Rumah bordil Paradise Roadway menyediakan tiga jenis kamar untuk para pelanggan yang ingin menginap bersama pelacur atau gigolo, yakni standard room, single room, dan paradise room. Biaya sewa paling murah tentu saja standard room, itu berupa bilik-bilik kecil berderet, berukuran 3x2 meter, yang hanya memuat sebuah tempat tidur.“Apa kamu tahu, berapa biaya sewa per malam untuk kamar terbaik di sini?” Ava menatap tajam Jack sambil meminta para algojo kembali ke sisinya.Jack tidak menyahut, malah melihat Laura yang tampak pucat. Dia merangkul lengan Laura. “Tenang Nona, semua akan baik-baik saja.”“Baik apanya?!” Ava membentak. “Paling tidak, aku akan mencukur habis rambutnya agar impas. Dia kehilangan mahkotanya karena membuatku kehilangan pelanggan.”“Kamu tidak akan melakukannya.” Jack menatap tajam Ava. “Bersiaplah untuk mencium kakiku.”Ava tertawa lantang, begitupun orang-orang yang berkerumun. Mereka sama-sama tahu, Jack yang mereka kira seorang gembel harus memberikan ribuan do
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, gembel sialan!" bentak Jessy sangat kesal.Selama kariernya menjadi pelacur di Paradise Roadway, ini kali pertama Jessy menjumpai seorang pecundang melawan germo yang paling ditakuti di sana. Sekaligus pertama kali pula baginya, Laura, dan orang-orang di sekitar, melihat Ava menjadi lebih sabar dari biasanya. Sekarang Ava bahkan hanya bergeming memandangi layar ponselnya."Mommy?" tanya Jessy melihat tangan Ava bergetar."Jack Hall..." desis Ava sambil mengangkat pandangannya ke arah Jack."Ya, itu namaku."Ava sukses membuat semua orang terbelalak ketika tiba-tiba ia menekuk lututnya di hadapan Jack."Mommy, apa yang kamu lakukan?" Jessy membungkuk dan menarik lengan Ava yang besarnya tiga sampai empat kali lipat darinya, bermaksud untuk membantu Ava berdiri.Namun, tanpa memberikan penjelasan apapun, Ava menepis kuat tangan Jessy hingga tersungkur ke lantai.Jessy akan melakukan protes. Tapi adegan berikutnya membuat mulutnya terbuka lebar."Maa
Jessy mengepalkan tangannya, menahan kesal yang membuat dadanya panas. Ini kali pertama dia dipermalukan oleh Ava, seseorang yang sudah dianggap seperti ibu kandung, di depan banyak orang. Ava menyuruhnya berhati-hati bukan karena mengkhawatirkannya, melainkan lebih mencemaskan sebuah koper.‘Ini hanya koper usang, tapi dia memintaku memperlakukannya seperti guci antik yang berharga!’Harga diri Jessy sebagai primadona Paradise Roadway jelas tercabik-cabik, terlebih dia melihat orang-orang diam-diam menertawakannya. Tapi, dia tidak berani membantah Ava. Dengan menahan kedongkolan, Jessy berjalan di belakang sambil membawa koper sialan itu.“Jessy, kenapa jalanmu lelet sekali?! Percepat langkahmu! Jangan membuat Tuan Hall menunggu!” bentak Ava dari jarak 8 meter.Jessy menggertakkan gigi. Koper itu berat! Dia mengumpat tanpa bersuara. Jessy melakukan protes dengan memberikan tatapan tajam kepada Laura. Dia tak terima!“Abaikan,” bisik Jack pada Laura. Dia merangkul lengan Laura, membua
