 bulan diharuskan dirawat di rumah sakit karena terpapar asap yang parah. Hidup di pinggir sawah yang setiap panen selalu membakar jerami menjadi pokok masalah kesakitan dari Edo. Putra pertama Rahma. "Nangis! Nangis! Bisamu dari dulu hanya nangis! Apa kalau sudah nangis, Edo bisa sehat kembali? Seharusnya otakmu itu dipakai buat mikir, uang dari mana kita kalau Edo dirawat seperti ini. Sok-sok an bawa anak ke rumah sakit. Dipikir duit tinggal metik di pohon! "cerocos Yati ibu mertua Rahma. Selama hampir 1 tahun ini, sikap bu Yati memang ketus kepada Rahma. Saat Rahma bekerja dulu, sikap bu Yati sangat baik terhadapnya. Namun semenjak Rahma menyusul suaminya ke desa dan tidak bekerja, hanya sikap ketus yang dia tunjukkan padanya. Rahma pun terpaksa menyusul suaminya ke desa karena hampir 3 bulan suaminya pulang ke desa setelah bertengkar dengan mertuanya atau ibu kandung Rahm
Pov Rahma Harga sudah disepakati. Tempat sudah diatur. Edo pun telah aku titipkan pada Bu Sinta, penunggu pasien disamping brankar. Semua telah diatur. Namun kini berganti hatiku yang berdetak tak karuan. Ragu, tapi harus. Takut tapi wajib. Malu tapi tetap harus kulakukan. Biaya perawatan Edo masih kurang. Sedangkan, Asep, sama sekali tak bisa dihubungi. Begitupun dengan saudara yang lain. "Kalau ragu, tak perlu dilakukan, Nak! Percayalah, Tuhan pasti memberi jalan yang terbaik," ujar ibu itu saat melihatku masih ragu untuk melangkah. Padahal waktu perjanjian sudah mendekati. " Apakah yang saya lakukan ini salah, Bu? Saya... Saya takut tidak bisa membawa pulang Edo kalau biayanya masih kurang,"lirihku namun masih bisa didengar ibu itu. Ibu Sinta hanya menghembuskan nafas perlahan, " Kalau kasusnya sepertimu, aku pun tak paham. Semoga saja Tuhan mendispensasi kesalahanmu yang ini." Aku menata nafas sebentar. Setelah berpamitan dengan Bu Sinta, aku berlalu ke tempat seharusnya aku
Pov Rahma "Jika sampai terjadi apa-apa sama Edo, aku akan pastikan, bukan penjara tempat kalian berada. Tetapi neraka paling jahanam!!!" ancamku pada mereka. Dadaku masih kembang kempis karena emosi. Akan tetapi, kedua orang ini sepertinya semakin memancing emosi. Kulihat mereka berdua malah tersenyum sinis. " Bagus kalau terjadi apa-apa. Setidaknya, tak ada lagi bayi menyusahkan di rumah. Kamu pun bisa bekerja kembali dan menghasilkan. Menikah sudah 2 tahun kok tak ada perkembangan apa-apa." cibir Ibu mertuaku. Ya Tuhan... Sekarang justru aku yang tersenyum sinis. Rupanya selama ini mereka tak tahu siapa orang yang telah bersusah payah memeras otak, tenaga serta harta demi memenuhi keinginan mereka. " Memang genteng yang baru dipasang itu pakai uang siapa? Memang waktu Mardi di rumah sakit itu pakai duit siapa? Memang waktu wisuda Astri itu pakai duit siapa? UANG AKU!!!" ucapku lantang. "Jangan bohong kamu!" ucap lirih Bu Yati yang sepertinya sudah ketakutan. "Bahkan untuk ge
