Hari sudah gelap, Raccel berbaring di atas ranjangnya. Gadis itu menatap layar ponselnya dan membaca sebuah pesan masuk dari Nicholas. 'Sudah baikan? Apa masih sakit? Jangan lupa minum obatnya,' ujar laki-laki itu dalam bentuk pesan. Raccel tersenyum manis. Ia pun langsung menghubungi Nicholas saat itu juga. "Halo Kak Nicho..." "Halo Cil! Kenapa telfon-telfon Nicho, hah?!" balas suara di balik panggilan itu. Lantas Raccel menatap layar ponselnya, itu benar nomor Nicholas, tapi kenapa malah terdengar suara Cassel! "Ihhh... Kakak! Berikan ponselnya ke Kak Nicho!" pekik Raccel. Suara gelak tawa terdengar di sana, sebelum akhirnya menjadi senyap. Sepertinya Nicholas membawa ponselnya menjauh dari Cassel yang tengah memutar musik. "Halo, kenapa hem?" Suara Nicholas terdengar di sana. "Kak Nicho... Emm, besok Kak Nicho ke rumah?" tanya Raccel."Heem. Besok ada yang aku bahas dengan Daddy-mu. Kenapa?" "Tidak papa. Cuma tanya saja!" balas gadis itu. Kekehan terdengar di balik pangg
'Terima kasih sudah perhatian sama Raccel kemarin ya, Kak Nicho. Semangat kerjanya. Dari Raccel...' Nicholas menutup kertas berwarna merah muda itu dan ia tersenyum, ditatapnya empat donat dengan toping kacang kesukaannya. Nicholas tidak tega memakan donat itu, terlalu lucu, apalagi saat ia membayangkan Raccel yang begitu bersemangat membuatkan makanan ini untuknya. "Selamat pagi, Nicho..." Sapa seseorang membuka pintu ruangan kerja Nicholas. Seorang gadis cantik berpakaian formal yang kini menatapnya, namun gadis itu teralihkan pada kotak berisi donat dan sebuah surat. "Kau mendapatkan kejutan?" tanya gadis itu, dia adalah Siessa. "Heem, dari anak Pak Damien," jawab Nicholas. "Oh, Raccel? Yang masih sekolah itu, kan? Baik sekali dia padamu, apa kau menyukai gadis yang masih bocah dan kekanakan seperti dia?" tanya Siessa. Nicholas menatapnya dengan wajah dingin. "Apa kau mendengar aku mengatakan itu di mulutku?" balas pemuda itu. "Letakkan berkasnya dan segera pergi!" Gadis
Raccel terbangun dari tidurnya, gadis itu membuka mata dan merasakan selimut yang hangat menutupi tubuhnya. Tubuh Raccel terasa lelah, aktivitasnya setiap hari yang padat dan dipenuhi dengan kerja keras membuat gadis itu selalu mengeluh tentang hari-harinya. "Heemmm, sudah bangun?" Suara Nicholas membuat Raccel mendongakkan kepalanya. Gadis itu diam dan membenamkan wajahnya pada bantal."Kak, ini jam berapa?" tanya Raccel menyibak selimutnya. "Jam sepuluh," jawab Nicholas. "Daddy belum hubungi Kakak?" tanya Raccel. "Belum, tidurlah lagi. Nanti kalau sudah dihubungi Daddy, Kakak akan membangunkanmu," ujar Nicholas.Raccel menggeleng, ia kembali mengucek kedua matanya dan langsung meraih bukunya, Raccel menatap beberapa soal yang sudah dikerjakan. Gadis itu mendongakkan kepalanya dan mengusap wajahnya pelan sebelum dia beranjak dari duduknya melangkah berjalan ke arah dapur. Raccel menuang air dingin dan meminumnya."Kakak, Kak Nicho punya camilan apa?" tanya Raccel berdiri di a
Sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Escalante, di dalam mobil Raccel hanya diam dan tidak mengoceh apapun. Nicholas merasa tidak nyaman kalau gadis kecil ini tidak berisik. Laki-laki muda itu menoleh ke arahnya dan mengusap pucuk kepala Raccel tiba-tiba. "Kenapa diam saja? Tidak suka bertemu dengan teman-teman Kakak?" tanya Nicholas. "Heem, karena mereka kita tidak berbincang," jawab Raccel jujur. Mendengar jawaban Raccel, lantas Nicholas terkekeh. Memang ada-ada saja si Raccel ini. "Apa yang ingin kau obrolkan dengan Kakak, Raccel?" tanya pemuda itu. "Banyak sekali. Tapi sudah tidak mood," jawab gadis itu membuang muka. Dia masih suka merajuk, dan Nicholas sudah hafal betul dengan Raccel yang seperti ini. Nicholas tidak mengatakan apapun lagi, dia menerka-nerka di mana salah dirinya pada Raccel hingga gadis ini marah padanya. Namun Nicholas juga tidak merasa kalau dirinya melakukan hal yang buruk pada Raccel, hingga dia mengesampingkan hal tersebut.Sampai beberapa
Siang ini di sekolahnya, Raccel dipanggil oleh kepala sekolah untuk menghadap. Gadis itu harap-harap tak sabar, apakah dirinya lolos, atau tidak?Sampai akhirnya Raccel masuk ke dalam ruangan kepala sekolah dan berhadapan langsung dengan gurunya. "Siang Madam," sapa Raccel tersenyum. Wanita itu tersenyum. "Selamat siang, Raccelia... Mari masuk," ajaknya. Raccel pun segera masuk ke dalam ruangan itu. Ia duduk berhadapan dengan kepala sekolah, di sampingnya ada Revvan, teman seangkatannya yang sangat populer karena tampan dan pintarnya. "Hai," sapa Revvan berbisik. "Hai Van," balas Raccel tersenyum ceria. "Semoga kau beruntung, Raccel," bisik laki-laki muda itu. Dengan antusias, Raccel menganggukkan kepalanya. Ia masih memperhatikan kepala sekolahnya yang kini mendekati mereka membawa sebuah berkas di tangannya. "Raccel, Revvan, hari ini penilaian untuk uji coba perlombaan internasional sudah final nilainya, jadi salah satu dari kalian bisa mendapatkan kesempatan untuk ikut berl
Nicholas berlari menuju roof top gedung sekolah itu. Dia sendirian dan berjalan mencari-cari sampai akhirnya laki-laki itu melihat seorang gadis yang duduk diam di sana memeluk tas sekolahnya. Tanpa ditanya pun Nicholas tahu siapa gadis itu. Ia berjalan mendekati Raccel yang nampak diam melamun. "Raccel..," panggil Nicholas dengan sangat pelan. Gadis itu langsung mengangkat wajahnya menatap Nicholas penuh dengan keterkejutan. Namun Raccel buru-buru menyeka air matanya, meskipun wajah itu tidak bisa berbohong kalau dia menangis. Nicholas menekuk kedua lututnya dan duduk di hadapan gadis itu. "Kenapa? Kenapa tidak pulang?" tanya Nicholas menyentuh kepala Raccel. Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Wajah Raccel benar-benar sembab, entah berapa jam lamanya dia berada di sana. "Ini sudah malam, ayo pulang... Kasihan Mommy-mu mencarimu," bujuk Nicholas dengan sabar. "Pulanglah sendiri," jawab Raccel menyembunyikan wajahnya. Nicholas menghela na
Cassel tidak bisa tidur sama sekali, ia juga tidak berani menemui Raccel di kamarnya. Kini Cassel duduk di sebuah sofa di depan pintu kamar Raccel, saat jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Setelah Nicholas menceritakan semuanya pada Cassel dan Dalena, di sana Cassel merasa sangat sedih atas apa yang terjadi pada sang adik. "Huhhh... Kenapa malah jadi begini?" gumam Cassel lirih. Pemuda itu beranjak dari duduknya dan mendekati kamar sang adik. Cassel perlahan-lahan membuka pintu kamar Raccel. Saat kamar terbuka, Cassel melihat kekacauan di kamar bernuansa merah muda tersebut. "Raccel..." Cassel menatap Raccel yang masih belum tidur. "Kakak," lirih Raccel, gadis itu duduk di atas ranjang memeluk bonekanya. "Kenapa belum tidur?" tanya Cassel masuk ke dalam sana mendekati Raccel. Adik kembarannya itu langsung berdiri dengan lutut, mengulurkan kedua tangannya pada Cassel. Dan Cassel langsung memberikan pelukan pada Raccel. Ia mengusap kepala sang adik dengan penuh kasih sa
