Sejak pagi hingga malam hari Nicholas berada di kediaman Damien. Setelah berjam-jam menunggu Damien pulang, saat laki-laki itu tiba, barulah Nicholas kembali melanjutkan pekerjaannya. Bahkan setelah pukul sepuluh malam dia baru saja pulang. Raccel yang duduk di ruang keluarga, dia melambaikan tangannya saat Nicholas berpamitan pulang. "Hati-hati, ya..." Raccel tersenyum manis. Nicholas mengangguk sebelum dia keluar dari kediaman Damien. Sedang Cassel yang menatap Adik kembarannya, laki-laki itu langsung menutup kedua mata Raccel dengan satu telapak tangannya sebelum dia menoleh ke arah Nicholas di luar yang tertawa dengan tingkah Cassel. "Sudah, sudah sana pulang! Heehhh ... modusnya ke adikku besok lagi! Sudah malam!" teriak Cassel. Raccel menarik-narik tangan Cassel. "Hihhh ... Kakak apa-apaan, sih!" pekik Raccel kesal. "Sudah jangan pura-pura, seisi rumah ini juga tahu kalau kau pacaran sama Nicho! Pantas saja itu si Puppy ke sini terus!" seru Cassel sembari menggigit roti
BEBERAPA BULAN KEMUDIAN..."Kann ... apa kubilang! Nilaimu tertinggi, Raccel! Ya ampun, aku merasa tidak berguna sekolah ini!"Omelan panjang lebar itu terdengar dari Camila yang kini membuka beberapa lembar kertas ujiannya. Sedangkan Raccel yang membuka beberapa hasil ujiannya, dia tersenyum puas karena nilainya sangat tinggi. Bahkan lebih unggul daripada Revvan. Gadis itu merasa sangat senang, mungkin ini berkat belajarnya yang sangat keras dan juga dukungan dari orang-orang di sekitarnya, termasuk Nicholas yang selalu menyempatkan waktu untuk mengajari Raccel. "Aku harus memberitahu Kak Nicho," gumam Raccel mengambil ponselnya. Namun belum Raccel menghubungi Nicholas, tiba-tiba Revvan mendekati Raccel. "Selamat ya, Raccel ... aku ikut senang nilaimu menjadi yang tertinggi. Kerja kerasmu berbuah baik," ujar Revvan tersenyum tulus. "Iya Revvan, terima kasih. Nilaimu juga sama tingginya denganku, hanya selisih berapa poin saja, kan?" "Heem, ngomong-ngomong ... kau akan melanjut
Tiba akhirnya saat hari sudah sore, dan Revvan berkunjung ke rumah Raccel. Laki-laki muda itu membawa sepeda motornya yang memiliki keranjang di bagian belakang sisi kanan dan kirinya. Raccel berdiri di dekat motor milik Revvan dan ia menatap beberapa ekor kucing cantik di dalam keranjang itu. "Ya ampun Revvan, ini mau dibawa ke mana?" tanya Raccel menoleh pada temannya sebelum kembali menatap kucing-kucing itu. "Mereka lucu sekali. Apalagi yang putih ini, lucu, kepalanya besar, bulunya lembut, suaranya juga keras kalau mengeong!" Revvan pun tersenyum. "Ini namanya Twicy, dia diadopsi sejak usia lima hari. Mereka akan aku bawa ke klinik hewan. Mama kan punya penangkaran kucing, di sana banyak kucing dan setiap bulan aku yang harus mengantarkan kucing-kucing ini ke Dokter hewan." "Wahhh ... begitu ya? Raccel gendong, boleh?" pinta gadis itu. "Tentu saja. Aku ada yang kecil, apa kau mau?" tawar Revvan menatap Raccel yang sangat seneng. "Tunggu sebentar, biar aku ambilkan." "Mau!
