Saat Nicholas mengantarkan Cassel pulang setelah dari kantor bersama, Nicholas melihat ada Raccel bersama teman laki-lakinya bernama Revvan, di teras. Nicholas pun ikut turun sembari membawa beberapa berkas-berkas di tangannya. "Yuk! Main billiard di belakang!" ajak Cassel berjalan sembari menepuk pundak Nicholas. Mereka berdua melewati Raccel dan Revvan. Di sana nampak Raccel yang tengah membuka-buka beberapa kertas pelajaran. Gadis itu mendongak menatap Nicholas yang meliriknya dan Reevan, dan tidak menyapa Raccel sama sekali. "Oh ya Raccel, ngomong-ngomong kau nanti ingin kuliah di mana? Kita bareng saja, bagaimana?" ajak Revvan. "Emm, Raccel tidak tahu. Masih bingung... Tapi kan Revvan sudah dapat beasiswa, kenapa tidak dimanfaatkan?" tanya Raccel bingung."Aku tidak ingin menjadi dokter, aku ingin jadi arsitek," jawab Revvan tersenyum tipis. "Emmm, begitu ya. Kalau Raccel ingin kuliah mengambil kelas musik," jawab gadis itu. Mereka berdua mengobrol dan bercanda, di balik
Keesokan harinya Raccel sudah kembali bersekolah, teman-temannya memberikan semangat untuk Raccel, dan hal itu yang membuat Raccel kembali bersemangat menjalani hari-harinya lagi.Raccel kini sedang berada di kelasnya bersama dengan Revvan, anak laki-laki itu sibuk mengerjakan tugas di bangku Raccel. "Raccel..." "Hem? Ada apa?" "Kalau aku boleh tahu, apa kemarin itu kakakmu juga, ya? Yang mengantarkan camilan ke depan, sekaligus mengusirku secara halu!" seru Revvan. Raccel menghentikan menulisnya, gadis itu menoleh pada Revvan. "Itu Kak Nicholas, dia anak teman Daddy-ku. Dia juga temanku sejak kecil," jawab Raccel kembali menoleh. "Sepertinya tidak suka denganku, apa dia menyukaimu?" tanya Revvan tiba-tiba. Sontak Raccel menatap temannya itu. "Emmm, kalau suka denganku sih... Sepertinya bisa dikatakan, tidak mungkin..." Raccel langsung memasang wajah sedih. "Kenapa begitu? Seenaknya saja memutuskan. Padahal dia belum mengatakan perasaannya padamu, kan? Kemarin saja dia terli
Setelah kejadian kemarin saat Raccel melihat Nicholas bersama kekasihnya, Raccel pun tidak keluar kamar sekalipun dia mendengar suara Nicholas saat ada di rumahnya. Raccel menjadi sangat sedih, seperti ada kekecewaan besar dalam hidupnya yang membuatnya merasa selama ini apa dia usahakan adalah hal yang sia-sia. "Semua hal yang aku inginkan benar-benar tidak bisa aku wujudkan, dari beasiswa, hingga... Kak Nicho," gumam Raccel menatap ke arah luar jendela kamarnya. "Apa ini memang bukan yang terbaik buat Raccel?" Di tengah lamunannya, tiba-tiba pintu kamar gadis itu terketuk, Raccel pun langsung menoleh ke depan. Dia berjalan membuka pintu kamarnya. Muncul Dalena di depannya kini. "Sayang, kok tidak keluar sama sekali? Raccel tidak makan, ya?" tanya Dalena memasang wajah cemas. "Kenapa? Raccel sakit?" "Tidak papa kok Mom, belum lapar saja. Ini juga mau keluar," jawab Raccel. Dalena mengulurkan tangannya mengusap pipi Raccel."Ya sudah, ayo turun ke bawa, makan yang banyak biar t
Atas permintaan Dalena, akhirnya Nicholas membawa Raccel ke apartemennya. Sepanjang jalan gadis itu terus menangis dan meminta maaf entah pada siapa, mengatakan kalau dia tidak bermaksud membuat adiknya meninggal.Bahkan sesampainya di apartemen milik Nicholas, Raccel masih menangis. "Sudah, jangan menangis lagi. Di sini sudah tidak ada Daddy-mu, Raccel..." Nicholas memeluknya. Gadis itu duduk di tepi ranjang dan memeluk tubuh Nicholas dengan erat. "Besok pagi antarkan Raccel ke tempat Oma, Kak," pintanya dengan wajah kacau dan sedih tak berujung. Nicholas mengusap satu pipi Raccel, ia menyadari betapa pedih dan beratnya hidup gadis yang ia sayangi ini. Setelah kematian adik bayinya, Raccel menderita penyakit yang bahkan dia obati sampai saat ini karena kecelakaan waktu itu. Dan menyedihkannya lagi, dia harus kehilangan kasih sayang Papanya, padahal Nicholas yakin, kalau Raccel adalah gadis yang sangat baik. "Raccel, Kakak sangat percaya padamu. Kakak tahu kau adalah gadis yang
