Hari telah berganti. Malam ini Nicholas baru saja kembali ke apartemennya setelah seharian bergelut dengan pekerjaan kantornya. Pemuda itu merasa sangat kesepian begitu dia membuka pintu dan berjalan masuk. Laki-laki itu langsung berjalan ke kamarnya dan melepaskan kemeja putih yang ia pakai sebelum Nicholas duduk di tepi ranjang. "Hari ini terasa melelahkan," gumam pemuda itu mendongakkan kepalanya. Ponsel Nicholas berdenting, ia melihat kalau ada pesan masuk dari Mamanya. 'Makan malam di rumah. Mama dan Papa menunggumu.' Isi pesan itu membuat Nicholas sudah berpikir yang tidak-tidak. Dia lelah untuk menghadapi Mama dan Papanya. Laki-laki itu berdecak saat mendengar dentingan ponselnya. Dia hendak melemparkan ponselnya ke sofa, namun begitu Nicholas melihat, ternyata pesan dari Raccel. Tanpa membacanya, Nicholas langsung menghubungi gadis itu dan cepat sekali Raccel menjawabnya. "Halo Sayang...""Halo Kak, baru pulang ya?" tanya gadis itu. "Heem. Kakak baru saja masuk, teras
Nicholas tertidur sampai akhirnya Damien dan Dalena kembali. Mereka berdua mendapati Raccel menonton acara masak-masak di televisi dan Nicholas terbaring dengan wajah lelah di sofa. "Daddy, Mommy..." Raccel menyambut mereka dengan wajah senang. Damien menengok wajah Nicholas. "Dia tertidur di sini? Seharian dia tidak istirahat sama sekali. Aku jadi merasa bersalah," ujar Damien mengulurkan tangannya mengusap kepala Nicholas. "Tadi Kak Nicho yang jagain Raccel, belikan Raccel makan malam juga," ujar Raccel. "Ya sudah, sekarang Raccel ayo istirahat. Biar Daddy bangunkan Nicholas untuk tidur di kamar tamu. Ayo Sayang," ajak Dalena. Raccel mengangguk patuh dan ikut bersama dengan Mamanya naik ke lantai dua. Gadis itu berjalan masuk ke dalam kamarnya dan langsung memutuskan untuk istirahat saya itu juga. Sementara di bawah, Damien membangunkan Nicholas. Pemuda itu langsung bangun, dia memegangi kepalanya yang nampaknya terlihat sangat pusing. Nicholas mengusap pundak Nichol pelan.
Raccel dan Cassel berhari-hari tidak saling menyapa setelah kejadian kemarin. Hingga Dalena kini berusaha mendamaikan kedua buah hatinya itu lagi. Wanita itu meminta Cassel untuk mengantarkan Raccel pergi membeli sepatu dan tas baru, seperti yang Raccel inginkan. Mereka berdua kini berada di pusat perbelanjaan, Raccel yang duduk di kursi roda yang tengah didorong santai oleh Cassel. "Hemmm ... seumpama Kakak dorong ini kursi roda, lucu kali ya," ujar Cassel sambil terkekeh. Mendengar hal itu, Raccel langsung mendongak dan tersenyum. "Siap-siap saja ditendang sama Daddy. Atau paling tidak ... Kakak dicoret dari kartu keluarga Escalante! Biarin hidup jadi gelandangan!" seru Raccel. "Halah Cil ... sok banget sih, masih bocah juga!" "Kita lahirnya bareng, ya!" "Tapi kan aku duluan yang lihat dunia!""Ya tapi sama sama saja!" Cassel mengembuskan napasnya panjang, ia lebih memilih untuk mengalah daripada ribut lebih panjang lagi dengan kembarannya di tempat umum. Sampai akhirnya m
"Terima kasih sudah menemaniku makan bersama, Nicho ... aku senang kau tidak marah lagi padaku." Nicholas memasang wajah sebal dan kesal pada gadis di hadapannya ini."Kalau bukan karena permintaan Mama dan Papamu yang sampai datang menemuiku, aku tidak akan datang menemanimu di sini! Karena aku sendiri sibuk!" seru pemuda itu dengan wajah dinginnya. Saat itu juga Nicholas langsung beranjak meninggalkan Kalila tanpa mengatakan apapun lagi. Sedangkan Kalila juga sadar kalau dia tidak akan bisa menghentikan Nicholas yang sudah telanjur benci padanya. Nicholas pun segera beranjak pergi, dia meninggalkan Kalila di rumah makan itu. Sepanjang perjalanan, Nicholas berusaha menghubungi Raccel. Namun panggilannya tidak dijawab dan pesannya juga dibaca oleh kekasihnya tersebut. "Ke mana dia? Kenapa tidak mengirimkan pesan apapun padaku?" gumam Nicholas, mulai cemas. Pemuda itu mencengkeram erat kemudi mobilnya. "Apa mungkin dia marah? Aku kan membuat janji mengajaknya jalan-jalan sekara
