bab 6

Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Keluargaku sendiri menolakku. Asep tidak mungkin mau lagi membiayai Edo. Aku harus apa, Tuhan?

Suara ponsel kembali berdering. Tertera nama Mimi di sana. Kenapa hanya dia yang ada saat aku susah?

"Hallo, Mi?" sapaku pada sahabatku itu.

"Kalau keadaan Edo sudah membaik, lebih baik kamu pulang. Suami laknatmu itu pasti akan tambah menyusahkanmu kalau kamu lama di situ," ucap Mimi.

"Keadaan Edo belum baik-baik, Mi. Kemarin dia terbentur sampai gegar otak ringan,"

"Bagaimana bisa?" tanya Mimi langsung memotong ucapanku.

"Ngga sengaja waktu di gendong bapaknya," jelasku singkat.

"Emang selain kamunya dari dulu sudah bodoh, kebetulan juga milih suami juga keterlaluan bodohnya. Tetapi bukankah yang membuatmu viral itu juga laki-laki masa lalumu? Nah, komplit itu kebodohanmu!" Mimi terdengar sangat geram. Namun aku tak menyangkalnya sama sekali.

Aku memang bodoh.

" Uangmu kurang tidak? Tunggu! Bukankah yang membuat Edo seperti itu juga suamimu? Apa dia tak menyokong barang serupiah pun?" Lagi-lagi tebakan Mimi benar. Laki-laki yang berstatus sebagai ayah dari Edo itu tidak mau menyokong apa pun selain uang pangkal dua juta.

" Aku belum tahu. Ini masih menunggu untuk observasi ulang selama satu minggu. Apakah aku harus jual diri lagi?"ucapku lirih.

"Gob***! Mau kamu masuk penjara? Nanti orang pikir kamu memang benar-benar wanita panggilan. Orang baru sekali saja langsung viral. Kalau mau apa-apa itu dipikir dulu," teriak Mimi.

"Lalu bagaimana dengan biayanya Edo? Uangku sudah menipis, Mi?" resahku. Masih seminggu lagi dan uangku hanya tinggal beberapa. Aku yakin ini semua tidak akan cukup.

"Nanti aku bantu. Aku mau tanya, kamu masih punya nomor suplayer bahan ngga? Pelangganku sedang mencari suplayer HD dengan harga miring. Kamu pandai-pandailah main harga." Ucapan Mimi membuatku terkejut. Bisa-bisanya dia punya pelanggan seorang pabrik'an?

" Seenggaknya duitnya banyak jika yang ada dipikiranmu kenapa aku mau sama orang pabrik'an. Cuma selingkuhan tapi bisa main aman,"paparnya membela diri. Aku hanya mampu cekikikan karenanya.

" Masih ada beberapa yang aku simpan di buku. Nanti deh aku cari. Lalu bagaimana dengan biaya perawatan Edo? Menanti bayaran dari mereka itu tidak bisa serta merta langsung dibayar. Bahkan banyak yang utang dulu," keluhku.

Dari pengalaman mengajarkan semua itu. Banyak diantara customer yang membayar menunggu tenggat waktu. Atau bisa juga menanti bahan itu bagus atau tidak. Kalau tidak, masih harus diganti dulu. Retur dulu menanti diganti. Baru kalau bagus, pembayaran dilakukan. Dan itu tidak bisa dilakukan dengan kondisiku yang sekarang.

"Buat rekening deh! Ribet kalau kamu ngga punya rekening. Titip Edo sama suster dulu kan bisa," tutur Mimi.

Setelah ku pikir-pikir, memang sebaiknya aku punya rekening biar mempermudah segalanya.

"Mau bilang tidak punya uang untuk membayar administrasinya?" tembak Mimi karena aku tak kunjung bersuara.

"Ada kok. Uang kemarin masih ada," bantahku.

"Buruan bikin! Sebentar lagi aku mau pergi." Ucapan Mimi membuatku kembali berpikir. Kepada siapa lagi aku harus menitipkan Edo sedangkan bu Sinta masih terlelap.

"Ibu kenapa?" Seorang suster menghampiriku di saat aku sedang kebingungan.

"Apakah saya bisa menitipkan anak saya sebentar, Sus? Saya mau membuat rekening. Tetapi anak saya tidak ada yang menjaga," pintaku.