Pov Rahma "Tak akan pernah kita bercerai, perempuan murahan!!!" Suara dari pintu membuatku terkejut. Ternyata Mas Asep mendengar apa yang aku bicarakan dengan Bu Sinta. "Kenapa? Bukankah selama ini kamu juga sudah tak peduli lagi sama kami?" ucapku dengan tegas. Anak baru ke rumah sakit sekali saja, aku harus jual diri untuk biayanya. Apalagi nanti jika Edo sudah sekolah. "Kalau aku tak peduli sama kalian, sudah kubuang kalian semua ke jalan. Ini masih aku biayain ke rumah sakit. Masih kuberi makan. Apalagi yang kurang?" elak Mas Asep. Sepertinya dia sudah lupa dengan 2 hari kemarin. "Kapan terakhir kali kami diberi makan oleh Mas?" tanyaku yang membuatnya gelagapan. "Halah, baru juga 2 hari. Ngga bakalan mati juga. Lagi pula kalau kamu mau cerai, mau dapat uang dari mana? Sekarang saja kamu ngga kerja. Sok-sokan mau minta cerai." ejek Mas Asep dengan begitu congkaknya. "Oke aku ngga bakalan mati karena hanya tidak makan 2 hari. Lalu bagaimana dengan biaya pindah kamar E
Mau tak mau kubuka jendela disamping brangkar Edo. Untung saja keadaan sudah sepi. Jadi tidak ada yang curiga. Semoga saja! Malam sudah menyusul pagi. Tetapi sedari tadi, laki-laki yang memaksaku melayaninya itu tak kunjung datang. Apakah tidak jadi? Kalau tidak, aku justru akan sangat bersyukur. Ponselku kini berdering. Nama pemesan layanan tertera di sana. Aku pun dengan ogah-ogahan mengangkatnya. Pikiranku masih ke anak kok dipaksa berbuat dosa. Yang benar saja! "Hallo..." sapaku. Terdengar suara aneh dari seberang sana. Oh, rupanya dia mau pamer karena servis perempuan lain! Kubiarkan saja panggilan itu tetap menyala. Toh dia yang kehilangan pulsa, bukan aku. Selama hampir 20 menit mereka masih terus pamer kemesraan tanpa berupaya untuk mematikan panggilan. Kuanggap saja itu semua sebagai musik klasik di pagi buta. "Bagaimana? Apakah masih ada niat untuk gatel sama suamiku?" ucap perempuan di seberang sana yang membuatku sedikit terkejut. "Oh, baguslah! Setidaknya, a
Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Keluargaku sendiri menolakku. Asep tidak mungkin mau lagi membiayai Edo. Aku harus apa, Tuhan? Suara ponsel kembali berdering. Tertera nama Mimi di sana. Kenapa hanya dia yang ada saat aku susah? "Hallo, Mi?" sapaku pada sahabatku itu. "Kalau keadaan Edo sudah membaik, lebih baik kamu pulang. Suami laknatmu itu pasti akan tambah menyusahkanmu kalau kamu lama di situ," ucap Mimi. "Keadaan Edo belum baik-baik, Mi. Kemarin dia terbentur sampai gegar otak ringan," "Bagaimana bisa?" tanya Mimi langsung memotong ucapanku. "Ngga sengaja waktu di gendong bapaknya," jelasku singkat. "Emang selain kamunya dari dulu sudah bodoh, kebetulan juga milih suami juga keterlaluan bodohnya. Tetapi bukankah yang membuatmu viral itu juga laki-laki masa lalumu? Nah, komplit itu kebodohanmu!" Mimi terdengar sangat geram. Namun aku tak menyangkalnya sama sekali. Aku memang bodoh. " Uangmu kurang tidak? Tunggu! Bukankah yang membuat Edo seperti itu juga s
