Saat Cassel pulang, isi rumahnya nampak kacau dengan. Banyak pecahan beling vas bunga di mana-mana. Tak kaget dengan Daddy-nya yang sangat emosional. Cassel hanya ingin melihat apa yang membuat Daddy-nya marah, kehilangan Mommy-nya, Raccel, atau keduanya?"Dad..." Suara Cassel membuat Damien yang tengah berdiri di dalam ruangan kerja, menatap pemandangan di luar. Damien nampak diam termenung. Damien menoleh menatap putranya. "Di mana Mommy dan Adikmu, Cassel?" tanya Damien dengan nada dingin. "Aku tidak tahu, Dad," jawab Cassel lemas. "Nicholas yang menghubungiku. Dia mencari Raccel, bahkan aku tidak bisa menghubungi Raccel." Damien mengepalkan tangannya, laki-laki itu sebenarnya tahu kalau Cassel pasti menyembunyikan Mommy dan Adiknya, karena Damien paham betapa Cassel sangat mencintai mereka berdua. "Mommy tidak mungkin pergi tanpa alasan, Dad. Harusnya Daddy sadar atas apa yang Daddy selalu katakan pada Raccel. Kadang Cassel juga bertanya-tanya..." Cassel menatap sang Daddy
Nicholas melirik Raccel yang kini menangis, dia menyalahkan dirinya sendiri saat melihat gadis itu tidak mau mengatakan apapun padanya. "Raccel, Kakak tidak bermaksud memarahimu," ujar Nicholas mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Raccel. "Sudah Kak, berhenti di sini saja," ujar Raccel. "Tidak. Antarkan sampai tempat di mana kau tinggal." "Tidak mau! Nanti Kakak adukan ke Daddy!" pekik Raccel marah. Saat itu juga mobil hitam milik Nicholas langsung terhenti seketika. Nicholas menatap Raccel dengan tatapan tajam.Raccel langsung terdiam seketika, tertunduk dengan kedua mata terpejam. "Sejak kapan kau membentakku, Raccel? Bahkan aku selalu berada di pihakmu. Aku mencarimu hingga tengah malam, aku mengkhawatirkanmu sebagai diriku sendiri! Bukan sebagai mata-mata Papamu! Mengerti?!" pekik Nicholas marah. Dia kesal, sangat kesal saat Raccel menunjukkan sisi asing padanya. Hal itu membuat Nicholas meras jauh dari Raccel. Raccel menangis mencengkeram tali tas yang dia pakai.
Damien dan Dalena membawa Raccel ke rumah sakit. Dokter yang merawat sakit Raccel sejak kecil pun masih setia merawatnya setiap kali Raccel kontrol. Dalena selalu tidak tenang bila Raccel kembali sakit. Wanita itu kini menemani Raccel, di sampingnya ada Damien yang merangkulnya. "Dokter... Raccel tidak papa kan, dok?" tanya Dalena cemas. "Tidak papa Nyonya. Tapi bukankah saya sudah berkali-kali bilang pada Raccel, untuk tidak berlari atau melangkah terburu-buru. Keseimbangan yang Raccel miliki itu kurang, cidera yang dia alami saat kecil ini sangat serius, efeknya bisa sampai dewasa hingga tua nanti." Penjelasan dokter itu membuat Dalena menjadi lemas. Wanita itu mengangguk dan kembali melirik Raccel yang hanya diam. Dalena tidak tahu apa yang membuat Raccel berlari, biasanya gadis itu tidak pernah berupaya keras hingga melukai fisiknya. "Apa tidak ada pengobatan yang paling bagus agar putri kamu bisa beraktivitas normal, dok?" tanya Damien. "Tidak ada Tuan, karena ini cidera b
Damien terpaku mendengar pertanyaan Raccel. Namun belum ia menjawab, pintu ruangan kamar inapnya terbuka. Nampak Dalena masuk ke dalam sana. Wanita itu menatap kedatangan Damien dan melihat Raccel memegang kotak berisi hamburger. "Bagaimana?" tanya Damien berdiri dari duduknya. Dalena tersenyum tipis. "Hasilnya yang akurat akan keluar besok pagi." "Baiklah, besok aku temani mengambil hasil pemeriksaannya," ujar Damien. Anggukan diberikan oleh Dalena, sementara Raccel hanya diam menatap sang Mommy. Raccel menyibak selimutnya tiba-tiba. Dan saat gadis itu berusaha menggerakkan kakinya, kedua mata Raccel melebar. "Mom, kaki Raccel kenapa?" tanya gadis itu tiba-tiba. "Kenapa tidak bisa digerakkan?" tanya Raccel. "Raccel mau ke mana, Sayang?" tanya Dalena mendekatinya. Kedua mata indah Raccel berkaca-kaca menatap sang Mommy. "Kaki Raccel tidak terasa, Mom, ini bukan lemas lagi. Tapi ini tidak bisa bergerak sama sekali!" pekik gadis itu mulai panik. "Raccel... Tidak papa Sayang,
