Jack tersenyum miring lagi. Dia sengaja menginjak jempol kaki Paul kuat-kuat. “Tenang Tuan Hogweed. Aku suka tawar menawar.”
Paul meringis. Biarpun berat badan Jack jauh di bawahnya, tetap saja pria itu berdiri bertumpu di atas satu jempol kakinya. Tapi dia tidak mungkin marah. Paul malah memegang kaki Jack, “Katakan Tuan, apa saja akan saya lakukan, asalkan anda tetap merahasiakan dosa-dosa saya dari Grace.”
Jack mengambil kakinya dari atas jempol Paul. “Mudah saja. Lakukan tiga hal untukku.”
Paul diam berpikir. Jika bukan karena istrinya, jangankan melakukan tiga hal untuk Jack, berlutut padanya seperti sekarang pun dia tidak sudi. Walaupun begitu, tidak mungkin juga dia menawar.
“Baik Tuan, dengan senang hati,” jawabnya menahan dongkol.
“Pertama, minta ampun padanya.” Jack menunjuk wanita yang bernama Laura Kills itu.
Paul menoleh pada Laura untuk memberikan tatapan tajam. Dalam hati dia menentang keras permintaan Jack. Harga dirinya terkoyak! Tapi lisannya mencoba bernegosiasi baik-baik, “Tuan, saya akan melakukan yang lainnya, tapi tidak dengan meminta maaf pada wanita jalang ini.”
“Saya akan merelakan uang penuh yang sudah saya bayarkan, dan itu sudah sangat cukup. Tidak perlu meminta maaf. Dia beruntung bertemu dengan anda, jika tidak dia pasti akan pulang dengan banyak luka memar.” Paul masih mengintimidasi Laura.
“Terserah padamu. Hanya saja Tuan, setiap pilihan ada konsekuensinya.” Jack membalas Paul dengan tatapan lebih mengintimidasi.
Paul menelan ludah. Bayang-bayang kemurkaan istrinya membuat Paul tidak punya pilihan. Terpaksa dia menjawab, “Baik, Tuan. Aku akan melakukannya.” Paul kalah. Giginya gemeretak. Dia sempat memukulkan tinju ke tanah sebelum berdiri.
“Siapa yang mengizinkanmu berdiri?” sergap Jack.
Paul tersentak. Sesaat tercermin dari ekspresi wajahnya, bahwa dia mengumpat dalam hati. Tentu Paul yang biasa dilayani, tidak terima diperlakukan seperti ini. Tapi, apa dia bisa melawan? Tidak sama sekali.
Laura menutup mulutnya dengan kedua tangan saat melihat Paul kembali menempelkan lututnya ke tanah, lalu bergerak mendekatinya.
Laura refleks mundur!
“Kurang ajar! Kenapa-”
Belum sampai Paul menuntaskan kekesalannya, Jack bertanya menohok, “Apa seperti itu etika meminta maaf, Tuan Lacton.”
Mata Paul terbelalak mendengar Jack melantangkan penyebutan nama marga yang seperti kutukan untuknya. Dia segera merevisi ucapannya pada Laura. “Nona Kills.” Paul mengambil jeda untuk menahan rasa mual.
Sementara itu, Laura tersenyum senang mendengar sapaan itu. Berulangkali berurusan dengan pria gila bernama Paul, itu kali pertama namanya disebut dengan bermartabat, dan ternyata namanya cukup pantas.
“Ya,” jawab Laura.
Paul mendongak untuk memberi Laura tatapan tajam. Seperti mengadu, Laura membalas dengan menatap Jack. Dan sebagai responsnya, Jack menendang punggung Paul.
Paul memaksa tersenyum dengan tulang rahang yang lebih menonjol, “Nona, aku menyesal, tolong maafkan aku.”
“Ya, Tuan Hogweed, saya maafkan.”
