Pov Rahma
"Tak akan pernah kita bercerai, perempuan murahan!!!" Suara dari pintu membuatku terkejut. Ternyata Mas Asep mendengar apa yang aku bicarakan dengan Bu Sinta. "Kenapa? Bukankah selama ini kamu juga sudah tak peduli lagi sama kami?" ucapku dengan tegas. Anak baru ke rumah sakit sekali saja, aku harus jual diri untuk biayanya. Apalagi nanti jika Edo sudah sekolah. "Kalau aku tak peduli sama kalian, sudah kubuang kalian semua ke jalan. Ini masih aku biayain ke rumah sakit. Masih kuberi makan. Apalagi yang kurang?" elak Mas Asep. Sepertinya dia sudah lupa dengan 2 hari kemarin. "Kapan terakhir kali kami diberi makan oleh Mas?" tanyaku yang membuatnya gelagapan. "Halah, baru juga 2 hari. Ngga bakalan mati juga. Lagi pula kalau kamu mau cerai, mau dapat uang dari mana? Sekarang saja kamu ngga kerja. Sok-sokan mau minta cerai." ejek Mas Asep dengan begitu congkaknya. "Oke aku ngga bakalan mati karena hanya tidak makan 2 hari. Lalu bagaimana dengan biaya pindah kamar Edo? Apakah tidak terpikirkan olehmu? Atau Mas berharap selamanya Edo di NICU?" tanyaku kembali. Dia terdiam. Kusunggingkan senyum miris. Seperti apa sebenarnya suamiku ini? " Bagaimana pula dengan pakaian gantiku? Mas pikir aku ngga apa-apa ngga ganti baju selama 2 hari? Sebegitu acuhnya kamu sama aku hingga kebutuhanku pun tak kamu pikirkan? Seperti itu pikiranmu dan masih tidak ingin menceraikan ku? Orang gila mana yang mau bertahan dengan lelaki macam kamu, Mas!" Huf huf huf... Dadaku kembang kempis setelah mengeluarkan semua unek-unek yang sudah kutahan selama 2 hari ini. Beruntung hari ini hanya terisi Edo dan anak Bu Sinta. " Permisi, ini biaya administrasi untuk adik Edo. Karena tadi pagi ada kecelakaan, terpaksa adik Edo masih harus mendapatkan perawatan kembali. Namun karena salinan biaya sudah dibuat, mohon dibayar dulu, besok kami buatkan lanjutan administrasi-nya." ujar perawat yang mengurus administrasi. Mataku memandang pada suamiku. Apakah dia masih mampu untuk membayar? Atau suamiku itu hanya omong besar? " Kenapa memandang ke arahku? Yang membawanya kesini kamu kan? Urus itu administrasi - nya." Aku lagi-lagi tersenyum miris. Bodohnya aku yang jatuh pada laki-laki yang salah. Dua kali lagi!!! Miris!!! "Ayah macam apa yang lepas tangan soal tanggung jawabnya?" Kulihat nota administrasi kembali. Ternyata kurang 1,2 juta. Aku segera ke loket pembayaran setelah menitipkan anakku pada Bu Sinta kembali. Saat aku kembali, Mas Asep masih diam membisu di ujung kamar. Apakah dia sebenarnya sama sekali tak menyayangi Edo? "Ternyata kamu banyak uang. Kemana saja uang itu selama ini? Kau tega aku bekerja keras sedangkan dari pagi sampai pagi? Padahal kamu masih punya tabungan yang kamu sembunyikan?" sindir Mas Asep. Sedangkan Bu Sinta terlihat menggelengkan kepala. "Uang Mimi. Memang kalau aku punya tabungan, kamu mau hura-hura? Ngga ingat berapa hutang yang kamu tinggal saat melarikan diri?" elakku halus. Aku ingin dia merasa kalau dia lah yang sudah membuat aku susah selama ini. "Pokoknya, kalau sampai kamu mengajukan cerai, akan kuajukan denda yang banyak. Aku sudah mendapatkan sesuatu yang akan membuatmu tunduk. " balas Mas Asep dengan senyum mencurigakan. Apa yang dia rencanakan sebenarnya? "Kalau Mas pikir aku takut, tak pernah ada rasa takut itu dihatiku. Coba