Hari ini hari ketujuh Edo dirawat. Izin untuk pulang pun sudah kukantongi. Namun aku kini menjadi bingung. Mau pulang kemana? Drt... Drt... Drt... "Hallo," Baru saja pulang Mimi sudah langsung menghubungi. Memang temanku yang satu itu ter the best. "Pulang ke rumah aku saja. Emakmu masih emosi. Kasihan Edo nanti kalau sampai menjadi pelampiasan,"ucap Mimi. " Kamu sudah bertemu emak?"tanyaku. Rumah Mimi dan emak sebenarnya jauh. Hanya saja terkadang mereka sering bertemu di tempat belanja. " Sudah. Dia ngoceh ngga karuan! Yang kamu anak tak tau berterima kasih sudah punya suami tidak pernah memberi uang. Yang bilang kamu sudah mencoreng nama baiknya. Yang bilang kamu sudah egois melupakan keluarga. Banyaklah!" jawab Mimi yang membuatku mengelus dada. " Kamu ngga bilang kalau aku tidak pernah pegang uang?" tanyaku. " Lah si Oon! Sudah sampai berbusa mulutku berbicara. Tapi kamu tau apa jawaban emak saat ku beri tahu soal kamu ngga diberi nafkah, "halah, Rahma itu memang
"Kenapa kalian dulu berpisah?" Aku dan Mimi menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di sekitar rumah sore ini karena sedari tadi aku sudah merasa tidak nyaman di punggung belakangku. "Karena ada masalah," jawabku singkat. Ya kali aku mau bilang kalau kami berpisah karena kepercayaan kuno? Kan tidak masuk akal! "Masalah apa? Aku lihat Rahmat sangat mencintaimu. Jadi pasti bukan dia yang buat masalah kan?" cerca Mimi lagi. Aku hanya menghembuskan napas lelah. Aku tak mau membongkar hal tak penting di masa lalu. Tetapi kenapa, Mimi malah mengoreknya sedari tadi. "Itu semua hanya masa lalu, Mi! Yang mungkin juga akan menjadi masalah suatu saat nanti juga karena kini semua orang menjadi tau, bahwa kami kembali bersama," Aku terdiam. Namun tidak dengan kakiku. Rasa panas di punggung sedari tadi membuatku semakin yakin kalau buah hatiku semakin tidak sabar untuk keluar dari dalam perut. " Balik yuk! Ngeri aku mendengarmu merasakan kesakitan. Apa operasi aja yuk! Jangan khawatir. Nant
"Ngapain kamu disini?" Pagi-pagi buta Mimi sudah terlihat di depan rumahku. Kurang kerjaan sekali sebenarnya. Mentang-mentang sekarang sudah tak kerja malam, jam segini sudah berkeliaran di rumah orang. "Mau jaga kamu. Siapa tau mau lahiran kan?" ucapnya santai. Mimi segera masuk ke dalam kamar yang biasa ia gunakan saat menginap disini. "Edo mana?" tanyanya langsung saat boneka hidupnya tak terlihat. Aku hanya menggeleng melihat sahabatku tak tau diri itu. "Ini masih jam lima. Edo juga masih terlelaplah." Tak kuhiraukan lagi keberadaannya. Aku harus segera beberes mumpung Edo belum terbangun. "Ngga usah masak! Aku dah pesan gulai dari waring depan gang. Lebih baik sekarang, kamu prepare apa yang akan kamu bawa kalau sampai melahirkan." Mimi beralih menuju lemari perlengkapan bayiku. Sedangkan aku, aku malah memilih berdiam diri sembari melihat betapa repotnya sahabatku itu. " Perlengkapan mandi dibawa tidak?" tanya Mimi padaku. Aku hanya menggeleng sebagai jawaba
"Do'amu terkabul. Aku akan menikah dengan seorang mafia." ucap Mimi dengan santainya. Aku sontak tertawa mendengar gurauan Mimi yang tidak tau aturan. Mana ada mafia di zaman sekarang. "Kalau bercanda yang masuk akal sedikit. Mana ada mafia di negara kita," balasku seraya terkekeh. Ada-ada saja!!! Namun tatapan mata tajam Mimi membuatku merasa kalau dia sedang tidak bercanda. "Mi,,," ucapku seraya membalas tatapan tajam matanya. Mimi hanya menjawab dengan mengangguk sebagai jawabannya. Namun... "Hwa...bagaimana ini, Ma! Kenapa ada manusia seperti dia yang mau menerima sampah seperti aku." Teriakan Mimi yang melengking membuat Edo yang sedang bermain pun menjadi ikut terkejut dan menangis. Lekas saja kegeplak punggungnya gemas karena teriakan dia, membuat Edo terkejut dan menangis. " Cup cup cup, sayang! Tante ngga marah kok. Cup cup cup ya." Aku mencoba mengangkat Edo dan menimangnya agar bisa diam. " Jangan teriak bisa ngga sih. Kalau anakku sudah menangis kaya
