Malam ini kembali sepi karena Edo sudah tidur. Sedangkan Mimi, dia mengambil pekerjaan sekarang. Aku tidak dapat melarangnya karena diakui atau tidak, aku sudah menjual tubuhku juga bukan. Drt... Drt... Drt... Suara pesan hp terdengar. Hanya kulirik belum berminat untuk membukanya. Tanpa nama? Males. Paling hanya orang iseng. Aku kembali menatap langit yang sangat cerah malam ini. Langit gelap namun masih bertabur cahaya yang meneranginya. Sedangkan aku? Entahlah... "Mbak, ngga kerja?" tanya tetangga kos ku yang aku kenal namanya mbak Marni. "Kerja apa, mbak?" tanya ku balik. Setau aku, aku masih pengangguran. Jadi kalau ditanya tidak bekerja, lalu harus ku jawab kerja apa? "Nyervis suami orang," ucapnya seraya tertawa. Aku sudah tidak baper lagi karena mungkin hati ini sudah terbiasa dihina untuk saat ini. "Dia lagi diservis istrinya, mbak! Atau mbak punya pelanggan yang membutuhkan pelayananku?" balik tanyaku. Terlihat dia gelagapan. "Mana ada aku pelanggan? Aku itu
"Ini surat keterangan cerai. Aktenya akan jadi dua minggu lagi. Rahmawati mulai hari ini kamu bukan istriku lagi. Disaksikan banyak orang disini, aku jatuhkan talak tiga kepadamu." Ucapan Asep membuat Rahma terkejut. Ada apa? Kok? Rahma lebih terkejut lagi saat tahu dirinya sampai di pengadilan ini, ternyata gugatan atas perceraian dirinya sudah selesai. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata dirinya diharuskan membayar uang sepuluh juta sebagai kompensasi atas perselingkuhannya tersebut. Sengaja sebelum berangkat tadi, ia menitipkan Edo ke salah satu teman Mimi. Rasanya kasihan jika bayi tiga bulan itu harus dibawa lagi bepergian. "Bagaimana mungkin saya yang berjuang untuk kesembuhan anak saya justru harus membayar denda karena selingkuh? Anda ini sebenarnya bagaimana sih?" keluh Rahma pada petugas yang ada di sana. "Ya memang sudah aturannya kalau orang yang selingkuh itu diwajibkan membayar denda. Itu sudah ada perundang-undangannya, Mbak. Kalau Anda keberatan, ken
"Apakah sumpah seorang pelac** akan didengar Tuhan? Ayolah, jangan bercanda!" ucap Irwan yang justru terkekeh setelah mendengar sumpah dari Rahma. "Anda meragukan sumpah saya?" Rahma menjeda ucapannya, "waktu yang akan membuktikan segalanya. Dan jika saat itu tiba, baru anda akan menyesal telah memperlakukan saya dan menistakan putra saya seperti ini." Mimi bertepuk tangan bangga akan keberanian sahabatnya yang tiada takut hari ini. Apakah dengan selingkuh dengan suami orang akan membuat lebih berani menghadapi kenyataan? Sepertinya patut dicoba! " Keren! Ini Rahma yang aku tunggu. Yang kuat dan tak mudah diprovokasi," ucap Mimi seraya mengalungkan tangannya ke pundak Rahma. Rahma lalu menepis tangan Mimi, "membuat gerah ternyata berbicara pada pria-pria pribadi wanita. Ayo pergi sebelum kita kena sial lebih besar karena berdekatan dengan mereka!" Mimi tertawa puas setelah mendengar perkataan Rahma. Apalagi sebagian besar orang-orang yang ada disana adalah laki-laki.
