Sampai dua hari Raccel tidak pergi ke kampus karena demam. Raccel tak hanya sedih karena kandasnya hubungannya dengan Nicholas, ia juga sedih karena kedua kakinya yang tidak kunjung sembuh. Hari kedua ia demam, Raccel sama sekali tidak mau turun dari ranjang. Dia hanya terbaring di atas ranjang dan merasa kedua kakinya sangat pegal. "Raccel..." Suara Cassel masuk ke dalam kamar sang adik. "Ssstttt ... Raccel sudah tidur," ujar Dalena menatap putranya. Cassel masuk ke dalam kamar itu, ia menatap Raccel dan mengusap pelan keningnya. Panas Raccel belum juga turun, bahkan kemarin malam Raccel tidak tidur sama sekali, dia terus belajar berjalan, berkeliling kamar sendirian, sebelum ketahuan Dalena hingga demamnya semakin parah. "Sudah diminum kan, Mom, obat yang Cassel beri?" tanya Cassel. "Sudah Sayang, ini juga sedikit turun demam adikmu dibandingkan tadi," jawab Dalena duduk di samping Raccel. Cassel menghela napasnya panjang. "Daddy tidak pulang, Mom? Adik sakit, masa iya Daddy
Nicholas sempat merasa terpukul seharian, dia tidak beranjak keluar dari apartemennya. Bahkan bersamaan dengan itu, Mamanya sakit dan ia juga diputuskan oleh Raccel. Sempat mendengar kalau Kalila mengulah dengan selalu mengatakan kekurangan yang Raccel miliki, hal ini membuat Nicholas sangat kesal pada wanita itu dan memutuskan untuk menemuinya di kampus Kalila. "Laa ... aku sarankan kau tidak usah berurusan dengan Cassel. Kau nanti bisa-bisa tidak akan hidup tenang." "Iya, La. Kau seperti tidak kenal Cassel saja! Dia sangat menyayangi adiknya, apalagi kalau Nicholas sampai tahu kalau kau sering menerornya!" Kalila tertawa, gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jangan khawatir! Lagi pula siapa suruh dia membuat masalah denganku!" jawab Kalila dengan santainya. "Tapi kan—"Ucapan salah satu teman Kalila terhenti saat seseorang datang di belakang Kalila tanpa sepengetahuan siapapun. Merisca langsung mendongkan kepalanya menatap sosok laki-laki dengan balutan tuxedo hitam yan
Hari demi hari berjalan cepat. Raccel menikmati kesehariannya dengan semua teman-teman yang selalu ada bersamanya, bahkan mereka juga sering datang ke kediaman Escalante. Dan hari minggu pagi ini, Raccel belajar berjalan kembali. Gadis itu bisa berjalan tanpa tongkat, hanya saja langkahnya sangat pelan, dan telapak kakinya yang sedikit dia seret. "Hufff ... sedikit lagi, sampai dekat kursi," seru Raccel menyemangati dirinya sendiri. Gadis itu berjalan perlahan-lahan, hingga dia bisa sampai di kursi yang ingin dia jangkau. Raccel tersenyum senang. Sampai akhirnya gadis itu kaget saat mendengar gerbang depan rumahnya terbuka. Kedua mata Raccel menatap mobil hitam milik Nicholas yang kini masuk ke dalam pekarangan rumahnya. "Kak Nicho," gumam Raccel. Perasaan yang tiba-tiba muncul dalam hati Raccel seketika. Nicholas keluar dari dalam mobil, laki-laki itu menatap Raccel yang kini berdiri tegak tanpa menggunakan tongkatnya. "Hai ... kau sudah bisa berjalan sekarang?" tanya Nichol
Beberapa Minggu Kemudian...Hari demi hari yang berjalan dengan sempurna, Raccel telah bisa berjalan kembali meskipun tidak sesempurna seperti yang dia pikirkan. Benar seperti yang dikatakan oleh Papanya, kalau Raccel pasti bisa berjalan kembali setelah satu bulan. Dan gadis itu kini tengah ikut Mama dan Papanya menghadiri sebuah pesta milik rekan kerja Damien. Di sana, Raccel juga harus bertemu dengan banyak orang, termasuk rekan kerja Mama dan Papanya. "Ya ampun, ini Raccel, ya? Sudah besar ternyata ... cantik sekali, Sayang," ujar Sasha—istri dari rekan kerja Damien. "Iya Sha, cepat sekali kan anak-anak ini besar. Rasanya baru kemarin kita pertama bertemu," ujar Dalena. "Heem, tapi sekarang lihat ... putrimu cantik sekali, Raccel...""Terima kasih, Tante," ucap Raccel tersenyum manis. Mereka asik mengobrol, Raccel hanya ikut ke mana pun Mamanya melangkah. Gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum dia menemukan sosok laki-laki dengan balutan tuxedo hitam yang kini masuk k
