Keesokan harinya adalah hari minggu, Raccel sedang bermain di teras bersama Cassel yang menemaninya. Cassel juga sangat baik, dia rela mondar-mandir dari dalam rumah mengambilkan camilan dan meminta sang Oma membuatkan susu cokelat untuk adik kembarannya. "Adik Raccel jangan ke mana-mana, Kakak ambilkan boneka kuda poni di dalam ya," ujar Cassel menatap Raccel. "Heem, bawakan donatnya Raccel!" seru anak itu. "Okay!" Cassel berlari masuk ke dalam rumah. Raccel terdiam menatap kedua kakinya yang sekarang ini diperban dari lutut ke bawah, dan dua-duanya. Banyak bekas luka baret di sana yang masih belum kering. Setelah itu, Raccel juga kehilangan sedikit keseimbangannya hingga dia harus mencari pegangan untuk berdiri. "Ini apa? Kenapa kaki Raccel dipasang seperti ini sih?" cicit anak itu menarik-narik benang perban di kakinya yang tebal. Barulah setelah itu Cassel muncul. Anak laki-laki itu menarik tangan Raccel seketika. "Jangan disentuh perbannya, nanti kalau lepas Dokter George
Hari demi hari telah berganti, kondisi kesehatan Dalena sudah berangsur pulih dan membaik. Dua hari ini Dalena yang mengasuh Raccel. Setelah dia mengajak Raccel pulang. Namun sedihnya, Damien tidak seperti dulu lagi pada Raccel. "Mommy, Mom...!" Suara teriakan Raccel begitu keras, anak itu berdiri di ujung atas anak tangga berpegangan pada pagar besi. "Mom...!" teriaknya lagi. Dalena muncul dari bawah, wanita itu berjalan perlahan naik ke lantai dua. "Ada apa, Sayang?" tanya Dalena. Wanita itu meraih sebuah tongkat kecil milik Raccel. Setelah terjatuh dan cidera pada kaki dan kepalanya, Raccel seperti mengulang hidupnya sejak awal, termasuk cara dia berjalan. Dengan bantuan tongkat, Dalena membantunya berjalan perlahan-lahan sampai mereka tiba di lantai satu. "Sayang lapar? Mau minum susu cokelat?" tawar Dalena menatap Raccel yang celingak-celinguk di samping meja makan. "Mom, Raccel boleh makan hamburger? Raccel mau dibelikan hamburger," pinta anak itu mendongak menatap Mama
Dalena mejaga Raccel sepenuh hatinya, wanita itu berkata pada Cassel untuk tidak iri atau sedih saat melihat Dalena perhatian pada Raccel, karena Papanya tidak seperti dulu lagi pada adiknya. Pintarnya Cassel, anak itu menyetujuinya dan ia berkata pada Dalena kalau Cassel sendiri juga akan ikut menjaga Raccel. Seperti sekarang mereka bersiap hendak pergi bersekolah. "Mom, Raccel bisa sendiri kok, Mommy tidak usah temani Raccel..." Anak perempuan itu menatap Maminya seraya duduk di tepi ranjang dipakaikan seragam. "Tapi nanti Raccel kalau mau ke kamar kecil bagaimana? Kakinya Raccel kan masih sakit, Sayang." Dalena mengusap pipi Raccel. "Nanti minta tolong Kakak," jawabnya seraya cemberut dan menggembungkan pipinya. Dalena mengembuskan napasnya pelan, wanita itu kembali menyisir rambut Raccel dan mengikatnya menjadi dua, dihiasi dengan jepit berwarna merah yang lucu. Meskipun kondisi Raccel sudah mendingan, namun dia masih kesulitan berdiri karena kakinya yang kiri masih sangat
Raccel duduk di kursi depan kelasnya sendirian. Semua teman-temannya asik bermain ke sana dan kemari, tapi dia hanya bisa duduk diam. Dari jauh, Cassel memperhatikan adiknya. Dia khawatir kalau teman-teman Raccel akan berbuat jahil. "Hey..! Cepat bersihkan!" seru seseorang menepuk pundak Cassel. Anak laki-laki itu menoleh, dan ternyata yang memeluk pundaknya adalah Nicholas. Cassel langsung menoleh dan merotasikan kedua matanya. "Aku pikir siapa!" serunya. Nicholas menaikkan salah satu alisnya melihat Raccel yang sedang duduk di depan kelasnya sendirian. Dia kaget, untuk kali pertama melihat Raccel setelah anak perempuan kecil itu sakit dan tidak pergi ke sekolah cukup lama. "Dia sudah kembali sekolah," ucap Nicholas terkejut. "Heem, tapi adikku belum bisa berjalan seperti anak-anak lain, dia—""Aku titip sapuku padamu ya, kalau ada yang tanya di mana aku, bilang saja tidak tahu!" Nicho memberikan sapu lidi yang ia pegang pada Cassel. Sedangkan Cassel menatap Nicholas kebing
