Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Raccel berada di dalam kamarnya ditemani oleh Cassel. Mereka berdua nampak sibuk dengan susunan mainan puzzle milik Raccel yang baru saja dibelikan oleh Damien sore tadi. Meskipun terdengar dan terlihat sangat kekanakan, namun Damien tahu kalau putrinya sangat menyukai mainan puzzle sejak kecil. "Huhhh... Ini gerbang castilnya, Sayang. Jangan diambil bata balok yang ini, Raccel!" seru Cassel memukul pelan punggung tangan sang adik. "Tapi ini mirip dengan bata pilarnya, Kak!" teriak Raccel. "Alah tidak boleh pokoknya, susun saja yang lainnya." Cassel asik tengkurap di atas ranjang. Raccel cemberut sembari menatap sang Kakak. Mereka berdua sangat asik bermain seolah-olah mereka ini masih bocah. Sampai akhirnya pintu kamar Raccel terketuk, dan si kembar menoleh ke depan. Di sana berdiri Nicholas membawa sebuah paper bag besar di tangannya. "Nicho," sapa Cassel. "Masuk!" Nicholas berjalan masuk ke dalam kamar itu, dia menatap Raccel yang kini la
Nicholas tiba di depan sebuah tempat, di mana Kalila sedang menunggunya di sana. Gadis itu nampak cemberut saat Nicholas datang. "Kenapa lama sekali, sih?" tanya gadis itu. "Apa adiknya Cassel itu manja sekali padamu, sampai-sampai kau tidak bisa lepas dari dia?!" Dengan wajah kesal, Kalila menggerutu dan mengomeli Nicholas. Tak berbohong kalau Nicholas dan Kalila memang beberapa hari ini sangat dekat. Selain teman sekolah, Mamanya Kalila juga teman baik Mamanya Nicholas. "Raccel sakit, jadi aku menjenguknya," jawab Nicholas singkat. "Tapi kau itu perhatian sekali padanya, Cho! Aku sampai setengah jam menunggumu di sini! Ganjen sekali dia masih kecil!" serunya kesal. Saat itu juga Nicholas mematikan lagi mesin mobilnya. Dia menoleh menatap Kalila dengan tatapan datarnya. "Apa maksudmu?" tanya Nicholas. "Ya... Ya tidak, aku kan bicara soal fakta. Kau selalu mengutamakan dia dibandingkan aku! Padahal aku kan—""Raccel sekarang tidak bisa berjalan lagi! Itu semua karena aku, kau
Keesokan harinya, Raccel hari ini sudah mulai bersekolah kembali diantarkan oleh sang Papa. Dan kini, Raccel berada di dalam kelas ditemani oleh Revvan yang membantunya mengerjakan tugas dan memberi penjelasan pada Raccel. "Raccel, aku kenapa dengan kakimu? Emmm... Yang dibilang anak-anak saat mereka menguping di ruang guru tidak benar kan? Kau pasti bisa berjalan lagi, kan?" Revvan menatap Raccel sembari menyangga kepala. Raccel hanya tersenyum tipis. "Revvan, bisa jalan atau tidaknya aku nanti, aku tidak tahu," jawab gadis itu. "Tapi kau harus bisa berjalan, Raccel. Katanya kita akan satu kampus nanti," seru Revvan tersenyum menarik pipi Raccel. "Hemmm... Iya, iya! Jangan menarik pipiku dong!" seru Raccel memukul lengan Revvan. Revvan pun hanya terkekeh, anak laki-laki itu sangat menyukai Raccel. Sejak dulu, bahkan saat pertama kali dia melihat Raccel ketika mereka satu sekolah menengah atas. Tiba-tiba beberapa teman-teman perempuan Raccel masuk ke dalam kelas. "Heemmm, suda
Nicholas tidak langsung mengajak Raccel pulang ke rumahnya. Melainkan dia mengajak Raccel pergi ke suatu tempat. "Kita mau ke mana, Kak? Jangan pergi jauh-jauh!" seru Raccel menatap pemandangan di luar jendela mobil. "Sudah, ikut saja." "Emmm... Tumben Kak Nicho sedang tidak dengan pacar Kakak," ujar Raccel. Mendengar kata 'pacar' yang Raccel katakan, Nicholas tahu siapa yang dimaksud oleh Raccel saat ini. Namun dia hanya tersenyum tipis. "Kakak ingin berdua denganmu dulu." Raccel pun cemberut. Jawabannya sungguh tidak ia senangi. Gadis cantik itu membuka tas sekolahnya, Raccel mengambil ponsel miliknya dan ia menghubungi seseorang. Sementara Nicholas di sampingnya hanya diam dan meliriknya saja. "Halo... Nanti saja ya kalau ke rumah, aku masih pergi dengan Kakakku," ujar Raccel pada seseorang di balik panggilan itu. "Iya, semangat ya, Revvan..." Panggilan itu kembali ditutup oleh Raccel. Gadis itu tersenyum manis memeluk ponselnya. "Ingat, masih sekolah jangan pacar-pacara
