Aku termenung di ruangan kos tiga kali tiga meter ini. Kenapa hidupku jadi seperti ini? Lepas kerja, suami gila, anak sakit-sakitan, rasanya kepalaku sudah ingin pecah saat ini.
Edo masih tidur dengan nyenyak. Aku bersyukur akan hal itu. Bayi 2 bulan yang baru keluar dari rumah sakit itu ternyata tidak kaget saat kuajak perjalanan jauh empat jam lamanya. "Ma, makan dulu gih," Mimi menawariku dua bungkus nasi kucing. Lumayanlah buat pengisi perut di malam dingin ini. "Sudah terbayang mau kerja apa?" tanya Mimi. Aku hanya mampu menghembuskan napas. Pabrik tempatku bekerja dulu telah mendapatkan penggantiku. Jadi tidak mau, aku harus mencari kerja di tempat lain. "Apa ya, Mi? Nomor para suplayer juga masih di rumah Asep. Kalau mau tanya-tanya, kok agak gimana ya?" keluhku. Kami para staf dulu saling menutup informasi tentang suplayer kepada staf pabrik lain. Ini untuk menjaga harga agar tetap stabil. "Kulakan. Kayak dulu yang dikerjakan Asep. Kamu survei dulu. Nanti kita cari-cari tempat untuk menyetorkannya." ucap Mimi. "Kalau bukan langganan, harganya akan gila-gilaan, Mi! Dapat duit dari mana coba?" keluhku lagi. Bukan patah semangat,tetapi dunia barang bekas memang seperti itu. Belum nanti tiba-tiba harga jatuh mendadak. "Mau main biji?" tanya Mimi lagi yang spontan membuatku menggeplak kepalanya. "Buat rosok saja aku masih bingung modal dari mana. Ini malah mengajukan biji. Duitnya lebih gede Mimi!!!" geramku. Memang kalau mau jadi distributor biji harus punya modal besar dulu. Karena terkadang, para suplayer tidak menerima retur. Itulah yang menjadi masalah besar untuk para distributor baru. "Mau bagaimana lagi? Dunia yang kamu tahu dengan benar hanya sampah," Aku hanya melirik Mimi. Memang benar sih. Selain sampah, aku buta akan apa pun. "Kita ambil bahan langsung setor. Kita ambil untungnya saja tanpa inden. Tetapi ini yang sulit. Kita harus punya tempat setor langsung." ucapku bingung dengan pernyataanku sendiri. "Pak Refan mau menerima rafia. Sopirnya juga bisa dipinjam. Kamu bisa memakai motorku untuk keliling. Edo biar aku yang jaga. Bagaimana?" Benar. Salah satu teman bosku itu selalu membutuhkan bahan baku pabriknya. Tetapi masalahnya, aku mau kemana rafia dan karung bekas. " Pabrik-pabrik konfeksi banyak tuh yang membuang karung dan rafia bekas. Kamu bisa melobi mereka untuk mendapatkan bahan-bahan tidak berguna bagi mereka itu." jelas Mimi yang membuatku terkejut. Kenapa dia bisa paham semua itu? Mimi berganti menggeplak kepalaku, aku hanya nyengir menanggapi ulahnya. " Ck... Anak pabrik'an sekarang sukanya nongkrong di tempatnya bang Hilman. Kita sering ngobrol disana kalau aku ngga kerja. Nanti lah aku bantuin melobi para satpam biar jalan usahamu lancar." ujar Mimi lagi. Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Terima kasih banyak, Mimi!" Hari ini aku sengaja berbelanja di pasar dekat rumah Mimi. Isi lemari pendinginnya kosong dan kemarin, Mimi memberikan aku sejumlah uang untuk memenuhi isi kulkasnya. Semula berbelanja ini terasa lancar tanpa ada kendala yang berarti. Namun ketika akan pulang tiba-tiba seseorang melayangkan sebuah tamparan padaku. Mataku menatap tajam perempuan itu. Perempuan yang tidak aku kenal tetapi sudah mampu