Keesokan harinya, Nicholas tidak berbohong bila dia benar-benar membelikan seekor kucing yang Raccel inginkan di sebuah pet shop. Mereka berdua kini datang bersama, Nicholas mendorong kursi roda di mana Raccel duduk dan mereka asik memilih kucing-kucing di sana. "Kau bisa memilih yang mana saja yang kau mau, Sayang," bisik Nicholas membungkukkan badannya dan berbisik di samping pipi Raccel. "Iya. Aku mau yang berwarna putih," jawab Raccel memilih-milih. Gadis itu menatap semua deretan keranjang di depannya. Para hewan-hewan mungil menggemaskan yang memasang wajah gemas saat ia mendekatinya. "Sepertinya mereka mau dibeli semuanya ya, Kak," ujar Raccel tersenyum. "Ya jangan dong, nanti ditaruh di mana kalau dibeli semua?" Nicholas mendekati sebuah keranjang kucing. Ia mengambil seekor kucing putih dan bercorak sedikit warna cokelat. Ia menunjukkan pada Raccel. "Sayang lihat, ini lucu sekali," ujar Nicholas membawa kucing itu pada Raccel. "Wahh ... iya, hidungnya tidak ada Kak,"
Setelah Papanya pergi, Nicholas masih berada di kediaman Escalade. Pemuda itu hanya diam dan duduk termenung di teras sendirian. Rasanya ia enggan beranjak dari tempat itu. 'Beruntung sekali Cassel, dia memiliki orang tua yang mendukungnya dalam segala hal. Tapi kenapa ... Papa?' batin Nicholas, dia merasa ingin menangis sekarang ini. Sampai dia tidak menyadari kedatangan seseorang yang duduk di sampingnya tanpa mengatakan apapun. "Om tidak bermaksud untuk mengadu domba kau dan Papamu, apalagi membuatmu durhaka pada Papamu, Cho ... bagi Om, Papamu terlalu tinggi mengekspektasikan keinginannya lewat dirimu. Dia tidak mempedulikan perasaanmu asal tujuan dia berhasil." Damien berucap. "Iya Om. Aku tahu ... kalau aku sudah duduk di kursi direktur, baru Papa merasa puas." "Lalu kenapa kau tidak mau duduk di kursi direktur? Setahu Om, kau satu-satunya cucu laki-laki dari Keluarga Gabriel?" tanya Damien, ia sangat penasaran. Dan di sampingnya, Nicholas nampak diam berpikir. Atas apa y
Hari telah berganti. Malam ini Nicholas baru saja kembali ke apartemennya setelah seharian bergelut dengan pekerjaan kantornya. Pemuda itu merasa sangat kesepian begitu dia membuka pintu dan berjalan masuk. Laki-laki itu langsung berjalan ke kamarnya dan melepaskan kemeja putih yang ia pakai sebelum Nicholas duduk di tepi ranjang. "Hari ini terasa melelahkan," gumam pemuda itu mendongakkan kepalanya. Ponsel Nicholas berdenting, ia melihat kalau ada pesan masuk dari Mamanya. 'Makan malam di rumah. Mama dan Papa menunggumu.' Isi pesan itu membuat Nicholas sudah berpikir yang tidak-tidak. Dia lelah untuk menghadapi Mama dan Papanya. Laki-laki itu berdecak saat mendengar dentingan ponselnya. Dia hendak melemparkan ponselnya ke sofa, namun begitu Nicholas melihat, ternyata pesan dari Raccel. Tanpa membacanya, Nicholas langsung menghubungi gadis itu dan cepat sekali Raccel menjawabnya. "Halo Sayang...""Halo Kak, baru pulang ya?" tanya gadis itu. "Heem. Kakak baru saja masuk, teras
Nicholas tertidur sampai akhirnya Damien dan Dalena kembali. Mereka berdua mendapati Raccel menonton acara masak-masak di televisi dan Nicholas terbaring dengan wajah lelah di sofa. "Daddy, Mommy..." Raccel menyambut mereka dengan wajah senang. Damien menengok wajah Nicholas. "Dia tertidur di sini? Seharian dia tidak istirahat sama sekali. Aku jadi merasa bersalah," ujar Damien mengulurkan tangannya mengusap kepala Nicholas. "Tadi Kak Nicho yang jagain Raccel, belikan Raccel makan malam juga," ujar Raccel. "Ya sudah, sekarang Raccel ayo istirahat. Biar Daddy bangunkan Nicholas untuk tidur di kamar tamu. Ayo Sayang," ajak Dalena. Raccel mengangguk patuh dan ikut bersama dengan Mamanya naik ke lantai dua. Gadis itu berjalan masuk ke dalam kamarnya dan langsung memutuskan untuk istirahat saya itu juga. Sementara di bawah, Damien membangunkan Nicholas. Pemuda itu langsung bangun, dia memegangi kepalanya yang nampaknya terlihat sangat pusing. Nicholas mengusap pundak Nichol pelan.