"Nicho, terima kasih sudah menjaga Raccel di sini ya, kalau tidak ada dirimu, Tante tidak tahu harus bagaimana..." Dalena mengucapkan itu dengan sangat tulus sembari mendekap Raccel yang kini memeluknya. "Iya Tante, sama-sama. Tidak masalah... Raccel sudah seperti adik saya sendiri," jawab Nicholas mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Raccel. Gadis itu tidak mau melepaskan pelukannya pada sang Mama. Rasa sedih yang Raccel rasakan hanya akan semakin bertumpuk-tumpuk. "Sayang, sudah yuk... Ayo pulang," ajak Dalena menangkup kedua pipi Raccel. "Raccel mau pulang ke rumah Oma," pintanya. "Kalau Raccel pulang ke rumah Oma, nanti Mommy sendirian. Raccel kan tahu, Kakak sangat sibuk dan Daddy juga sama sibuknya, Sayang..." Dalena menangkup kedua pipi Raccel. Gadis itu masih berkaca-kaca kedua matanya. Sesekali dia sesenggukan dan menundukkan kepalanya. Sedangkan Cassel hanya duduk di samping sang Mama dan diam memperhatikan Raccel. Sesungguhnya Cassel kesal karena Raccel sanga
Dalena memutuskan hal terpenting dalam hidupnya. Wanita itu menemui Damien di kantornya siang ini setelah dia menyiapkan makan siang untuk Raccel. Dalena sadar kalau antara dia dan Damien tidak pernah ribut besar sebelumnya. Tapi kali ini Dalena tidak akan tinggal diam, ia tidak ingin putrinya terus tumbuh dalam kehidupan yang pahit dan hitam. Dan kini Dalena berdiri di depan pintu ruangan CEO, di mana suaminya berada di dalam sana, cepat Dalena membuka pintu itu dan masuk. "Damien..." Dalena langsung memanggilnya pelan. "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, kali ini aku ingin membahas hal serius." Evan menatapnya sejenak, sebelum laki-laki itu mengangguk. "Duduk, dan katakan ada apa? Kalau masih ingin membahas Raccel, lebih baik—""Lebih baik kita pisah saja, Damien," sela Dalena dengan cepat menghentikan ucapan Damien saat itu juga. Mendengar apa yang istrinya katakan, lantas Damien menatap wajah Dalena dengan serius. "A-apa kau katakan barusan, Dalena?" Damien langsung ber
Damien kembali dari kantor pukul tujuh malam. Laki-laki itu terkejut saat melihat rumahnya dalam keadaan gelap gulita seperti rumah kosong. Pembantunya memang sedang libur, dan satu jam yang lalu Cassel mengatakan padanya dia masih ada jadwal praktek, lalu di mana istrinya? "Dalena..."Rumah itu sunyi sepi dan dingin hawa di sekitarnya. "Ke mana Dalena?" gumam Damien kebingungan. Laki-laki itu berlari menyalakan penerangan di dalam rumahnya. Rumah masih bersih seperti pagi tadi, bahkan menu makanan pagi tadi masih ada di atas meja makan utuh tak tersentuh. "Dalena...! Raccel..!" teriak Damien memanggil-manggil. Langkah kaki Damien cepat menuju ke lantai dua, laki-laki itu membuka pintu kamarnya dan ia melihat lemari pakaian yang terbuka. "Tidak, tidak mungkin dia pergi? Dalena... Dalena kau masih ada di sini kan, Dalena!" teriak Damien. Laki-laki itu berlari masuk ke dalam kamar milik Raccel, semua buku dan barang-barang milik Raccel tidak ada di kamar itu. "Raccel... Kalian
Saat Cassel pulang, isi rumahnya nampak kacau dengan. Banyak pecahan beling vas bunga di mana-mana. Tak kaget dengan Daddy-nya yang sangat emosional. Cassel hanya ingin melihat apa yang membuat Daddy-nya marah, kehilangan Mommy-nya, Raccel, atau keduanya?"Dad..." Suara Cassel membuat Damien yang tengah berdiri di dalam ruangan kerja, menatap pemandangan di luar. Damien nampak diam termenung. Damien menoleh menatap putranya. "Di mana Mommy dan Adikmu, Cassel?" tanya Damien dengan nada dingin. "Aku tidak tahu, Dad," jawab Cassel lemas. "Nicholas yang menghubungiku. Dia mencari Raccel, bahkan aku tidak bisa menghubungi Raccel." Damien mengepalkan tangannya, laki-laki itu sebenarnya tahu kalau Cassel pasti menyembunyikan Mommy dan Adiknya, karena Damien paham betapa Cassel sangat mencintai mereka berdua. "Mommy tidak mungkin pergi tanpa alasan, Dad. Harusnya Daddy sadar atas apa yang Daddy selalu katakan pada Raccel. Kadang Cassel juga bertanya-tanya..." Cassel menatap sang Daddy