saja Mas menguji kesabaranku. Akan kubuktikan segalanya mampu kuatasi." tegasku. "Bagaimana jika kuambil hak asuh Edo karena ibunya telah berselingkuh?" Deg! Deg! Deg! Mas Asep berlalu meninggalkan Aku dan Edo dengan tertawa. Kakiku melemas. Apakah Mas Asep tau aku kemana semalam? Siapa yang memberi tahu nya? "Bu, apakah Mas Asep kesini tadi malam?" tanyaku pada Bu Sinta yang kebetulan duduk di brangkar sampingku. "Tidak ada yang datang kok, Ma. Asep sama Simboknya itu juga sebelum subuh. Ada apa?" tanya Bu Sinta. Aku pun mulai menebak-nebak dari mana Mas Asep bisa tahu kalau aku berselingkuh. Tetapi kalau aku tak berselingkuh, bukankah aku tak punya uang untuk biaya Edo? Kuhitung kembali uang pemberian Mas Rahmat. Terlihat tebal. Jadi tidak mungkin jika hanya 1 juta seperti kesepakatan kami. Kuhitung kembali lembar demi lembar. Ternyata ada 30 lembar uang merah di tas ku. Semalam aku tak menghitungnya. Dan aku cukup lega. Setidaknya, aku tak harus menjual diri lagi. Drt... Drt... Drt... Ponselku berdering. Nomor Mas Rahmat tertera di sana. "Mau apa lagi laki-laki ini?" Sengaja tak kuangkat teleponnya. Malas saja jika aku harus melayaninya seperti semalam. Ternyata Mas Rahmat tak gampang menyerah. Aku memilih untuk mengsilent hp ku. Kesehatan Edo lebih utama daripada 2 laki-laki tukang rusuh di hidupku itu. Saat tengah malam, tubuhku tersentak saat kurasakan gerakan mendadak dari sesuatu yang aku peluk. Ya Tuhan... Aku panik luar biasa. Segera aku berlari ke arah ruangan dokter. Tangisku tak berhenti mengalir. Edo Edo Edo... Harus baik-baik saja. HARUS!!! Saat diruang dokter, aku segera menyeret dokter itu ke ruangan Edo. Tak ada waktu basa-basi. Edo harus segera diatasi. "Ini tidak apa-apa. Mungkin masih kaget karena kejadian tadi subuh. Nanti saya suntikkan tambahan obat untuk adik Edo." Setelah berterimakasih dan memohon maaf karena sudah mengganggu istirahatnya, aku kembali memandang bayi 2 bulan yang sangat kuat ini. Kubisikkan kata terima kasih karena sudah mau kuat bertahan ke telinganya. Kulihat hp ku masih saja berkedip. Mau apa sih sebenarnya itu orang? Kenapa tidak memanggil istrinya saja dari pada menjadi setan di hidupku? Karena sudah terlalu jengkel, akhirnya kuangkat juga teleponnya. "Mau apa lagi sih?" tembakku to the point. Malas sekali sebenarnya melayani telepon orang disaat jam kuntilanak seperti ini. "Aku butuh kamu. Sekarang!" teriaknya yang membuatku terkejut. "Mau apa lagi sih? Kita sudah tidak ada hubungan lagi. Dan aku harap tak akan ada hubungan lagi selamanya." jawabku tak kalah tegas. Anakku baru saja kejang. Panasnya juga belum berangsur membaik. Bagaimana bisa aku meninggalkannya untuk berbuat dosa? "Kau mengenal aku dengan baik, Rahma! Kau tentu paham bagaimana caraku mendapatkan apa yang aku inginkan, Rahma." ancam Mas Rahmat kembali. Sebagai seorang mantan, tentu aku paham apa yang bisa dilakukan seorang Rahmat Gustiawan untuk mendapatkan segala keinginannya. Bahkan dia menyerah untuk terus mendatangiku setelah ibunya mengancam bundir. " Mas, aku mohon mengertilah! Anakku baru saja kejang. Bahkan ini belum turun. Bagaimana bisa aku meninggalkannya sendirian? Sedangkan subuh tadi, Edo kejedot brankar karena ditarik paksa Bapaknya." Aku menghela nafas pelan. Hening. Tanpa suara. Huff... "Aku akan menyusulmu ke