Rahang Victor dan Elena seketika jatuh ke lantai. Mereka mengerjapkan mata karena tidak percaya dengan apa yang dilihat.
Ini memang kali pertama bagi Elena datang ke SweetSky, tapi tidak dengan Victor. Dia sudah sering ke sana, tapi belum pernah sekalipun dia melihat gelandangan masuk. Jangankan para gembel, orang dengan ekonomi menengah saja tidak berani. Mereka akan menjadi miskin setelah makan di sana.
Lantas kegilaan macam apa yang baru dilihatnya? Dia dan Elena bahkan masih tertahan di luar, bagaimana bisa gelandangan dibiarkan masuk?
Dada Victor turun naik seperti mau meledak. Dia berteriak di depan wajah penjaga, “Kenapa kamu mengizinkan mereka masuk?! Kamu ini dungu atau apa?!”
“Ada apa ini, Tuan Victor?” Seorang wanita berusia 40 tahunan dengan pakaian rapi menegur, di belakangnya penjaga mengikuti.
Victor menjadi sumringah. Mendengar manajer restoran tahu dan memanggil namanya, jelas Victor merasa bahwa dia bukan tamu biasa. Penjaga harus tahu itu!
“Nyonya Sisca, syukurlah anda segera ke mari. Jika tidak, mungkin aku sudah menghajar penjaga ini. Lihatlah, dia membiarkan para gembel masuk dan mengotori SweetSky. Jika hal ini sampai dilihat orang lain, jelas ini akan membuat reputasi restoran merosot.”
“Tapi anda jangan khawatir. Sebagai pelanggan khusus, aku akan tutup mulut. Aku tidak akan memberitahukan ini kepada para kolega dan teman-temanku dari kalangan atas. Hal memalukan ini akan menjadi rahasia.” Victor menjelaskan panjang lebar dengan dada membusung, mengira cukup pantas untuk disebut pahlawan penyelamat.
“Apa anda sudah selesai bicara?” Nyonya Sisca tersenyum sinis.
Victor tidak yakin dengan apa yang didengar. “Maaf?”
“Jika anda sudah selesai, silakan tinggalkan restoran ini. Tamu kami sudah datang.” Nyonya Sisca menunjuk ke dalam, ke arah rombongan yang membuat Victor dan Elena jijik. “Kami sangat sibuk dan tidak memiliki waktu untuk berdebat. Tamu-tamu lainnya pasti akan segera tiba juga.”
Elena tertawa mengira Nyonya Sisca sedang bergurau. Dia mengulurkan tangan untuk berkenalan. “Perkenalkan, aku Elena Moore, tunangan Victor Exton. Kami baru bertunangan tadi, dan sekarang akan melakukan makan malam romantis di sini.”
Nyonya Sisca hanya melihat tangan Elena tanpa berniat untuk menjabatnya. “Wow, selamat. Tapi maaf, seperti yang sudah dijelaskan penjaga, SweetSky telah disewa. Acara ini memang mendadak, tetapi kami sudah mengumumkannya di website, serta mengirimkan email pemberitahuan. Bukan bermaksud tidak ramah, tetapi kami tidak ingin membuat pelanggan VVIP tersinggung. Jadi, silakan merayakan pertunangan kalian di tempat lain.”
Mata Victor terbuka lebar. Keningnya berkeringat saat bertanya, “Pelanggan VVIP? Siapa orang yang anda maksud?”
Victor menjadi cemas karena tidak mendengar kabar apa pun tentang orang kelas atas yang menyewa seluruh SweetSky. Dia tidak tahu itu terjadi karena memang acara ini tertutup atau dia dianggap sudah tidak pantas lagi mendapat informasi sepenting itu.
Tepat saat manajer hendak menjawab pertanyaan Victor, suara yang tidak asing menyapa, “Selamat malam, Nyonya Sisca.”
