Setelah jalan-jalan di akuarium raksasa, kini Raccel dan Nicholas sudah lelah berputar-putar. Mereka berdua pun masuk ke dalam sebuah kedai, dan memesan makanan juga minuman di sana. Raccel nampak menikmati makanannya, sedangkan Nicholas menatapi gadis yang kini tengah makan tersebut. "Enak? Mau tambah?" tanya Nicholas. "Emm, tidak Kak. Ini saja Raccel sudah kenyang. Raccel mau diet." "Ck! Pakai acara diet-dietan segala. Kalau tubuhmu berisi, itu semakin baik daripada harus terlalu kurus, Raccel," tutur Nicholas. "Kak Nicho suka kalau Raccel gendut?" tanya gadis itu. Nicholas pun terkekeh dan mengangguk. "Iya, kurang lebih seperti itu," jawabnya gemas. Jawaban itu mungkin tidak benar, karena Raccel tahu saat ini berat badannya terus turun, mungkin itu alasan kenapa Nicholas mengatakan dia sangat menyukai Raccel yang memiliki tubuh berisi. Saat mereka sedang asik makan, tiba-tiba saja ponsel milik Nicholas berdering. Dia hanya meliriknya tanpa menjawab panggilan tersebut. "An
Raccel menatapi boneka ikan pausnya sambil berbaring di sofa, dia senyum-senyum sendiri mengingat keseruan siang tadi, tanpa mengingat kejadian saat ada Kalila datang. Namun tiba-tiba saja Raccel tersentak saat seseorang menyahut boneka di tangannya dari belakang. "Ehhh..." Gadis itu langsung menoleh. "Kakak!" "Waduhh, mulai sejak kapan suka boneka ikan paus? Biasanya juga ternak boneka beruang!" seru Cassel menatap gantungan kunci itu. "Itu punya Raccel, mana!" gadis itu menarik-narik lengan Cassel. Cassel meliriknya dengan mata memicing. "Punyaku mana?" "Ya... Itu, anu—""Aku tahu gantungan kunci sejenis ini biasanya kan ada dua. Kenapa hanya satu, satunya mana?!" seru Cassel masih memegang gantungan kunci milik Raccel. Gadis cantik itu berdecak dengan tingkah kembarannya yang sangat kekanakan. "Yang satu ada sama Kak Nicho, itu punya Raccel mana-mana..." Gadis itu berdiri dengan tongkatnya dan berusaha merebut boneka miliknya yang dibawa Cassel. Alih-alih memberikannya, C
Raccel menatap layar ponselnya, gadis itu diam menunggu Nicholas menghubunginya. Pasalnya laki-laki itu sudah bilang padanya pagi tadi untuk menjemputnya setelah Raccel pulang sekolah. "Kak Nicho mana, sih?" gumam Raccel cemberut. Raccel mengusap wajahnya, dia menolak ajakan pulang dari Revvan setelah tadi Raccel bilang kalau Kakaknya akan menjemputnya. Sekarang Raccel berusaha untuk menghubunginya lagi. Namun panggilannya tidak dijawab oleh Nicholas. "Mungkin Kak Nicho masih ada urusan," gumam gadis itu lagi. Raccel pun duduk di bangku halte. Dia diam di sana dan merasakan angin semilir siang ini, Raccel merasa sedih dan dia tidak masih setia menunggu Nicholas. Sampai akhirnya ponselnya kembali berdering. Nama Nicholas yang muncul di sana, dan Raccel pun langsung gegas menjawab panggilan tersebut. "Kak Nicho... Kakak tidak jadi menjemput Raccel, ya?" tanya gadis itu. "Jadi, Kakak masih di perjalanan, sebentar lagi Kakak sampai." "Heem baiklah. Aku tunggu ya, Kak," ujar Racce
Setelah pergi bersama Raccel, Nicholas kembali ke apartemennya. Dia berjalan dengan santai menuju ke apartemen miliknya. Namun saat dia tiba, pintu apartemennya sedikit terbuka. Seingat Nicholas, yang tahu password pintu apartemennya hanya dia dan Mamanya saja. "Apa Mama ke sini? Tumben... Tidak menghubungiku dulu," gumam lirih Nicholas. Ia membuka pintu apartemennya dan melihat sang Mama, juga Papanya yang berada di sana. "Mama, Papa," ucap Nicholas. "Jam berapa ini kau baru pulang?" tanya Gio melirik jarum jam. "Di kantor kau juga tidak ada." "Jalan-jalan," jawab Nicholas sembari duduk di hadapan Mama dan Papanya. Nicholas mengembuskan napasnya panjang dan diam mendongakkan kepalanya dengan punggung tersandar di sofa. "Nicholas, Mama dan Papa ke sini ingin mengatakan sesuatu padamu," ujar Karina. Ekor mata Nicholas memicing. "Ada apa?" "Orang tuanya Kalila, ingin kau tanggung jawab menikahi Kalila," ujar Gio menatap putranya. Nicholas tersenyum tipis dan berdecak pelan. I