Sejak kejadian di ruang makan satu jam yang lalu, Raccel pun kini duduk di ruang keluarga bersama anjing kecilnya. Di ruang tamu seberang, ada Nicholas dengan Damien dan Cassel. Mereka nampak membicarakan hal-hal penting. Sampai tiba-tiba saja ada yang datang dan seseorang berdiri di depan pintu rumah. "Permisi..." Salam seseorang bersuara laki-laki. Di sana, Cassel langsung beranjak dari duduknya. Dia melihat pemuda berseragam sekolah seperti seragam milik Raccel. "Oh, temannya Raccel?" tanya Cassel. "Iya. Saya Revvan, teman sekelas Raccel," jawab pemuda itu. Dan Cassel pun menganggukkan kepalanya, kini dia paham jadi anak laki-laki ini bernama Revvan yang berhasil mendapatkan beasiswa, kabarnya dia adalah seorang kapten basket, dan salah satu murid unggulan yang terkenal. "Oh sebentar ya, aku panggilkan adikku," ujar Cassel. "Iya Kak," jawab Revvan, dia tidak tahu kalau Cassel adalah kembaran Raccel. Dari arah ruang tamu, Nicholas terus menatap anak sekolah yang kemarin men
Sejak pagi hingga sore hari, di kediaman Keluarga Escalante sangat sibuk. Mereka menyiapkan pesta keluarga untuk malam ini. Hingga siang berganti malam, rumah megah berlantai dua itu nampak dihiasi dengan meriah lampu-lampu di luar rumah, maupun di dalam rumah. Dalena tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul bersama. "Baru kali ini acara akhir tahun menjadi sangat meriah, iya kan, Sayang?" Dalena menoleh pada sang suami yang berdiri di sampingnya."Iya. Mungkin itu semua karena kita bisa melihat anak-anak kita, menantu kita, cucu kita berkumpul bersama. Sangat membahagiakan, Sayang." Damien merangkul pundak Dalena memperhatikan pemandangan ruangan di dalam rumah yang sudah dihias dengan indah oleh Cassel dan Nicholas sejak siang tadi. Sampai tiba-tiba saja, Elsa dan Gissele muncul dari arah lantai dua. Di sana nampak Gissele cemberut dan bersedekap dengan wajah kesalnya. "Ada apa, Sayang? Sini..." Damien melambaikan tangannya pada Gissele. Dalena juga ikut melambaikan tangannya
Salju turun cukup tebal kemarin, dan siang ini Cassel mengajak anak istrinya untuk pergi membelikan beberapa makanan, dan juga hadiah. Mereka akan menghabiskan beberapa hari di musim dingin bersama dengan keluarga Cassel. Mereka bertiga datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, Gissele sibuk memilih mainan, camilan, dan hiasan-hiasan yang menarik perhatiannya. "Sayang, jangan mengambil gantungan banyak-banyak, nanti mau ditaruh di mana lagi?" Elsa merebut beberapa boneka gantung yang Gissele ambil. "Gissele mau itu, Ma!" seru bocah itu menunjuk ke sebuah lonceng-lonceng kecil. "Astaga ... untuk apa, Sayang?" Elsa mengusap wajahnya. "Sana, Gissele sama Papa saja. Minta gendong Papa." Anak itu cemberut. Kalau sudah bersama Papanya, dia tidak akan diturunkan dari stroller. Namun, meskipun dengan wajah protes, Gissele pun patuh dengan Elsa dan anak itu mendekati Cassel, meminta gendong dan meminta didudukkan di atas stroller miliknya. "Sudah ... Gissele duduk di sana saja, se