Mereka kompak menoleh. Melihat kenampakkan orang yang menyapa, Victor dan Elena terbelalak. Dengan cepat Elena berteriak, “Jack?! Kenapa kamu ada di sini? Ya ampun, jangan-jangan kamu menguntitku!”
“Anda mengenal Tuan Jack?”
Victor menyahut, “Nyonya Sisca, tolong jangan memanggilnya ‘tuan’. Itu sungguh tidak pantas. Asal anda tahu, pria ini adalah tukang kebun di rumah tunanganku. Dia baru saja dipecat karena terobsesi dengan Elena dan sering melakukan hal gila.”
“Maaf?” Nyonya Sisca mengernyitkan kening.
Melihat raut kekesalan di wajah Nyonya Sisca, Jack menyela, “Aku datang untuk makan malam di sini. Dan kalian, kenapa ada di sini? Mau makan malam juga? Kenapa tidak langsung masuk dan malah berdiri di depan pintu?” Jack menatap tajam Victor dan Elena. Namun, di bibirnya masih tersungging senyum.
Jelas, ini di luar skenario!
Jack tidak tahu jika dua pengkhianat di hadapannya juga berencana untuk makan malam di SweetSky, seperti yang dulu selalu dia impikan. Dia tidak mengira jika akhirnya Elena datang ke restoran bintang lima ini dengan pria lain.
“I-itu bukan urusanmu! Kamu sendiri ke-kenapa berani makan malam di sini?! Apa kamu tahu, satu porsi makanan di sini lebih mahal dari seluruh ongkos yang dikeluarkan untuk berpenampilan sepertimu!” Elena balas mengejek sebab ucapan dan tatapan Jack mencederai harga dirinya.
“Oh, aku tahu, ini pasti karena silinder matamu semakin parah. Astaga, kacamatamu sudah sangat tebal, tetapi penglihatanmu sama buruknya dengan penampilanmu.” Elena melanjutkan.
“Stop! Jaga ucapanmu, Nona Elena! Bicaramu sudah melampaui batas. Tuan Jack adalah tamu kehormatan kami. Menghinanya sama dengan menghina kami.” Nyonya Sisca melerai dengan lantang.
Mulut Victor sempat terbuka lebar. Dia tidak menyangka manajer restoran akan menghardik Elena yang datang bersamanya hanya demi Jack yang tidak berguna. Dia protes, “Nyonya Sisca, tidak semestinya anda berbicara kasar kepada tunanganku!”
“Pertama, ajari tunangan anda berbicara. Kedua, cepat pergi dari sini atau aku akan meminta penjaga membawa paksa kalian.”
“Tenangkan diri anda, Nyonya Sisca.” Jack menengahi.
Dia melanjutkan, “Aku tidak ingin ada keributan yang tidak perlu di hari ulang tahunku. Dan, jika mereka ingin, biarkan mereka masuk untuk mengikuti acara amal ini, makan malam bersama orang tidak mampu.
Jack berbicara dengan sedikit berbisik, “Aku beritahu anda, biarpun mereka berpenampilan menawan, sesungguhnya hidup mereka sangat menyedihkan, hati mereka lebih miskin dari kata miskin itu sendiri.”
Nyonya Sisca menahan tawa, sedangkan Victor dan Elena yang juga mendengar itu menjadi merah wajahnya seperti kepiting rebus.
“Kurang ajar! Dasar pria miskin! Pecundang!” Victor memaki, tapi kemudian dia tersenyum mengejek, “Oh, aku mengerti, rupanya ini acara amal. Pantas saja kamu berani ke mari. Memang yang ada di kepalamu hanya makan gratis. Kamu mengharap bisa makan enak tanpa membayar.”
Elena menimpali, “Sungguh Jack, sebagai mantan istrimu, aku mulai khawatir. Kamu jadi pengangguran karena tunanganku memecatmu. Lalu, kamu terusir dan menjadi gelandangan. Dan sekarang, kamu ada di sini sebagai pengemis! Jack, kemunduran macam apa yang sedang menimpamu, hingga untuk makan saja kamu harus meminta-minta?!”