membuatku terhina seperti ini. "Wow, pelakor mendekati mangsanya! Sudah gatel, Bu? Jadi perempuan kok murah amat," sindirnya padaku. Kupegang pipi yang terasa masih panas. Mataku menatap nyalang perempuan yang tidak aku kenal ini. Mulutku berdesis geram, "Lalu masalahmu apa kalau aku gatel? Ada amu mengganggumu?" "Jelas! Kamu jelas mengganggu. Kamu menggangu suamiku saat di desa x. Kamu ingat siapa suamiku?" Mengganggu? Suami? Apa perempuan ini istri dari bang Rahmat? Astaga... Aku menutup mulut terkejut. Istri laki-laki yang dulu ku kenal kalem dapat karmanya dengan beristrikan perempuan bar-bar seperti ini. " Kenapa? Kaget? Jangan pernah mendekati mas Rahmat lagi atau akan kubuat kamu lebih viral dari kemarin. Apa kamu paham?" teriaknya. Bisik-bisik dari orang sekitar semakin kencang ku dengar. Aku tahu mereka merendahkan aku tanpa tahu kalau aku waktu itu sedang terdesak biaya untuk anakku. " Kenapa bukan kamu saja yang bilang sama suamimu kalau jangan menganggu aku lagi?"Aku menatapnya tajam seolah memberi ancaman. " Kenapa? Takut menghadapi kenyataan kalau ternyata suamimu masih menaruh hati padaku?"godaku. Kusunggingkan senyum mengejek. Sebenarnya aku malu melakukan hal ini. Tetapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur terhina, nyungsep saja sekalian. " Kau... Kurang ajar!!!"Perempuan itu langsung menjambak rambutku. Kepalaku terasa pening. Kucoba untuk membalas jambakannya. Kulampiaskan amarah yang terpendam selama ini. Kecewa dengan mas Asep, kecewa dengan mertua, kecewa dengan emak, kebingungan karena keadaan Edo, juga marah karena viralnya hubunganku dengan mas Rahmat. Emosi menggunung membuatku lebih kuat dari lawanku ini. Kami saling bertarung sampai kurasakan tubuhku ditarik ke belakang oleh seseorang. "Rahma, stop! STOP!" Teriakan dan tarikan seseorang itu pun membuat pertarungan antara aku dan istri dari mas Rahmat seketika berhenti. Dadaku naik turun menahan emosi karena sebenarnya aku belum puas melampiaskan emosi. Kulihat siapa laki-laki yang telah berani menghentikan pertarunganku. Mas Rahmat... "Kenapa bisa seperti ini? Kalian jadi pusat perhatian di pasar sekarang. Apa kalian tidak malu?" hardik mas Rahmat seraya menatap kami bergantian. "Mas tanya aku malu atau tidak? Coba tanya sama istrimu itu. Malu atau tidak membuat kekacauan di sini. Jaga istri mas baik-baik. Kepalaku sudah pusing, jangan membuat kepalaku jadi pecah," ucapku seraya ingin meninggalkan mereka yang membuatku pusing. Namun cekalan tangan mas Rahmat kembali menghentikanku. Tangannya memeluk erat tubuh ini seakan tidak mau aku tinggal. "Lihat! Lihatlah kelakuan perempuan yang pernah kamu bayar itu, Mas! Seperti itu perempuan yang kamu bela? Perempuan murahan yang rela membuka miliknya yang berharga, hanya untuk beberapa lembar uang. Perempuan murahan..." Plak, Sungguh aku terkejut. Bukan! Bukan ini yang aku inginkan. Aku benar-benar merasa perempuan murahan yang lebih dipertahankan dari pada seorang istri sah. " Mas... "teriakku mengingatkan kelakuan mas Rahmat. " Apa? Tak perlu membelaku. Memang dimana-mana pelakor itu akan lebih dibela dari pada istri sah bukan? Tak perlu berdrama. Aku pastikan tamparan ini akan aku balas dengan berlipat sakitnya. Tunggu