Jack bisa melihat kecemasan di wajah Laura. Dia mengerti, malam ini pasti berat untuk Laura. Klien yang semena-mena, atasan galak dan otoriter, rekan kerja yang mengintimidasi, benar-benar membentuk lingkungan kerja yang tidak sehat. Sangat sial karena Laura mesti tinggal di tempat itu juga. Dia tidak memiliki jeda untuk istirahat sejenak. Tentu Laura sangat tertekan, pikir Jack.“Kamu mandi saja dulu agar lebih segar.”Laura tersenyum canggung. “Baik, Tuan.” Dia seperti orang bodoh. Bagaimana mungkin dia lupa pada prosedur pertama sebelum menghadapi pelanggan, yakni mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Sedangkan keadaannya saat ini sangat berantakan, berkeringat, dan tidak menarik sama sekali.Di dalam kamar mandi jantung Laura tetap tak terkendali, berdetak kencang seolah dia akan menghadapi perang. Beberapa kali dia mengembuskan napas berat dari mulutnya. Sungguh, rasa gugup yang dia rasakan sekarang lebih besar jika dibandingkan dengan saat dia mengawali debut sebagai seorang pelacu
Mendengar nominal itu, lutut Ava mendadak lemas. Jika bodyguard-nya tidak sigap menangkapnya, tentu dia terduduk di lantai sekarang."A-apa, Tuan?" Ava memastikan lagi. Walaupun dia yakin dengan pendengarannya tadi, rasanya Ava ingin mendengar kabar menakjubkan itu sekali lagi.Jack menjelaskan, "Ava, aku membayar untuk biaya sewa Nona Kills sekaligus Paradise Room untuk seminggu penuh. Lalu, $50,000 sebagai tip untuk Nona Kills. Sisanya, ambilah untukmu."Ava tidak bisa berkata apa-apa. Rasanya dia ingin melompat karena terlalu senang. Tapi dia menahan diri karena tidak mau membuat Tuan Hall merasa aneh melihat tingkahnya. Dia hanya mengangguk dengan mata berbinar-binar."Ingat, selama itu, tidak ada yang boleh menyentuh Nona Kills. Dan, tidak ada yang boleh mengusirnya dari kamar yang sudah aku sewa. Kamu pun tidak boleh menyuruhnya untuk sekadar menemani pelanggan minum-minum. Apa aku bisa mempercayaimu, Ava?" Jack memberikan tatapan tajam."Tentu, Tuan. Aku akan menjaga Laura deng
Sesuai rencana, pagi ini Jack bersemangat untuk membeli hunian baru. Dengan skuter tuanya, dia melaju ke area perumahan elite Blossom Hills. Sebagai nasabah prioritas dengan saldo tabungan paling besar, Jack mendapat undangan khusus dari Greatest Bank untuk menghadiri lelang sebuah flat apartemen mewah Greenwoods City, yang diselenggarakan di perumahan tersebut.Saat tiba di tempat itu, ternyata juga ada pameran untuk unit-unit mewah lainnya yang masih kosong. Acara bertajub PropVaganza itu dihadiri oleh banyak orang dari berbagai kalangan. Ada yang datang memang dengan niatan membeli, tapi banyak pula yang hadir sekadar untuk melihat-lihat, mengambil foto, mencari teman kencan, dan jalan-jalan santai, terlebih acara diramaikan dengan berbagai penampilan artis-artis lokal.Jack sangat antusias melihat pameran. Dia mengambil brosur yang disediakan untuk mengetahui fasilitas-fasilitas yang ada di apartemen itu. “Menarik,” komentarnya singkat.Walaupun flat-flat di gedung apartemen Green
Victor menggelengkan kepala, “Kamu tidak akan percaya ini, tapi aku dan Elena adalah saksi hidup peristiwa bersejarah itu!”Mata Tom terbuka lebar. Dengan antusias dia menyergap, “Sungguh? Bagaimana bisa? Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi?”Victor mulai menceritakan kejadian itu dengan berapi-api. Jack yang mendengarnya sampai melipat bibir ke dalam karena berusaha untuk tidak terkekeh.Apa yang diucapkan Victor memang dilebih-lebihkan, dan tidak mengungkap semua secara gamblang. Hal memalukan yang Victor dan Elena alami sengaja ditutup-tutupi.