Raccel dan Cassel berhari-hari tidak saling menyapa setelah kejadian kemarin. Hingga Dalena kini berusaha mendamaikan kedua buah hatinya itu lagi. Wanita itu meminta Cassel untuk mengantarkan Raccel pergi membeli sepatu dan tas baru, seperti yang Raccel inginkan. Mereka berdua kini berada di pusat perbelanjaan, Raccel yang duduk di kursi roda yang tengah didorong santai oleh Cassel. "Hemmm ... seumpama Kakak dorong ini kursi roda, lucu kali ya," ujar Cassel sambil terkekeh. Mendengar hal itu, Raccel langsung mendongak dan tersenyum. "Siap-siap saja ditendang sama Daddy. Atau paling tidak ... Kakak dicoret dari kartu keluarga Escalante! Biarin hidup jadi gelandangan!" seru Raccel. "Halah Cil ... sok banget sih, masih bocah juga!" "Kita lahirnya bareng, ya!" "Tapi kan aku duluan yang lihat dunia!""Ya tapi sama sama saja!" Cassel mengembuskan napasnya panjang, ia lebih memilih untuk mengalah daripada ribut lebih panjang lagi dengan kembarannya di tempat umum. Sampai akhirnya m
Sejak pagi hingga sore hari, di kediaman Keluarga Escalante sangat sibuk. Mereka menyiapkan pesta keluarga untuk malam ini. Hingga siang berganti malam, rumah megah berlantai dua itu nampak dihiasi dengan meriah lampu-lampu di luar rumah, maupun di dalam rumah. Dalena tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul bersama. "Baru kali ini acara akhir tahun menjadi sangat meriah, iya kan, Sayang?" Dalena menoleh pada sang suami yang berdiri di sampingnya."Iya. Mungkin itu semua karena kita bisa melihat anak-anak kita, menantu kita, cucu kita berkumpul bersama. Sangat membahagiakan, Sayang." Damien merangkul pundak Dalena memperhatikan pemandangan ruangan di dalam rumah yang sudah dihias dengan indah oleh Cassel dan Nicholas sejak siang tadi. Sampai tiba-tiba saja, Elsa dan Gissele muncul dari arah lantai dua. Di sana nampak Gissele cemberut dan bersedekap dengan wajah kesalnya. "Ada apa, Sayang? Sini..." Damien melambaikan tangannya pada Gissele. Dalena juga ikut melambaikan tangannya
Salju turun cukup tebal kemarin, dan siang ini Cassel mengajak anak istrinya untuk pergi membelikan beberapa makanan, dan juga hadiah. Mereka akan menghabiskan beberapa hari di musim dingin bersama dengan keluarga Cassel. Mereka bertiga datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, Gissele sibuk memilih mainan, camilan, dan hiasan-hiasan yang menarik perhatiannya. "Sayang, jangan mengambil gantungan banyak-banyak, nanti mau ditaruh di mana lagi?" Elsa merebut beberapa boneka gantung yang Gissele ambil. "Gissele mau itu, Ma!" seru bocah itu menunjuk ke sebuah lonceng-lonceng kecil. "Astaga ... untuk apa, Sayang?" Elsa mengusap wajahnya. "Sana, Gissele sama Papa saja. Minta gendong Papa." Anak itu cemberut. Kalau sudah bersama Papanya, dia tidak akan diturunkan dari stroller. Namun, meskipun dengan wajah protes, Gissele pun patuh dengan Elsa dan anak itu mendekati Cassel, meminta gendong dan meminta didudukkan di atas stroller miliknya. "Sudah ... Gissele duduk di sana saja, se
