"Terima kasih sudah menemaniku makan bersama, Nicho ... aku senang kau tidak marah lagi padaku." Nicholas memasang wajah sebal dan kesal pada gadis di hadapannya ini."Kalau bukan karena permintaan Mama dan Papamu yang sampai datang menemuiku, aku tidak akan datang menemanimu di sini! Karena aku sendiri sibuk!" seru pemuda itu dengan wajah dinginnya. Saat itu juga Nicholas langsung beranjak meninggalkan Kalila tanpa mengatakan apapun lagi. Sedangkan Kalila juga sadar kalau dia tidak akan bisa menghentikan Nicholas yang sudah telanjur benci padanya. Nicholas pun segera beranjak pergi, dia meninggalkan Kalila di rumah makan itu. Sepanjang perjalanan, Nicholas berusaha menghubungi Raccel. Namun panggilannya tidak dijawab dan pesannya juga dibaca oleh kekasihnya tersebut. "Ke mana dia? Kenapa tidak mengirimkan pesan apapun padaku?" gumam Nicholas, mulai cemas. Pemuda itu mencengkeram erat kemudi mobilnya. "Apa mungkin dia marah? Aku kan membuat janji mengajaknya jalan-jalan sekara
Kabar bahagia datang pada Raccel, gadis cantik itu dinyatakan telah diterima di salah satu kampus favorit. Hal ini membuat Raccel antusias dan semakin bersemangat. Niatnya Nicholas ingin mengabulkan janjinya pada Raccel, namun gadis itu malah menolak untuk diajaknya pergi jalan-jalan. "Raccel tidak mau pergi ke mana-mana, Kak. Sore nanti ada jadwal ke dokter," ujar gadis itu kini berdiri berpegangan erat pada dinding. "Baiklah, kalau begitu nanti Kakak antarkan, okay?" Raccel mengangguk antusias. Nicholas hanya tersenyum menanggapinya. Laki-laki itu memegangi kedua lengan Raccel dan membantunya berjalan untuk pertama kalinya setelah beberapa bulan lamanya dia cidera. "Hati-hati, pegang lenganku yang erat," ujar Nicholas. "Heem. Iya Kak..." Raccel memegangi lengan Nicholas, dan hanya beberapa langkah saja kaki Raccel terasa sangat lemas hingga dia harus beristirahat. Nicholas dan Raccel duduk di teras belakang, dan di rumah megah itu mereka hanya berdua saja. Damien dan Dalena
Hari pertama Raccel kuliah, gadis itu nampak sangat gugup dan tidak percaya diri. Raccel merasa hanya dia yang memiliki kekurangan di antara ribuan orang. Damien keluar dari dalam mobilnya yang membantu putrinya tersebut. "Dad ... kenapa Raccel jadi takut, ya?" tanya gadis itu pada Daddy-nya. "Takut kenapa, Princess? Tidak perlu takut. Sama saja seperti sekolah, awal-awal memang tidak kenal. Tapi nanti juga mereka semua akan jadi temanmu," jawab Damien menyemangati buah hatinya. Raccel menunduk menatap kedua kakinya dan juga tongkat yang selama ini membantunya berjalan. "Tapi Daddy—""Sudah Princess, tidak usah takut. Ayo Daddy antarkan ke sana," ajak Damien. "Hah?" Raccel langsung menatap Daddy-nya dan gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Di sana semua mahasiswa dan mahasiswi baru tidak ada yang diantarkan orang tuanya apalagi sampai masuk ke dalam sana. Raccel pun langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak mau! Raccel bisa sendiri kok! Lagi pula Raccel itu sudah bes
Hari sudah sore, Nicholas terpaksa memundurkan waktu untuk mengantarkan Raccel beberapa jam lagi. Ia dihubungi oleh Mamanya untuk pulang sebentar saja. Awalnya Nicholas menolak, tapi ternyata Mamanya kini sedang sakit hingga ia harus pulang. Nicholas pun sudah sampai di rumah, dan ia tengah duduk menemani Mamanya di ruang keluarga. "Dokter sudah ke sini kan, Ma?" tanya Nicholas menatap wajah sang Mama. "Sudah, Nicho. Mama hanya pusing biasa. Mama rindu padamu," jawab Karina. "Heem. Sekarang aku sudah ada di sini." Karina memegangi tangan Nicholas dan menatapnya. "Bagaimana, kemarin-kemarin katanya Kalila pergi denganmu, ya?" tanya Karina. "Heem. Aku memintanya untuk tidak mendekatiku lagi!" jawab Nicholas yang terlalu jujur.Wajah Karina menjadi sedikit lesu seketika. "Jangan terlalu keras padanya, Nicho. Anak teman Mama itu sangat baik sekali," ujar Karina menggenggam tangan Nicholas. Pembahasan ini membuat Nicholas muak mendengarnya. Belum selesai mereka berbincang-bincan
