Cukup lama Raccel berjalan dengan tongkat, hingga akhirnya hari ini gadis kecil itu bisa kembali berjalan tanpa bantuan tongkat lagi. Dalena dan Cassel nampak senang melihat Raccel sudah kembali seperti dulu lagi, sudah kembali sehat dan ceria. "Akhirnya, bisa jalan lagi. Jangan lari-larian ya, Adik Raccel..." Cassel berdiri memegangi lengan Raccel. Anak perempuan itu menganggukkan kepalanya. "Besok kita bisa main lagi ya, Kakak," ujar Raccel. "Iya dong! Besok bisa menangkap kupu-kupu yang banyak!" seru Cassel heboh. Senyuman manis terukir di bibir Dalena saat melihat kedua anaknya yang begitu ceria, bahagia, dan mereka yang kini sangat antusias. Dalena selalu berupaya agar mereka tidak kekurangan apapun, termasuk Raccel yang selalu menginginkan kasih sayang lebih dari Papanya. "Mommy, nanti simpan tongkatnya Raccel ya, Raccel mau jalan sendiri," ujar anak itu. "Iya Sayang. Nanti Mommy simpan, tapi janji kalau jalan sendiri harus hati-hati! Paham, Cantik?" Dalena memeluk Racce
Saat Raccel terbangun dari tidurnya, anak itu sendirian dan menoleh ke kanan ke kiri. Raccel langsung duduk termenung. Ia terdiam beberapa detik mengusap permukaan sprei bergambar kartun tersebut. "Raccel mimpi Daddy bobo sini, terus di sini ada Mommy," gumam anak itu lirih. Raccel menyibak selimutnya dan turun dari atas ranjang perlahan-lahan, dia mencari pegangan untuk berjalan ke arah pintu. Sampai akhirnya di berhasil membuka pintu kamar dan berjalan ke arah tangga setelah berjalan tertatih cukup lama. "Capek, kakinya lemas," ucap Raccel menundukkan kepala menatap kedua kakinya. Raccel memperhatikan ke arah lantai satu yang sepi. "Mommy...! Raccel mau turun, mommy..." Setelah berjalan sendiri, Raccel pun kelelahan dan ia mulai memanggil Dalena untuk dimintai tolong membawanya ke lantai satu. Dan Raccel berdiri di bagian pertengahan anak tangga dan kedua tangan kecilnya gemetar memegangi pagar tangga. "Mom... Mommy, kaki Raccel sakit!" teriak anak itu lagi. "Iya Sayang
"Tentu saja, semua orang akan menyayangi Raccel!"Dalena memeluk Raccel dengan erat dan mengusap pucuk kepalanya. Suara deringan ponsel milik Dalena membuat wanita itu menoleh ke belakang. Dia meletakkan ponselnya di atas sebuah meja kayu. Dan Dalena bergegas meraih ponselnya tersebut, di sana tertera nama Karina yang tengah menghubunginya. "Halo Karina... Oh, kau mau ke sini dengan Nicholas?" Dalena menoleh pada Raccel yang menatapnya. Wanita itu tersenyum manis sebelum dia berkata, "Raccel dan aku juga sedang di rumah, ke sini saja. Aku menunggumu ya..." Panggilan itu langsung terputus, Dalena meletakkan ponselnya kembali dan mendekati Raccel. "Cantik, makannya sudah?" tanya wanita itu. "Sudah Mommy." "Bagus, sekarang ayo mandi. Kakak Nicho mau ke sini, mau main sama Raccel," ujar Dalena kini menggendong Raccel. Kedua mata indah milik Raccel langsung membola. "Asikk... Ayo Mom, ayo mandi sekarang! Terus pakai baju yang bagus ya, Mom!" "Iya Sayang, iya..." Beberapa menit l
Beberapa Tahun Kemudian...Cuaca di kota London memasuki musim semi, seorang gadis cantik dengan pakaian seragam sekolah menengah ke atas tengah berdiri di halte di sekolahnya. Raccel sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik, pintar, dan pekerja keras. Sekarang ia baru saja menduduki bangku kelas dua belas menengah atas. "Kakak jadi jemput Raccel atau tidak? Nanti kalau pulang telat Daddy marah-marah lagi!" seru gadis itu mengomeli Cassel. "Iya Raccel, tunggu di situ sebentar!" balas Cassel di balik panggilan tersebut. Raccel langsung memutus panggilan tersebut dan ia berdiri di sana memeluk beberapa buku miliknya. Sampai akhirnya seorang temannya berjalan mendekat. "Loh, Raccel, kau belum pulang?" tanya Camilan. "Emmm, Kakakku belum datang," jawab Raccel. "Tumben terlambat..." Camilan kini duduk di samping Raccel. Wajah Raccel menjadi sedih, gadis itu padahal sudah bersiap ingin pulang cepat karena semalam Cassel bilang padanya kalau Nicholas akan datang ke rumahnya untuk meng