"Mommy dan Daddy ingin kalian menginap di sini. Kapan kalian bisa? Daddy ingin membuat party bersama kalian juga..." Suara di balik panggilan itu adalah suara Dalena yang kini bertanya pada Elsa dan Cassel. Setelah hampir tiga mingguan Cassel dan Elsa tidak datang ke kediaman orang tuanya karena sibuk. "Mungkin besok malam kita akan ke sana Mom, besok kan sudah mulai libur akhir tahun," jawab Cassel tersenyum."Iya. Janji ya, Nak ... Mommy sudah sangat kangen dengan Cucu cantik Mommy," ujar wanita itu. Cassel beranjak dari duduknya, laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia menunjukkan kamera ponselnya ke arah Gissele yang kini tengah mengacau pekerjaan Elsa. Karena Elsa mempunyai banyak pesanan hingga menyentuh hampir seribu bouquet selama musim dingin ini, dia pun membawa beberapa bunga dan membentuknya di rumah. "Sayang, dicari Oma, katanya Oma kangen," ujar Cassel menyerahkan ponselnya pada Gissele.Anak cantik dengan rambut pirang cerah itu langsung melebarkan kedua
Pagi setelah menginap di tempat orang tua Cassel, esok harinya Elsa nampak sibuk di rumah. Gadis itu kini tampak bergelut dengan beberapa pekerjaan rumah, termasuk membuat banyak kue yang akan ia antarkan ke panti asuhan seperti biasa. "Mama buat kue banyak sekali? Mau dibawa ke panti, ya?" tanya Gissele yang kini membantu Mamanya memasukkan beberapa kue dalam sebuah box. "Iya Sayang. Tapi Gissele tidak usah ikut, ya ... Gissele di rumah saja dengan Tante Raccel dan Oma," ujar Elsa menatap putrinya. Dan dengan patuh Raccel menyetujui hal itu. Bukan tanpa alasan Raccel melarang putri kecilnya untuk ikut, melainkan sejak awal, pengurus panti meminta Elsa untuk tidak sering-sering lagi membawa Gissele ke panti, mereka takut Gissele ingat masa dulu dan tidak mau pulang lagi ke rumah. Anak perempuan itu mengangguk patuh, namun dia cemberut, seolah-olah dia memang tidak setuju dengan apa yang Mamanya pinta padanya. "Mama, hari ini Gissele mau pergi beli sepatu baru kata Papa," ujar an
Setelah kondisi Elsa kembali sehat, Cassel pun memutuskan untuk mengajak istrinya pergi jalan-jalan bersamanya dan putri mereka.Setelah puas menemani Gissele bermain di taman dan game zone, mereka bertiga kini pergi ke rumah orang tua Cassel. Kedatangan mereka disambut dengan sangat hangat, terlebih lagi di sana ada Raccel dan anak kembarnya. "Wahh, Cucu Oma akhirnya ke sini juga!" seru Dalena mengendong Gissele dan mengecup pipi gembul anak itu. "Gissele...!" Suara Raccel membuat Gissele menoleh, anak perempuan dengan dress merah muda itu langsung berlari ke arah Raccel di ruang tengah. Sementara Elsa, gadis itu meletakkan paper bag berisi makanan di atas meja, dan Cassel juga berjalan ke dapur mengambil minuman dingin. "Raccel di sini sejak kapan, Mom? Nicho ke mana?" tanya Cassel menatap sang Mama. "Nicholas sedang ada urusan kantor dengan Daddy, mereka ke luar kota, Sayang. Raccel memang sekarang Mommy minta untuk pindah ke sini, merawat Lovia dan Livia sendirian itu sangat
"Dokter Cassel, apakah ada jadwal yang lain lagi hari ini?" Cassel menoleh ke belakang saat rekannya bertanya, begitu Cassel keluar dari ruangan operasi. Cassel menggelengkan kepalanya. "Tidak dok. Aku akan pulang cepat hari ini karena istriku sedang sakit," jawab Cassel sembari tersenyum. "Oh begitu, baiklah..." Tanpa menjawab apapun lagi, Cassel segera bergegas keluar dari dalam ruangan itu dan ia berjalan ke arah ruangannya sendiri.Laki-laki dengan jas putih itu membuka ruangan pribadinya. Di sana, Cassel langsung meraih ponsel miliknya dan ia melihat apakah dirinya mendapatkan pesan dari Elsa atau tidak?Cassel menghela napasnya panjang dan tersenyum. Baru saja dia ingin melihat pesan, Elsa sudah memberikan kabar lebih dulu padanya."Hemm, tumben sekali dia memintaku membawakan makanan? Biasanya juga selalu menolak," gumam Cassel. Segera Cassel menghubungi Elsa. "Halo Sayang, kau ingin menitip makanan apa, hem?" tanya laki-laki itu. "Bukan aku. Tapi Gissele, dia ingin mela