tanggal mainnya!" Bukan aku yang pergi tetapi malah istri sahnya mas Rahmat. Ya, Tuhan! Jangan sampai aku punya anak perempuan! Aku takut kelakuanku kali ini akan dituai anak perempuanku nanti. Begitu istri dari mas Rahmat pergi, lelaki itu pun menggeret tanganku pergi. Kantong belanjaku pun ikut tertinggal di pasar. Kuhentakkan tangan mas Rahmat dengan kencang. Tetapi mas Rahmat malah semakin mengeratkan genggaman tangannya. "Urusanmu dengan istriku telah selesai. Kini kita selesaikan urusan kita yang belum selesai."Mas Rahmat terus menyeretku hingga masuk ke dalam mobilnya. Aku meronta ingin melepaskan diri. Namun tenaga pria ini ternyata sangat kuat hingga aku tak mampu mengimbanginya. Setibanya di sebuah hotel, mas Rahmat kembali menyeretku masuk ke dalam kamar. Sungguh mas Rahmat yang sekarang sangat berbeda dengan pria cupu yang telah membuatku jatuh cinta. "Maaassss, lep-pas!" Aku terus mencoba meronta. Namun mas Rahmat lebih gila lagi mengukungku. "Mas, sadar! Ini salah," ucapku dengan suara bergetar. Aku hanya takut kalau apa yang mas Rahmat lakukan nanti akan menghasilkan bayi. Melihatku terus meronta, mas Rahmat malah justru tersenyum. "Kali ini aku akan melakukannya sampai menghasilkan jabang bayi." ucapnya tanpa ragu. Mas Rahmat mulai menggila dengan memperlakukan aku sesuka hati. "Mas, jangan! Kamu punya istri, Mas. Buatlah dengan istrimu. Aku masih mempunyai Edo yang butuh perhatian penuh." Kali ini mas Rahmat mulai melembut. Tetapi tetap tidak melepaskan aku. Bahkan ci
"KALIAN GILA!!!" Suara pintu yang dibuka paksa membuat perhatian kami berdua tertuju pada seorang perempuan dan beberapa orang yang memaksa masuk ruangan ini. Aku terburu-buru menutup tubuhku dengan selimut. Namun tidak dengan mas Rahmat. Dia tampak santai berganti pakaian dengan disaksikan banyak orang. "Kenapa kalian sampai berbuat seperti ini? Kalau kamu sudah tidak mau dengan aku, kamu bisa langsung menceraikan aku tanpa harus ada adegan seperti ini, Mas!" Agnes menangis dengan penuh drama. Dari mana aku tahu itu? Tentu saja dari senyum sinis yang dia tujukan hanya padaku. " Tentu saja! Andai kamu mau aku ceraikan sedari dulu, aku tak perlu harus kucing-kucingan seperti ini," ucap mas Rahmat sembari mengulurkan pakaian dan menuntunku ke kamar mandi. Agnes terlihat berlari dan hampir saja menjambak rambutku seandainya tidak dilindungi oleh mas Rahmat. " Jangan bertindak seolah-olah kamu adalah korban disini, Nes! Sedari dulu kamu paham kalau aku hanya mencintai Rahma.
"Aku akan membiarkan kalian berselingkuh. Tetapi setelah Rahma hamil dan melahirkan, Rahma harus pergi dan menyerahkan bayi itu padaku,"ucap Agnes dengan angkuhnya. " Kenapa bukan kamu saja yang hamil? Males sakit? Atau takut ngga seksi lagi?"tanya mas Rahmat. Aku hanya diam bersedekap tangan. Drama yang menarik. Aku kepo apa balasan Agnes sekarang. " Kenapa aku harus repot-repot hamil jika selingkuhanmu saja bisa memenuhinya?" balas Agnes kembali. Gila! Patut diacungi jempol keberaniannya. "Lalu apa gunamu sebagai istri? Hanya foya-foya? Atau bermain dengan laki-laki lain mungkin," balasku. Namun sebuah tamparan yang hinggap di pipiku membuatku terkejut. Ternyata budhe menamparku. Siapa budhe ini sebenarnya? Kenapa dia begitu lancang menamparku? " Dasar perempuan murahan! Kamu yang murahan jangan pernah menuduh perempuan lain juga murahan. Sadarlah akan derajatmu yang tak lebih baik dari sampah," sarkas budhe. Mas Rahmat membelai lembut pipiku yang ditampar bud