Raccel masih berada di restoran yang sama dengan Nicholas dan juga Kalila. Tak jarang Raccel menatap was-was pada gadis yang lebih dewasa darinya itu. "Dimakan, kalau dingin nanti tidak enak," ujar Nicholas menoleh pada Raccel dan tersenyum manis. Raccel hanya mengangguk menggigit ujung kedua sumpit yang ada di tangannya. Nicholas tahu, selain hamburger, makanan yang Raccel sukai adalah ramen. Dan tepat sekali restoran yang mereka datangi saat ini memiliki menu istimewa tersebut, bahkan Nicholas memesan makanan yang sama. "Mau daging? Kakak tidak terlalu suka," ujar Nicholas melirik Raccel yang memakan lebih dulu daging pada makanan itu. "Emm, eemm, mau," jawab gadis itu mengangguk. "Bagus, makan yang banyak," ucap Nicholas mengusap pucuk kepala Raccel. Kalila yang menonton kedekatan mereka pun merasa jengah, apalagi dia tidak pernah melihat Nicholas selembut ini sebelumnya, pada siapapun. Tapi kenapa dengan gadis SMA ini Nicholas terlihat sangat lembut dan memiliki sisi peny
Sesampainya di depan rumah, Raccel sudah nampak tenang. Rumah nampak sepi, teringat Dalena menghubungi Nicholas dan menitipkan anak gadisnya pada Nicholas untuk beberapa jam ke depan. "Rumah masih sepi, Kakak temani, ya," bujuk Nicholas menatap Raccel dan menyentuh pucuk kepalanya. "Tidak usah, Raccel bisa sendiri," jawab Raccel menyeka air matanya. "Raccel..." "Kakak pulang saja sana, Raccel mau masuk ke rumah." Gadis itu menepis tangan Nicholas. Setelah itu, Nicholas melepaskannya. Dia berdiri di teras dan diam memperhatikan Raccel yang berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya membuka pintu rumah. Raccel menutup pintu tanpa menguncinya. Dia berjalan mendekati anak tangga, dengan kedua mata berkaca-kaca menahan tangis. "Raccel tidak suka! Raccel benci semua ini!" teriak gadis itu marah dan kesal. Raccel melepaskan kedua tongkat di tangannya dan benar, kakinya sama sekali tidak kuat menopang berat tubuhnya hingga dia terjatuh di bawah anak tangga. Dia menangis hebat dan kera
Setelah Raccel nampak tenang, Damien membawanya masuk ke dalam kamar. Di sana, Cassel yang baru pulang kuliah, dia langsung mengobati lutut Raccel yang luka. Dan juga ditemani oleh kedua orang tuanya. "Jangan aneh-aneh, Dek! Kalau sudah dibilang belum waktunya berjalan, kau tidak akan bisa berjalan! Tapi bukan berarti kau itu cacat!" omel Cassel memasang perban di lutut Raccel. "Tapi ada beberapa orang yang bilang kalau Raccel itu cacat, Kak!" jawab Raccel menundukkan kepalanya dan menyeka air matanya lagi. "Siapa?! Siapa orang itu?! Biar Daddy temui dia sekarang juga!" seru Damien, dia berdiri di samping Raccel. Raccel tidak menjawab, dia hanya mencebikkan bibirnya dan sesekali menatap sang Kakak yang memasang wajah marah padanya. Baru setelah kedua lutut Raccel diobati, Raccel pun kembali diam dan menatap kedua kakinya. "Sudah Sayang, tidak papa nak, jangan sedih lagi," ujar Dalena menatap sang putri. "Mommy, besok jangan menitipkan Raccel pada siapapun," ujar Raccel. "Heem
Keesokan harinya, Raccel kembali bersekolah. Gadis itu tidak pernah beranjak dari tempat duduknya meskipun di jam istirahat. Raccel ditemani Camila yang kini sedang patah hati karena putus cinta dengan teman Revvan. "Bayangkan! Aku cuma telat membalas pesannya sepuluh menit, dia sudah bilang kalau aku selingkuh, Raccel! Rasanya kesal sekali aku dengan Abraham!" pekik Camila memukul meja di depannya dan kembali menangis memeluk Raccel. Sedangkan Raccel langsung merotasikan kedua matanya. "Ya ampun Camila... Baru dapat dua hari kalian balikan sekarang sudah ribut lagi! Telinga Raccel panas dengar Camila ribut terus!" Sahabat perempuannya itu sangat sedih dan sampai menangis-nangis, hubungannya yang putus nyambung tidak jelas. Tak lama setelah itu, pintu kelas terbuka. Nampak Revvan dan lima temannya masuk ke dalam dengan memakai Jersey basket berwarna merah dan putih. Saat itu juga Revvan langsung mendekati Raccel dan meletakkan sebotol minuman susu pisang dingin. "Emm, untukku?