Keesokan paginya, Nicholas sudah datang ke kantor milik Damien. Tidak biasanya pemuda itu berada di sana, dan dia tampak menunggu Damien. Sedangkan Damien yang baru saja datang, dia pun gegas menghampiri Nicholas. "Cho, kenapa tidak di rumah saja tadi?" tanya Damien pada pemuda itu. "Tidak Om. Mulai sekarang aku tidak lagi mengurus berkas dan semua hal di perusahaan Papa," jawab Nicholas. "Hah?" Damien sedikit terkejut dengan pernyataan pemuda itu. "Apa maksudmu, Cho?" Sembari bertanya, Damien berjalan mendekati kursi kerjanya dan duduk di sana, ia menatap Nicholas yang nampak ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu. "Aku baru saja bertengkar dengan Papa, Om. Papa memintaku menikahi anak teman Mama yang jelas-jelas hanya memanfaatkan aku saja. Aku tidak mau bersangkutan lagi dengan Papa dalam hal apapun. Jadi aku memutuskan untuk melepaskan tanggunganku di perusahaan Papa, dan aku ingin mengambil perusahaanku yang selama ini Om kelola bersamaku, untuk aku kendalikan sendiri dengan pa
Seperti yang Raccel katakan pada Nicholas kalau malam ini ia akan pergi ke rumah sakit untuk mengecekkan kondisinya. Dan benar saja, Nicholas ikut menggantikan Damien yang ternyata sedang sangat sibuk. Hingga ia lah yang mengantarkan Raccel dan Dalena. "Ruangannya ada di ujung sana, Nicho. Tante titip Raccel dulu ya, Tante harus menyerahkan berkas ini di depan," ujar Dalena menunjukkan berkas rumah sakit milik Raccel. "Iya Tante," jawab Nicholas mengangguk. Nicholas mendorong pelan kursi roda yang Raccel duduki saat ini. Raccel nampak was-was dan takut. Setiap kali pemeriksaan, dia selalu berpikir yang tidak-tidak. Padahal Raccel sangat ingin cepat sembuh dan kembali berjalan normal seperti gadis seumurannya. Mereka sudah sampai di depan sebuah ruangan. Dan hanya mereka yang berada di lorong itu. "Kenapa diam saja?" tanya Nicholas membungkukkan badannya menengok wajah cantik Raccel. "Tidak papa," jawab gadis itu dengan jemari tangannya yang saling meremas. Nicholas memperhati
Keesokan paginya, Raccel terbangun dengan tubuh yang sudah merasa lebih baik. Gadis itu memeluk boneka beruang miliknya. Bersamaan dengan hal itu, pintu kamar Raccel terbuka dan nampak Dalena berjalan masuk membawa segelas susu vanila hangat. "Selamat pagi, Sayang," sapa Dalena tersenyum pada putrinya. "Pagi Mommy," balas Raccel. Gadis itu langsung duduk dan merentangkan kedua tangannya. Raccel menyibak selimut merah mudanya pelan dan menatap kedua kakinya. Gadis itu mengusap lututnya dan turun hingga ke betis. Kedua mata Raccel melebar seketika. "Mommy!" pekik gadis itu. Dalena yang tengah membuka gorden di kamar Raccel pun langsung menoleh cepat ke arah sang putri. "Iya Sayang, kenapa? Masih sakit?" tanya Dalena mendekati Raccel. "Mommy pegang kaki Raccel coba, Mom!" pinta gadis itu menarik lengan sang Mama. Dalena pun menyentuh lutut dan betis Raccel sebelum putrinya itu tersenyum lebar.Entah apa yang dirasakan oleh Raccel, namun melihat dia tersenyum senang seperti ini
Raccel sangat antusias sekali hari ini, dia ingin memberitahu Nicholas kalau dia sudah hampir pulih. Namun saat Raccel berjalan ke lantai satu. Di sana ia melihat Nicholas yang nampak baru saja datang dengan wajahnya yang memerah. "Kak Nicho..." Langkah Nicholas pun langsung terhenti saat itu juga. Ia menatap Raccel yang kini berjalan tertatih ke arahnya. Gadis itu mendongakkan kepala dengan kedua mata mengerjap pelan. "Kakak menangis, ya?" tanya Raccel tiba-tiba, dia mencekel pergelangan tangan Nicholas. "Ada apa, Kak?"Nicholas menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak papa, Raccel ... Kakak hanya lelah saja." "Kalau lelah Kakak istirahat saja," tutur gadis itu menatapnya dengan sangat perhatian. Namun tetap saja Nicholas menggelengkan kepalanya. Pemuda itu menatap sekitar yang memperhatikan seisi rumah Raccel yang sangat sepi. "Mommy dan Daddy ke mana?" tanya Nicholas sembari merangkul Raccel. "Mommy dan Daddy masih ada acara, Kak. Teman Daddy, Ibunya meninggal. Jadi Daddy da