rumah sakit. Buka jendela di samping brangkar anakmu." Tut. Aku menjadi terbengong setelah mendengar kalimat terakhir dari Mas Rahmat. Ini tengah malam. Bahkan jam dinding masih menunjukkan jam 01.33. Aku mondar-mandir gelisah. Apa-apaan Mas Rahmat itu? " Bantu Aku lepas dari obat sialan ini, Ma! Suami gilamu dan seorang OB telah menjebakku untuk mencari bukti perselingkuhanmu." ujar Mas Rahmat dengan suara serak. Aku hanya menggeleng bingung. Kenapa semakin lama, laki-laki di sekitarku tak ada yang waras ya? " Bukankah kamu juga masih butuh banyak uang untuk biaya rawat inap anakmu? " Hah... Laki-laki semua breng***! Bisanya cuma memanfaatkan kelemahan wanita.Mau tak mau kubuka jendela disamping brangkar Edo. Untung saja keadaan sudah sepi. Jadi tidak ada yang curiga. Semoga saja! Malam sudah menyusul pagi. Tetapi sedari tadi, laki-laki yang memaksaku melayaninya itu tak kunjung datang. Apakah tidak jadi? Kalau tidak, aku justru akan sangat bersyukur. Ponselku kini berdering. Nama pemesan layanan tertera di sana. Aku pun dengan ogah-ogahan mengangkatnya. Pikiranku masih ke anak kok dipaksa berbuat dosa. Yang benar saja! "Hallo..." sapaku. Terdengar suara aneh dari seberang sana. Oh, rupanya dia mau pamer karena servis perempuan lain! Kubiarkan saja panggilan itu tetap menyala. Toh dia yang kehilangan pulsa, bukan aku. Selama hampir 20 menit mereka masih terus pamer kemesraan tanpa berupaya untuk mematikan panggilan. Kuanggap saja itu semua sebagai musik klasik di pagi buta. "Bagaimana? Apakah masih ada niat untuk gatel sama suamiku?" ucap perempuan di seberang sana yang membuatku sedikit terkejut. "Oh, baguslah! Setidaknya, a
Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Keluargaku sendiri menolakku. Asep tidak mungkin mau lagi membiayai Edo. Aku harus apa, Tuhan? Suara ponsel kembali berdering. Tertera nama Mimi di sana. Kenapa hanya dia yang ada saat aku susah? "Hallo, Mi?" sapaku pada sahabatku itu. "Kalau keadaan Edo sudah membaik, lebih baik kamu pulang. Suami laknatmu itu pasti akan tambah menyusahkanmu kalau kamu lama di situ," ucap Mimi. "Keadaan Edo belum baik-baik, Mi. Kemarin dia terbentur sampai gegar otak ringan," "Bagaimana bisa?" tanya Mimi langsung memotong ucapanku. "Ngga sengaja waktu di gendong bapaknya," jelasku singkat. "Emang selain kamunya dari dulu sudah bodoh, kebetulan juga milih suami juga keterlaluan bodohnya. Tetapi bukankah yang membuatmu viral itu juga laki-laki masa lalumu? Nah, komplit itu kebodohanmu!" Mimi terdengar sangat geram. Namun aku tak menyangkalnya sama sekali. Aku memang bodoh. " Uangmu kurang tidak? Tunggu! Bukankah yang membuat Edo seperti itu juga s
Hari ini hari ketujuh Edo dirawat. Izin untuk pulang pun sudah kukantongi. Namun aku kini menjadi bingung. Mau pulang kemana? Drt... Drt... Drt... "Hallo," Baru saja pulang Mimi sudah langsung menghubungi. Memang temanku yang satu itu ter the best. "Pulang ke rumah aku saja. Emakmu masih emosi. Kasihan Edo nanti kalau sampai menjadi pelampiasan,"ucap Mimi. " Kamu sudah bertemu emak?"tanyaku. Rumah Mimi dan emak sebenarnya jauh. Hanya saja terkadang mereka sering bertemu di tempat belanja. " Sudah. Dia ngoceh ngga karuan! Yang kamu anak tak tau berterima kasih sudah punya suami tidak pernah memberi uang. Yang bilang kamu sudah mencoreng nama baiknya. Yang bilang kamu sudah egois melupakan keluarga. Banyaklah!" jawab Mimi yang membuatku mengelus dada. " Kamu ngga bilang kalau aku tidak pernah pegang uang?" tanyaku. " Lah si Oon! Sudah sampai berbusa mulutku berbicara. Tapi kamu tau apa jawaban emak saat ku beri tahu soal kamu ngga diberi nafkah, "halah, Rahma itu memang