Sudah muak dengan celoteh Victor dan Elena, tanpa berkata lagi, Nyonya Sisca memberi isyarat pada dua penjaga untuk menyeret mereka pergi dari SweetSky.
“Nyonya Sisca, anda tidak bisa melakukan ini padaku. Anda akan menyesal!” Victor berteriak saat penjaga menarik tangannya untuk menjauh.
Demikian pula dengan Elena yang memekik, “Lepaskan! Lepaskan tanganku! Kalian pesuruh rendahan, tidak pantas menyentuhku!”
Dua penjaga tidak menggubris. Mereka menyeret Victor dan Elena hingga ke area parkir dan baru melepaskan cengkeraman di sana.
Elena kesal melihat penampilannya menjadi berantakan. Dia mengibaskan bekas cengkeraman tangan penjaga, menunjukkan gestur jijik seperti terkena tai.
“Kalian akan membayar ini semua. Kalian tidak tahu aku memiliki koneksi yang luas, kenal baik dengan orang-orang elite. Lihatlah, dalam semalam aku akan membuat mereka jijik dengan SweetSky. Mereka tidak akan sudi menginjak lantai yang sama dengan yang pernah diinjak oleh para gelandangan!” Victor sangat murka.
Tapi penjaga menanggapi dengan santai. Malah, salah seorang dari mereka balas mengancam, “Silakan anda sebarkan hal memalukan ini kepada seluruh kolega anda. Dengan senang hati kami akan membantu dengan mengunggah video rekaman CCTV pengusiran dua penyusup di laman SweetSky.”
“Kalian …” suara Victor melirih. Dia menatap kesal dua penjaga yang pergi, lalu bergumam, “Berani sekali mereka mengancamku.”
Victor tersenyum kecut karena ancaman itu sungguh membuat nyalinya ciut. Terusir dari restoran itu saja sudah sangat memalukan, terlebih dilabeli sebagai penyusup. Jelas, dia tidak memiliki pilihan selain diam, menelan semua perlakuan pahit dari pihak SweetSky.
Namun, terlepas dari semua penghinaan yang diterima, ada satu hal yang mengganjal bantin Victor.
Siapa sebenarnya anggota VVIP itu? Dia bahkan bisa mengubah SweetSky menjadi tempat makan para gembel.
Bola mata Victor membulat saat menyadari sesuatu. “Tunggu, sejak kapan di SweetSky ada kategori VVIP?”
Lift terbuka saat sampai di lantai satu. Jack keluar dari sana setelah selesai mengamati kebahagiaan dari para tamu undangan yang berada di lantai atas. Dia berjalan perlahan, duduk di kursi yang dipesan, persis di ujung ruangan, tanpa meja.Jack tersenyum puas mengetahui para pelayan memperlakukan tamu-tamunya dengan sangat baik, meski penampilan mereka jelas berbeda dari lumrahnya tamu di restoran itu.“Apa anda ingin mencicipi hidangan kami, Tuan? Dengan senang hati kami akan menyiapkannya untuk anda.” Suara wanita mengejutkan Jack. Itu bukan pelayan, melainkan manajer restoran langsung.Jack tersenyum, “Mungkin secangkir kopi.”Nyonya Sisca memanggil pelayan, meminta dibuatkan kopi luwak asli. Dia bertanya lagi, “Mungkin ada yang lainnya, Tuan? Mohon maaf karena member VVIP tidak ada sebelumnya, untuk sementara yang tersedia adalah ruangan VIP. Tapi anda tidak perlu khawatir, hidangan dan pelayanan yang kami berikan tentu lebih istimewa dari yang biasa diterima member VIP.”Sebenar