Malam ini kembali sepi karena Edo sudah tidur. Sedangkan Mimi, dia mengambil pekerjaan sekarang. Aku tidak dapat melarangnya karena diakui atau tidak, aku sudah menjual tubuhku juga bukan. Drt... Drt... Drt... Suara pesan hp terdengar. Hanya kulirik belum berminat untuk membukanya. Tanpa nama? Males. Paling hanya orang iseng. Aku kembali menatap langit yang sangat cerah malam ini. Langit gelap namun masih bertabur cahaya yang meneranginya. Sedangkan aku? Entahlah... "Mbak, ngga kerja?" tanya tetangga kos ku yang aku kenal namanya mbak Marni. "Kerja apa, mbak?" tanya ku balik. Setau aku, aku masih pengangguran. Jadi kalau ditanya tidak bekerja, lalu harus ku jawab kerja apa? "Nyervis suami orang," ucapnya seraya tertawa. Aku sudah tidak baper lagi karena mungkin hati ini sudah terbiasa dihina untuk saat ini. "Dia lagi diservis istrinya, mbak! Atau mbak punya pelanggan yang membutuhkan pelayananku?" balik tanyaku. Terlihat dia gelagapan. "Mana ada aku pelanggan? Aku itu
"Ini surat keterangan cerai. Aktenya akan jadi dua minggu lagi. Rahmawati mulai hari ini kamu bukan istriku lagi. Disaksikan banyak orang disini, aku jatuhkan talak tiga kepadamu." Ucapan Asep membuat Rahma terkejut. Ada apa? Kok? Rahma lebih terkejut lagi saat tahu dirinya sampai di pengadilan ini, ternyata gugatan atas perceraian dirinya sudah selesai. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata dirinya diharuskan membayar uang sepuluh juta sebagai kompensasi atas perselingkuhannya tersebut. Sengaja sebelum berangkat tadi, ia menitipkan Edo ke salah satu teman Mimi. Rasanya kasihan jika bayi tiga bulan itu harus dibawa lagi bepergian. "Bagaimana mungkin saya yang berjuang untuk kesembuhan anak saya justru harus membayar denda karena selingkuh? Anda ini sebenarnya bagaimana sih?" keluh Rahma pada petugas yang ada di sana. "Ya memang sudah aturannya kalau orang yang selingkuh itu diwajibkan membayar denda. Itu sudah ada perundang-undangannya, Mbak. Kalau Anda keberatan, ken
"Apakah sumpah seorang pelac** akan didengar Tuhan? Ayolah, jangan bercanda!" ucap Irwan yang justru terkekeh setelah mendengar sumpah dari Rahma. "Anda meragukan sumpah saya?" Rahma menjeda ucapannya, "waktu yang akan membuktikan segalanya. Dan jika saat itu tiba, baru anda akan menyesal telah memperlakukan saya dan menistakan putra saya seperti ini." Mimi bertepuk tangan bangga akan keberanian sahabatnya yang tiada takut hari ini. Apakah dengan selingkuh dengan suami orang akan membuat lebih berani menghadapi kenyataan? Sepertinya patut dicoba! " Keren! Ini Rahma yang aku tunggu. Yang kuat dan tak mudah diprovokasi," ucap Mimi seraya mengalungkan tangannya ke pundak Rahma. Rahma lalu menepis tangan Mimi, "membuat gerah ternyata berbicara pada pria-pria pribadi wanita. Ayo pergi sebelum kita kena sial lebih besar karena berdekatan dengan mereka!" Mimi tertawa puas setelah mendengar perkataan Rahma. Apalagi sebagian besar orang-orang yang ada disana adalah laki-laki.