Raccel terbangun dari tidurnya pagi ini dalam ruangan kamar inapnya yang sepi. Gadis itu mencari-cari di mana Mommy-nya berada. Seperti biasa, sejak bertemu dengan Dalena, tiap kali bangun tidur, pasti yang ia cari adalah Mommy-nya. "Mommy ke mana? Biasanya kan ada Mommy," gumam gadis itu menyibak selimutnya. Raccel terdiam sejenak, ia menatap kakinya yang masih tidak ada rasa. "Bagaimana menggerakkannya? Mommy ke mana?" Gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Sebisa mungkin Raccel berusaha, ia mengambil sebuah tongkat di sampingnya. Raccel berusaha menggunakan kaki kanannya yang terasa kebas dan berat. Ia berusaha keras untuk sampai ke pintu. Setelah berhasil keluar, Raccel berjalan ke satu lorong dan mencari-cari seseorang. Lorong itu, benar-benar sangat sepi. Sampai akhirnya langkah Raccel terhenti di depan sebuah ruangan di mana ia mendengar suara Mommy dan Daddy-nya di dalam bersama seorang dokter. "Dokter, bagaimana mungkin anak kami tidak bisa berjalan normal lagi?! Apa
Beberapa Hari Kemudian...Hari ini Raccel sudah dibawa pulang, Damien pun mengajaknya kembali pulang ke rumah mereka. Raccel menjadi pendiam, berubah tak seceria dulu lagi. Gadis itu merasa semua mimpi dan cita-citanya patah karena kakinya yang sakit. Dan kini, gadis itu tengah duduk diam di dekat jendela menatap pemandangan hujan di luar. Dan sudah tiga jam lamanya. "Sayang, Raccel sedang apa diam di sini terus? Mau Mommy bantu ke kamar?" Dalena mendekati putrinya. "Tidak Mom, Raccel mau di sini saja," jawab gadis itu. Dalena tersenyum mengusap pipi gembil Raccel. Wanita itu ikut duduk di samping Raccel saat ini. Diam-diam Raccel merasa kecewa, setelah membuat Raccel sakit, kini Nicholas tidak lagi terlihat batang hidungnya. Raccel menjadi semakin yakin kalau laki-laki itu, tidak pantas untuknya. "Daddy hari ini pasti pulang lebih sore," ujar Dalena sembari membukakan bungkus biskuit untuk Raccel. "Hemm? Kenapa memangnya Mom? Bukannya Daddy janji mau makan malam bersama kita
Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Raccel berada di dalam kamarnya ditemani oleh Cassel. Mereka berdua nampak sibuk dengan susunan mainan puzzle milik Raccel yang baru saja dibelikan oleh Damien sore tadi. Meskipun terdengar dan terlihat sangat kekanakan, namun Damien tahu kalau putrinya sangat menyukai mainan puzzle sejak kecil. "Huhhh... Ini gerbang castilnya, Sayang. Jangan diambil bata balok yang ini, Raccel!" seru Cassel memukul pelan punggung tangan sang adik. "Tapi ini mirip dengan bata pilarnya, Kak!" teriak Raccel. "Alah tidak boleh pokoknya, susun saja yang lainnya." Cassel asik tengkurap di atas ranjang. Raccel cemberut sembari menatap sang Kakak. Mereka berdua sangat asik bermain seolah-olah mereka ini masih bocah. Sampai akhirnya pintu kamar Raccel terketuk, dan si kembar menoleh ke depan. Di sana berdiri Nicholas membawa sebuah paper bag besar di tangannya. "Nicho," sapa Cassel. "Masuk!" Nicholas berjalan masuk ke dalam kamar itu, dia menatap Raccel yang kini la
Nicholas tiba di depan sebuah tempat, di mana Kalila sedang menunggunya di sana. Gadis itu nampak cemberut saat Nicholas datang. "Kenapa lama sekali, sih?" tanya gadis itu. "Apa adiknya Cassel itu manja sekali padamu, sampai-sampai kau tidak bisa lepas dari dia?!" Dengan wajah kesal, Kalila menggerutu dan mengomeli Nicholas. Tak berbohong kalau Nicholas dan Kalila memang beberapa hari ini sangat dekat. Selain teman sekolah, Mamanya Kalila juga teman baik Mamanya Nicholas. "Raccel sakit, jadi aku menjenguknya," jawab Nicholas singkat. "Tapi kau itu perhatian sekali padanya, Cho! Aku sampai setengah jam menunggumu di sini! Ganjen sekali dia masih kecil!" serunya kesal. Saat itu juga Nicholas mematikan lagi mesin mobilnya. Dia menoleh menatap Kalila dengan tatapan datarnya. "Apa maksudmu?" tanya Nicholas. "Ya... Ya tidak, aku kan bicara soal fakta. Kau selalu mengutamakan dia dibandingkan aku! Padahal aku kan—""Raccel sekarang tidak bisa berjalan lagi! Itu semua karena aku, kau