Kabar bahagia datang pada Raccel, gadis cantik itu dinyatakan telah diterima di salah satu kampus favorit. Hal ini membuat Raccel antusias dan semakin bersemangat. Niatnya Nicholas ingin mengabulkan janjinya pada Raccel, namun gadis itu malah menolak untuk diajaknya pergi jalan-jalan. "Raccel tidak mau pergi ke mana-mana, Kak. Sore nanti ada jadwal ke dokter," ujar gadis itu kini berdiri berpegangan erat pada dinding. "Baiklah, kalau begitu nanti Kakak antarkan, okay?" Raccel mengangguk antusias. Nicholas hanya tersenyum menanggapinya. Laki-laki itu memegangi kedua lengan Raccel dan membantunya berjalan untuk pertama kalinya setelah beberapa bulan lamanya dia cidera. "Hati-hati, pegang lenganku yang erat," ujar Nicholas. "Heem. Iya Kak..." Raccel memegangi lengan Nicholas, dan hanya beberapa langkah saja kaki Raccel terasa sangat lemas hingga dia harus beristirahat. Nicholas dan Raccel duduk di teras belakang, dan di rumah megah itu mereka hanya berdua saja. Damien dan Dalena
Hari pertama Raccel kuliah, gadis itu nampak sangat gugup dan tidak percaya diri. Raccel merasa hanya dia yang memiliki kekurangan di antara ribuan orang. Damien keluar dari dalam mobilnya yang membantu putrinya tersebut. "Dad ... kenapa Raccel jadi takut, ya?" tanya gadis itu pada Daddy-nya. "Takut kenapa, Princess? Tidak perlu takut. Sama saja seperti sekolah, awal-awal memang tidak kenal. Tapi nanti juga mereka semua akan jadi temanmu," jawab Damien menyemangati buah hatinya. Raccel menunduk menatap kedua kakinya dan juga tongkat yang selama ini membantunya berjalan. "Tapi Daddy—""Sudah Princess, tidak usah takut. Ayo Daddy antarkan ke sana," ajak Damien. "Hah?" Raccel langsung menatap Daddy-nya dan gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Di sana semua mahasiswa dan mahasiswi baru tidak ada yang diantarkan orang tuanya apalagi sampai masuk ke dalam sana. Raccel pun langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak mau! Raccel bisa sendiri kok! Lagi pula Raccel itu sudah bes
Hari sudah sore, Nicholas terpaksa memundurkan waktu untuk mengantarkan Raccel beberapa jam lagi. Ia dihubungi oleh Mamanya untuk pulang sebentar saja. Awalnya Nicholas menolak, tapi ternyata Mamanya kini sedang sakit hingga ia harus pulang. Nicholas pun sudah sampai di rumah, dan ia tengah duduk menemani Mamanya di ruang keluarga. "Dokter sudah ke sini kan, Ma?" tanya Nicholas menatap wajah sang Mama. "Sudah, Nicho. Mama hanya pusing biasa. Mama rindu padamu," jawab Karina. "Heem. Sekarang aku sudah ada di sini." Karina memegangi tangan Nicholas dan menatapnya. "Bagaimana, kemarin-kemarin katanya Kalila pergi denganmu, ya?" tanya Karina. "Heem. Aku memintanya untuk tidak mendekatiku lagi!" jawab Nicholas yang terlalu jujur.Wajah Karina menjadi sedikit lesu seketika. "Jangan terlalu keras padanya, Nicho. Anak teman Mama itu sangat baik sekali," ujar Karina menggenggam tangan Nicholas. Pembahasan ini membuat Nicholas muak mendengarnya. Belum selesai mereka berbincang-bincan
Raccel berusaha menghubungi Nicholas sepulang membeli biola bersama dengan Daddy-nya. Setelah dia membaca pesan yang Karina kirimkan padanya, Raccel tidak tenang dan terus memikirkan apa maksud Karina untuk menjauhi putranya?"Kak Nicho ke mana, sih? Kenapa tidak dijawab-jawab?" gumam Raccel gelisah. Gadis itu duduk di sofa kamarnya dan diam di sana. Pikiran yang tidak-tidak dan takut menghampiri Raccel begitu saja. Raccel tiba-tiba merasa lemas. "Apa mungkin Tante Karina meminta Raccel sama Kak Nicho putus?" gumam lirih gadis itu. Kedua matanya terasa perih ingin menangis. Raccel meraih bantal miliknya dan ia membenamkan wajahnya di sana. Sampai tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, nampak Cassel berdiri di ambang pintu membawa sebuah paper bag berisi biskuit kesukaan Raccel. "Ehh ... kau menangis?" tanya Cassel masuk ke dalam kamar itu. Cassel menarik pelan pundak Raccel. "Raccel, ada apa? Kau menangis?" "Raccel tidak papa kok..." "Kalau tidak papa, kenapa sedih begini? Daddy