Aku termenung di ruangan kos tiga kali tiga meter ini. Kenapa hidupku jadi seperti ini? Lepas kerja, suami gila, anak sakit-sakitan, rasanya kepalaku sudah ingin pecah saat ini. Edo masih tidur dengan nyenyak. Aku bersyukur akan hal itu. Bayi 2 bulan yang baru keluar dari rumah sakit itu ternyata tidak kaget saat kuajak perjalanan jauh empat jam lamanya. "Ma, makan dulu gih," Mimi menawariku dua bungkus nasi kucing. Lumayanlah buat pengisi perut di malam dingin ini. "Sudah terbayang mau kerja apa?" tanya Mimi. Aku hanya mampu menghembuskan napas. Pabrik tempatku bekerja dulu telah mendapatkan penggantiku. Jadi tidak mau, aku harus mencari kerja di tempat lain. "Apa ya, Mi? Nomor para suplayer juga masih di rumah Asep. Kalau mau tanya-tanya, kok agak gimana ya?" keluhku. Kami para staf dulu saling menutup informasi tentang suplayer kepada staf pabrik lain. Ini untuk menjaga harga agar tetap stabil. "Kulakan. Kayak dulu yang dikerjakan Asep. Kamu survei dulu. Nanti kita cari-c
Mas Rahmat terus menyeretku hingga masuk ke dalam mobilnya. Aku meronta ingin melepaskan diri. Namun tenaga pria ini ternyata sangat kuat hingga aku tak mampu mengimbanginya. Setibanya di sebuah hotel, mas Rahmat kembali menyeretku masuk ke dalam kamar. Sungguh mas Rahmat yang sekarang sangat berbeda dengan pria cupu yang telah membuatku jatuh cinta. "Maaassss, lep-pas!" Aku terus mencoba meronta. Namun mas Rahmat lebih gila lagi mengukungku. "Mas, sadar! Ini salah," ucapku dengan suara bergetar. Aku hanya takut kalau apa yang mas Rahmat lakukan nanti akan menghasilkan bayi. Melihatku terus meronta, mas Rahmat malah justru tersenyum. "Kali ini aku akan melakukannya sampai menghasilkan jabang bayi." ucapnya tanpa ragu. Mas Rahmat mulai menggila dengan memperlakukan aku sesuka hati. "Mas, jangan! Kamu punya istri, Mas. Buatlah dengan istrimu. Aku masih mempunyai Edo yang butuh perhatian penuh." Kali ini mas Rahmat mulai melembut. Tetapi tetap tidak melepaskan aku. Bahkan ci
"KALIAN GILA!!!" Suara pintu yang dibuka paksa membuat perhatian kami berdua tertuju pada seorang perempuan dan beberapa orang yang memaksa masuk ruangan ini. Aku terburu-buru menutup tubuhku dengan selimut. Namun tidak dengan mas Rahmat. Dia tampak santai berganti pakaian dengan disaksikan banyak orang. "Kenapa kalian sampai berbuat seperti ini? Kalau kamu sudah tidak mau dengan aku, kamu bisa langsung menceraikan aku tanpa harus ada adegan seperti ini, Mas!" Agnes menangis dengan penuh drama. Dari mana aku tahu itu? Tentu saja dari senyum sinis yang dia tujukan hanya padaku. " Tentu saja! Andai kamu mau aku ceraikan sedari dulu, aku tak perlu harus kucing-kucingan seperti ini," ucap mas Rahmat sembari mengulurkan pakaian dan menuntunku ke kamar mandi. Agnes terlihat berlari dan hampir saja menjambak rambutku seandainya tidak dilindungi oleh mas Rahmat. " Jangan bertindak seolah-olah kamu adalah korban disini, Nes! Sedari dulu kamu paham kalau aku hanya mencintai Rahma.