[Selamat Tuan, sekarang mata anda sudah normal.]Jack meraba-raba matanya, mengulang untuk memakai kacamata hanya untuk dilepaskan kembali, menutup sebelah mata bergantian, dan membuka mata lebar-lebar untuk menatap sekeliling. Dia tersenyum haru, sebelum tertawa lepas. Jack tidak bisa menahannya. Rasanya seperti lahir kembali, melihat isi dunia secara langsung dengan sangat jelas tanpa penghalang lensa lagi.Dia sangat ingat, bagaimana Elena dan keluarganya, juga beberapa rekan kerjanya dulu sering menjadikan sakit silindernya sebagai lelucon. Bahkan, pernah suatu waktu, Tommy sengaja mengambil dan menyembunyikan kacamatanya. Entah bagaimana dirinya yang mesti meraba-raba benda di sekitar karena kesulitan melihat, malah membuat keluarga Elena terbahak-bahak."Sistem, bagaimana kamu melakukannya?" Dia masih sulit percaya. Ini seperti mimpi![Semua berkat kebaikan anda, Tuan. Selama ini anda melihat dengan hati, merasakan kesulitan orang lain, dan senantiasa baik pada siapa pun. Anda m
Jack tersenyum miring lagi. Dia sengaja menginjak jempol kaki Paul kuat-kuat. “Tenang Tuan Hogweed. Aku suka tawar menawar.”Paul meringis. Biarpun berat badan Jack jauh di bawahnya, tetap saja pria itu berdiri bertumpu di atas satu jempol kakinya. Tapi dia tidak mungkin marah. Paul malah memegang kaki Jack, “Katakan Tuan, apa saja akan saya lakukan, asalkan anda tetap merahasiakan dosa-dosa saya dari Grace.”Jack mengambil kakinya dari atas jempol Paul. “Mudah saja. Lakukan tiga hal untukku.”Paul diam berpikir. Jika bukan karena istrinya, jangankan melakukan tiga hal untuk Jack, berlutut padanya seperti sekarang pun dia tidak sudi. Walaupun begitu, tidak mungkin juga dia menawar.“Baik Tuan, dengan senang hati,” jawabnya menahan dongkol.“Pertama, minta ampun padanya.” Jack menunjuk wanita yang bernama Laura Kills itu.Paul menoleh pada Laura untuk memberikan tatapan tajam. Dalam hati dia menentang keras permintaan Jack. Harga dirinya terkoyak! Tapi lisannya mencoba bernegosiasi ba
Memasuki area Paradise Roadway, Jack disambut dengan musik bersemangat yang keras, aroma minuman beralkohol yang pekat, dan sorot lampu warni-warni tapi remang-remang. Di antara hingar bingar itu, terdengar gelak tawa centil para wanita penghibur yang melayani para pelanggannya.“Tuan, ikuti saya.” Laura berbisik, berjalan cepat tapi mengendap-edap.Jack yang melihat ekspresi cemas di wajah Laura, menahan diri untuk bertanya. Dia mengikuti Laura melewati orang-orang yang menari mengikuti irama.Dalam perjalannya itu, Jack terkejut saat tahu bahwa rumah bordil itu juga menjual pakaian. Ia melihat etalase-etalase di samping kanan dan kiri lengkap dengan label harga yang tergantung di kaca, beberapa di antaranya ada yang sedang diskon hingga lebih dari 50%. Tapi, yang terpajang di dalam etalase itu bukanlah manekin melainkan para wanita dan pria sungguhan. Para wanita ada di sisi kiri, sedangkan para pria dipamerkan di kanan.Selain peran manekin yang digantikan dengan orang, hal lain ya
