Damien dan Dalena membawa Raccel ke rumah sakit. Dokter yang merawat sakit Raccel sejak kecil pun masih setia merawatnya setiap kali Raccel kontrol. Dalena selalu tidak tenang bila Raccel kembali sakit. Wanita itu kini menemani Raccel, di sampingnya ada Damien yang merangkulnya. "Dokter... Raccel tidak papa kan, dok?" tanya Dalena cemas. "Tidak papa Nyonya. Tapi bukankah saya sudah berkali-kali bilang pada Raccel, untuk tidak berlari atau melangkah terburu-buru. Keseimbangan yang Raccel miliki itu kurang, cidera yang dia alami saat kecil ini sangat serius, efeknya bisa sampai dewasa hingga tua nanti." Penjelasan dokter itu membuat Dalena menjadi lemas. Wanita itu mengangguk dan kembali melirik Raccel yang hanya diam. Dalena tidak tahu apa yang membuat Raccel berlari, biasanya gadis itu tidak pernah berupaya keras hingga melukai fisiknya. "Apa tidak ada pengobatan yang paling bagus agar putri kamu bisa beraktivitas normal, dok?" tanya Damien. "Tidak ada Tuan, karena ini cidera b
Damien terpaku mendengar pertanyaan Raccel. Namun belum ia menjawab, pintu ruangan kamar inapnya terbuka. Nampak Dalena masuk ke dalam sana. Wanita itu menatap kedatangan Damien dan melihat Raccel memegang kotak berisi hamburger. "Bagaimana?" tanya Damien berdiri dari duduknya. Dalena tersenyum tipis. "Hasilnya yang akurat akan keluar besok pagi." "Baiklah, besok aku temani mengambil hasil pemeriksaannya," ujar Damien. Anggukan diberikan oleh Dalena, sementara Raccel hanya diam menatap sang Mommy. Raccel menyibak selimutnya tiba-tiba. Dan saat gadis itu berusaha menggerakkan kakinya, kedua mata Raccel melebar. "Mom, kaki Raccel kenapa?" tanya gadis itu tiba-tiba. "Kenapa tidak bisa digerakkan?" tanya Raccel. "Raccel mau ke mana, Sayang?" tanya Dalena mendekatinya. Kedua mata indah Raccel berkaca-kaca menatap sang Mommy. "Kaki Raccel tidak terasa, Mom, ini bukan lemas lagi. Tapi ini tidak bisa bergerak sama sekali!" pekik gadis itu mulai panik. "Raccel... Tidak papa Sayang,
Raccel terbangun dari tidurnya pagi ini dalam ruangan kamar inapnya yang sepi. Gadis itu mencari-cari di mana Mommy-nya berada. Seperti biasa, sejak bertemu dengan Dalena, tiap kali bangun tidur, pasti yang ia cari adalah Mommy-nya. "Mommy ke mana? Biasanya kan ada Mommy," gumam gadis itu menyibak selimutnya. Raccel terdiam sejenak, ia menatap kakinya yang masih tidak ada rasa. "Bagaimana menggerakkannya? Mommy ke mana?" Gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Sebisa mungkin Raccel berusaha, ia mengambil sebuah tongkat di sampingnya. Raccel berusaha menggunakan kaki kanannya yang terasa kebas dan berat. Ia berusaha keras untuk sampai ke pintu. Setelah berhasil keluar, Raccel berjalan ke satu lorong dan mencari-cari seseorang. Lorong itu, benar-benar sangat sepi. Sampai akhirnya langkah Raccel terhenti di depan sebuah ruangan di mana ia mendengar suara Mommy dan Daddy-nya di dalam bersama seorang dokter. "Dokter, bagaimana mungkin anak kami tidak bisa berjalan normal lagi?! Apa