"Mau kemana kamu?" Aku sebenarnya sudah sangat kesal dengan kehadiran mas Rahmat disini. Tak tau kah dia kenapa aku lebih memilih rumah yang tiada tetangga seperti ini untuk dikontrak? Tentu saja untuk menghindari ucapan pedas dari orang-orang yang mengenalku sebagai orang ketiga diantara pernikahan Rahmat dan Agnes. Namun sepertinya, mas Rahmat tidak pernah peduli tentang hal itu. "Mau apalagi sih kamu kemari, Mas? Aku sudah lelah menjadi pergunjingan warga karena kehadiran kamu yang terus-menerus membuat aku selalu saja disindir yang ngga-ngga," seruku yang mulai lelah dengan sikap mas Rahmat yang bebal. Apalagi Agnes pun pernah datang ke rumah ini hanya untuk mencaci makiku. Sungguh! Kesalahan pertama yang berdampak selamanya kalau sudah seperti ini. " Apanya lagi yang mesti dipermasalahkan sih? Aku duda, kamu janda. Lalu apa salahnya?" ucap mas Rahmat tanpa merasa bersalah. Ingin rasanya kuremas mulut mas Rahmat yang terlalu santai dengan keadaan. Sama sekali dia tak per
Pov Rahma "Kita buat acara tujuh bulanan yang bagaimana ya sebaiknya?" ucap Rahmat dengan senyum melebar mengungkapkan betapa bahagianya dia dengan kehamilanku ini."Huft... Apa kamu ngga malu dengan kehamilanku ini? Setidaknya, jika kamu ngga malu, pikirkan bagaimana perasaanku," ucapku sembari menimang Edo yang terlihat sudah sangat ngantuk sekali. "Kenapa harus malu? Tak ada yang memalukan dengan anak kita," kekeh Rahmat yang membuatku menggeram kesal. "Anak ini ada di luar pernikahan. Nasabnya jatuh padaku, ibunya. Semua orang bahkan tau bahwa aku adalah orang ketiga diantara hubunganmu dengan Agnes dulunya. Apa kamu sadar beban apa yang akan ditanggung anakmu?" tanyaku berapi-api. Bukan aku tak menerimanya. Aku hanya menyesalkan kehadirannya yang diluar pernikahan. Itu akan menjadi ujian yang berat kala ia dewasa nanti. "Aku hanya akan berdoa kepada Tuhan saja semoga aku dan dia baik-baik saja, diberi kelancaran sampai melahirkannya nanti, dia lahir dengan sempurna tanpa
" Dia akan menjadi princess yang cantik dan penuh percaya diri karena ayahnya akan selalu menjadi garda terdepan untuk selalu melindunginya," ucap Rahmat sembari bernapas lega, perempuan yang selama ini dicarinya kini telah ketemu. Apalagi saat melihat perut Rahma yang membuncit, semakin yakin pula bahwa mimpinya bukan sekedar bunga tidur. Rahma dan Mimi tak bisa menyembunyikan raut wajah terkejut. Darimana laki-laki ini bisa menemukan lokasi tempat tinggal Rahma? "Aku sudah membuntuti Mimi berulang kali. Namun baru kali ini tujuan kepergiannya sama seperti tujuanku." Rahmat mendekati Rahma dan mencoba mengelus perutnya. Sebuah sambutan luar biasa karena anak di dalam perutnya juga bergerak seakan mengetahui jika yang menyentuhnya adalah ayahnya. " Selamat sore, anak ayah! Sehat kamu, Nak,"ucap Rahmat yang dibalas sundulan dari janin yang ada didalam perut Rahma. Rahmat tentu saja sangat bahagia pertanyaannya mendapatkan sambutan. Rahma yang tersadar akan kelakuan Rahmat seg
