Raccel sangat antusias sekali hari ini, dia ingin memberitahu Nicholas kalau dia sudah hampir pulih. Namun saat Raccel berjalan ke lantai satu. Di sana ia melihat Nicholas yang nampak baru saja datang dengan wajahnya yang memerah. "Kak Nicho..." Langkah Nicholas pun langsung terhenti saat itu juga. Ia menatap Raccel yang kini berjalan tertatih ke arahnya. Gadis itu mendongakkan kepala dengan kedua mata mengerjap pelan. "Kakak menangis, ya?" tanya Raccel tiba-tiba, dia mencekel pergelangan tangan Nicholas. "Ada apa, Kak?"Nicholas menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak papa, Raccel ... Kakak hanya lelah saja." "Kalau lelah Kakak istirahat saja," tutur gadis itu menatapnya dengan sangat perhatian. Namun tetap saja Nicholas menggelengkan kepalanya. Pemuda itu menatap sekitar yang memperhatikan seisi rumah Raccel yang sangat sepi. "Mommy dan Daddy ke mana?" tanya Nicholas sembari merangkul Raccel. "Mommy dan Daddy masih ada acara, Kak. Teman Daddy, Ibunya meninggal. Jadi Daddy da
Sejak pagi hingga malam hari Nicholas berada di kediaman Damien. Setelah berjam-jam menunggu Damien pulang, saat laki-laki itu tiba, barulah Nicholas kembali melanjutkan pekerjaannya. Bahkan setelah pukul sepuluh malam dia baru saja pulang. Raccel yang duduk di ruang keluarga, dia melambaikan tangannya saat Nicholas berpamitan pulang. "Hati-hati, ya..." Raccel tersenyum manis. Nicholas mengangguk sebelum dia keluar dari kediaman Damien. Sedang Cassel yang menatap Adik kembarannya, laki-laki itu langsung menutup kedua mata Raccel dengan satu telapak tangannya sebelum dia menoleh ke arah Nicholas di luar yang tertawa dengan tingkah Cassel. "Sudah, sudah sana pulang! Heehhh ... modusnya ke adikku besok lagi! Sudah malam!" teriak Cassel. Raccel menarik-narik tangan Cassel. "Hihhh ... Kakak apa-apaan, sih!" pekik Raccel kesal. "Sudah jangan pura-pura, seisi rumah ini juga tahu kalau kau pacaran sama Nicho! Pantas saja itu si Puppy ke sini terus!" seru Cassel sembari menggigit roti
BEBERAPA BULAN KEMUDIAN..."Kann ... apa kubilang! Nilaimu tertinggi, Raccel! Ya ampun, aku merasa tidak berguna sekolah ini!"Omelan panjang lebar itu terdengar dari Camila yang kini membuka beberapa lembar kertas ujiannya. Sedangkan Raccel yang membuka beberapa hasil ujiannya, dia tersenyum puas karena nilainya sangat tinggi. Bahkan lebih unggul daripada Revvan. Gadis itu merasa sangat senang, mungkin ini berkat belajarnya yang sangat keras dan juga dukungan dari orang-orang di sekitarnya, termasuk Nicholas yang selalu menyempatkan waktu untuk mengajari Raccel. "Aku harus memberitahu Kak Nicho," gumam Raccel mengambil ponselnya. Namun belum Raccel menghubungi Nicholas, tiba-tiba Revvan mendekati Raccel. "Selamat ya, Raccel ... aku ikut senang nilaimu menjadi yang tertinggi. Kerja kerasmu berbuah baik," ujar Revvan tersenyum tulus. "Iya Revvan, terima kasih. Nilaimu juga sama tingginya denganku, hanya selisih berapa poin saja, kan?" "Heem, ngomong-ngomong ... kau akan melanjut
Tiba akhirnya saat hari sudah sore, dan Revvan berkunjung ke rumah Raccel. Laki-laki muda itu membawa sepeda motornya yang memiliki keranjang di bagian belakang sisi kanan dan kirinya. Raccel berdiri di dekat motor milik Revvan dan ia menatap beberapa ekor kucing cantik di dalam keranjang itu. "Ya ampun Revvan, ini mau dibawa ke mana?" tanya Raccel menoleh pada temannya sebelum kembali menatap kucing-kucing itu. "Mereka lucu sekali. Apalagi yang putih ini, lucu, kepalanya besar, bulunya lembut, suaranya juga keras kalau mengeong!" Revvan pun tersenyum. "Ini namanya Twicy, dia diadopsi sejak usia lima hari. Mereka akan aku bawa ke klinik hewan. Mama kan punya penangkaran kucing, di sana banyak kucing dan setiap bulan aku yang harus mengantarkan kucing-kucing ini ke Dokter hewan." "Wahhh ... begitu ya? Raccel gendong, boleh?" pinta gadis itu. "Tentu saja. Aku ada yang kecil, apa kau mau?" tawar Revvan menatap Raccel yang sangat seneng. "Tunggu sebentar, biar aku ambilkan." "Mau!