“Jangan!” Jack menyahut. Dia mendekati Laura. “Nona, pria ini sudah menyakitimu. Kamu tidak boleh memaafkannya dengan mudah. Sekurang-kurangnya, berikan tamparan keras di pipinya, pukulan di perutnya, atau bahkan tendangan di kemaluannya. Jangan takut. Tuan Hogweed tidak akan membalas, aku jamin. Benar ‘kan, Tuan?”
‘Sialan!’ kata Paul dalam diam. Dia tahu Jack tidak sedang bertanya, tapi sedang menyatakan permintaannya.
“Ini syarat kedua dariku, Tuan,” ucap Jack membenarkan prasangka Paul.
Laura masih ragu. “Tapi-”
“Tunggu apa lagi, Nona? Jangan berpikir lagi, lakukan saja.”
SLAP!
Laura menampar tanpa memberi aba-aba. Perlahan dia tersenyum, seperti mendapatkan kado berharga.
“Bagus!” Jack memuji sambil bertepuk tangan. Dia menyemangati, “Lebih keras, Nona!”
Laura mengangguk.
“Ow!” teriak Paul karena Laura menjambak kuat rambutnya. Dia menjadi semakin kesal karena Laura tertawa setelah melihatnya kesakitan.
“Teruskan, Nona! Pastikan kali ini kamu melakukannya dengan sekuat tenaga.” Jack terus memprovokasi.
Laura menurut seperti atlet yang mendengar arahan dari sang pelatih. Dia mengingat hal-hal buruk yang dilakukan Paul padanya. Ia mengepalkan tangan, menurunkan pandangan, menatap fokus pada satu titik, tepat di tengah.
Paul menggeleng, menyadari kali ini Laura mengincar area vitalnya. Namun, belum sampai mulutnya berkata apa-apa untuk mencegah, peristiwa naas terjadi sangat cepat. Raungan kesakitan dari Paul pun menyusul. Ia terpincang-pincang memegangi kemaluannya, sebelum ambruk di tanah.
“Dia tidak akan marah padaku ‘kan?” Laura memastikan keselamatannya.
“Tidak akan. Dia seorang penyabar. Dan lagi, setahuku Tuan Hogweed adalah pria sejati. Dia pasti akan memenuhi janjinya.”
Paul tidak berkomentar meski dalam batin dia memaki Jack dan mengeluarkan sumpah serapah untuk Laura. Yang dia lakukan hanya memegangi kemaluannya sambil berharap tidak ada masalah dengan itu.
“Baiklah, dua permintaan sudah terpenuhi. Sekarang, permintaan terakhir dariku adalah jangan pernah menemui Nona ini lagi, selamanya. Aku sudah mengirimkan rekaman ini padamu, tapi aku juga akan tetap menyimpannya. Sekali saja aku melihatmu mendatangi Nona ini, habislah riwayatmu.” Jack mengancam tanpa peduli pada rasa ngilu yang masih diderita Paul.
Tanpa menunggu Paul menyanggupi permintaan ketiganya, Jack menggandeng tangan Laura, mengajaknya mendekat ke skuternya.
Jack membuka kopernya. Dia berkata, “Pakailah ini, Nona. Meski tampak lusuh, ini masih cukup menghangatkan.”
Laura menerima dan mengenakan jaket hitam Jack. Meski kebesaran, dia merasa nyaman memakainya. Kemudian, dia duduk di jok belakang skuter, dibonceng Jack.
“Bagaimana dengan Tuan Hogweed?” Laura menoleh pada Paul yang terbaring di tanah, mengapitkan kedua kaki selagi tangannya masih memegang kemaluan.
“Biarkan dia menikmati tendangan perpisahan dari Nona.”
Laura tertawa kecil. “Baiklah kalau begitu.”
“Di mana rumahmu, Nona?” tanya Jack setelah mesin menyala.
“Paradise Roadway.”
Kening Jack berkerut. “Di mana itu?”