Pagi-pagi sekali sudah terdengar gedoran dari luar. Aku yang sedang terlelap menjadi bangun seketika. Suara teriakan bersaut-sautan membuatku bingung. Ada apa mereka menggangguku di pagi buta seperti ini? "Bangun, pe*****! Bangun!" Dok dok dok Mereka mengetuk pintu dengan keras. Edo yang sedang menangis kupeluk dan segera kugendong. Meski takut, kubuka pintu perlahan untuk menghadapi mereka. "Ada apa ibu-ibu? Kenapa pagi-pagi sekali sudah ada di depan kos saya?" tanyaku perlahan agar" ibu-ibu itu tidak semakin emosi. "Pergi kamu dari sini! Jangan merusak lingkungan kami dengan sikap murahanmu! Apalagi kamu sekarang sudah janda bukan?" ujar ibu Dinda, pedagang warung di depan kosku. Aku mengenal betul suaranya. "Memang apa salah saya, bu? Bukankah saya tidak menggoda suami ibu? Bahkan saya tidak pernah keluar rumah selain sama Mimi bukan?" tanya ku meminta belas kasihan mereka. Mau kemana lagi aku kalau sampai diusir sama mereka. Namun aku terkaget saat salah satu dari me
Keadaan kos setelah kepergian Rahma menjadi mencekam karena asap yang seyogyanya hanya untuk mengusir Rahma, kini menjadi api yang membesar bahkan hampir menghanguskan satu kamar yang sebelumnya ditempati oleh Rahma. "Bagaimana bisa seperti ini? Tadi katanya hanya memasukkan asap untuk mengusir saja. Kalau sudah seperti ini, saya mau minta ganti rugi," ujar ibu pemilik kos dengan geramnya. Ia memang menyetujui rencana pengusiran Rahma dengan asap. Tetapi jika ujungnya seperti ini, bisa rugi besar dia. " Ya, kami tidak sengaja. Angin saja yang berhembus tidak tau aturan," kilah Agnes. Bu kos yang geram pun segera menghampiri Agnes dan beradu mulut dengannya. "Bukan kayak gini kesepakatan kita. Kita hanya mengusir karena saya juga takut kalau suami saya juga bakal digoda sama dia. Tapi kalau seperti ini, mau tidak mau, saya harus tetap meminta ganti rugi," geramnya lagi. "Ganti rugi atas apa?" Rahmat yang baru datang karena mendengar kehebohan di tempat kos Rahma pun segera
"Kau gila! Kau teriak Rahma menggatal, lalu kau itu apa? Bisa-bisanya kau berbuat hal seperti ini disaat kau bersuami!" Teriakan Rahmat bahkan menggema dan membuat suasana yang semula ramai bisik-bisik kini menjadi sunyi. Agnes yang dituduh Rahmat seperti itu tidak menyangkalnya. Bahkan sebuah senyuman sinis ia tunjukkan kepada suaminya tersebut. " Lalu, bagaimana dengan Rahma? Bukankah dia juga menggatal saat dia masih bersuami?" balas Agnes tak kalah sengit. Banyak kamera tetangga yang menyala seolah mengabadikan memori perdebatan sepasang suami istri yang sama-sama peselingkuh itu. "Rahma jual diri karena ia butuh biaya untuk pengobatan anaknya. Sedangkan kau apa? Aku tak pernah kurang-kurang dalam memberikan materi. Bahkan menurutku, aku selalu melebihkan apa yang menjadi kebutuhan kamu. Lalu apa alasanmu menjadi gatal seperti ini?" bela Rahmat. Hatinya semakin malas memandang istri hasil perjodohan kedua orang tuanya itu. Perempuan yang waktu mereka berkenalan selalu l
"Apa maksudmu dengan menyerahkan kembali Agnes kepada kami? Apakah kamu berniat untuk tidak tau diri setelah menemukan selingkuhan yang tepat, kamu berniat meninggalkan istrimu yang telah setia mendampingimu selama ini?" Sungguh emosi pak Burhan tak bisa tertahankan lagi karena menantunya telah dengan tega mengembalikan anaknya. Kurang apa anaknya selama ini? Dalam pernikahan anaknya yang sudah menginjak tiga tahun ini, tak pernah terdengar mereka bertengkar ataupun salah paham. Hanya sikap dingin Rahmat-lah yang sering dikeluhkan anaknya itu. Lalu kenapa bisa sekarang anaknya dikembalikan? Apakah benar kabar yang tersiar jikalau menantunya lebih memilih perempuan jalang itu? "Bapak, Agnes tidak mau diceraikan mas Rahmat. Agnes janji, nanti mau hamil asalkan mas Rahmat tidak meninggalkan Agnes. Tolong Agnes, Pak!" mohon Agnes sembari mendekap erat tangan bapaknya. ***** Sedari dari tempat kos, Rahmat sudah menunjukkan emosinya yang tinggi. Apalagi ditambah kabar jikalau Ed