Pagi-pagi sekali sudah terdengar gedoran dari luar. Aku yang sedang terlelap menjadi bangun seketika. Suara teriakan bersaut-sautan membuatku bingung. Ada apa mereka menggangguku di pagi buta seperti ini? "Bangun, pe*****! Bangun!" Dok dok dok Mereka mengetuk pintu dengan keras. Edo yang sedang menangis kupeluk dan segera kugendong. Meski takut, kubuka pintu perlahan untuk menghadapi mereka. "Ada apa ibu-ibu? Kenapa pagi-pagi sekali sudah ada di depan kos saya?" tanyaku perlahan agar" ibu-ibu itu tidak semakin emosi. "Pergi kamu dari sini! Jangan merusak lingkungan kami dengan sikap murahanmu! Apalagi kamu sekarang sudah janda bukan?" ujar ibu Dinda, pedagang warung di depan kosku. Aku mengenal betul suaranya. "Memang apa salah saya, bu? Bukankah saya tidak menggoda suami ibu? Bahkan saya tidak pernah keluar rumah selain sama Mimi bukan?" tanya ku meminta belas kasihan mereka. Mau kemana lagi aku kalau sampai diusir sama mereka. Namun aku terkaget saat salah satu dari me
Keadaan kos setelah kepergian Rahma menjadi mencekam karena asap yang seyogyanya hanya untuk mengusir Rahma, kini menjadi api yang membesar bahkan hampir menghanguskan satu kamar yang sebelumnya ditempati oleh Rahma. "Bagaimana bisa seperti ini? Tadi katanya hanya memasukkan asap untuk mengusir saja. Kalau sudah seperti ini, saya mau minta ganti rugi," ujar ibu pemilik kos dengan geramnya. Ia memang menyetujui rencana pengusiran Rahma dengan asap. Tetapi jika ujungnya seperti ini, bisa rugi besar dia. " Ya, kami tidak sengaja. Angin saja yang berhembus tidak tau aturan," kilah Agnes. Bu kos yang geram pun segera menghampiri Agnes dan beradu mulut dengannya. "Bukan kayak gini kesepakatan kita. Kita hanya mengusir karena saya juga takut kalau suami saya juga bakal digoda sama dia. Tapi kalau seperti ini, mau tidak mau, saya harus tetap meminta ganti rugi," geramnya lagi. "Ganti rugi atas apa?" Rahmat yang baru datang karena mendengar kehebohan di tempat kos Rahma pun segera
"Kenapa kalian dulu berpisah?" Aku dan Mimi menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di sekitar rumah sore ini karena sedari tadi aku sudah merasa tidak nyaman di punggung belakangku. "Karena ada masalah," jawabku singkat. Ya kali aku mau bilang kalau kami berpisah karena kepercayaan kuno? Kan tidak masuk akal! "Masalah apa? Aku lihat Rahmat sangat mencintaimu. Jadi pasti bukan dia yang buat masalah kan?" cerca Mimi lagi. Aku hanya menghembuskan napas lelah. Aku tak mau membongkar hal tak penting di masa lalu. Tetapi kenapa, Mimi malah mengoreknya sedari tadi. "Itu semua hanya masa lalu, Mi! Yang mungkin juga akan menjadi masalah suatu saat nanti juga karena kini semua orang menjadi tau, bahwa kami kembali bersama," Aku terdiam. Namun tidak dengan kakiku. Rasa panas di punggung sedari tadi membuatku semakin yakin kalau buah hatiku semakin tidak sabar untuk keluar dari dalam perut. " Balik yuk! Ngeri aku mendengarmu merasakan kesakitan. Apa operasi aja yuk! Jangan khawatir. Nant
"Ngapain kamu disini?" Pagi-pagi buta Mimi sudah terlihat di depan rumahku. Kurang kerjaan sekali sebenarnya. Mentang-mentang sekarang sudah tak kerja malam, jam segini sudah berkeliaran di rumah orang. "Mau jaga kamu. Siapa tau mau lahiran kan?" ucapnya santai. Mimi segera masuk ke dalam kamar yang biasa ia gunakan saat menginap disini. "Edo mana?" tanyanya langsung saat boneka hidupnya tak terlihat. Aku hanya menggeleng melihat sahabatku tak tau diri itu. "Ini masih jam lima. Edo juga masih terlelaplah." Tak kuhiraukan lagi keberadaannya. Aku harus segera beberes mumpung Edo belum terbangun. "Ngga usah masak! Aku dah pesan gulai dari waring depan gang. Lebih baik sekarang, kamu prepare apa yang akan kamu bawa kalau sampai melahirkan." Mimi beralih menuju lemari perlengkapan bayiku. Sedangkan aku, aku malah memilih berdiam diri sembari melihat betapa repotnya sahabatku itu. " Perlengkapan mandi dibawa tidak?" tanya Mimi padaku. Aku hanya menggeleng sebagai jawaba