Wajah Laura tampak terkejut. Siapa sebenarnya pria yang telah menolongnya, hingga tak tahu Paradise Roadway. Setelah diam beberapa saat, Laura menjawab, “Tuan lurus saja, di persimpangan depan belok ke kiri. Terus mengikuti jalan. Aku tunjukkan nanti.”
“Baiklah.”
Skuter melaju, tanpa percakapan. Tapi, Laura mengangkat tangannya sambil melihat pinggang Jack. Angin malam membuat kaos putih pria itu terisi. Dengan ragu-ragu dia melingkarkan tangannya ke pinggang Jack.
Jack tersenyum, tanpa berkomentar atau sekadar menunduk sesaat untuk melihat tangan Laura yang berpegangan padanya. Dia hanya fokus menyetir.
Hingga sampai di Paradise Roadway, tidak ada percakapan antarkeduanya. Namun, seketika kedua alis Jack tertaut, “Ini …”
“Aku tinggal di sini, Tuan. Terima kasih sudah menolongku.”
Jack masih diam melihat suasana di sekitar tempat tinggal Laura. Ada banyak wanita dengan riasan tebal dan pakaian minim keluar masuk gedung bersama lelaki berbagai usia, tapi rerata adalah pria paruh baya.
Paradise Roadway adalah nama rumah bordil kelas dua di jalan Bogettin. Namun, karena tempat pelacuran ini lebih tenar, orang-orang mulai melupakan nama asli jalan tersebut. Terdapat berbagai aktivitas dunia malam di tempat hiburan itu, seperti diskotik, kasino, dan pasar gelap.
“Maaf Tuan, aku tidak bisa mengajak anda mampir untuk sekadar minum teh. Orang-orang di sini lebih suka minuman beralkohol.”
Jack menjadi kikuk dengan situasi itu. Ini kali pertama dia ke rumah bordil, sebelumnya kehidupan Jack hanya untuk kerja dan kerja, fokusnya hanyalah kebahagiaan Elena.
“Maaf ya, aku kira kamu tinggal di rumah bersama keluargamu.”
Laura tersenyum dengan mata berkaca-kaca. “Jika ini di desaku, pasti ibuku akan sangat berterima kasih padamu, bahkan memaksa Tuan untuk makan malam bersama.”
“Pasti itu menyenangkan.” Jack mengangguk-angguk. “Baiklah Nona, segera masuk dan beristirahat.”
Laura menghela napas. “Ini masih jam kerja. Tapi, aku akan membujuk bosku agar tidak mengizinkan pelanggan membawaku keluar. Terkadang mereka bertindak brutal di luar akal sehat.”
“Kalau begitu aku akan menyewamu.”
Memasuki area Paradise Roadway, Jack disambut dengan musik bersemangat yang keras, aroma minuman beralkohol yang pekat, dan sorot lampu warni-warni tapi remang-remang. Di antara hingar bingar itu, terdengar gelak tawa centil para wanita penghibur yang melayani para pelanggannya.“Tuan, ikuti saya.” Laura berbisik, berjalan cepat tapi mengendap-edap.Jack yang melihat ekspresi cemas di wajah Laura, menahan diri untuk bertanya. Dia mengikuti Laura melewati orang-orang yang menari mengikuti irama.Dalam perjalannya itu, Jack terkejut saat tahu bahwa rumah bordil itu juga menjual pakaian. Ia melihat etalase-etalase di samping kanan dan kiri lengkap dengan label harga yang tergantung di kaca, beberapa di antaranya ada yang sedang diskon hingga lebih dari 50%. Tapi, yang terpajang di dalam etalase itu bukanlah manekin melainkan para wanita dan pria sungguhan. Para wanita ada di sisi kiri, sedangkan para pria dipamerkan di kanan.Selain peran manekin yang digantikan dengan orang, hal lain ya