Saat pulang sekolah, Dalena menjemput Raccel dan mengajak anaknya ke rumah sakit untuk kembali mengecek kondisi kaki Raccel. Saat bersama dokter di dalam sebuah ruangan, Dalena merasa amat cemas. Ia bersama Cassel yang kini berdiri di sampingnya, sementara Raccel masih diperiksa oleh dokter. "Mami, adik Raccel tidak papa, kan?" tanya Cassel masih dengan menatap adiknya di depan sana. Dalena mengusap pipi Cassel dari samping dan menggeleng. "Tidak papa Sayang, adik Raccel akan baik-baik saja," jawab Dalena. Anak laki-lakinya itu begitu sedih, Cassel memperhatikan tiap-tiap gerakan yang dokter itu lakukan. Tekad dan keinginannya semakin kuat untuk suatu saat nanti ketika dia sudah beranjak dewasa. Cassel ingin menjadi seorang dokter yang bisa membantu siapapun. "Nanti kalau Cassel sudah besar, Cassel mau jadi dokter ya, Mi... Biar kalau Adik Raccel sakit, nanti Cassel yang obati, kan nanti Raccel tidak akan takut lagi," ujar Cassel memeluk tubuh Dalena. Mamanya pun mengangguk de
"Mom, kita mau ulang tahun ya?" tanya Cassel berjalan di belakang Dalena. "Iya Sayang, kalian sebentar lagi akan ulang tahun. Anak Mommy sudah besar-besar, tidak boleh nakal ya..." Dalena menghentikan langkahnya dan mengulurkan tangannya pada Cassel.Sementara satu tangan Dalena menggendong Raccel, wanita itu menolak saat Damien hendak membantunya mengantarkan si kembar. Namun bagi Dalena percuma, karena Damien hanya akan bersama Cassel, tapi tidak dengan Raccel. "Mommy mau belikan hadiah apa buat Raccel?" tanya Raccel memeluk leher Mamanya. "Emmm, Princess minta apa, Sayang?" tanya Dalena menatap sang putri. "Apa ya... Raccel tidak mau apa-apa. Mau jalan-jalan sama Daddy di pasar malam, sama Kakak juga," jawab Raccel. Dalena tersenyum tipis, tidak biasanya anak ini meminta sesuatu, kadang permintaan Raccel malah jauh lebih banyak.Setelah itu, Dalena menatap Cassel. "Kalau Kakak?" "Kakak Cassel sama seperti Adik Raccel, Mom," jawab anak itu. "Baiklah, kalau begitu nanti Mommy
Dalena sore ini menyiapkan kue ulang tahun, setelah beberapa hari si kembar menanti-nanti dengan penuh rasa tak sabaran. Wanita itu berjalan ke lantai dua, dia membawa kue ulang tahun di ruang keluarga di mana Raccel dan Cassel ada di sana, sementara Damien duduk di sofa memangku laptopnya. "Wahhh... Raccel lihat Mommy bawa apa!" pekik Cassel heboh. Raccel pun langsung menoleh ke arah Mamanya, anak itu langsung tersenyum lebar. Dalena ikut tersenyum melihat wajah si kembar berbinar-binar bahagia. "Raccel mau!" seru anak itu melambaikan tangannya. Dalena lantas mendekati mereka dan meletakkan kue ulang tahunnya di hadapan si kembar.Cassel menatap Damien yang kini berjalan ke arahnya dan langsung memeluk Cassel. "Selamat ulang tahun ya, Sayang," ucap Damien mengecup pucuk kepala Cassel. "Terima kasih Daddy," balas Cassel bertepuk tangan. Sedangkan Raccel, anak itu seperti tidak mau berharap lebih pada Papanya. Dia kini berusaha mengulurkan tangannya meminta peluk pada Dalena.
Keesokan harinya, Raccel tidak bersekolah karena anak itu demam. Dalena juga menemaninya sejak pagi hingga siang ini. Ia mengajak putrinya bermain di luar dan anak itu hanya gendong saja, karena suhu tubuhnya yang panas. "Adik Raccel mau dibelikan apa, Sayang? Mau mainan baru ya?" tawar Dalena mengusap pipi putrinya yang basah.Anak itu menggelengkan kepalanya saja. "Tidak mau," jawabnya lemas. "Raccel pusing, Mommy." "Ya sudah, Raccel tutup mata saja. Bobo dulu biar tidak pusing ya, Sayang," bisik Dalena meletakkan kepala Raccel di pundaknya dan ia mengusap punggung Raccel dengan lembut. Dalena berdiri di teras menatap pemandangan siang hari yang hujan deras dan mendung gelap. Dalam situasi seperti ini Dalena bersedih, kenapa ia harus hidup tanpa memiliki siapapun? Termasuk orang tua. Dalena ingin membawa anaknya ini pergi, namun ke mana lagi kali ini dia harus melangkah?"Ma, Pa, kenapa hidupku seperti ini?" gumam Dalena mendekap Raccel yang tertidur dalam dekapannya, seraya m