Raccel berusaha menghubungi Nicholas sepulang membeli biola bersama dengan Daddy-nya. Setelah dia membaca pesan yang Karina kirimkan padanya, Raccel tidak tenang dan terus memikirkan apa maksud Karina untuk menjauhi putranya?"Kak Nicho ke mana, sih? Kenapa tidak dijawab-jawab?" gumam Raccel gelisah. Gadis itu duduk di sofa kamarnya dan diam di sana. Pikiran yang tidak-tidak dan takut menghampiri Raccel begitu saja. Raccel tiba-tiba merasa lemas. "Apa mungkin Tante Karina meminta Raccel sama Kak Nicho putus?" gumam lirih gadis itu. Kedua matanya terasa perih ingin menangis. Raccel meraih bantal miliknya dan ia membenamkan wajahnya di sana. Sampai tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, nampak Cassel berdiri di ambang pintu membawa sebuah paper bag berisi biskuit kesukaan Raccel. "Ehh ... kau menangis?" tanya Cassel masuk ke dalam kamar itu. Cassel menarik pelan pundak Raccel. "Raccel, ada apa? Kau menangis?" "Raccel tidak papa kok..." "Kalau tidak papa, kenapa sedih begini? Daddy
Raccel pergi sendirian ke sebuah taman yang berada tak jauh dari rumahnya siang ini. Sejak pagi tadi, seseorang yang mengatakan kalau dia adalah Mamanya Nicholas, ternyata bukan Karina. Melainkan itu nomor Kalila, dia hanya menyampaikan pada Raccel. Raccel diam di bangku taman, duduk sendirian membaca ulang semua pesan yang dia terima pagi tadi. 'Mamanya Nicholas sekarang jatuh sakit. Dia ingin Nicholas menikah denganku, kalau ini berada di posisimu, kau pasti mengerti perasaan Nicholas. Mamanya adalah wanita yang membesarkan dia, dan siapa memangnya dirimu! Tolong Raccel ... tahu diri sedikit!' 'Keluarga Gabriel juga lihat-lihat untuk mencarikan pendamping Nicholas, tidak mungkin anak semata wayangnya akan dipasangkan dengan gadis pincang sepertimu, Raccel!'Raccel menyeka air matanya begitu ia menggulir layar ponselnya membaca pesan-pesan yang Kalila kirimkan padanya. Gadis itu merasakan kepalanya sangat pusing seketika. "Tidak papa Raccel ... Kau tidak boleh menangis!" seru ga
Sampai dua hari Raccel tidak pergi ke kampus karena demam. Raccel tak hanya sedih karena kandasnya hubungannya dengan Nicholas, ia juga sedih karena kedua kakinya yang tidak kunjung sembuh. Hari kedua ia demam, Raccel sama sekali tidak mau turun dari ranjang. Dia hanya terbaring di atas ranjang dan merasa kedua kakinya sangat pegal. "Raccel..." Suara Cassel masuk ke dalam kamar sang adik. "Ssstttt ... Raccel sudah tidur," ujar Dalena menatap putranya. Cassel masuk ke dalam kamar itu, ia menatap Raccel dan mengusap pelan keningnya. Panas Raccel belum juga turun, bahkan kemarin malam Raccel tidak tidur sama sekali, dia terus belajar berjalan, berkeliling kamar sendirian, sebelum ketahuan Dalena hingga demamnya semakin parah. "Sudah diminum kan, Mom, obat yang Cassel beri?" tanya Cassel. "Sudah Sayang, ini juga sedikit turun demam adikmu dibandingkan tadi," jawab Dalena duduk di samping Raccel. Cassel menghela napasnya panjang. "Daddy tidak pulang, Mom? Adik sakit, masa iya Daddy
Nicholas sempat merasa terpukul seharian, dia tidak beranjak keluar dari apartemennya. Bahkan bersamaan dengan itu, Mamanya sakit dan ia juga diputuskan oleh Raccel. Sempat mendengar kalau Kalila mengulah dengan selalu mengatakan kekurangan yang Raccel miliki, hal ini membuat Nicholas sangat kesal pada wanita itu dan memutuskan untuk menemuinya di kampus Kalila. "Laa ... aku sarankan kau tidak usah berurusan dengan Cassel. Kau nanti bisa-bisa tidak akan hidup tenang." "Iya, La. Kau seperti tidak kenal Cassel saja! Dia sangat menyayangi adiknya, apalagi kalau Nicholas sampai tahu kalau kau sering menerornya!" Kalila tertawa, gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jangan khawatir! Lagi pula siapa suruh dia membuat masalah denganku!" jawab Kalila dengan santainya. "Tapi kan—"Ucapan salah satu teman Kalila terhenti saat seseorang datang di belakang Kalila tanpa sepengetahuan siapapun. Merisca langsung mendongkan kepalanya menatap sosok laki-laki dengan balutan tuxedo hitam yan