Pov Agnes Namaku Agnes Prabaningrum. Cantikkan namaku? Begitu pula parasku. Banyak laki-laki yang menyatakan perasaannya padaku. Namun, entahlah. Hatiku sepertinya hanya tertaut pada satu pria. Mas Rahmat. Anak seorang petani dari desa sebelah. Parasnya yang tampan, tutur katanya yang lembut, juga sikapnya yang melindungi membuat hatiku telah tertaut sejak masa sekolah. "Kamu ngga ingin punya keluarga seperti temanmu yang lain, Nes? Banyak laki-laki yang datang. Tapi selalu saja kamu tolak. Apakah kamu sudah mempunyai laki-laki yang kamu inginkan?" ujar ibukku yang mungkin sudah lelah dengan omongan tetangga tentang aku yang tak kunjung berumah tangga. "Nanti kalau dia sudah putus dari pacarnya, Bu!" balasku cuek. Mau bagaimana lagi, hanya nama mas Rahmat yang masih utuh berdiam di hatiku. "Masih berharap sama anaknya Sumi?" tanya ibukku, "apa sih yang kamu harapkan dari seorang buruh bangunan? Itu Budi yang sudah jadi staf pabrik atau si Ridwan yang sudah diangkat jadi ma
"Kenapa kalian dulu berpisah?" Aku dan Mimi menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di sekitar rumah sore ini karena sedari tadi aku sudah merasa tidak nyaman di punggung belakangku. "Karena ada masalah," jawabku singkat. Ya kali aku mau bilang kalau kami berpisah karena kepercayaan kuno? Kan tidak masuk akal! "Masalah apa? Aku lihat Rahmat sangat mencintaimu. Jadi pasti bukan dia yang buat masalah kan?" cerca Mimi lagi. Aku hanya menghembuskan napas lelah. Aku tak mau membongkar hal tak penting di masa lalu. Tetapi kenapa, Mimi malah mengoreknya sedari tadi. "Itu semua hanya masa lalu, Mi! Yang mungkin juga akan menjadi masalah suatu saat nanti juga karena kini semua orang menjadi tau, bahwa kami kembali bersama," Aku terdiam. Namun tidak dengan kakiku. Rasa panas di punggung sedari tadi membuatku semakin yakin kalau buah hatiku semakin tidak sabar untuk keluar dari dalam perut. " Balik yuk! Ngeri aku mendengarmu merasakan kesakitan. Apa operasi aja yuk! Jangan khawatir. Nant
"Ngapain kamu disini?" Pagi-pagi buta Mimi sudah terlihat di depan rumahku. Kurang kerjaan sekali sebenarnya. Mentang-mentang sekarang sudah tak kerja malam, jam segini sudah berkeliaran di rumah orang. "Mau jaga kamu. Siapa tau mau lahiran kan?" ucapnya santai. Mimi segera masuk ke dalam kamar yang biasa ia gunakan saat menginap disini. "Edo mana?" tanyanya langsung saat boneka hidupnya tak terlihat. Aku hanya menggeleng melihat sahabatku tak tau diri itu. "Ini masih jam lima. Edo juga masih terlelaplah." Tak kuhiraukan lagi keberadaannya. Aku harus segera beberes mumpung Edo belum terbangun. "Ngga usah masak! Aku dah pesan gulai dari waring depan gang. Lebih baik sekarang, kamu prepare apa yang akan kamu bawa kalau sampai melahirkan." Mimi beralih menuju lemari perlengkapan bayiku. Sedangkan aku, aku malah memilih berdiam diri sembari melihat betapa repotnya sahabatku itu. " Perlengkapan mandi dibawa tidak?" tanya Mimi padaku. Aku hanya menggeleng sebagai jawaba