Beberapa Hari Kemudian...Hari ini Raccel sudah dibawa pulang, Damien pun mengajaknya kembali pulang ke rumah mereka. Raccel menjadi pendiam, berubah tak seceria dulu lagi. Gadis itu merasa semua mimpi dan cita-citanya patah karena kakinya yang sakit. Dan kini, gadis itu tengah duduk diam di dekat jendela menatap pemandangan hujan di luar. Dan sudah tiga jam lamanya. "Sayang, Raccel sedang apa diam di sini terus? Mau Mommy bantu ke kamar?" Dalena mendekati putrinya. "Tidak Mom, Raccel mau di sini saja," jawab gadis itu. Dalena tersenyum mengusap pipi gembil Raccel. Wanita itu ikut duduk di samping Raccel saat ini. Diam-diam Raccel merasa kecewa, setelah membuat Raccel sakit, kini Nicholas tidak lagi terlihat batang hidungnya. Raccel menjadi semakin yakin kalau laki-laki itu, tidak pantas untuknya. "Daddy hari ini pasti pulang lebih sore," ujar Dalena sembari membukakan bungkus biskuit untuk Raccel. "Hemm? Kenapa memangnya Mom? Bukannya Daddy janji mau makan malam bersama kita
Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Raccel berada di dalam kamarnya ditemani oleh Cassel. Mereka berdua nampak sibuk dengan susunan mainan puzzle milik Raccel yang baru saja dibelikan oleh Damien sore tadi. Meskipun terdengar dan terlihat sangat kekanakan, namun Damien tahu kalau putrinya sangat menyukai mainan puzzle sejak kecil. "Huhhh... Ini gerbang castilnya, Sayang. Jangan diambil bata balok yang ini, Raccel!" seru Cassel memukul pelan punggung tangan sang adik. "Tapi ini mirip dengan bata pilarnya, Kak!" teriak Raccel. "Alah tidak boleh pokoknya, susun saja yang lainnya." Cassel asik tengkurap di atas ranjang. Raccel cemberut sembari menatap sang Kakak. Mereka berdua sangat asik bermain seolah-olah mereka ini masih bocah. Sampai akhirnya pintu kamar Raccel terketuk, dan si kembar menoleh ke depan. Di sana berdiri Nicholas membawa sebuah paper bag besar di tangannya. "Nicho," sapa Cassel. "Masuk!" Nicholas berjalan masuk ke dalam kamar itu, dia menatap Raccel yang kini la
Nicholas tiba di depan sebuah tempat, di mana Kalila sedang menunggunya di sana. Gadis itu nampak cemberut saat Nicholas datang. "Kenapa lama sekali, sih?" tanya gadis itu. "Apa adiknya Cassel itu manja sekali padamu, sampai-sampai kau tidak bisa lepas dari dia?!" Dengan wajah kesal, Kalila menggerutu dan mengomeli Nicholas. Tak berbohong kalau Nicholas dan Kalila memang beberapa hari ini sangat dekat. Selain teman sekolah, Mamanya Kalila juga teman baik Mamanya Nicholas. "Raccel sakit, jadi aku menjenguknya," jawab Nicholas singkat. "Tapi kau itu perhatian sekali padanya, Cho! Aku sampai setengah jam menunggumu di sini! Ganjen sekali dia masih kecil!" serunya kesal. Saat itu juga Nicholas mematikan lagi mesin mobilnya. Dia menoleh menatap Kalila dengan tatapan datarnya. "Apa maksudmu?" tanya Nicholas. "Ya... Ya tidak, aku kan bicara soal fakta. Kau selalu mengutamakan dia dibandingkan aku! Padahal aku kan—""Raccel sekarang tidak bisa berjalan lagi! Itu semua karena aku, kau
Keesokan harinya, Raccel hari ini sudah mulai bersekolah kembali diantarkan oleh sang Papa. Dan kini, Raccel berada di dalam kelas ditemani oleh Revvan yang membantunya mengerjakan tugas dan memberi penjelasan pada Raccel. "Raccel, aku kenapa dengan kakimu? Emmm... Yang dibilang anak-anak saat mereka menguping di ruang guru tidak benar kan? Kau pasti bisa berjalan lagi, kan?" Revvan menatap Raccel sembari menyangga kepala. Raccel hanya tersenyum tipis. "Revvan, bisa jalan atau tidaknya aku nanti, aku tidak tahu," jawab gadis itu. "Tapi kau harus bisa berjalan, Raccel. Katanya kita akan satu kampus nanti," seru Revvan tersenyum menarik pipi Raccel. "Hemmm... Iya, iya! Jangan menarik pipiku dong!" seru Raccel memukul lengan Revvan. Revvan pun hanya terkekeh, anak laki-laki itu sangat menyukai Raccel. Sejak dulu, bahkan saat pertama kali dia melihat Raccel ketika mereka satu sekolah menengah atas. Tiba-tiba beberapa teman-teman perempuan Raccel masuk ke dalam kelas. "Heemmm, suda