Tak biasanya Gissele bangun saat hari masih petang. Anak kecil perempuan dengan rambut cokelat terang itu, sudah bermain di karpet tebal di bawah ranjang. Ocehannya yang sedang asik mengajak bonekanya berbincang itu membuat Cassel terbangun dari tidurnya tiba-tiba. Cassel yang memeluk Elsa pun sontak melepaskannya dan ia menoleh ke samping. "Loh, Gissele!" pekiknya lirih. "Papa ... Gissele di sini, Pa!" seru anak perempuan itu mengacungkan tangannya. Cassel menyergah napasnya pelan mengetahui putri kecilnya berada di bawah sana. Segera Cassel menyibak selimutnya dan berjalan mendekati Gissele yang duduk memegang mainannya. "Sayang, kenapa di sini? Ini masih petang, Gissele tidak mengantuk, hem?" tanya Cassel mengusap pucuk kepala putri kecilnya. Anak itu hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Sebelum akhirnya Gissele merangkak mengambil botol susu miliknya dan menyerahkan pada Cassel."Apa Sayang?" tanya Cassel menatap sang putri."Buatkan susu, Pa. Gissele mau minum susu," u
Elsa dan Cassel menuhi permintaan Luna untuk datang ke sebuah rumah makan mewah di sebuah hotel berbintang malam ini. Tentunya Elsa membawa Gissele yang kini tidak mau berjalan kaki, setelah punya stroller baru, dia ingin memamerkan stroller miliknya pada semua orang. Termasuk pada Nenek dan Kakeknya.Mereka bertiga pun kini baru saja masuk ke dalam restoran tersebut. "Emmm ... di mana, Ma?" tanya Gissele menoleh ke kanan dan ke kiri dalam kereta kecilnya. "Gissele Sayang!" pekik Luna melambaikan tangannya ke arah Elsa dan Cassel. Mereka pun menoleh. "Oh, ternyata di sana!" seru Elsa terkekeh.Segera Cassel mendorong stroller milik Gissele dan mereka berjalan mendekati meja di mana kedua orang tua Elsa berada. Luna dan suaminya pun berada di sana."Ya ampun, Cucu Nenek lucu sekali," seru Vania mengangkat tubuh mungil Gissele dari atas stroller."Naik kereta baru, Sayang? Punya kereta warnanya merah muda, bagus sekali..." Teddy ikut gembira dengan kedatangan Gissele. Elsa bersala
Elsa mengantarkan makan siang yang ia siapkan untuk Cassel siang ini. Bersama dengan Gissele, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Semua rekan-rekan Cassel menyapa Elsa dengan ramahnya, karena mereka semua tahu siapa Elsa sebenarnya, yang tak lain adalah istri dari calon direktur rumah sakit. "Selamat siang Nyonya Elsa," sapa salah satu rekan kerja suaminya, dia adalah Dokter Agnes. "Selamat siang, Dokter Agnes ... emm, apa suami saya masih ada jadwal operasi?" tanya Elsa bertanya pada wanita si depannya itu. "Oh, sepertinya sudah selesai. Saya melihat beliau tadi berada di ruangannya," jawab Agnes. "Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu..." "Iya Nyonya, silakan..."Elsa pun bergegas kembali mendorong stroller di mana Gissele duduk di dalam tempat itu sambil meminum susunya di dalam botol. Mereka berdua berjalan menuju ke arah ruangan kerja Cassel. Di sana, Elsa mengetuk pintu ruangan tersebut. Pintu itu tidak sepenuhnya ditutup. Hingga Cassel yang sedang beris