Rumah bordil Paradise Roadway menyediakan tiga jenis kamar untuk para pelanggan yang ingin menginap bersama pelacur atau gigolo, yakni standard room, single room, dan paradise room. Biaya sewa paling murah tentu saja standard room, itu berupa bilik-bilik kecil berderet, berukuran 3x2 meter, yang hanya memuat sebuah tempat tidur.“Apa kamu tahu, berapa biaya sewa per malam untuk kamar terbaik di sini?” Ava menatap tajam Jack sambil meminta para algojo kembali ke sisinya.Jack tidak menyahut, malah melihat Laura yang tampak pucat. Dia merangkul lengan Laura. “Tenang Nona, semua akan baik-baik saja.”“Baik apanya?!” Ava membentak. “Paling tidak, aku akan mencukur habis rambutnya agar impas. Dia kehilangan mahkotanya karena membuatku kehilangan pelanggan.”“Kamu tidak akan melakukannya.” Jack menatap tajam Ava. “Bersiaplah untuk mencium kakiku.”Ava tertawa lantang, begitupun orang-orang yang berkerumun. Mereka sama-sama tahu, Jack yang mereka kira seorang gembel harus memberikan ribuan do
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, gembel sialan!" bentak Jessy sangat kesal.Selama kariernya menjadi pelacur di Paradise Roadway, ini kali pertama Jessy menjumpai seorang pecundang melawan germo yang paling ditakuti di sana. Sekaligus pertama kali pula baginya, Laura, dan orang-orang di sekitar, melihat Ava menjadi lebih sabar dari biasanya. Sekarang Ava bahkan hanya bergeming memandangi layar ponselnya."Mommy?" tanya Jessy melihat tangan Ava bergetar."Jack Hall..." desis Ava sambil mengangkat pandangannya ke arah Jack."Ya, itu namaku."Ava sukses membuat semua orang terbelalak ketika tiba-tiba ia menekuk lututnya di hadapan Jack."Mommy, apa yang kamu lakukan?" Jessy membungkuk dan menarik lengan Ava yang besarnya tiga sampai empat kali lipat darinya, bermaksud untuk membantu Ava berdiri.Namun, tanpa memberikan penjelasan apapun, Ava menepis kuat tangan Jessy hingga tersungkur ke lantai.Jessy akan melakukan protes. Tapi adegan berikutnya membuat mulutnya terbuka lebar."Maa
Jessy mengepalkan tangannya, menahan kesal yang membuat dadanya panas. Ini kali pertama dia dipermalukan oleh Ava, seseorang yang sudah dianggap seperti ibu kandung, di depan banyak orang. Ava menyuruhnya berhati-hati bukan karena mengkhawatirkannya, melainkan lebih mencemaskan sebuah koper.‘Ini hanya koper usang, tapi dia memintaku memperlakukannya seperti guci antik yang berharga!’Harga diri Jessy sebagai primadona Paradise Roadway jelas tercabik-cabik, terlebih dia melihat orang-orang diam-diam menertawakannya. Tapi, dia tidak berani membantah Ava. Dengan menahan kedongkolan, Jessy berjalan di belakang sambil membawa koper sialan itu.“Jessy, kenapa jalanmu lelet sekali?! Percepat langkahmu! Jangan membuat Tuan Hall menunggu!” bentak Ava dari jarak 8 meter.Jessy menggertakkan gigi. Koper itu berat! Dia mengumpat tanpa bersuara. Jessy melakukan protes dengan memberikan tatapan tajam kepada Laura. Dia tak terima!“Abaikan,” bisik Jack pada Laura. Dia merangkul lengan Laura, membua