"Mommy dan Daddy ingin kalian menginap di sini. Kapan kalian bisa? Daddy ingin membuat party bersama kalian juga..." Suara di balik panggilan itu adalah suara Dalena yang kini bertanya pada Elsa dan Cassel. Setelah hampir tiga mingguan Cassel dan Elsa tidak datang ke kediaman orang tuanya karena sibuk. "Mungkin besok malam kita akan ke sana Mom, besok kan sudah mulai libur akhir tahun," jawab Cassel tersenyum."Iya. Janji ya, Nak ... Mommy sudah sangat kangen dengan Cucu cantik Mommy," ujar wanita itu. Cassel beranjak dari duduknya, laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia menunjukkan kamera ponselnya ke arah Gissele yang kini tengah mengacau pekerjaan Elsa. Karena Elsa mempunyai banyak pesanan hingga menyentuh hampir seribu bouquet selama musim dingin ini, dia pun membawa beberapa bunga dan membentuknya di rumah. "Sayang, dicari Oma, katanya Oma kangen," ujar Cassel menyerahkan ponselnya pada Gissele.Anak cantik dengan rambut pirang cerah itu langsung melebarkan kedua
Pagi setelah menginap di tempat orang tua Cassel, esok harinya Elsa nampak sibuk di rumah. Gadis itu kini tampak bergelut dengan beberapa pekerjaan rumah, termasuk membuat banyak kue yang akan ia antarkan ke panti asuhan seperti biasa. "Mama buat kue banyak sekali? Mau dibawa ke panti, ya?" tanya Gissele yang kini membantu Mamanya memasukkan beberapa kue dalam sebuah box. "Iya Sayang. Tapi Gissele tidak usah ikut, ya ... Gissele di rumah saja dengan Tante Raccel dan Oma," ujar Elsa menatap putrinya. Dan dengan patuh Raccel menyetujui hal itu. Bukan tanpa alasan Raccel melarang putri kecilnya untuk ikut, melainkan sejak awal, pengurus panti meminta Elsa untuk tidak sering-sering lagi membawa Gissele ke panti, mereka takut Gissele ingat masa dulu dan tidak mau pulang lagi ke rumah. Anak perempuan itu mengangguk patuh, namun dia cemberut, seolah-olah dia memang tidak setuju dengan apa yang Mamanya pinta padanya. "Mama, hari ini Gissele mau pergi beli sepatu baru kata Papa," ujar an
Setelah kondisi Elsa kembali sehat, Cassel pun memutuskan untuk mengajak istrinya pergi jalan-jalan bersamanya dan putri mereka.Setelah puas menemani Gissele bermain di taman dan game zone, mereka bertiga kini pergi ke rumah orang tua Cassel. Kedatangan mereka disambut dengan sangat hangat, terlebih lagi di sana ada Raccel dan anak kembarnya. "Wahh, Cucu Oma akhirnya ke sini juga!" seru Dalena mengendong Gissele dan mengecup pipi gembul anak itu. "Gissele...!" Suara Raccel membuat Gissele menoleh, anak perempuan dengan dress merah muda itu langsung berlari ke arah Raccel di ruang tengah. Sementara Elsa, gadis itu meletakkan paper bag berisi makanan di atas meja, dan Cassel juga berjalan ke dapur mengambil minuman dingin. "Raccel di sini sejak kapan, Mom? Nicho ke mana?" tanya Cassel menatap sang Mama. "Nicholas sedang ada urusan kantor dengan Daddy, mereka ke luar kota, Sayang. Raccel memang sekarang Mommy minta untuk pindah ke sini, merawat Lovia dan Livia sendirian itu sangat
"Dokter Cassel, apakah ada jadwal yang lain lagi hari ini?" Cassel menoleh ke belakang saat rekannya bertanya, begitu Cassel keluar dari ruangan operasi. Cassel menggelengkan kepalanya. "Tidak dok. Aku akan pulang cepat hari ini karena istriku sedang sakit," jawab Cassel sembari tersenyum. "Oh begitu, baiklah..." Tanpa menjawab apapun lagi, Cassel segera bergegas keluar dari dalam ruangan itu dan ia berjalan ke arah ruangannya sendiri.Laki-laki dengan jas putih itu membuka ruangan pribadinya. Di sana, Cassel langsung meraih ponsel miliknya dan ia melihat apakah dirinya mendapatkan pesan dari Elsa atau tidak?Cassel menghela napasnya panjang dan tersenyum. Baru saja dia ingin melihat pesan, Elsa sudah memberikan kabar lebih dulu padanya."Hemm, tumben sekali dia memintaku membawakan makanan? Biasanya juga selalu menolak," gumam Cassel. Segera Cassel menghubungi Elsa. "Halo Sayang, kau ingin menitip makanan apa, hem?" tanya laki-laki itu. "Bukan aku. Tapi Gissele, dia ingin mela