"Oh, tidak apa-apa, bu! Kebetulan saya sekarang sudah waktunya pulang. Biar saya yang menjaga adik ganteng ini, ibu saya persilakan ke bank terlebih dahulu."

Plong rasanya dadaku. Disaat aku kesulitan, ternyata ada orang baik yang menolong.

Aku pun tanpa menunggu lama segera pergi. Untung saja aku kemana-mana selalu membawa kartu identitas. Ternyata tepat di samping rumah sakit ini ada sebuah bank pemerintah. Akhirnya aku memilih bank itu saja dari pada pergi terlalu jauh.

Proses pembuatan rekening tidaklah lama. Hanya menunggu beberapa menit, semua proses telah selesai. Aku pun segera menghubungi Mimi kalau aku sudah memiliki rekening.

"Mi, makasih ya! Disaat orang lain menjauh, kamu masih ada di samping aku," ucapku penuh haru. Sahabatku ini meskipun sesat jalannya mencari nafkah, namun hatinya lurus jika untuk membantu temannya yang kesusahan.

"Ngga usah melankolis! Yang penting mulai sekarang belajar jadi orang pinter. Aku sudah meminta temanku untuk menghack berita tentangmu. Lain kali jangan ceroboh. Manut apa kataku," nasehat Mimi padaku. Aku pun refleks nengangguk meski Mimi tidak melihatnya.

" Sudah kutransfer sedikit. Nanti kalau ada uang kutransfer lagi. Tetapi kamu paham kan uang apa dariku itu?" Meskipun sedikit menyentil, namun aku mengerti apa maksud Mimi.

"Apa di keadaanku yang kayak gini masih bisa berpikir tentang halal dan haram, Mi? Aku tak peduli andai uang itu hasil merampok. Yang terpenting, anakku bisa sembuh. Sudah itu saja," tegasku.

"Ya sudah. Waktu perjanjianku sudah dekat. Aku pergi dulu. Bye," pamit Mimi.

Begitu ponsel ditutup, aku pun kembali masuk ke dalam ruangan Edo. Terlihat Edo sudah kembali minum dari dot. Ternyata suster ini sangat perhatian.

"Terima kasih banyak, Suster!" ucapku yang ternyata malah mengagetkannya.

"Ah ibu. Maaf saya terkejut. Apakah sudah selesai?" tanya suster itu lagi.

"Sudah, Suster. Terima kasih," ucapku. Tak aku duga justru sebuah pelukan yang aku dapatkan sebagai jawaban.

"Ibu yang kuat ya! Tidak banyak yang bisa sekuat ibu. Ibu hebat. Biar pun banyak gosip diluar sana yang memojokkan ibu, tetapi saya tahu bagaimana sikap keluarga suami ibu." Suster itu terus memeluk dan mengusap punggungku.

Rasanya aku sangat tenang ternyata ada orang lain yang paham akan penderitaanku. Sejenak kemudian pelukan itu dilepasnya. Kedua tangannya memegang bahuku.

" Jika suatu saat ibu membutuhkan bantuan saya lagi, silahkan hubungi saya. Insya Allah saya akan dengan senang hati membantu ibu." Aku tersenyum menanggapi ucapan suster itu. Hatiku lega karena selain bu Sinta, ada orang lain lagi yang bisa menjaga Edo.

" Saya Lidya," seru suster tersebut sembari mengulurkan tangan.

Aku pun tanpa menunggu lama menerima uluran tangan tersebut sembari memperkenalkan diri,"saya Rahma, Sus."

Setelah kepergian suster Lidya, ponselku kembali berbunyi. Sebuah nomor asing tertera di layarnya.

Malas aku menanggapinya hingga sebuah pesan membuatku terkejut.

"Datang ke hotel kemarin. Aku menunggumu." Sebuah pesan membuatku semakin malas untuk menanggapinya. Datang sekali saja sudah membuat bencana, ini malah dia mengajak bertemu kembali.

'Apa dia pikir aku sudah siap bertemu malaikat maut? YA TIDAKLAH!!! ENAK SAJA!!!'

Kublokir nomornya langsung tanpa basa basi. Biarlah dia blingsatan karena terlanjur candu karena tubuhku. Laki-laki yang tidak bisa menangani istrinya tidak pantas untuk menyandang laki-laki jantan.

' Mau belajar selingkuh kok takut istri. CEMEN!!!'