"Do'amu terkabul. Aku akan menikah dengan seorang mafia." ucap Mimi dengan santainya. Aku sontak tertawa mendengar gurauan Mimi yang tidak tau aturan. Mana ada mafia di zaman sekarang. "Kalau bercanda yang masuk akal sedikit. Mana ada mafia di negara kita," balasku seraya terkekeh. Ada-ada saja!!! Namun tatapan mata tajam Mimi membuatku merasa kalau dia sedang tidak bercanda. "Mi,,," ucapku seraya membalas tatapan tajam matanya. Mimi hanya menjawab dengan mengangguk sebagai jawabannya. Namun... "Hwa...bagaimana ini, Ma! Kenapa ada manusia seperti dia yang mau menerima sampah seperti aku." Teriakan Mimi yang melengking membuat Edo yang sedang bermain pun menjadi ikut terkejut dan menangis. Lekas saja kegeplak punggungnya gemas karena teriakan dia, membuat Edo terkejut dan menangis. " Cup cup cup, sayang! Tante ngga marah kok. Cup cup cup ya." Aku mencoba mengangkat Edo dan menimangnya agar bisa diam. " Jangan teriak bisa ngga sih. Kalau anakku sudah menangis kaya
"Mau kemana kamu?" Aku sebenarnya sudah sangat kesal dengan kehadiran mas Rahmat disini. Tak tau kah dia kenapa aku lebih memilih rumah yang tiada tetangga seperti ini untuk dikontrak? Tentu saja untuk menghindari ucapan pedas dari orang-orang yang mengenalku sebagai orang ketiga diantara pernikahan Rahmat dan Agnes. Namun sepertinya, mas Rahmat tidak pernah peduli tentang hal itu. "Mau apalagi sih kamu kemari, Mas? Aku sudah lelah menjadi pergunjingan warga karena kehadiran kamu yang terus-menerus membuat aku selalu saja disindir yang ngga-ngga," seruku yang mulai lelah dengan sikap mas Rahmat yang bebal. Apalagi Agnes pun pernah datang ke rumah ini hanya untuk mencaci makiku. Sungguh! Kesalahan pertama yang berdampak selamanya kalau sudah seperti ini. " Apanya lagi yang mesti dipermasalahkan sih? Aku duda, kamu janda. Lalu apa salahnya?" ucap mas Rahmat tanpa merasa bersalah. Ingin rasanya kuremas mulut mas Rahmat yang terlalu santai dengan keadaan. Sama sekali dia tak per
Pov Rahma "Kita buat acara tujuh bulanan yang bagaimana ya sebaiknya?" ucap Rahmat dengan senyum melebar mengungkapkan betapa bahagianya dia dengan kehamilanku ini."Huft... Apa kamu ngga malu dengan kehamilanku ini? Setidaknya, jika kamu ngga malu, pikirkan bagaimana perasaanku," ucapku sembari menimang Edo yang terlihat sudah sangat ngantuk sekali. "Kenapa harus malu? Tak ada yang memalukan dengan anak kita," kekeh Rahmat yang membuatku menggeram kesal. "Anak ini ada di luar pernikahan. Nasabnya jatuh padaku, ibunya. Semua orang bahkan tau bahwa aku adalah orang ketiga diantara hubunganmu dengan Agnes dulunya. Apa kamu sadar beban apa yang akan ditanggung anakmu?" tanyaku berapi-api. Bukan aku tak menerimanya. Aku hanya menyesalkan kehadirannya yang diluar pernikahan. Itu akan menjadi ujian yang berat kala ia dewasa nanti. "Aku hanya akan berdoa kepada Tuhan saja semoga aku dan dia baik-baik saja, diberi kelancaran sampai melahirkannya nanti, dia lahir dengan sempurna tanpa
" Dia akan menjadi princess yang cantik dan penuh percaya diri karena ayahnya akan selalu menjadi garda terdepan untuk selalu melindunginya," ucap Rahmat sembari bernapas lega, perempuan yang selama ini dicarinya kini telah ketemu. Apalagi saat melihat perut Rahma yang membuncit, semakin yakin pula bahwa mimpinya bukan sekedar bunga tidur. Rahma dan Mimi tak bisa menyembunyikan raut wajah terkejut. Darimana laki-laki ini bisa menemukan lokasi tempat tinggal Rahma? "Aku sudah membuntuti Mimi berulang kali. Namun baru kali ini tujuan kepergiannya sama seperti tujuanku." Rahmat mendekati Rahma dan mencoba mengelus perutnya. Sebuah sambutan luar biasa karena anak di dalam perutnya juga bergerak seakan mengetahui jika yang menyentuhnya adalah ayahnya. " Selamat sore, anak ayah! Sehat kamu, Nak,"ucap Rahmat yang dibalas sundulan dari janin yang ada didalam perut Rahma. Rahmat tentu saja sangat bahagia pertanyaannya mendapatkan sambutan. Rahma yang tersadar akan kelakuan Rahmat seg