"Apa ini? Bagaimana bisa?" Agnes dan keluarga besarnya sangat terkejut karena tuntutan harta gono-gini tentang sawah, tanah dan ruko yang setau mereka dimiliki Rahmat selama masa pernikahan dengan Agnes ternyata tidak bisa dijadikan bahan tuntutan. Apalagi, fakta yang baru terungkap ternyata Rahmat memiliki semua itu sebelum laki-laki yang akan menjadi mantan suami Agnes itu membelinya sebelum lamaran resmi terjadi. "Bagaimana bisa?" teriak bu Tini karena syok cucunya tak memiliki hak apapun akan harta suaminya. "Bukankah di surat itu sudah tertera jelas kapan aku membelinya? Bahkan jauh sebelum kami menikah, aku sudah memiliki aset-aset tersebut," jawab Rahmat tenang. "Lalu kenapa setelah kalian menikah, pak Haji masih mengelola itu semua? Kenapa bukan kamu sendiri yang mengelola," tanya Ratno yang juga tak kalah terkejut. Andai bakal tau seperti ini, dia akan lebih hati-hati untuk menutupi aib keponakannya. Ini sudah dicerai, tak ada harta lagi. Mau hidup pakai apa Agnes
Keadaan keluarga pak Samsul menjadi tegang. Keadaan sang kepala keluarga menjadi pemicu utamanya. Pak Samsul yang telah dipindah ke dalam ruang rawat biasa namun sedari tadi belum juga membuka mata. "Kenapa kamu jadi semurahan itu, Nes! Ibu bukan hanya kecewa denganmu, tapi ibu juga sangat malu sama Rahmat. Kamu yang meminta untuk jadi istrinya, tetapi kamu juga yang sudah berkhianat darinya. Apa yang kamu inginkan sebenarnya, Nes?" Bu Ana berkata dengan lirih namun sanggup menembus relung hati Agnes. " Bu," Airmata Agnes sudah mengalir dengan deras. Ada penyesalan besar yang bersarang di hatinya. Namun mau bagaimana pun, keadaan tak akan kembali seperti sedia kala. " Ibu sudah melarangmu, tapi kamu yang tetap kekeh dengan pendirianmu. Ibu berusaha menerima Rahmat dengan segala kekurangannya demi kebahagian anak ibu satu-satunya. Namun apa yang ibu unduh, ternyata tak sepadan dengan apa yang ibu" korbankan. Setelah ini, apa lagi yang akan kamu berikan kepada kami, Nes?" tambah bu A
"Oohhhh... Jadi kamu lebih memilih perempuan yang bisa menjadi mantan dari pada saudara sendiri yang suatu saat bisa membantu?" teriak bu Tini seketika menghentikan langkah pak Samsul. "Apakah kurang aku dalam membela keluargaku buk? Apakah kurang pula bantuanku selama ini, buk? Ibu bahkan lebih mengedepankan kebutuhan Ratno daripada aku hingga aku harus berjuang habis-habisan hingga mempunyai segala hal saat ini. Bahkan saat ibu meminta sertifikat dengan alasan tak masuk akal pun, aku tetap memilih ibuk. Karena apa?" Pak Samsul sengaja menjeda ucapannya. Dan itu membuat perhatian semua orang tertuju kepada lelaki paruh baya itu. " Karena aku ingin ibu lebih menghargai Ana sebagai menantu ibu. Ana yang menemani aku berjuang untuk mendapatkan sertifikat itu. Tetapi kenapa dengan lancangnya, ibu memberikan sertifikat itu kepada Ratno. Tak selamanya saudara harus terus membantu tanpa imbal balik, bu! Apalagi sampai membuat anak ibu bertengkar dengan istrinya," sambung pak Samsul kemba