"Aku akan membiarkan kalian berselingkuh. Tetapi setelah Rahma hamil dan melahirkan, Rahma harus pergi dan menyerahkan bayi itu padaku,"ucap Agnes dengan angkuhnya. " Kenapa bukan kamu saja yang hamil? Males sakit? Atau takut ngga seksi lagi?"tanya mas Rahmat. Aku hanya diam bersedekap tangan. Drama yang menarik. Aku kepo apa balasan Agnes sekarang. " Kenapa aku harus repot-repot hamil jika selingkuhanmu saja bisa memenuhinya?" balas Agnes kembali. Gila! Patut diacungi jempol keberaniannya. "Lalu apa gunamu sebagai istri? Hanya foya-foya? Atau bermain dengan laki-laki lain mungkin," balasku. Namun sebuah tamparan yang hinggap di pipiku membuatku terkejut. Ternyata budhe menamparku. Siapa budhe ini sebenarnya? Kenapa dia begitu lancang menamparku? " Dasar perempuan murahan! Kamu yang murahan jangan pernah menuduh perempuan lain juga murahan. Sadarlah akan derajatmu yang tak lebih baik dari sampah," sarkas budhe. Mas Rahmat membelai lembut pipiku yang ditampar bud
Malam ini kembali sepi karena Edo sudah tidur. Sedangkan Mimi, dia mengambil pekerjaan sekarang. Aku tidak dapat melarangnya karena diakui atau tidak, aku sudah menjual tubuhku juga bukan. Drt... Drt... Drt... Suara pesan hp terdengar. Hanya kulirik belum berminat untuk membukanya. Tanpa nama? Males. Paling hanya orang iseng. Aku kembali menatap langit yang sangat cerah malam ini. Langit gelap namun masih bertabur cahaya yang meneranginya. Sedangkan aku? Entahlah... "Mbak, ngga kerja?" tanya tetangga kos ku yang aku kenal namanya mbak Marni. "Kerja apa, mbak?" tanya ku balik. Setau aku, aku masih pengangguran. Jadi kalau ditanya tidak bekerja, lalu harus ku jawab kerja apa? "Nyervis suami orang," ucapnya seraya tertawa. Aku sudah tidak baper lagi karena mungkin hati ini sudah terbiasa dihina untuk saat ini. "Dia lagi diservis istrinya, mbak! Atau mbak punya pelanggan yang membutuhkan pelayananku?" balik tanyaku. Terlihat dia gelagapan. "Mana ada aku pelanggan? Aku itu
"Kenapa kalian dulu berpisah?" Aku dan Mimi menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di sekitar rumah sore ini karena sedari tadi aku sudah merasa tidak nyaman di punggung belakangku. "Karena ada masalah," jawabku singkat. Ya kali aku mau bilang kalau kami berpisah karena kepercayaan kuno? Kan tidak masuk akal! "Masalah apa? Aku lihat Rahmat sangat mencintaimu. Jadi pasti bukan dia yang buat masalah kan?" cerca Mimi lagi. Aku hanya menghembuskan napas lelah. Aku tak mau membongkar hal tak penting di masa lalu. Tetapi kenapa, Mimi malah mengoreknya sedari tadi. "Itu semua hanya masa lalu, Mi! Yang mungkin juga akan menjadi masalah suatu saat nanti juga karena kini semua orang menjadi tau, bahwa kami kembali bersama," Aku terdiam. Namun tidak dengan kakiku. Rasa panas di punggung sedari tadi membuatku semakin yakin kalau buah hatiku semakin tidak sabar untuk keluar dari dalam perut. " Balik yuk! Ngeri aku mendengarmu merasakan kesakitan. Apa operasi aja yuk! Jangan khawatir. Nant
"Ngapain kamu disini?" Pagi-pagi buta Mimi sudah terlihat di depan rumahku. Kurang kerjaan sekali sebenarnya. Mentang-mentang sekarang sudah tak kerja malam, jam segini sudah berkeliaran di rumah orang. "Mau jaga kamu. Siapa tau mau lahiran kan?" ucapnya santai. Mimi segera masuk ke dalam kamar yang biasa ia gunakan saat menginap disini. "Edo mana?" tanyanya langsung saat boneka hidupnya tak terlihat. Aku hanya menggeleng melihat sahabatku tak tau diri itu. "Ini masih jam lima. Edo juga masih terlelaplah." Tak kuhiraukan lagi keberadaannya. Aku harus segera beberes mumpung Edo belum terbangun. "Ngga usah masak! Aku dah pesan gulai dari waring depan gang. Lebih baik sekarang, kamu prepare apa yang akan kamu bawa kalau sampai melahirkan." Mimi beralih menuju lemari perlengkapan bayiku. Sedangkan aku, aku malah memilih berdiam diri sembari melihat betapa repotnya sahabatku itu. " Perlengkapan mandi dibawa tidak?" tanya Mimi padaku. Aku hanya menggeleng sebagai jawaba