Rumah bordil Paradise Roadway menyediakan tiga jenis kamar untuk para pelanggan yang ingin menginap bersama pelacur atau gigolo, yakni standard room, single room, dan paradise room. Biaya sewa paling murah tentu saja standard room, itu berupa bilik-bilik kecil berderet, berukuran 3x2 meter, yang hanya memuat sebuah tempat tidur.“Apa kamu tahu, berapa biaya sewa per malam untuk kamar terbaik di sini?” Ava menatap tajam Jack sambil meminta para algojo kembali ke sisinya.Jack tidak menyahut, malah melihat Laura yang tampak pucat. Dia merangkul lengan Laura. “Tenang Nona, semua akan baik-baik saja.”“Baik apanya?!” Ava membentak. “Paling tidak, aku akan mencukur habis rambutnya agar impas. Dia kehilangan mahkotanya karena membuatku kehilangan pelanggan.”“Kamu tidak akan melakukannya.” Jack menatap tajam Ava. “Bersiaplah untuk mencium kakiku.”Ava tertawa lantang, begitupun orang-orang yang berkerumun. Mereka sama-sama tahu, Jack yang mereka kira seorang gembel harus memberikan ribuan do
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, gembel sialan!" bentak Jessy sangat kesal.Selama kariernya menjadi pelacur di Paradise Roadway, ini kali pertama Jessy menjumpai seorang pecundang melawan germo yang paling ditakuti di sana. Sekaligus pertama kali pula baginya, Laura, dan orang-orang di sekitar, melihat Ava menjadi lebih sabar dari biasanya. Sekarang Ava bahkan hanya bergeming memandangi layar ponselnya."Mommy?" tanya Jessy melihat tangan Ava bergetar."Jack Hall..." desis Ava sambil mengangkat pandangannya ke arah Jack."Ya, itu namaku."Ava sukses membuat semua orang terbelalak ketika tiba-tiba ia menekuk lututnya di hadapan Jack."Mommy, apa yang kamu lakukan?" Jessy membungkuk dan menarik lengan Ava yang besarnya tiga sampai empat kali lipat darinya, bermaksud untuk membantu Ava berdiri.Namun, tanpa memberikan penjelasan apapun, Ava menepis kuat tangan Jessy hingga tersungkur ke lantai.Jessy akan melakukan protes. Tapi adegan berikutnya membuat mulutnya terbuka lebar."Maa
Jessy mengepalkan tangannya, menahan kesal yang membuat dadanya panas. Ini kali pertama dia dipermalukan oleh Ava, seseorang yang sudah dianggap seperti ibu kandung, di depan banyak orang. Ava menyuruhnya berhati-hati bukan karena mengkhawatirkannya, melainkan lebih mencemaskan sebuah koper.‘Ini hanya koper usang, tapi dia memintaku memperlakukannya seperti guci antik yang berharga!’Harga diri Jessy sebagai primadona Paradise Roadway jelas tercabik-cabik, terlebih dia melihat orang-orang diam-diam menertawakannya. Tapi, dia tidak berani membantah Ava. Dengan menahan kedongkolan, Jessy berjalan di belakang sambil membawa koper sialan itu.“Jessy, kenapa jalanmu lelet sekali?! Percepat langkahmu! Jangan membuat Tuan Hall menunggu!” bentak Ava dari jarak 8 meter.Jessy menggertakkan gigi. Koper itu berat! Dia mengumpat tanpa bersuara. Jessy melakukan protes dengan memberikan tatapan tajam kepada Laura. Dia tak terima!“Abaikan,” bisik Jack pada Laura. Dia merangkul lengan Laura, membua