"Do'amu terkabul. Aku akan menikah dengan seorang mafia." ucap Mimi dengan santainya. Aku sontak tertawa mendengar gurauan Mimi yang tidak tau aturan. Mana ada mafia di zaman sekarang. "Kalau bercanda yang masuk akal sedikit. Mana ada mafia di negara kita," balasku seraya terkekeh. Ada-ada saja!!! Namun tatapan mata tajam Mimi membuatku merasa kalau dia sedang tidak bercanda. "Mi,,," ucapku seraya membalas tatapan tajam matanya. Mimi hanya menjawab dengan mengangguk sebagai jawabannya. Namun... "Hwa...bagaimana ini, Ma! Kenapa ada manusia seperti dia yang mau menerima sampah seperti aku." Teriakan Mimi yang melengking membuat Edo yang sedang bermain pun menjadi ikut terkejut dan menangis. Lekas saja kegeplak punggungnya gemas karena teriakan dia, membuat Edo terkejut dan menangis. " Cup cup cup, sayang! Tante ngga marah kok. Cup cup cup ya." Aku mencoba mengangkat Edo dan menimangnya agar bisa diam. " Jangan teriak bisa ngga sih. Kalau anakku sudah menangis kaya
"Mau kemana kamu?" Aku sebenarnya sudah sangat kesal dengan kehadiran mas Rahmat disini. Tak tau kah dia kenapa aku lebih memilih rumah yang tiada tetangga seperti ini untuk dikontrak? Tentu saja untuk menghindari ucapan pedas dari orang-orang yang mengenalku sebagai orang ketiga diantara pernikahan Rahmat dan Agnes. Namun sepertinya, mas Rahmat tidak pernah peduli tentang hal itu. "Mau apalagi sih kamu kemari, Mas? Aku sudah lelah menjadi pergunjingan warga karena kehadiran kamu yang terus-menerus membuat aku selalu saja disindir yang ngga-ngga," seruku yang mulai lelah dengan sikap mas Rahmat yang bebal. Apalagi Agnes pun pernah datang ke rumah ini hanya untuk mencaci makiku. Sungguh! Kesalahan pertama yang berdampak selamanya kalau sudah seperti ini. " Apanya lagi yang mesti dipermasalahkan sih? Aku duda, kamu janda. Lalu apa salahnya?" ucap mas Rahmat tanpa merasa bersalah. Ingin rasanya kuremas mulut mas Rahmat yang terlalu santai dengan keadaan. Sama sekali dia tak per
Pov Rahma "Kita buat acara tujuh bulanan yang bagaimana ya sebaiknya?" ucap Rahmat dengan senyum melebar mengungkapkan betapa bahagianya dia dengan kehamilanku ini."Huft... Apa kamu ngga malu dengan kehamilanku ini? Setidaknya, jika kamu ngga malu, pikirkan bagaimana perasaanku," ucapku sembari menimang Edo yang terlihat sudah sangat ngantuk sekali. "Kenapa harus malu? Tak ada yang memalukan dengan anak kita," kekeh Rahmat yang membuatku menggeram kesal. "Anak ini ada di luar pernikahan. Nasabnya jatuh padaku, ibunya. Semua orang bahkan tau bahwa aku adalah orang ketiga diantara hubunganmu dengan Agnes dulunya. Apa kamu sadar beban apa yang akan ditanggung anakmu?" tanyaku berapi-api. Bukan aku tak menerimanya. Aku hanya menyesalkan kehadirannya yang diluar pernikahan. Itu akan menjadi ujian yang berat kala ia dewasa nanti. "Aku hanya akan berdoa kepada Tuhan saja semoga aku dan dia baik-baik saja, diberi kelancaran sampai melahirkannya nanti, dia lahir dengan sempurna tanpa