Nicholas tidak langsung mengajak Raccel pulang ke rumahnya. Melainkan dia mengajak Raccel pergi ke suatu tempat. "Kita mau ke mana, Kak? Jangan pergi jauh-jauh!" seru Raccel menatap pemandangan di luar jendela mobil. "Sudah, ikut saja." "Emmm... Tumben Kak Nicho sedang tidak dengan pacar Kakak," ujar Raccel. Mendengar kata 'pacar' yang Raccel katakan, Nicholas tahu siapa yang dimaksud oleh Raccel saat ini. Namun dia hanya tersenyum tipis. "Kakak ingin berdua denganmu dulu." Raccel pun cemberut. Jawabannya sungguh tidak ia senangi. Gadis cantik itu membuka tas sekolahnya, Raccel mengambil ponsel miliknya dan ia menghubungi seseorang. Sementara Nicholas di sampingnya hanya diam dan meliriknya saja. "Halo... Nanti saja ya kalau ke rumah, aku masih pergi dengan Kakakku," ujar Raccel pada seseorang di balik panggilan itu. "Iya, semangat ya, Revvan..." Panggilan itu kembali ditutup oleh Raccel. Gadis itu tersenyum manis memeluk ponselnya. "Ingat, masih sekolah jangan pacar-pacara
Sejak pagi hingga sore hari, di kediaman Keluarga Escalante sangat sibuk. Mereka menyiapkan pesta keluarga untuk malam ini. Hingga siang berganti malam, rumah megah berlantai dua itu nampak dihiasi dengan meriah lampu-lampu di luar rumah, maupun di dalam rumah. Dalena tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul bersama. "Baru kali ini acara akhir tahun menjadi sangat meriah, iya kan, Sayang?" Dalena menoleh pada sang suami yang berdiri di sampingnya."Iya. Mungkin itu semua karena kita bisa melihat anak-anak kita, menantu kita, cucu kita berkumpul bersama. Sangat membahagiakan, Sayang." Damien merangkul pundak Dalena memperhatikan pemandangan ruangan di dalam rumah yang sudah dihias dengan indah oleh Cassel dan Nicholas sejak siang tadi. Sampai tiba-tiba saja, Elsa dan Gissele muncul dari arah lantai dua. Di sana nampak Gissele cemberut dan bersedekap dengan wajah kesalnya. "Ada apa, Sayang? Sini..." Damien melambaikan tangannya pada Gissele. Dalena juga ikut melambaikan tangannya
Salju turun cukup tebal kemarin, dan siang ini Cassel mengajak anak istrinya untuk pergi membelikan beberapa makanan, dan juga hadiah. Mereka akan menghabiskan beberapa hari di musim dingin bersama dengan keluarga Cassel. Mereka bertiga datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, Gissele sibuk memilih mainan, camilan, dan hiasan-hiasan yang menarik perhatiannya. "Sayang, jangan mengambil gantungan banyak-banyak, nanti mau ditaruh di mana lagi?" Elsa merebut beberapa boneka gantung yang Gissele ambil. "Gissele mau itu, Ma!" seru bocah itu menunjuk ke sebuah lonceng-lonceng kecil. "Astaga ... untuk apa, Sayang?" Elsa mengusap wajahnya. "Sana, Gissele sama Papa saja. Minta gendong Papa." Anak itu cemberut. Kalau sudah bersama Papanya, dia tidak akan diturunkan dari stroller. Namun, meskipun dengan wajah protes, Gissele pun patuh dengan Elsa dan anak itu mendekati Cassel, meminta gendong dan meminta didudukkan di atas stroller miliknya. "Sudah ... Gissele duduk di sana saja, se