Jack bisa melihat kecemasan di wajah Laura. Dia mengerti, malam ini pasti berat untuk Laura. Klien yang semena-mena, atasan galak dan otoriter, rekan kerja yang mengintimidasi, benar-benar membentuk lingkungan kerja yang tidak sehat. Sangat sial karena Laura mesti tinggal di tempat itu juga. Dia tidak memiliki jeda untuk istirahat sejenak. Tentu Laura sangat tertekan, pikir Jack.“Kamu mandi saja dulu agar lebih segar.”Laura tersenyum canggung. “Baik, Tuan.” Dia seperti orang bodoh. Bagaimana mungkin dia lupa pada prosedur pertama sebelum menghadapi pelanggan, yakni mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Sedangkan keadaannya saat ini sangat berantakan, berkeringat, dan tidak menarik sama sekali.Di dalam kamar mandi jantung Laura tetap tak terkendali, berdetak kencang seolah dia akan menghadapi perang. Beberapa kali dia mengembuskan napas berat dari mulutnya. Sungguh, rasa gugup yang dia rasakan sekarang lebih besar jika dibandingkan dengan saat dia mengawali debut sebagai seorang pelacu
Ketika membuka dan membaca email dari perusahaan besar itu, Emma terbelalak. Tangan kirinya menutup mulutnya yang terbuka lebar. "Mustahil," desis Emma dengan tatapan yang masih terpaku pada layar ponselnya."Apanya yang mustahil?"Emma menyodorkan ponselnya kepada Jack. "Ini tidak mungkin," katanya lagi sebelum bersandar di kursi.Jack meraih ponsel Emma. Matanya bergerak lincah ke kanan dan ke kiri, membaca kata demi kata, yang membuat Emma terlihat kaget, bingung, heran, perasaannya bercampur aduk hingga membentuk ekspresi wajah yang rumit. Malahan, Emma juga terlihat lemas secara tiba-tiba."Hei, ini kabar baik!" seru Jack bersemangat. Reaksinya saat membaca email itu berbanding terbalik dengan yang ditunjukkan Emma."Kamu mendapat panggilan interview di perusahaan Redwave Group untuk posisi resepsionis. Itu sangat bagus, Emma! Berikan tanganmu!"Masih dengan gesture bingung Emma menurut saja mengulurkan tangannya. Dengan cepat Jack menggenggam dan mengguncangkannya. "Selamat, Em
Sejak mendengar kisah kegagalan Jack dalam pernikahan sebelumnya, Emma mulai menyadari bahwa hal buruk yang menimpanya, tidak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang dialami Jack.Mendapat pengkhianatan dari orang-orang terdekat, tanpa ada satu pun orang yang memihak dan mendukungnya, terusir dari rumah yang dibeli dari hasil jirih payah sendiri, kehilangan pekerjaan dan keluarga sekaligus, lengkap dengan segala hinaan dan cacian yang selalu didengar, rupanya tidak membuat Jack menjadi pribadi yang murung. Padahal semua keburukan itu Jack terima setelah dia melakukan pengabdian dan pengorbanan, serta dedikasi sepenuh hati.Sungguh, melihat Jack yang murah senyum, Emma tidak akan pernah menduga jika pria itu telah melewati masa-masa yang begitu sulit dalam hidupnya; sebuah fase penuh penderitaan yang bahkan tidak akan cukup terwakilkan oleh kata ‘penderitaan’ itu sendiri.Emma sudah memetik hikmah dari proses menyakitkan yang membentuk Jack menjadi seorang yang bijak. Dia seperti me