“Sebenarnya kami dipaksa ikut, tapi kami menolak karena ya khawatir membuat orang-orang miskin itu menjadi rendah diri. Kamu pahamlah, dari penampilan kami saja jelas sangat kontras dengan mereka. Kami tidak ingin merusak kebahagiaan mereka.”“Sangat keren! Jadi Victor, kamu tahu siapa Tuan Filantropi itu sebenarnya?” Tom sampai mencondongkan tubuhnya ke depan, harap-harap dia akan mendengar kabar gembira.Victor menjadi gugup. Dia meno
Pemimpin lelang berjalan ke podium yang berada di tengah-tengah panggung. Di sisi kanan panggung, Terapat lima anggota panitia yang duduk berderet, yang masing-masing bertanggung jawab mengangkat panggilan dari telepon-telepon yang ada di atas meja di hadapan mereka.Benar, meskipun peserta lelang yang hadir langsung di aula Blossom Hills dibatasi hanya 50 orang saja, lelang tersebut bisa diikuti secara live oleh masyarakat karena disiarkan di salah satu radio swasta nasional. Orang-orang bisa melakukan penawaran melalui sambungan telepon.Lelang flat apartemen milik kolektor Steve Brown dibuka dengan harga $5,5 juta. Para peserta, baik yang langsung maupun tidak langsung, sangat antusias memberikan penawaran. Seorang wanita berbaju biru yang duduk di deret depan menaikkan harga flat sebesar $50,000. Tidak mau kalah seorang peserta lain memberikan penawaran harga $100,000 dolar lebih besar dari harga awal.Telepon-telepon berdering atas panggilan dari orang-orang yang menginginkan fla
Ketika membuka dan membaca email dari perusahaan besar itu, Emma terbelalak. Tangan kirinya menutup mulutnya yang terbuka lebar. "Mustahil," desis Emma dengan tatapan yang masih terpaku pada layar ponselnya."Apanya yang mustahil?"Emma menyodorkan ponselnya kepada Jack. "Ini tidak mungkin," katanya lagi sebelum bersandar di kursi.Jack meraih ponsel Emma. Matanya bergerak lincah ke kanan dan ke kiri, membaca kata demi kata, yang membuat Emma terlihat kaget, bingung, heran, perasaannya bercampur aduk hingga membentuk ekspresi wajah yang rumit. Malahan, Emma juga terlihat lemas secara tiba-tiba."Hei, ini kabar baik!" seru Jack bersemangat. Reaksinya saat membaca email itu berbanding terbalik dengan yang ditunjukkan Emma."Kamu mendapat panggilan interview di perusahaan Redwave Group untuk posisi resepsionis. Itu sangat bagus, Emma! Berikan tanganmu!"Masih dengan gesture bingung Emma menurut saja mengulurkan tangannya. Dengan cepat Jack menggenggam dan mengguncangkannya. "Selamat, Em
Sejak mendengar kisah kegagalan Jack dalam pernikahan sebelumnya, Emma mulai menyadari bahwa hal buruk yang menimpanya, tidak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang dialami Jack.Mendapat pengkhianatan dari orang-orang terdekat, tanpa ada satu pun orang yang memihak dan mendukungnya, terusir dari rumah yang dibeli dari hasil jirih payah sendiri, kehilangan pekerjaan dan keluarga sekaligus, lengkap dengan segala hinaan dan cacian yang selalu didengar, rupanya tidak membuat Jack menjadi pribadi yang murung. Padahal semua keburukan itu Jack terima setelah dia melakukan pengabdian dan pengorbanan, serta dedikasi sepenuh hati.Sungguh, melihat Jack yang murah senyum, Emma tidak akan pernah menduga jika pria itu telah melewati masa-masa yang begitu sulit dalam hidupnya; sebuah fase penuh penderitaan yang bahkan tidak akan cukup terwakilkan oleh kata ‘penderitaan’ itu sendiri.Emma sudah memetik hikmah dari proses menyakitkan yang membentuk Jack menjadi seorang yang bijak. Dia seperti me