"Do'amu terkabul. Aku akan menikah dengan seorang mafia." ucap Mimi dengan santainya. Aku sontak tertawa mendengar gurauan Mimi yang tidak tau aturan. Mana ada mafia di zaman sekarang. "Kalau bercanda yang masuk akal sedikit. Mana ada mafia di negara kita," balasku seraya terkekeh. Ada-ada saja!!! Namun tatapan mata tajam Mimi membuatku merasa kalau dia sedang tidak bercanda. "Mi,,," ucapku seraya membalas tatapan tajam matanya. Mimi hanya menjawab dengan mengangguk sebagai jawabannya. Namun... "Hwa...bagaimana ini, Ma! Kenapa ada manusia seperti dia yang mau menerima sampah seperti aku." Teriakan Mimi yang melengking membuat Edo yang sedang bermain pun menjadi ikut terkejut dan menangis. Lekas saja kegeplak punggungnya gemas karena teriakan dia, membuat Edo terkejut dan menangis. " Cup cup cup, sayang! Tante ngga marah kok. Cup cup cup ya." Aku mencoba mengangkat Edo dan menimangnya agar bisa diam. " Jangan teriak bisa ngga sih. Kalau anakku sudah menangis kaya
"Mau kemana kamu?" Aku sebenarnya sudah sangat kesal dengan kehadiran mas Rahmat disini. Tak tau kah dia kenapa aku lebih memilih rumah yang tiada tetangga seperti ini untuk dikontrak? Tentu saja untuk menghindari ucapan pedas dari orang-orang yang mengenalku sebagai orang ketiga diantara pernikahan Rahmat dan Agnes. Namun sepertinya, mas Rahmat tidak pernah peduli tentang hal itu. "Mau apalagi sih kamu kemari, Mas? Aku sudah lelah menjadi pergunjingan warga karena kehadiran kamu yang terus-menerus membuat aku selalu saja disindir yang ngga-ngga," seruku yang mulai lelah dengan sikap mas Rahmat yang bebal. Apalagi Agnes pun pernah datang ke rumah ini hanya untuk mencaci makiku. Sungguh! Kesalahan pertama yang berdampak selamanya kalau sudah seperti ini. " Apanya lagi yang mesti dipermasalahkan sih? Aku duda, kamu janda. Lalu apa salahnya?" ucap mas Rahmat tanpa merasa bersalah. Ingin rasanya kuremas mulut mas Rahmat yang terlalu santai dengan keadaan. Sama sekali dia tak per
Pov Rahma "Kita buat acara tujuh bulanan yang bagaimana ya sebaiknya?" ucap Rahmat dengan senyum melebar mengungkapkan betapa bahagianya dia dengan kehamilanku ini."Huft... Apa kamu ngga malu dengan kehamilanku ini? Setidaknya, jika kamu ngga malu, pikirkan bagaimana perasaanku," ucapku sembari menimang Edo yang terlihat sudah sangat ngantuk sekali. "Kenapa harus malu? Tak ada yang memalukan dengan anak kita," kekeh Rahmat yang membuatku menggeram kesal. "Anak ini ada di luar pernikahan. Nasabnya jatuh padaku, ibunya. Semua orang bahkan tau bahwa aku adalah orang ketiga diantara hubunganmu dengan Agnes dulunya. Apa kamu sadar beban apa yang akan ditanggung anakmu?" tanyaku berapi-api. Bukan aku tak menerimanya. Aku hanya menyesalkan kehadirannya yang diluar pernikahan. Itu akan menjadi ujian yang berat kala ia dewasa nanti. "Aku hanya akan berdoa kepada Tuhan saja semoga aku dan dia baik-baik saja, diberi kelancaran sampai melahirkannya nanti, dia lahir dengan sempurna tanpa