" Dia akan menjadi princess yang cantik dan penuh percaya diri karena ayahnya akan selalu menjadi garda terdepan untuk selalu melindunginya," ucap Rahmat sembari bernapas lega, perempuan yang selama ini dicarinya kini telah ketemu. Apalagi saat melihat perut Rahma yang membuncit, semakin yakin pula bahwa mimpinya bukan sekedar bunga tidur. Rahma dan Mimi tak bisa menyembunyikan raut wajah terkejut. Darimana laki-laki ini bisa menemukan lokasi tempat tinggal Rahma? "Aku sudah membuntuti Mimi berulang kali. Namun baru kali ini tujuan kepergiannya sama seperti tujuanku." Rahmat mendekati Rahma dan mencoba mengelus perutnya. Sebuah sambutan luar biasa karena anak di dalam perutnya juga bergerak seakan mengetahui jika yang menyentuhnya adalah ayahnya. " Selamat sore, anak ayah! Sehat kamu, Nak,"ucap Rahmat yang dibalas sundulan dari janin yang ada didalam perut Rahma. Rahmat tentu saja sangat bahagia pertanyaannya mendapatkan sambutan. Rahma yang tersadar akan kelakuan Rahmat seg
"Apa ini? Bagaimana bisa?" Agnes dan keluarga besarnya sangat terkejut karena tuntutan harta gono-gini tentang sawah, tanah dan ruko yang setau mereka dimiliki Rahmat selama masa pernikahan dengan Agnes ternyata tidak bisa dijadikan bahan tuntutan. Apalagi, fakta yang baru terungkap ternyata Rahmat memiliki semua itu sebelum laki-laki yang akan menjadi mantan suami Agnes itu membelinya sebelum lamaran resmi terjadi. "Bagaimana bisa?" teriak bu Tini karena syok cucunya tak memiliki hak apapun akan harta suaminya. "Bukankah di surat itu sudah tertera jelas kapan aku membelinya? Bahkan jauh sebelum kami menikah, aku sudah memiliki aset-aset tersebut," jawab Rahmat tenang. "Lalu kenapa setelah kalian menikah, pak Haji masih mengelola itu semua? Kenapa bukan kamu sendiri yang mengelola," tanya Ratno yang juga tak kalah terkejut. Andai bakal tau seperti ini, dia akan lebih hati-hati untuk menutupi aib keponakannya. Ini sudah dicerai, tak ada harta lagi. Mau hidup pakai apa Agnes
Keadaan keluarga pak Samsul menjadi tegang. Keadaan sang kepala keluarga menjadi pemicu utamanya. Pak Samsul yang telah dipindah ke dalam ruang rawat biasa namun sedari tadi belum juga membuka mata. "Kenapa kamu jadi semurahan itu, Nes! Ibu bukan hanya kecewa denganmu, tapi ibu juga sangat malu sama Rahmat. Kamu yang meminta untuk jadi istrinya, tetapi kamu juga yang sudah berkhianat darinya. Apa yang kamu inginkan sebenarnya, Nes?" Bu Ana berkata dengan lirih namun sanggup menembus relung hati Agnes. " Bu," Airmata Agnes sudah mengalir dengan deras. Ada penyesalan besar yang bersarang di hatinya. Namun mau bagaimana pun, keadaan tak akan kembali seperti sedia kala. " Ibu sudah melarangmu, tapi kamu yang tetap kekeh dengan pendirianmu. Ibu berusaha menerima Rahmat dengan segala kekurangannya demi kebahagian anak ibu satu-satunya. Namun apa yang ibu unduh, ternyata tak sepadan dengan apa yang ibu" korbankan. Setelah ini, apa lagi yang akan kamu berikan kepada kami, Nes?" tambah bu A
"Oohhhh... Jadi kamu lebih memilih perempuan yang bisa menjadi mantan dari pada saudara sendiri yang suatu saat bisa membantu?" teriak bu Tini seketika menghentikan langkah pak Samsul. "Apakah kurang aku dalam membela keluargaku buk? Apakah kurang pula bantuanku selama ini, buk? Ibu bahkan lebih mengedepankan kebutuhan Ratno daripada aku hingga aku harus berjuang habis-habisan hingga mempunyai segala hal saat ini. Bahkan saat ibu meminta sertifikat dengan alasan tak masuk akal pun, aku tetap memilih ibuk. Karena apa?" Pak Samsul sengaja menjeda ucapannya. Dan itu membuat perhatian semua orang tertuju kepada lelaki paruh baya itu. " Karena aku ingin ibu lebih menghargai Ana sebagai menantu ibu. Ana yang menemani aku berjuang untuk mendapatkan sertifikat itu. Tetapi kenapa dengan lancangnya, ibu memberikan sertifikat itu kepada Ratno. Tak selamanya saudara harus terus membantu tanpa imbal balik, bu! Apalagi sampai membuat anak ibu bertengkar dengan istrinya," sambung pak Samsul kemba