"Mommy dan Daddy ingin kalian menginap di sini. Kapan kalian bisa? Daddy ingin membuat party bersama kalian juga..." Suara di balik panggilan itu adalah suara Dalena yang kini bertanya pada Elsa dan Cassel. Setelah hampir tiga mingguan Cassel dan Elsa tidak datang ke kediaman orang tuanya karena sibuk. "Mungkin besok malam kita akan ke sana Mom, besok kan sudah mulai libur akhir tahun," jawab Cassel tersenyum."Iya. Janji ya, Nak ... Mommy sudah sangat kangen dengan Cucu cantik Mommy," ujar wanita itu. Cassel beranjak dari duduknya, laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia menunjukkan kamera ponselnya ke arah Gissele yang kini tengah mengacau pekerjaan Elsa. Karena Elsa mempunyai banyak pesanan hingga menyentuh hampir seribu bouquet selama musim dingin ini, dia pun membawa beberapa bunga dan membentuknya di rumah. "Sayang, dicari Oma, katanya Oma kangen," ujar Cassel menyerahkan ponselnya pada Gissele.Anak cantik dengan rambut pirang cerah itu langsung melebarkan kedua
Pagi setelah menginap di tempat orang tua Cassel, esok harinya Elsa nampak sibuk di rumah. Gadis itu kini tampak bergelut dengan beberapa pekerjaan rumah, termasuk membuat banyak kue yang akan ia antarkan ke panti asuhan seperti biasa. "Mama buat kue banyak sekali? Mau dibawa ke panti, ya?" tanya Gissele yang kini membantu Mamanya memasukkan beberapa kue dalam sebuah box. "Iya Sayang. Tapi Gissele tidak usah ikut, ya ... Gissele di rumah saja dengan Tante Raccel dan Oma," ujar Elsa menatap putrinya. Dan dengan patuh Raccel menyetujui hal itu. Bukan tanpa alasan Raccel melarang putri kecilnya untuk ikut, melainkan sejak awal, pengurus panti meminta Elsa untuk tidak sering-sering lagi membawa Gissele ke panti, mereka takut Gissele ingat masa dulu dan tidak mau pulang lagi ke rumah. Anak perempuan itu mengangguk patuh, namun dia cemberut, seolah-olah dia memang tidak setuju dengan apa yang Mamanya pinta padanya. "Mama, hari ini Gissele mau pergi beli sepatu baru kata Papa," ujar an
Setelah kondisi Elsa kembali sehat, Cassel pun memutuskan untuk mengajak istrinya pergi jalan-jalan bersamanya dan putri mereka.Setelah puas menemani Gissele bermain di taman dan game zone, mereka bertiga kini pergi ke rumah orang tua Cassel. Kedatangan mereka disambut dengan sangat hangat, terlebih lagi di sana ada Raccel dan anak kembarnya. "Wahh, Cucu Oma akhirnya ke sini juga!" seru Dalena mengendong Gissele dan mengecup pipi gembul anak itu. "Gissele...!" Suara Raccel membuat Gissele menoleh, anak perempuan dengan dress merah muda itu langsung berlari ke arah Raccel di ruang tengah. Sementara Elsa, gadis itu meletakkan paper bag berisi makanan di atas meja, dan Cassel juga berjalan ke dapur mengambil minuman dingin. "Raccel di sini sejak kapan, Mom? Nicho ke mana?" tanya Cassel menatap sang Mama. "Nicholas sedang ada urusan kantor dengan Daddy, mereka ke luar kota, Sayang. Raccel memang sekarang Mommy minta untuk pindah ke sini, merawat Lovia dan Livia sendirian itu sangat
"Dokter Cassel, apakah ada jadwal yang lain lagi hari ini?" Cassel menoleh ke belakang saat rekannya bertanya, begitu Cassel keluar dari ruangan operasi. Cassel menggelengkan kepalanya. "Tidak dok. Aku akan pulang cepat hari ini karena istriku sedang sakit," jawab Cassel sembari tersenyum. "Oh begitu, baiklah..." Tanpa menjawab apapun lagi, Cassel segera bergegas keluar dari dalam ruangan itu dan ia berjalan ke arah ruangannya sendiri.Laki-laki dengan jas putih itu membuka ruangan pribadinya. Di sana, Cassel langsung meraih ponsel miliknya dan ia melihat apakah dirinya mendapatkan pesan dari Elsa atau tidak?Cassel menghela napasnya panjang dan tersenyum. Baru saja dia ingin melihat pesan, Elsa sudah memberikan kabar lebih dulu padanya."Hemm, tumben sekali dia memintaku membawakan makanan? Biasanya juga selalu menolak," gumam Cassel. Segera Cassel menghubungi Elsa. "Halo Sayang, kau ingin menitip makanan apa, hem?" tanya laki-laki itu. "Bukan aku. Tapi Gissele, dia ingin mela