Mata Emma membulat, mengetahui bahwa ternyata sang nenek mengetahui semua. Dia berusaha tersenyum agar neneknya tidak mencemaskan keadaannya. “Nenek, aku baik-baik saja. Hanya, aku dan Andrew memang tidak berjodoh. Ini tidak seburuk itu. Tapi aku bersyukur ada Jack di sisiku.”“Aku senang mendengarnya. Aku berdoa agar kamu berjodoh dengan pria baik. Dan Emma, ketahuilah, tidak ada kebetulan dalam hidup. Pertemuanmu dengan Jack adalah takdir baik, sebuah berkat dan keberuntungan yang Tuhan berikan. Emma, aku sudah tua. Dan kematian adalah sebuah kepastian. Tapi Sayang, kamu harus tahu, aku akan mati dengan tenang jika meninggalkanmu bersama Jack,” pesan Nenek ketika Emma menyelimutinya.Kedua pipi Emma memerah, matanya berkaca-kaca lagi karena terharu. Dia meminta sang nenek untuk lekas tidur dan berhenti berpikir macam-macam.“Selamat malam, Nek.” Emma mengecup kening neneknya. Dia beranjak dan menutup pintu kamar, mengembuskan napas berat sebelum pergi.Dalam langkah pelan menuju rua
Emma mengambil foto tersebut dari tangan Jack. Dia mengamatinya lekat-lekat nyaris tanpa berkedip, sambil mengingat-ingat orang-orang yang pernah dia temui. Semakin lama memandang, semakin banyak kerutan di keningnya.“Um, sebentar, sepertinya aku pernah melihat seseorang yang wajahnya mirip ini. Jika dihitung-hitung, dia mungkin berusia 30 tahun sekarang. Hm, sebentar, siapa ya, siapa laki-laki usia segitu yang aku temui.” Emma memejamkan mata, berusaha lebih fokus mengingat sambil mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri.Beberapa saat kemudian, Emma membuka matanya lebar. Dia memandangi potret anak laki-laki itu lagi. Dengan antusias dia menoleh pada Jack, lalu melihat foto lagi, dan kembali menatap Jack. Dia mengulangi itu sekali lagi sebelum senyum lebar muncul di wajahnya.“Hei Jack, dia mirip denganmu!” serunya sangat bersemangat.Tapi Jack hanya tersenyum miring dan berkata, “Benarkah?”“Iya! Kalian mirip! Ya Tuhan, ini seperti fotomu saat masih kecil, Jack! Bagaimana bisa? Kebetulan
Ini memang bukan pertemuan pertama Jack dengan nenek Emma. Sebelumnya, dia sudah pernah melihat wanita tua itu ketika mengadakan makan malam gratis bagi orang-orang tidak mampu di restoran elite SweetSky. Itupun Jack yakin hanya dirinya yang memerhatikan sang nenek, dan tidak sebaliknya.Seandainya memang saat itu Nenek juga memerhatikan Jack, reaksinya saat ini agaknya sedikit berlebihan. Nenek bersikap seperti baru saja bertemu dengan seseorang yang sudah sangat dikenal setelah sekian lama tidak berjumpa.Meskipun begitu, Jack sekarang menyunggingkan senyum. Dengan lembut dia berkata, “Ini aku, Jack Hall. Senang bertemu dengan wanita secantik anda.”Gurauan Jack yang berusaha memupuk kehangatan dengan Nenek, bahkan berhasil membuat Emma tertawa kecil. Namun, tidak dengan Nenek yang malah menggeleng sambil menitikan air mata.Jack melirik Emma. Dia khawatir sudah menyinggung sang nenek, atau tanpa sengaja melakukan suatu kesalahan.“Ada apa, Nek?” Emma turut berlutut di samping Jack.