" Dia akan menjadi princess yang cantik dan penuh percaya diri karena ayahnya akan selalu menjadi garda terdepan untuk selalu melindunginya," ucap Rahmat sembari bernapas lega, perempuan yang selama ini dicarinya kini telah ketemu. Apalagi saat melihat perut Rahma yang membuncit, semakin yakin pula bahwa mimpinya bukan sekedar bunga tidur. Rahma dan Mimi tak bisa menyembunyikan raut wajah terkejut. Darimana laki-laki ini bisa menemukan lokasi tempat tinggal Rahma? "Aku sudah membuntuti Mimi berulang kali. Namun baru kali ini tujuan kepergiannya sama seperti tujuanku." Rahmat mendekati Rahma dan mencoba mengelus perutnya. Sebuah sambutan luar biasa karena anak di dalam perutnya juga bergerak seakan mengetahui jika yang menyentuhnya adalah ayahnya. " Selamat sore, anak ayah! Sehat kamu, Nak,"ucap Rahmat yang dibalas sundulan dari janin yang ada didalam perut Rahma. Rahmat tentu saja sangat bahagia pertanyaannya mendapatkan sambutan. Rahma yang tersadar akan kelakuan Rahmat seg
"Apa ini? Bagaimana bisa?" Agnes dan keluarga besarnya sangat terkejut karena tuntutan harta gono-gini tentang sawah, tanah dan ruko yang setau mereka dimiliki Rahmat selama masa pernikahan dengan Agnes ternyata tidak bisa dijadikan bahan tuntutan. Apalagi, fakta yang baru terungkap ternyata Rahmat memiliki semua itu sebelum laki-laki yang akan menjadi mantan suami Agnes itu membelinya sebelum lamaran resmi terjadi. "Bagaimana bisa?" teriak bu Tini karena syok cucunya tak memiliki hak apapun akan harta suaminya. "Bukankah di surat itu sudah tertera jelas kapan aku membelinya? Bahkan jauh sebelum kami menikah, aku sudah memiliki aset-aset tersebut," jawab Rahmat tenang. "Lalu kenapa setelah kalian menikah, pak Haji masih mengelola itu semua? Kenapa bukan kamu sendiri yang mengelola," tanya Ratno yang juga tak kalah terkejut. Andai bakal tau seperti ini, dia akan lebih hati-hati untuk menutupi aib keponakannya. Ini sudah dicerai, tak ada harta lagi. Mau hidup pakai apa Agnes
Keadaan keluarga pak Samsul menjadi tegang. Keadaan sang kepala keluarga menjadi pemicu utamanya. Pak Samsul yang telah dipindah ke dalam ruang rawat biasa namun sedari tadi belum juga membuka mata. "Kenapa kamu jadi semurahan itu, Nes! Ibu bukan hanya kecewa denganmu, tapi ibu juga sangat malu sama Rahmat. Kamu yang meminta untuk jadi istrinya, tetapi kamu juga yang sudah berkhianat darinya. Apa yang kamu inginkan sebenarnya, Nes?" Bu Ana berkata dengan lirih namun sanggup menembus relung hati Agnes. " Bu," Airmata Agnes sudah mengalir dengan deras. Ada penyesalan besar yang bersarang di hatinya. Namun mau bagaimana pun, keadaan tak akan kembali seperti sedia kala. " Ibu sudah melarangmu, tapi kamu yang tetap kekeh dengan pendirianmu. Ibu berusaha menerima Rahmat dengan segala kekurangannya demi kebahagian anak ibu satu-satunya. Namun apa yang ibu unduh, ternyata tak sepadan dengan apa yang ibu" korbankan. Setelah ini, apa lagi yang akan kamu berikan kepada kami, Nes?" tambah bu A
"Oohhhh... Jadi kamu lebih memilih perempuan yang bisa menjadi mantan dari pada saudara sendiri yang suatu saat bisa membantu?" teriak bu Tini seketika menghentikan langkah pak Samsul. "Apakah kurang aku dalam membela keluargaku buk? Apakah kurang pula bantuanku selama ini, buk? Ibu bahkan lebih mengedepankan kebutuhan Ratno daripada aku hingga aku harus berjuang habis-habisan hingga mempunyai segala hal saat ini. Bahkan saat ibu meminta sertifikat dengan alasan tak masuk akal pun, aku tetap memilih ibuk. Karena apa?" Pak Samsul sengaja menjeda ucapannya. Dan itu membuat perhatian semua orang tertuju kepada lelaki paruh baya itu. " Karena aku ingin ibu lebih menghargai Ana sebagai menantu ibu. Ana yang menemani aku berjuang untuk mendapatkan sertifikat itu. Tetapi kenapa dengan lancangnya, ibu memberikan sertifikat itu kepada Ratno. Tak selamanya saudara harus terus membantu tanpa imbal balik, bu! Apalagi sampai membuat anak ibu bertengkar dengan istrinya," sambung pak Samsul kemba