Keesokan harinya, Nicholas tidak berbohong bila dia benar-benar membelikan seekor kucing yang Raccel inginkan di sebuah pet shop. Mereka berdua kini datang bersama, Nicholas mendorong kursi roda di mana Raccel duduk dan mereka asik memilih kucing-kucing di sana. "Kau bisa memilih yang mana saja yang kau mau, Sayang," bisik Nicholas membungkukkan badannya dan berbisik di samping pipi Raccel. "Iya. Aku mau yang berwarna putih," jawab Raccel memilih-milih. Gadis itu menatap semua deretan keranjang di depannya. Para hewan-hewan mungil menggemaskan yang memasang wajah gemas saat ia mendekatinya. "Sepertinya mereka mau dibeli semuanya ya, Kak," ujar Raccel tersenyum. "Ya jangan dong, nanti ditaruh di mana kalau dibeli semua?" Nicholas mendekati sebuah keranjang kucing. Ia mengambil seekor kucing putih dan bercorak sedikit warna cokelat. Ia menunjukkan pada Raccel. "Sayang lihat, ini lucu sekali," ujar Nicholas membawa kucing itu pada Raccel. "Wahh ... iya, hidungnya tidak ada Kak,"
Setelah Papanya pergi, Nicholas masih berada di kediaman Escalade. Pemuda itu hanya diam dan duduk termenung di teras sendirian. Rasanya ia enggan beranjak dari tempat itu. 'Beruntung sekali Cassel, dia memiliki orang tua yang mendukungnya dalam segala hal. Tapi kenapa ... Papa?' batin Nicholas, dia merasa ingin menangis sekarang ini. Sampai dia tidak menyadari kedatangan seseorang yang duduk di sampingnya tanpa mengatakan apapun. "Om tidak bermaksud untuk mengadu domba kau dan Papamu, apalagi membuatmu durhaka pada Papamu, Cho ... bagi Om, Papamu terlalu tinggi mengekspektasikan keinginannya lewat dirimu. Dia tidak mempedulikan perasaanmu asal tujuan dia berhasil." Damien berucap. "Iya Om. Aku tahu ... kalau aku sudah duduk di kursi direktur, baru Papa merasa puas." "Lalu kenapa kau tidak mau duduk di kursi direktur? Setahu Om, kau satu-satunya cucu laki-laki dari Keluarga Gabriel?" tanya Damien, ia sangat penasaran. Dan di sampingnya, Nicholas nampak diam berpikir. Atas apa y
Hari telah berganti. Malam ini Nicholas baru saja kembali ke apartemennya setelah seharian bergelut dengan pekerjaan kantornya. Pemuda itu merasa sangat kesepian begitu dia membuka pintu dan berjalan masuk. Laki-laki itu langsung berjalan ke kamarnya dan melepaskan kemeja putih yang ia pakai sebelum Nicholas duduk di tepi ranjang. "Hari ini terasa melelahkan," gumam pemuda itu mendongakkan kepalanya. Ponsel Nicholas berdenting, ia melihat kalau ada pesan masuk dari Mamanya. 'Makan malam di rumah. Mama dan Papa menunggumu.' Isi pesan itu membuat Nicholas sudah berpikir yang tidak-tidak. Dia lelah untuk menghadapi Mama dan Papanya. Laki-laki itu berdecak saat mendengar dentingan ponselnya. Dia hendak melemparkan ponselnya ke sofa, namun begitu Nicholas melihat, ternyata pesan dari Raccel. Tanpa membacanya, Nicholas langsung menghubungi gadis itu dan cepat sekali Raccel menjawabnya. "Halo Sayang...""Halo Kak, baru pulang ya?" tanya gadis itu. "Heem. Kakak baru saja masuk, teras
Nicholas tertidur sampai akhirnya Damien dan Dalena kembali. Mereka berdua mendapati Raccel menonton acara masak-masak di televisi dan Nicholas terbaring dengan wajah lelah di sofa. "Daddy, Mommy..." Raccel menyambut mereka dengan wajah senang. Damien menengok wajah Nicholas. "Dia tertidur di sini? Seharian dia tidak istirahat sama sekali. Aku jadi merasa bersalah," ujar Damien mengulurkan tangannya mengusap kepala Nicholas. "Tadi Kak Nicho yang jagain Raccel, belikan Raccel makan malam juga," ujar Raccel. "Ya sudah, sekarang Raccel ayo istirahat. Biar Daddy bangunkan Nicholas untuk tidur di kamar tamu. Ayo Sayang," ajak Dalena. Raccel mengangguk patuh dan ikut bersama dengan Mamanya naik ke lantai dua. Gadis itu berjalan masuk ke dalam kamarnya dan langsung memutuskan untuk istirahat saya itu juga. Sementara di bawah, Damien membangunkan Nicholas. Pemuda itu langsung bangun, dia memegangi kepalanya yang nampaknya terlihat sangat pusing. Nicholas mengusap pundak Nichol pelan.