Irene membuka pintu ruangannya. Penjaga yang baru masuk menerangkan lebih gamblang tentang situasi di lantai atas.Mendengar laporan dari penjaga, Emma segera mencengkeram lengan Jack. Wajahnya mendadak pucat dengan kerutan memenuhi kening.Jack berusaha menenangkan Emma. Dia meminta Emma tetap tinggal selagi dia akan kembali ke ruang 3F.“Bagaimana jika mereka menyakitimu? Jack, Andrew dan teman-temannya tidak akan membiarkan kamu lolos setelah kamu membuat kepala Jimmy bocor. Mereka pasti akan membalasmu.”“Apa?” Irene tersentak. Cerita dari Jack hanya tentang pelarian mereka dari para pria mesum, yang ditahan di ruang 3F oleh penjaga. Dia tidak tahu sama sekali jika Jack nekat menyakiti salah seorang dari mereka demi melindungi Emma.“Itu benar, aku memukul kepalanya dengan botol. Tapi aku belum membuat kepala Andrew bocor. Aku akan kembali untuk melakukannya. Dia dan yang lainnya pantas diberi pelajaran.” Tatapan Jack tajam mengintimidasi.Irene bisa melihat dengan jelas bahwa Jac
Irene Walker menatap lekat Jack yang mengangkat tangannya, hendak membalas pelukan Emma tapi masih ragu-ragu. Sampai akhirnya ia tersenyum getir menyaksikan Jack mendekap Emma.“Tidak apa-apa, menangislah Emma. Aku tahu, itu memang tidak mudah.”Irene tidak tahu mengapa, tapi sungguh tenggorokannya seperti tercekat, hingga ia kesulitan untuk sekadar menelan ludah. Ini sangat aneh jika ternyata ia sedang patah hati sekarang, jelas-jelas ini adalah hari pertama ia bertemu dengan Jack. Apa mungkin ada perasaan cinta yang begitu instan, tetapi cukup mendalam?Irene menggelengkan kepala, menunduk meragukan kewarasannya sendiri.“Aku kira ini akan menjadi malam yang penting dan berkesan karena akhirnya setelah berbulan-bulan berpacaran, hubunganku dengan Andrew mengalami kemajuan. Tapi ternyata…” Emma menggeleng sambil menelan kepahitan. Ia terisak lagi karena teringat betapa kejinya Andrew yang selama ini ia cintai.“Aku mengerti.” Jack mengusap-usap punggung Emma dengan lembut.Emma mempe
Andrew berhasil membuat Emma bersedia kembali dalam pesta. Sungguh, melihat Emma tersenyum padanya ketika berjalan kembali melewatinya, membuat Jack ingin menarik tangan wanita itu, mengajaknya pergi dari ruangan yang berisi orang-orang mesum. Namun, Jack sadar benar, bahwa hubungannya dengan Emma baru sebentar, tidak lebih dari jalinan kasih Emma dengan pacarnya. Jack tidak mau Emma mengira dirinya berdusta, terlebih Andrew pasti tidak akan diam saja saat kejahatannya terbongkar. Melihat sifat Andrew yang manipulatif, Jack memilih untuk menahan diri, hingga niat busuk pria itu terkuak sendiri. "Ini dia yang kita tunggu-tunggu. Bagaimana Andrew, apa kamu sudah membereskan masalahmu?" tanya Jimmy sambil menggerak-gerakkan kedua alisnya turun naik. Andrew menjawab dengan mengangkat jempol tangannya. Dia mengajak Emma untuk duduk di tempat semula. Ketika itu Emma masih terlihat tidak nyaman, tetapi dia mencoba untuk percaya pada pacarnya. Rupanya, di atas meja sudah ada banyak kado.
Jack berlari menuju meja resepsionis sambil terus menelepon Emma.Saat sampai di meja resepsionis, Jack menanyakan kedatangan Emma dengan menerangkan ciri-cirinya. Resepsionis tampak berpikir, mengingat-ingat dan membandingkan ciri-ciri wanita yang disebutkan Jack dengan pengunjung wanita di The Groove Spot."Sepertinya aku melihatnya masuk beberapa menit lalu."Mata Jack membulat. Dia ingat bahwa foto profil di nomor ponsel Emma adalah potret Emma. Dia menunjukkan foto itu pada resepsionis. "Apa ini wanita yang kamu lihat?""Benar! Memang dia yang aku lihat. Dia mengenakan dress putih, datang bergandengan dengan seorang pria berambut panjang terikat."Jack berterima kasih, lalu berlari menuju lantai tiga sambil terus menelepon Emma."Halo, Jack," kata Emma akhirnya, dari ujung telepon. Suaranya masih terdengar ceria."Emma, kamu sudah sampai di The Groove Spot ya? Aku akan menghampirimu dan berkenalan dengan pacarmu. Um, aku di tempat karaoke itu sekarang." "Benarkah? Itu bagus! Ak