Sesampainya di depan rumah, Raccel sudah nampak tenang. Rumah nampak sepi, teringat Dalena menghubungi Nicholas dan menitipkan anak gadisnya pada Nicholas untuk beberapa jam ke depan. "Rumah masih sepi, Kakak temani, ya," bujuk Nicholas menatap Raccel dan menyentuh pucuk kepalanya. "Tidak usah, Raccel bisa sendiri," jawab Raccel menyeka air matanya. "Raccel..." "Kakak pulang saja sana, Raccel mau masuk ke rumah." Gadis itu menepis tangan Nicholas. Setelah itu, Nicholas melepaskannya. Dia berdiri di teras dan diam memperhatikan Raccel yang berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya membuka pintu rumah. Raccel menutup pintu tanpa menguncinya. Dia berjalan mendekati anak tangga, dengan kedua mata berkaca-kaca menahan tangis. "Raccel tidak suka! Raccel benci semua ini!" teriak gadis itu marah dan kesal. Raccel melepaskan kedua tongkat di tangannya dan benar, kakinya sama sekali tidak kuat menopang berat tubuhnya hingga dia terjatuh di bawah anak tangga. Dia menangis hebat dan kera
Setelah Raccel nampak tenang, Damien membawanya masuk ke dalam kamar. Di sana, Cassel yang baru pulang kuliah, dia langsung mengobati lutut Raccel yang luka. Dan juga ditemani oleh kedua orang tuanya. "Jangan aneh-aneh, Dek! Kalau sudah dibilang belum waktunya berjalan, kau tidak akan bisa berjalan! Tapi bukan berarti kau itu cacat!" omel Cassel memasang perban di lutut Raccel. "Tapi ada beberapa orang yang bilang kalau Raccel itu cacat, Kak!" jawab Raccel menundukkan kepalanya dan menyeka air matanya lagi. "Siapa?! Siapa orang itu?! Biar Daddy temui dia sekarang juga!" seru Damien, dia berdiri di samping Raccel. Raccel tidak menjawab, dia hanya mencebikkan bibirnya dan sesekali menatap sang Kakak yang memasang wajah marah padanya. Baru setelah kedua lutut Raccel diobati, Raccel pun kembali diam dan menatap kedua kakinya. "Sudah Sayang, tidak papa nak, jangan sedih lagi," ujar Dalena menatap sang putri. "Mommy, besok jangan menitipkan Raccel pada siapapun," ujar Raccel. "Heem
Keesokan harinya, Raccel kembali bersekolah. Gadis itu tidak pernah beranjak dari tempat duduknya meskipun di jam istirahat. Raccel ditemani Camila yang kini sedang patah hati karena putus cinta dengan teman Revvan. "Bayangkan! Aku cuma telat membalas pesannya sepuluh menit, dia sudah bilang kalau aku selingkuh, Raccel! Rasanya kesal sekali aku dengan Abraham!" pekik Camila memukul meja di depannya dan kembali menangis memeluk Raccel. Sedangkan Raccel langsung merotasikan kedua matanya. "Ya ampun Camila... Baru dapat dua hari kalian balikan sekarang sudah ribut lagi! Telinga Raccel panas dengar Camila ribut terus!" Sahabat perempuannya itu sangat sedih dan sampai menangis-nangis, hubungannya yang putus nyambung tidak jelas. Tak lama setelah itu, pintu kelas terbuka. Nampak Revvan dan lima temannya masuk ke dalam dengan memakai Jersey basket berwarna merah dan putih. Saat itu juga Revvan langsung mendekati Raccel dan meletakkan sebotol minuman susu pisang dingin. "Emm, untukku?