Setelah pesta semalam, keesokan harinya Nicholas didatangi Mamanya dia apartemen saat hari sudah pagi. Nicholas yang hendak pergi ke kantor pun urung. Pemuda itu mengajak sang Mama masuk ke dalam apartemennya. "Ada perlu apa, Ma? Tumben sekali Mama ke sini?" tanya Nicholas begitu Karina duduk di sofa yang berada di hadapannya. Wanita itu tersenyum. "Apa kau masih sering bertemu dengan Raccel selama ini?" Kening Nicholas mengerut saat sang Mama bertanya tentang Raccel. "Jarang-jarang. Memangnya kenapa lagi?" "Emmm ... Mama ingin bertemu dengan Raccel," ujar Karina. "Tumben, ada apa lagi yang ingin Mama katakan padanya?" Nicholas memancing sang Mama."Tidak papa Cho. Mama hanya ingin bertemu saja. Mama pikir-pikir, cinta memang tidak bisa dipaksa. Selama ini Mama tidak pernah melihatmu perhatian pada Kalila seperti kau perhatian pada Raccel. Seperti semalam..." Karina menatap sang putra dan dia tersenyum. "Nanti sore, ajak Raccel bertemu dengan Mama, ya ... Mama ingin mengajak k
Nicholas mengajak Raccel untuk bertemu dengan Mamanya di sebuah rumah makan mewah. Dan Karina sudah berada di sana sejak beberapa menit yang lalu. Wanita itu tersenyum melihat Raccel dan Nicholas datang bersama. "Akhirnya kalian datang juga, Mama kira tidak jadi," ujar wanita itu. "Maaf Tante, tadi Raccel masih di kampus," jawab Raccel sambil tersenyum manis. "Tidak papa, Sayang. Ayo silakan duduk..." Raccel duduk bersama dengan Nicholas, gadis itu melepaskan tas yang ia pakai. Karina menyerahkan buku menu pada Raccel. "Kalian pilih makanan apa yang mau kalian makan," ujar wanita itu. Segera Raccel membuka buku menu itu, ia menoleh pada Nicholas yang sibuk dengan ponsel di tangannya, hanya saja ponsel itu milik Raccel. "Kak Nicho mau makan apa?" tanya Raccel pada Nicholas. Pemuda itu hanya menoleh sebentar dan meletakkan ponsel di tangannya. Nicholas malah diam dan mengusap pucuk kepala Raccel. "Apa saja, samakan denganmu juga tidak papa," jawab Nicholas."Raccel mau makan s
Hari sudah malam, Raccel berada di dalam kamarnya. Gadis itu menatap ke arah lantai satu di mana Nicholas berada di sana menjadi salah satu tamu penting di antara para rekan bisnis Damien. Senyum Raccel mengembang saat Nicholas tanpa sengaja menoleh ke arahnya di atas sana. 'Kak Nicho paling muda sendiri, hebat sekali dia,' batin Raccel masih setia menatap Nicholas sembari senyam-senyum sendiri."Heh ... ngapain senyam-senyum sendiri di sini?" tanya Cassel mendekati sang adik. Raccel mendongakkan kepalanya menatap Cassel yang kini di belakangnya sembari menenteng jas putihnya. "Siapa sih yang senyum-senyum sendiri, Raccel senyum sama Kak Nicho," ujar gadis itu menunjuk ke arah pemuda di bawah sana. Cassel berdecak pelan, ia mengusap pucuk kepala Raccel. "Raccel, kau sudah besar. Hati-hati saat kau dengan Nicholas sekalipun dia kekasihmu sendiri," ujar Cassel. "Hem, kenapa Kak?" tanya gadis itu. Cassel yang duduk di sofa, pemuda itu menatap sang adik. "Sore tadi Kakak ada pasi
Setelah Damien mengatakan pada Nicholas untuk menikahi Raccel, kalau bisa dalam waktu dekat. Nicholas malam ini melamun di balkon kamar hotelnya di tengah-tengah kota Athena, Yunani. Bahkan saat meeting siang tadi, Nicholas sangat tidak fokus sama sekali. Bukannya tidak mau, Nicholas justru merasa senang dirinya mendapatkan restu lebih awal dari Damien. Hanya saja, Nicholas harus menemukan momen yang tepat untuk membicarakan ini pada Mama dan Papanya. "Papa pasti merasa terburu-buru untuk bila aku mengatakan ini padanya." Nicholas menenggak minuman di gelasnya dan mengembuskan napasnya panjang. Pemuda itu mengusap wajahnya pelan. "Tapi apa yang Om Damien katakan menang benar ... tidak selamanya aku hanya bisa berpacaran dan hanya saling tatap, genggaman tangan saja dengan Raccel. Bagaimana kalau aku kehilangan kendali?" Nicholas menyergah napasnya pelan. Ia merasa sangat pusing kali ini, sampai akhirnya ponselnya pun berdering. Nampak nama Raccel yang terpampang di layar ponsel