Jack bisa melihat kecemasan di wajah Laura. Dia mengerti, malam ini pasti berat untuk Laura. Klien yang semena-mena, atasan galak dan otoriter, rekan kerja yang mengintimidasi, benar-benar membentuk lingkungan kerja yang tidak sehat. Sangat sial karena Laura mesti tinggal di tempat itu juga. Dia tidak memiliki jeda untuk istirahat sejenak. Tentu Laura sangat tertekan, pikir Jack.“Kamu mandi saja dulu agar lebih segar.”Laura tersenyum canggung. “Baik, Tuan.” Dia seperti orang bodoh. Bagaimana mungkin dia lupa pada prosedur pertama sebelum menghadapi pelanggan, yakni mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Sedangkan keadaannya saat ini sangat berantakan, berkeringat, dan tidak menarik sama sekali.Di dalam kamar mandi jantung Laura tetap tak terkendali, berdetak kencang seolah dia akan menghadapi perang. Beberapa kali dia mengembuskan napas berat dari mulutnya. Sungguh, rasa gugup yang dia rasakan sekarang lebih besar jika dibandingkan dengan saat dia mengawali debut sebagai seorang pelacu
Mendengar nominal itu, lutut Ava mendadak lemas. Jika bodyguard-nya tidak sigap menangkapnya, tentu dia terduduk di lantai sekarang."A-apa, Tuan?" Ava memastikan lagi. Walaupun dia yakin dengan pendengarannya tadi, rasanya Ava ingin mendengar kabar menakjubkan itu sekali lagi.Jack menjelaskan, "Ava, aku membayar untuk biaya sewa Nona Kills sekaligus Paradise Room untuk seminggu penuh. Lalu, $50,000 sebagai tip untuk Nona Kills. Sisanya, ambilah untukmu."Ava tidak bisa berkata apa-apa. Rasanya dia ingin melompat karena terlalu senang. Tapi dia menahan diri karena tidak mau membuat Tuan Hall merasa aneh melihat tingkahnya. Dia hanya mengangguk dengan mata berbinar-binar."Ingat, selama itu, tidak ada yang boleh menyentuh Nona Kills. Dan, tidak ada yang boleh mengusirnya dari kamar yang sudah aku sewa. Kamu pun tidak boleh menyuruhnya untuk sekadar menemani pelanggan minum-minum. Apa aku bisa mempercayaimu, Ava?" Jack memberikan tatapan tajam."Tentu, Tuan. Aku akan menjaga Laura deng
Sesuai rencana, pagi ini Jack bersemangat untuk membeli hunian baru. Dengan skuter tuanya, dia melaju ke area perumahan elite Blossom Hills. Sebagai nasabah prioritas dengan saldo tabungan paling besar, Jack mendapat undangan khusus dari Greatest Bank untuk menghadiri lelang sebuah flat apartemen mewah Greenwoods City, yang diselenggarakan di perumahan tersebut.Saat tiba di tempat itu, ternyata juga ada pameran untuk unit-unit mewah lainnya yang masih kosong. Acara bertajub PropVaganza itu dihadiri oleh banyak orang dari berbagai kalangan. Ada yang datang memang dengan niatan membeli, tapi banyak pula yang hadir sekadar untuk melihat-lihat, mengambil foto, mencari teman kencan, dan jalan-jalan santai, terlebih acara diramaikan dengan berbagai penampilan artis-artis lokal.Jack sangat antusias melihat pameran. Dia mengambil brosur yang disediakan untuk mengetahui fasilitas-fasilitas yang ada di apartemen itu. “Menarik,” komentarnya singkat.Walaupun flat-flat di gedung apartemen Green