Sesampainya di rumah, Raccel langsung turun dari dalam mobil. Gadis itu berjalan dengan tongkatnya masuk ke dalam rumah. Di sana ada Nicholas yang sedang bersama dengan Damien, mereka nampak berbicang dengan membawa tumpukan berkas di hadapannya. "Oh, kalian sudah pulang," sapa Damien, dia tersenyum melihat Raccel yang kini berjalan tertatih masuk ke dalam rumah. "Daddy, mobilnya kenapa?" tanya Raccel menatap sang Papa. "Mobilnya masih diperbaiki, Princess. Besok juga sudah bisa, Kakakmu ke kampus dengan mobilnya sendiri, Daddy tidak bisa menghubunginya untuk menjemputmu." "Eemmm, baiklah..." Raccel melirik ke arah Nicholas yang fokus pada laptopnya. Sekali lagi Raccel mengatakan pada hatinya sendiri. Kalau Nicholas hanya menganggapnya adik, tidak perlu berpikir yang berlebihan untuk meminta dicintai oleh pemuda itu. "Sayang, Mommy pesanku makanan manis ya, nanti kalau temannya Raccel ke sini biar Mommy tidak perlu memasak lagi," ujar Dalena duduk di sofa seberang. "Boleh, Rac
Selama di sekolah, Raccel terus kepikiran bagaimana bisa hari ini Nicholas ingin mengajaknya pergi, padahal Raccel tidak bisa berjalan jauh dan lama. Namun, gadis itu juga tidak ingin menolaknya. "Heummm..." Raccel melipat kedua tangannya di atas meja dan diam termenung sedih. "Kenapa nih? Wajah-wajah galau nih, ada apa, Raccel?" tanya Camila ikut melipat kedua tangannya dan menatap Raccel. "Camila, Raccel hari ini diajak kencan," jawab Raccel. "What?!" teriak Camila heboh. "Siapa yang mengajakmu kencan? Revvan atau—""Bukan!" pekik Raccel meminta temannya untuk tidak keras-keras. Wajah antusias Camila siap menunggu apa saja dan semua yang Raccel ceritakan. "Jadi, ada anak temannya Daddy-ku yang ingin mengajakku jalan-jalan. Kakak yang kapan hari selalu menjemputku," ungkap Raccel bercerita. "Ohhhh... Iya! Aku ingat sekarang, dan kau mau atau tidak?" tanya Camila. "Menurutmu, enaknya mau atau tidak?" Camila menyipitkan kedua matanya dan mengetukkan jemarinya di atas meja. "
Raccel tidak tahu ke mana Nicholas akan mengajaknya sekarang ini. Sepanjang perjalanan dia hanya ikut dan nampak senang karena mereka berdua asik mengobrol. "Bagaimana tugas yang dibantu Kakak semalam, Raccel?" tanya Nicholas menatap gadis itu. "Emm, bagus! Benar semua, Kak!" jawab Raccel mengacungkan jempolnya. "Pintarnya..." Nicholas mengusap pucuk kepala Raccel dengan lembut. Usapan tangan itu membuat Raccel merasa sangat senang dan tenang, entah kenapa saat bersama Nicholas, Raccel merasa disayangi dengan sepenuh hati. Apalagi saat dia tengah menunjukkan betapa besarnya perhatian Nicholas pada Raccel. "Kita mau ke mana sih, Kak? Raccel tidak bisa berdiri lama-lama kalau kita mau jalan-jalan," ujar gadis itu menatap Nicholas lagi. "Sudah ikut saja, nanti kau juga akan suka." "Oh ya?" Raccel kembali menatapnya. "Iya Raccel..." Nicholas meliriknya dan tersenyum manis. Laki-laki itu merasa senang saat Raccel tersenyum begitu manis padanya. Mulai sekarang, dia tidak ingin kec
Setelah jalan-jalan di akuarium raksasa, kini Raccel dan Nicholas sudah lelah berputar-putar. Mereka berdua pun masuk ke dalam sebuah kedai, dan memesan makanan juga minuman di sana. Raccel nampak menikmati makanannya, sedangkan Nicholas menatapi gadis yang kini tengah makan tersebut. "Enak? Mau tambah?" tanya Nicholas. "Emm, tidak Kak. Ini saja Raccel sudah kenyang. Raccel mau diet." "Ck! Pakai acara diet-dietan segala. Kalau tubuhmu berisi, itu semakin baik daripada harus terlalu kurus, Raccel," tutur Nicholas. "Kak Nicho suka kalau Raccel gendut?" tanya gadis itu. Nicholas pun terkekeh dan mengangguk. "Iya, kurang lebih seperti itu," jawabnya gemas. Jawaban itu mungkin tidak benar, karena Raccel tahu saat ini berat badannya terus turun, mungkin itu alasan kenapa Nicholas mengatakan dia sangat menyukai Raccel yang memiliki tubuh berisi. Saat mereka sedang asik makan, tiba-tiba saja ponsel milik Nicholas berdering. Dia hanya meliriknya tanpa menjawab panggilan tersebut. "An
Raccel menatapi boneka ikan pausnya sambil berbaring di sofa, dia senyum-senyum sendiri mengingat keseruan siang tadi, tanpa mengingat kejadian saat ada Kalila datang. Namun tiba-tiba saja Raccel tersentak saat seseorang menyahut boneka di tangannya dari belakang. "Ehhh..." Gadis itu langsung menoleh. "Kakak!" "Waduhh, mulai sejak kapan suka boneka ikan paus? Biasanya juga ternak boneka beruang!" seru Cassel menatap gantungan kunci itu. "Itu punya Raccel, mana!" gadis itu menarik-narik lengan Cassel. Cassel meliriknya dengan mata memicing. "Punyaku mana?" "Ya... Itu, anu—""Aku tahu gantungan kunci sejenis ini biasanya kan ada dua. Kenapa hanya satu, satunya mana?!" seru Cassel masih memegang gantungan kunci milik Raccel. Gadis cantik itu berdecak dengan tingkah kembarannya yang sangat kekanakan. "Yang satu ada sama Kak Nicho, itu punya Raccel mana-mana..." Gadis itu berdiri dengan tongkatnya dan berusaha merebut boneka miliknya yang dibawa Cassel. Alih-alih memberikannya, C