Setelah mengantarkan Raccel pulang siang tadi, sampai malam pun Nicholas masih berada di kediaman Damien. Pemuda itu sibuk membicarakan bisnis bersama Damien dan Cassel di lantai satu. Sementara Raccel, gadis itu berada di selasar lantai dua. Raccel sibuk menulis sesuatu di buku diary miliknya, sesekali dia menatap ke lantai satu di mana Nicholas berada sekarang."Hemm, selesai!" Raccel menutup buku diary miliknya. Gadis berambut panjang sepinggang itu memperhatikan terus ke arah Nicholas di lantai satu. "Kak Nicho jarang sekali ke sini sejak dia kuliah, sekali ke sini dia banyak berubah dan diam. Apa dia sudah punya pacar?" gumam Raccel bertanya entah pada siapa. Raccel mendengus pelan, gadis itu menutup bukunya dan berjalan turun ke lantai satu. "Bagaimana Cho? Kata Papamu kau mau bertunangan dengan anak Om Giles?" tanya Damien pada Nicholas saat tiba-tiba Raccel berada di lantai satu. "Entahlah Om, aku juga masih fokus pada karierku dulu," jawab Nicholas. "Tapi bagi Om kala
Keesokan harinya, Raccel terbangun pukul setengah tiga dini hari dan langsung gegas belajar. Hingga saat pukul tujuh pagi, gadis itu masih mengantuk. Raccel duduk menundukkan kepalanya di teras, bahkan saat ada seseorang yang datang, dia tidak tahu. "Heuhh...!" "Astaga, Raccel!" Nicholas yang berusaha berjalan naik ke atas teras, pemuda itu langsung merangkul Raccel saat gadis itu hampir terjerembab ke lantai. Raccel pun terkejut, dia kembali membuka kedua matanya dan mendongak menatap Nicholas. Laki-laki itu menatap cemas. "Kau tidak papa? Kalau sakit tidak usah pergi ke sekolah," ujarnya menyentuh kening Raccel dengan lembut. "Tidak papa, kok!" Raccel langsung menepis tangan Nicholas begitu saja. Nicholas merasa tidak enak, gadis ini tidak seperti kemarin. Perasaan dia kemarin masih manja kepadanya. "Kau begadang lagi? Mengerjakan apa?" tanya Nicholas beralih duduk di sampingnya. "Apa ada tugas yang membuatmu kesulitan?" Raccel menggeleng. "Tidak usah peduli sama Raccel la
"Ayo, bisa jalan sendiri atau Kakak gendong?" Raccel menggelengkan kepalanya, tas merah muda miliknya dibawa oleh Nicholas. Mereka berdua keluar dari gerbang sekolah dan bergegas masuk ke dalam mobil. Gadis itu tidak mengeluarkan suaranya sama sekali, sampai Nicholas merasakan kemarahan Raccel, entah padanya, atau pada orang rumah. "Raccel tidak mau pulang, nanti Daddy marah kalau tahu Raccel tidak sekolah," ujar gadis itu. "Heem, ke apartemen Kakak saja," jawab Nicholas.Laki-laki itu menoleh ke arah Raccel yang kini mengusap air matanya. "Raccel, kalau ada apa-apa itu bilang, jangan diam saja..." "Tidak ada apa-apa kok," kilahnya, tapi dia menangis. Nicholas semakin mengerti, wanita itu memang kadang menyebalkan. Lain di mulut lain di hati, saat dia bilang baik-baik saja, maka keadaan yang sebenarnya benar-benar kacau dan hancur. "Perutmu sangat sakit?" tanya Nicholas meraih lengan Raccel. Saat diperhatikan seperti ini, Raccel merasa sedih. Dia ingin memiliki orang yang ben
Hari sudah gelap, Raccel berbaring di atas ranjangnya. Gadis itu menatap layar ponselnya dan membaca sebuah pesan masuk dari Nicholas. 'Sudah baikan? Apa masih sakit? Jangan lupa minum obatnya,' ujar laki-laki itu dalam bentuk pesan. Raccel tersenyum manis. Ia pun langsung menghubungi Nicholas saat itu juga. "Halo Kak Nicho..." "Halo Cil! Kenapa telfon-telfon Nicho, hah?!" balas suara di balik panggilan itu. Lantas Raccel menatap layar ponselnya, itu benar nomor Nicholas, tapi kenapa malah terdengar suara Cassel! "Ihhh... Kakak! Berikan ponselnya ke Kak Nicho!" pekik Raccel. Suara gelak tawa terdengar di sana, sebelum akhirnya menjadi senyap. Sepertinya Nicholas membawa ponselnya menjauh dari Cassel yang tengah memutar musik. "Halo, kenapa hem?" Suara Nicholas terdengar di sana. "Kak Nicho... Emm, besok Kak Nicho ke rumah?" tanya Raccel."Heem. Besok ada yang aku bahas dengan Daddy-mu. Kenapa?" "Tidak papa. Cuma tanya saja!" balas gadis itu. Kekehan terdengar di balik pangg