Victor menggelengkan kepala, “Kamu tidak akan percaya ini, tapi aku dan Elena adalah saksi hidup peristiwa bersejarah itu!”Mata Tom terbuka lebar. Dengan antusias dia menyergap, “Sungguh? Bagaimana bisa? Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi?”Victor mulai menceritakan kejadian itu dengan berapi-api. Jack yang mendengarnya sampai melipat bibir ke dalam karena berusaha untuk tidak terkekeh.Apa yang diucapkan Victor memang dilebih-lebihkan, dan tidak mengungkap semua secara gamblang. Hal memalukan yang Victor dan Elena alami sengaja ditutup-tutupi.“Sebenarnya kami dipaksa ikut, tapi kami menolak karena ya khawatir membuat orang-orang miskin itu menjadi rendah diri. Kamu pahamlah, dari penampilan kami saja jelas sangat kontras dengan mereka. Kami tidak ingin merusak kebahagiaan mereka.”“Sangat keren! Jadi Victor, kamu tahu siapa Tuan Filantropi itu sebenarnya?” Tom sampai mencondongkan tubuhnya ke depan, harap-harap dia akan mendengar kabar gembira.Victor menjadi gugup. Dia meno
Ketika membuka dan membaca email dari perusahaan besar itu, Emma terbelalak. Tangan kirinya menutup mulutnya yang terbuka lebar. "Mustahil," desis Emma dengan tatapan yang masih terpaku pada layar ponselnya."Apanya yang mustahil?"Emma menyodorkan ponselnya kepada Jack. "Ini tidak mungkin," katanya lagi sebelum bersandar di kursi.Jack meraih ponsel Emma. Matanya bergerak lincah ke kanan dan ke kiri, membaca kata demi kata, yang membuat Emma terlihat kaget, bingung, heran, perasaannya bercampur aduk hingga membentuk ekspresi wajah yang rumit. Malahan, Emma juga terlihat lemas secara tiba-tiba."Hei, ini kabar baik!" seru Jack bersemangat. Reaksinya saat membaca email itu berbanding terbalik dengan yang ditunjukkan Emma."Kamu mendapat panggilan interview di perusahaan Redwave Group untuk posisi resepsionis. Itu sangat bagus, Emma! Berikan tanganmu!"Masih dengan gesture bingung Emma menurut saja mengulurkan tangannya. Dengan cepat Jack menggenggam dan mengguncangkannya. "Selamat, Em
Sejak mendengar kisah kegagalan Jack dalam pernikahan sebelumnya, Emma mulai menyadari bahwa hal buruk yang menimpanya, tidak seberapa jika dibandingkan dengan apa yang dialami Jack.Mendapat pengkhianatan dari orang-orang terdekat, tanpa ada satu pun orang yang memihak dan mendukungnya, terusir dari rumah yang dibeli dari hasil jirih payah sendiri, kehilangan pekerjaan dan keluarga sekaligus, lengkap dengan segala hinaan dan cacian yang selalu didengar, rupanya tidak membuat Jack menjadi pribadi yang murung. Padahal semua keburukan itu Jack terima setelah dia melakukan pengabdian dan pengorbanan, serta dedikasi sepenuh hati.Sungguh, melihat Jack yang murah senyum, Emma tidak akan pernah menduga jika pria itu telah melewati masa-masa yang begitu sulit dalam hidupnya; sebuah fase penuh penderitaan yang bahkan tidak akan cukup terwakilkan oleh kata ‘penderitaan’ itu sendiri.Emma sudah memetik hikmah dari proses menyakitkan yang membentuk Jack menjadi seorang yang bijak. Dia seperti me