Tak biasanya Gissele bangun saat hari masih petang. Anak kecil perempuan dengan rambut cokelat terang itu, sudah bermain di karpet tebal di bawah ranjang. Ocehannya yang sedang asik mengajak bonekanya berbincang itu membuat Cassel terbangun dari tidurnya tiba-tiba. Cassel yang memeluk Elsa pun sontak melepaskannya dan ia menoleh ke samping. "Loh, Gissele!" pekiknya lirih. "Papa ... Gissele di sini, Pa!" seru anak perempuan itu mengacungkan tangannya. Cassel menyergah napasnya pelan mengetahui putri kecilnya berada di bawah sana. Segera Cassel menyibak selimutnya dan berjalan mendekati Gissele yang duduk memegang mainannya. "Sayang, kenapa di sini? Ini masih petang, Gissele tidak mengantuk, hem?" tanya Cassel mengusap pucuk kepala putri kecilnya. Anak itu hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Sebelum akhirnya Gissele merangkak mengambil botol susu miliknya dan menyerahkan pada Cassel."Apa Sayang?" tanya Cassel menatap sang putri."Buatkan susu, Pa. Gissele mau minum susu," u
Elsa dan Cassel menuhi permintaan Luna untuk datang ke sebuah rumah makan mewah di sebuah hotel berbintang malam ini. Tentunya Elsa membawa Gissele yang kini tidak mau berjalan kaki, setelah punya stroller baru, dia ingin memamerkan stroller miliknya pada semua orang. Termasuk pada Nenek dan Kakeknya.Mereka bertiga pun kini baru saja masuk ke dalam restoran tersebut. "Emmm ... di mana, Ma?" tanya Gissele menoleh ke kanan dan ke kiri dalam kereta kecilnya. "Gissele Sayang!" pekik Luna melambaikan tangannya ke arah Elsa dan Cassel. Mereka pun menoleh. "Oh, ternyata di sana!" seru Elsa terkekeh.Segera Cassel mendorong stroller milik Gissele dan mereka berjalan mendekati meja di mana kedua orang tua Elsa berada. Luna dan suaminya pun berada di sana."Ya ampun, Cucu Nenek lucu sekali," seru Vania mengangkat tubuh mungil Gissele dari atas stroller."Naik kereta baru, Sayang? Punya kereta warnanya merah muda, bagus sekali..." Teddy ikut gembira dengan kedatangan Gissele. Elsa bersala
Elsa mengantarkan makan siang yang ia siapkan untuk Cassel siang ini. Bersama dengan Gissele, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Semua rekan-rekan Cassel menyapa Elsa dengan ramahnya, karena mereka semua tahu siapa Elsa sebenarnya, yang tak lain adalah istri dari calon direktur rumah sakit. "Selamat siang Nyonya Elsa," sapa salah satu rekan kerja suaminya, dia adalah Dokter Agnes. "Selamat siang, Dokter Agnes ... emm, apa suami saya masih ada jadwal operasi?" tanya Elsa bertanya pada wanita si depannya itu. "Oh, sepertinya sudah selesai. Saya melihat beliau tadi berada di ruangannya," jawab Agnes. "Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu..." "Iya Nyonya, silakan..."Elsa pun bergegas kembali mendorong stroller di mana Gissele duduk di dalam tempat itu sambil meminum susunya di dalam botol. Mereka berdua berjalan menuju ke arah ruangan kerja Cassel. Di sana, Elsa mengetuk pintu ruangan tersebut. Pintu itu tidak sepenuhnya ditutup. Hingga Cassel yang sedang beris