Tak biasanya Gissele bangun saat hari masih petang. Anak kecil perempuan dengan rambut cokelat terang itu, sudah bermain di karpet tebal di bawah ranjang. Ocehannya yang sedang asik mengajak bonekanya berbincang itu membuat Cassel terbangun dari tidurnya tiba-tiba. Cassel yang memeluk Elsa pun sontak melepaskannya dan ia menoleh ke samping. "Loh, Gissele!" pekiknya lirih. "Papa ... Gissele di sini, Pa!" seru anak perempuan itu mengacungkan tangannya. Cassel menyergah napasnya pelan mengetahui putri kecilnya berada di bawah sana. Segera Cassel menyibak selimutnya dan berjalan mendekati Gissele yang duduk memegang mainannya. "Sayang, kenapa di sini? Ini masih petang, Gissele tidak mengantuk, hem?" tanya Cassel mengusap pucuk kepala putri kecilnya. Anak itu hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Sebelum akhirnya Gissele merangkak mengambil botol susu miliknya dan menyerahkan pada Cassel."Apa Sayang?" tanya Cassel menatap sang putri."Buatkan susu, Pa. Gissele mau minum susu," u
Elsa dan Cassel menuhi permintaan Luna untuk datang ke sebuah rumah makan mewah di sebuah hotel berbintang malam ini. Tentunya Elsa membawa Gissele yang kini tidak mau berjalan kaki, setelah punya stroller baru, dia ingin memamerkan stroller miliknya pada semua orang. Termasuk pada Nenek dan Kakeknya.Mereka bertiga pun kini baru saja masuk ke dalam restoran tersebut. "Emmm ... di mana, Ma?" tanya Gissele menoleh ke kanan dan ke kiri dalam kereta kecilnya. "Gissele Sayang!" pekik Luna melambaikan tangannya ke arah Elsa dan Cassel. Mereka pun menoleh. "Oh, ternyata di sana!" seru Elsa terkekeh.Segera Cassel mendorong stroller milik Gissele dan mereka berjalan mendekati meja di mana kedua orang tua Elsa berada. Luna dan suaminya pun berada di sana."Ya ampun, Cucu Nenek lucu sekali," seru Vania mengangkat tubuh mungil Gissele dari atas stroller."Naik kereta baru, Sayang? Punya kereta warnanya merah muda, bagus sekali..." Teddy ikut gembira dengan kedatangan Gissele. Elsa bersala
Elsa mengantarkan makan siang yang ia siapkan untuk Cassel siang ini. Bersama dengan Gissele, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Semua rekan-rekan Cassel menyapa Elsa dengan ramahnya, karena mereka semua tahu siapa Elsa sebenarnya, yang tak lain adalah istri dari calon direktur rumah sakit. "Selamat siang Nyonya Elsa," sapa salah satu rekan kerja suaminya, dia adalah Dokter Agnes. "Selamat siang, Dokter Agnes ... emm, apa suami saya masih ada jadwal operasi?" tanya Elsa bertanya pada wanita si depannya itu. "Oh, sepertinya sudah selesai. Saya melihat beliau tadi berada di ruangannya," jawab Agnes. "Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu..." "Iya Nyonya, silakan..."Elsa pun bergegas kembali mendorong stroller di mana Gissele duduk di dalam tempat itu sambil meminum susunya di dalam botol. Mereka berdua berjalan menuju ke arah ruangan kerja Cassel. Di sana, Elsa mengetuk pintu ruangan tersebut. Pintu itu tidak sepenuhnya ditutup. Hingga Cassel yang sedang beris