Mata Emma membulat, mengetahui bahwa ternyata sang nenek mengetahui semua. Dia berusaha tersenyum agar neneknya tidak mencemaskan keadaannya. “Nenek, aku baik-baik saja. Hanya, aku dan Andrew memang tidak berjodoh. Ini tidak seburuk itu. Tapi aku bersyukur ada Jack di sisiku.”“Aku senang mendengarnya. Aku berdoa agar kamu berjodoh dengan pria baik. Dan Emma, ketahuilah, tidak ada kebetulan dalam hidup. Pertemuanmu dengan Jack adalah takdir baik, sebuah berkat dan keberuntungan yang Tuhan berikan. Emma, aku sudah tua. Dan kematian adalah sebuah kepastian. Tapi Sayang, kamu harus tahu, aku akan mati dengan tenang jika meninggalkanmu bersama Jack,” pesan Nenek ketika Emma menyelimutinya.Kedua pipi Emma memerah, matanya berkaca-kaca lagi karena terharu. Dia meminta sang nenek untuk lekas tidur dan berhenti berpikir macam-macam.“Selamat malam, Nek.” Emma mengecup kening neneknya. Dia beranjak dan menutup pintu kamar, mengembuskan napas berat sebelum pergi.Dalam langkah pelan menuju rua
Emma mengambil foto tersebut dari tangan Jack. Dia mengamatinya lekat-lekat nyaris tanpa berkedip, sambil mengingat-ingat orang-orang yang pernah dia temui. Semakin lama memandang, semakin banyak kerutan di keningnya.“Um, sebentar, sepertinya aku pernah melihat seseorang yang wajahnya mirip ini. Jika dihitung-hitung, dia mungkin berusia 30 tahun sekarang. Hm, sebentar, siapa ya, siapa laki-laki usia segitu yang aku temui.” Emma memejamkan mata, berusaha lebih fokus mengingat sambil mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri.Beberapa saat kemudian, Emma membuka matanya lebar. Dia memandangi potret anak laki-laki itu lagi. Dengan antusias dia menoleh pada Jack, lalu melihat foto lagi, dan kembali menatap Jack. Dia mengulangi itu sekali lagi sebelum senyum lebar muncul di wajahnya.“Hei Jack, dia mirip denganmu!” serunya sangat bersemangat.Tapi Jack hanya tersenyum miring dan berkata, “Benarkah?”“Iya! Kalian mirip! Ya Tuhan, ini seperti fotomu saat masih kecil, Jack! Bagaimana bisa? Kebetulan
Ini memang bukan pertemuan pertama Jack dengan nenek Emma. Sebelumnya, dia sudah pernah melihat wanita tua itu ketika mengadakan makan malam gratis bagi orang-orang tidak mampu di restoran elite SweetSky. Itupun Jack yakin hanya dirinya yang memerhatikan sang nenek, dan tidak sebaliknya.Seandainya memang saat itu Nenek juga memerhatikan Jack, reaksinya saat ini agaknya sedikit berlebihan. Nenek bersikap seperti baru saja bertemu dengan seseorang yang sudah sangat dikenal setelah sekian lama tidak berjumpa.Meskipun begitu, Jack sekarang menyunggingkan senyum. Dengan lembut dia berkata, “Ini aku, Jack Hall. Senang bertemu dengan wanita secantik anda.”Gurauan Jack yang berusaha memupuk kehangatan dengan Nenek, bahkan berhasil membuat Emma tertawa kecil. Namun, tidak dengan Nenek yang malah menggeleng sambil menitikan air mata.Jack melirik Emma. Dia khawatir sudah menyinggung sang nenek, atau tanpa sengaja melakukan suatu kesalahan.“Ada apa, Nek?” Emma turut berlutut di samping Jack.