Mata Emma membulat, mengetahui bahwa ternyata sang nenek mengetahui semua. Dia berusaha tersenyum agar neneknya tidak mencemaskan keadaannya. “Nenek, aku baik-baik saja. Hanya, aku dan Andrew memang tidak berjodoh. Ini tidak seburuk itu. Tapi aku bersyukur ada Jack di sisiku.”“Aku senang mendengarnya. Aku berdoa agar kamu berjodoh dengan pria baik. Dan Emma, ketahuilah, tidak ada kebetulan dalam hidup. Pertemuanmu dengan Jack adalah takdir baik, sebuah berkat dan keberuntungan yang Tuhan berikan. Emma, aku sudah tua. Dan kematian adalah sebuah kepastian. Tapi Sayang, kamu harus tahu, aku akan mati dengan tenang jika meninggalkanmu bersama Jack,” pesan Nenek ketika Emma menyelimutinya.Kedua pipi Emma memerah, matanya berkaca-kaca lagi karena terharu. Dia meminta sang nenek untuk lekas tidur dan berhenti berpikir macam-macam.“Selamat malam, Nek.” Emma mengecup kening neneknya. Dia beranjak dan menutup pintu kamar, mengembuskan napas berat sebelum pergi.Dalam langkah pelan menuju rua
Emma mengambil foto tersebut dari tangan Jack. Dia mengamatinya lekat-lekat nyaris tanpa berkedip, sambil mengingat-ingat orang-orang yang pernah dia temui. Semakin lama memandang, semakin banyak kerutan di keningnya.“Um, sebentar, sepertinya aku pernah melihat seseorang yang wajahnya mirip ini. Jika dihitung-hitung, dia mungkin berusia 30 tahun sekarang. Hm, sebentar, siapa ya, siapa laki-laki usia segitu yang aku temui.” Emma memejamkan mata, berusaha lebih fokus mengingat sambil mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri.Beberapa saat kemudian, Emma membuka matanya lebar. Dia memandangi potret anak laki-laki itu lagi. Dengan antusias dia menoleh pada Jack, lalu melihat foto lagi, dan kembali menatap Jack. Dia mengulangi itu sekali lagi sebelum senyum lebar muncul di wajahnya.“Hei Jack, dia mirip denganmu!” serunya sangat bersemangat.Tapi Jack hanya tersenyum miring dan berkata, “Benarkah?”“Iya! Kalian mirip! Ya Tuhan, ini seperti fotomu saat masih kecil, Jack! Bagaimana bisa? Kebetulan
Ini memang bukan pertemuan pertama Jack dengan nenek Emma. Sebelumnya, dia sudah pernah melihat wanita tua itu ketika mengadakan makan malam gratis bagi orang-orang tidak mampu di restoran elite SweetSky. Itupun Jack yakin hanya dirinya yang memerhatikan sang nenek, dan tidak sebaliknya.Seandainya memang saat itu Nenek juga memerhatikan Jack, reaksinya saat ini agaknya sedikit berlebihan. Nenek bersikap seperti baru saja bertemu dengan seseorang yang sudah sangat dikenal setelah sekian lama tidak berjumpa.Meskipun begitu, Jack sekarang menyunggingkan senyum. Dengan lembut dia berkata, “Ini aku, Jack Hall. Senang bertemu dengan wanita secantik anda.”Gurauan Jack yang berusaha memupuk kehangatan dengan Nenek, bahkan berhasil membuat Emma tertawa kecil. Namun, tidak dengan Nenek yang malah menggeleng sambil menitikan air mata.Jack melirik Emma. Dia khawatir sudah menyinggung sang nenek, atau tanpa sengaja melakukan suatu kesalahan.“Ada apa, Nek?” Emma turut berlutut di samping Jack.