"Apa ini? Bagaimana bisa?" Agnes dan keluarga besarnya sangat terkejut karena tuntutan harta gono-gini tentang sawah, tanah dan ruko yang setau mereka dimiliki Rahmat selama masa pernikahan dengan Agnes ternyata tidak bisa dijadikan bahan tuntutan. Apalagi, fakta yang baru terungkap ternyata Rahmat memiliki semua itu sebelum laki-laki yang akan menjadi mantan suami Agnes itu membelinya sebelum lamaran resmi terjadi. "Bagaimana bisa?" teriak bu Tini karena syok cucunya tak memiliki hak apapun akan harta suaminya. "Bukankah di surat itu sudah tertera jelas kapan aku membelinya? Bahkan jauh sebelum kami menikah, aku sudah memiliki aset-aset tersebut," jawab Rahmat tenang. "Lalu kenapa setelah kalian menikah, pak Haji masih mengelola itu semua? Kenapa bukan kamu sendiri yang mengelola," tanya Ratno yang juga tak kalah terkejut. Andai bakal tau seperti ini, dia akan lebih hati-hati untuk menutupi aib keponakannya. Ini sudah dicerai, tak ada harta lagi. Mau hidup pakai apa Agnes
Keadaan keluarga pak Samsul menjadi tegang. Keadaan sang kepala keluarga menjadi pemicu utamanya. Pak Samsul yang telah dipindah ke dalam ruang rawat biasa namun sedari tadi belum juga membuka mata. "Kenapa kamu jadi semurahan itu, Nes! Ibu bukan hanya kecewa denganmu, tapi ibu juga sangat malu sama Rahmat. Kamu yang meminta untuk jadi istrinya, tetapi kamu juga yang sudah berkhianat darinya. Apa yang kamu inginkan sebenarnya, Nes?" Bu Ana berkata dengan lirih namun sanggup menembus relung hati Agnes. " Bu," Airmata Agnes sudah mengalir dengan deras. Ada penyesalan besar yang bersarang di hatinya. Namun mau bagaimana pun, keadaan tak akan kembali seperti sedia kala. " Ibu sudah melarangmu, tapi kamu yang tetap kekeh dengan pendirianmu. Ibu berusaha menerima Rahmat dengan segala kekurangannya demi kebahagian anak ibu satu-satunya. Namun apa yang ibu unduh, ternyata tak sepadan dengan apa yang ibu" korbankan. Setelah ini, apa lagi yang akan kamu berikan kepada kami, Nes?" tambah bu A
"Oohhhh... Jadi kamu lebih memilih perempuan yang bisa menjadi mantan dari pada saudara sendiri yang suatu saat bisa membantu?" teriak bu Tini seketika menghentikan langkah pak Samsul. "Apakah kurang aku dalam membela keluargaku buk? Apakah kurang pula bantuanku selama ini, buk? Ibu bahkan lebih mengedepankan kebutuhan Ratno daripada aku hingga aku harus berjuang habis-habisan hingga mempunyai segala hal saat ini. Bahkan saat ibu meminta sertifikat dengan alasan tak masuk akal pun, aku tetap memilih ibuk. Karena apa?" Pak Samsul sengaja menjeda ucapannya. Dan itu membuat perhatian semua orang tertuju kepada lelaki paruh baya itu. " Karena aku ingin ibu lebih menghargai Ana sebagai menantu ibu. Ana yang menemani aku berjuang untuk mendapatkan sertifikat itu. Tetapi kenapa dengan lancangnya, ibu memberikan sertifikat itu kepada Ratno. Tak selamanya saudara harus terus membantu tanpa imbal balik, bu! Apalagi sampai membuat anak ibu bertengkar dengan istrinya," sambung pak Samsul kemba