Irene membuka pintu ruangannya. Penjaga yang baru masuk menerangkan lebih gamblang tentang situasi di lantai atas.Mendengar laporan dari penjaga, Emma segera mencengkeram lengan Jack. Wajahnya mendadak pucat dengan kerutan memenuhi kening.Jack berusaha menenangkan Emma. Dia meminta Emma tetap tinggal selagi dia akan kembali ke ruang 3F.“Bagaimana jika mereka menyakitimu? Jack, Andrew dan teman-temannya tidak akan membiarkan kamu lolos setelah kamu membuat kepala Jimmy bocor. Mereka pasti akan membalasmu.”“Apa?” Irene tersentak. Cerita dari Jack hanya tentang pelarian mereka dari para pria mesum, yang ditahan di ruang 3F oleh penjaga. Dia tidak tahu sama sekali jika Jack nekat menyakiti salah seorang dari mereka demi melindungi Emma.“Itu benar, aku memukul kepalanya dengan botol. Tapi aku belum membuat kepala Andrew bocor. Aku akan kembali untuk melakukannya. Dia dan yang lainnya pantas diberi pelajaran.” Tatapan Jack tajam mengintimidasi.Irene bisa melihat dengan jelas bahwa Jac
Irene Walker menatap lekat Jack yang mengangkat tangannya, hendak membalas pelukan Emma tapi masih ragu-ragu. Sampai akhirnya ia tersenyum getir menyaksikan Jack mendekap Emma.“Tidak apa-apa, menangislah Emma. Aku tahu, itu memang tidak mudah.”Irene tidak tahu mengapa, tapi sungguh tenggorokannya seperti tercekat, hingga ia kesulitan untuk sekadar menelan ludah. Ini sangat aneh jika ternyata ia sedang patah hati sekarang, jelas-jelas ini adalah hari pertama ia bertemu dengan Jack. Apa mungkin ada perasaan cinta yang begitu instan, tetapi cukup mendalam?Irene menggelengkan kepala, menunduk meragukan kewarasannya sendiri.“Aku kira ini akan menjadi malam yang penting dan berkesan karena akhirnya setelah berbulan-bulan berpacaran, hubunganku dengan Andrew mengalami kemajuan. Tapi ternyata…” Emma menggeleng sambil menelan kepahitan. Ia terisak lagi karena teringat betapa kejinya Andrew yang selama ini ia cintai.“Aku mengerti.” Jack mengusap-usap punggung Emma dengan lembut.Emma mempe
Andrew berhasil membuat Emma bersedia kembali dalam pesta. Sungguh, melihat Emma tersenyum padanya ketika berjalan kembali melewatinya, membuat Jack ingin menarik tangan wanita itu, mengajaknya pergi dari ruangan yang berisi orang-orang mesum. Namun, Jack sadar benar, bahwa hubungannya dengan Emma baru sebentar, tidak lebih dari jalinan kasih Emma dengan pacarnya. Jack tidak mau Emma mengira dirinya berdusta, terlebih Andrew pasti tidak akan diam saja saat kejahatannya terbongkar. Melihat sifat Andrew yang manipulatif, Jack memilih untuk menahan diri, hingga niat busuk pria itu terkuak sendiri. "Ini dia yang kita tunggu-tunggu. Bagaimana Andrew, apa kamu sudah membereskan masalahmu?" tanya Jimmy sambil menggerak-gerakkan kedua alisnya turun naik. Andrew menjawab dengan mengangkat jempol tangannya. Dia mengajak Emma untuk duduk di tempat semula. Ketika itu Emma masih terlihat tidak nyaman, tetapi dia mencoba untuk percaya pada pacarnya. Rupanya, di atas meja sudah ada banyak kado.
Jack berlari menuju meja resepsionis sambil terus menelepon Emma.Saat sampai di meja resepsionis, Jack menanyakan kedatangan Emma dengan menerangkan ciri-cirinya. Resepsionis tampak berpikir, mengingat-ingat dan membandingkan ciri-ciri wanita yang disebutkan Jack dengan pengunjung wanita di The Groove Spot."Sepertinya aku melihatnya masuk beberapa menit lalu."Mata Jack membulat. Dia ingat bahwa foto profil di nomor ponsel Emma adalah potret Emma. Dia menunjukkan foto itu pada resepsionis. "Apa ini wanita yang kamu lihat?""Benar! Memang dia yang aku lihat. Dia mengenakan dress putih, datang bergandengan dengan seorang pria berambut panjang terikat."Jack berterima kasih, lalu berlari menuju lantai tiga sambil terus menelepon Emma."Halo, Jack," kata Emma akhirnya, dari ujung telepon. Suaranya masih terdengar ceria."Emma, kamu sudah sampai di The Groove Spot ya? Aku akan menghampirimu dan berkenalan dengan pacarmu. Um, aku di tempat karaoke itu sekarang." "Benarkah? Itu bagus! Ak