Irene membuka pintu ruangannya. Penjaga yang baru masuk menerangkan lebih gamblang tentang situasi di lantai atas.Mendengar laporan dari penjaga, Emma segera mencengkeram lengan Jack. Wajahnya mendadak pucat dengan kerutan memenuhi kening.Jack berusaha menenangkan Emma. Dia meminta Emma tetap tinggal selagi dia akan kembali ke ruang 3F.“Bagaimana jika mereka menyakitimu? Jack, Andrew dan teman-temannya tidak akan membiarkan kamu lolos setelah kamu membuat kepala Jimmy bocor. Mereka pasti akan membalasmu.”“Apa?” Irene tersentak. Cerita dari Jack hanya tentang pelarian mereka dari para pria mesum, yang ditahan di ruang 3F oleh penjaga. Dia tidak tahu sama sekali jika Jack nekat menyakiti salah seorang dari mereka demi melindungi Emma.“Itu benar, aku memukul kepalanya dengan botol. Tapi aku belum membuat kepala Andrew bocor. Aku akan kembali untuk melakukannya. Dia dan yang lainnya pantas diberi pelajaran.” Tatapan Jack tajam mengintimidasi.Irene bisa melihat dengan jelas bahwa Jac
Irene Walker menatap lekat Jack yang mengangkat tangannya, hendak membalas pelukan Emma tapi masih ragu-ragu. Sampai akhirnya ia tersenyum getir menyaksikan Jack mendekap Emma.“Tidak apa-apa, menangislah Emma. Aku tahu, itu memang tidak mudah.”Irene tidak tahu mengapa, tapi sungguh tenggorokannya seperti tercekat, hingga ia kesulitan untuk sekadar menelan ludah. Ini sangat aneh jika ternyata ia sedang patah hati sekarang, jelas-jelas ini adalah hari pertama ia bertemu dengan Jack. Apa mungkin ada perasaan cinta yang begitu instan, tetapi cukup mendalam?Irene menggelengkan kepala, menunduk meragukan kewarasannya sendiri.“Aku kira ini akan menjadi malam yang penting dan berkesan karena akhirnya setelah berbulan-bulan berpacaran, hubunganku dengan Andrew mengalami kemajuan. Tapi ternyata…” Emma menggeleng sambil menelan kepahitan. Ia terisak lagi karena teringat betapa kejinya Andrew yang selama ini ia cintai.“Aku mengerti.” Jack mengusap-usap punggung Emma dengan lembut.Emma mempe
Andrew berhasil membuat Emma bersedia kembali dalam pesta. Sungguh, melihat Emma tersenyum padanya ketika berjalan kembali melewatinya, membuat Jack ingin menarik tangan wanita itu, mengajaknya pergi dari ruangan yang berisi orang-orang mesum. Namun, Jack sadar benar, bahwa hubungannya dengan Emma baru sebentar, tidak lebih dari jalinan kasih Emma dengan pacarnya. Jack tidak mau Emma mengira dirinya berdusta, terlebih Andrew pasti tidak akan diam saja saat kejahatannya terbongkar. Melihat sifat Andrew yang manipulatif, Jack memilih untuk menahan diri, hingga niat busuk pria itu terkuak sendiri. "Ini dia yang kita tunggu-tunggu. Bagaimana Andrew, apa kamu sudah membereskan masalahmu?" tanya Jimmy sambil menggerak-gerakkan kedua alisnya turun naik. Andrew menjawab dengan mengangkat jempol tangannya. Dia mengajak Emma untuk duduk di tempat semula. Ketika itu Emma masih terlihat tidak nyaman, tetapi dia mencoba untuk percaya pada pacarnya. Rupanya, di atas meja sudah ada banyak kado.
Jack berlari menuju meja resepsionis sambil terus menelepon Emma.Saat sampai di meja resepsionis, Jack menanyakan kedatangan Emma dengan menerangkan ciri-cirinya. Resepsionis tampak berpikir, mengingat-ingat dan membandingkan ciri-ciri wanita yang disebutkan Jack dengan pengunjung wanita di The Groove Spot."Sepertinya aku melihatnya masuk beberapa menit lalu."Mata Jack membulat. Dia ingat bahwa foto profil di nomor ponsel Emma adalah potret Emma. Dia menunjukkan foto itu pada resepsionis. "Apa ini wanita yang kamu lihat?""Benar! Memang dia yang aku lihat. Dia mengenakan dress putih, datang bergandengan dengan seorang pria berambut panjang terikat."Jack berterima kasih, lalu berlari menuju lantai tiga sambil terus menelepon Emma."Halo, Jack," kata Emma akhirnya, dari ujung telepon. Suaranya masih terdengar ceria."Emma, kamu sudah sampai di The Groove Spot ya? Aku akan menghampirimu dan berkenalan dengan pacarmu. Um, aku di tempat karaoke itu sekarang." "Benarkah? Itu bagus! Ak